Oleh Achmanto Mendatu
-
Kebanyakan orang lebih berbahagia bila mengalami keterikatan dengan orang lain daripada bila tidak merasa terikat. Orang yang menikah umumnya lebih berbahagia daripada mereka yang tidak menikah. Laki-laki menikah dan perempuan menikah lebih bahagia daripada mereka yang tidak pernah menikah, bercerai atau berpisah (Myers, 2002). Sebuah penelitian juga menunjukkan bahwa pernikahan heteroseksual ( antara laki-laki dan perempuan) adalah jenis pernikahan yang paling penuh cinta dan paling memuaskan (Kurdek dan Schmitt, 1986). Jadi, kekhawatiran bahwa pernikahan hanya akan menimbulkan kesengsaraan kurang beralasan. Nyatanya, mereka yang menikah cenderung memiliki kehidupan yang lebih berbahagia. Demikian juga mitos bahwa perempuan yang tidak menikah atau single women lebih berbahagia daripada perempuan yang menikah kurang berdasar. Meskipun memang pada pernikahan yang buruk, pihak perempuan jauh lebih kerap dirugikan dan tertekan daripada laki-laki.
Pada orang-orang yang tidak menikah, rata-rata bunuh diri dan depresinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang menikah. Sebuah survei yang dilakukan National Institute of Mental Health di Amerika menemukan bahwa rata-rata tingkat depresi meningkat dua sampai empat kali lipat lebih besar pada orang dewasa yang tidak menikah.
Menurut David G. Myers (2002) pernikahan meningkatkan kebahagiaan setidaknya karena dua alasan. Pertama, orang yang menikah sepertinya lebih menikmati dukungan, hubungan yang erat, dan kurang merasa kesepian. Pernikahan yang baik memberikan seseorang tempat bergantung secara emosional, cinta, dan teman. Kedua, pernikahan menjaga kita dari kesengsaraan. Pernikahan memberikan kita peran sebagai suami atau istri, dan sebagai orangtua, yang memberikan kita sumber tambahan harga diri. Barangkali kita akan sedikit malu apabila kita tidak juga memiliki suami atau istri sementara teman-teman kita bahkan sudah memiliki anak. Artinya dengan menjadi seorang suami, menjadi seorang istri, atau menjadi seorang ayah atau ibu bisa membuat kita semakin puas dengan kehidupan kita sendiri karena kita lebih bangga dengan yang kita alami.
Kualitas pernikahan merupakan hal terpenting ketimbang status pernikahan itu sendiri. Sebuah ironi tetap mempertahankan status pernikahan bila sementara pernikahan itu tidak memiliki kualitas yang baik. Seringkali orang-orang yang berkata bahwa pernikahan mereka memuaskan dan juga menemukan cinta terhadap pasangannya, mereka juga melaporkan tidak bahagia, tidak puas dengan hidupnya, atau tertekan. Pernikahan yang mereka alami itu tentulah pernikahan yang kurang berkualitas. Pernikahan yang berkualitas haruslah menimbulkan kebahagiaan pelakunya, memuaskan diri pelakunya dan membuat pelakunya merasa bebas. Orang yang berbahagia dalam pernikahan lebih mudah tertawa dalam hidupnya. Mereka juga lebih hangat, lebih percaya, lebih perduli, dan lebih memperhatikan orang lain.
Penting kiranya untuk mengetahui apa-apa yang menjadi tanda bagi sebuah pernikahan yang sukses atau membahagiakan. Sebab pengetahuan akan hal itu bisa menjadi tes terhadap kehidupan pernikahan yang dijalani. Kita bisa mengetahui apakah suatu pernikahan sukses atau telah gagal, melalui perbandingan dengan kehidupan pernikahan yang membahagiakan.
Lauer & Lauer pada tahun 1985 (dalam Baron & Byrne, 1991) melakukan studi tentang pernikahan sukses terhadap 351 pasangan yang telah menikah 15 tahun atau lebih. Mereka menemukan bahwa untuk mempertahankan suatu pernikahan yang berbahagia diperlukan perasaan yang kuat akan adanya persahabatan, komitmen, kesamaan, dan adanya pengaruh positif dari pernikahan. Mereka mengidentifikasi pernyataan-pernyataan yang menggambarkan hal tersebut :
- Suami/istriku adalah teman terbaikku
- Saya menyukai suami/istriku sebagai dirinya pribadi
- Pernikahan adalah komitmen jangka panjang
- Pernikahan adalah suci/kudus
- Saya ingin pernikahan kami sukses
- Untuk menjaga agar pernikahan abadi adalah penting tetap menjaga kestabilan sosial
- Kami sepakat akan tujuan yang hendak kami capai
- Kami sepakat dalam bagaimana dan seberapa sering menunjukkan perhatian
- Kami sepakat dalam falsafah hidup
- Kami sepakat dalam kehidupan seksual kami
- Suami/istri kami tumbuh semakin menarik
- Kami tertawa bersama
- Saya bangga pada prestasi suami/istri saya
Apakah kunci sukses sebuah pernikahan? Sementara orang menjawab dengan kesamaan. Hal itu benar sebagian. Bagaimanapun kesamaan yang ada diantara pasangan, baik kesamaan nilai-nilai, kesamaan sikap dan lainnya, akan membuat hubungan terhindar dari banyak konflik. Akan tetapi hidup merupakan proses. Manusia semakin berkembang dari waktu ke waktu. Perubahan merupakan suatu keniscayaan. Masing-masing pasangan pastilah akan berubah menjadi berbeda, minimal karena bertambahnya pengalaman hidup. Kita mungkin cukup similar atau sama dengan pasangan kita saat ini. Akan tetapi 10 tahun mendatang, apakah kita bisa menjamin kita akan tetap sama? Oleh karena itu kesamaan belaka tidaklah cukup dalam sebuah pernikahan yang langgeng dan sukses. Jauh lebih penting adalah komitmen untuk ‘berbicara’. Melalui komitmen untuk berbicara, berbagai perbedaan dan konflik yang timbul bisa didiskusikan dan dicari pemecahannya bersama sehingga bisa memberi kepuasan bersama pula.
Setelah melakukan observasi terhadap lebih dari 2000 pasangan, John Gottman mencatat bahwa pernikahan yang sehat dan sukses terjadi manakala mereka tidak menghindari adanya konflik, melainkan menghadapinya. Mereka yang sukses agaknya memiliki kemampuan untuk berdamai dengan perbedaan yang ada, kemampuan untuk memahami dan memaafkan. Dalam pernikahan yang berhasil, hubungan yang positif (tersenyum, menyentuh, memuji, tertawa) lima kali lebih banyak daripada hubungan yang negatif (menyindir, menolak, menghina).
-
Kebanyakan orang lebih berbahagia bila mengalami keterikatan dengan orang lain daripada bila tidak merasa terikat. Orang yang menikah umumnya lebih berbahagia daripada mereka yang tidak menikah. Laki-laki menikah dan perempuan menikah lebih bahagia daripada mereka yang tidak pernah menikah, bercerai atau berpisah (Myers, 2002). Sebuah penelitian juga menunjukkan bahwa pernikahan heteroseksual ( antara laki-laki dan perempuan) adalah jenis pernikahan yang paling penuh cinta dan paling memuaskan (Kurdek dan Schmitt, 1986). Jadi, kekhawatiran bahwa pernikahan hanya akan menimbulkan kesengsaraan kurang beralasan. Nyatanya, mereka yang menikah cenderung memiliki kehidupan yang lebih berbahagia. Demikian juga mitos bahwa perempuan yang tidak menikah atau single women lebih berbahagia daripada perempuan yang menikah kurang berdasar. Meskipun memang pada pernikahan yang buruk, pihak perempuan jauh lebih kerap dirugikan dan tertekan daripada laki-laki.
Pada orang-orang yang tidak menikah, rata-rata bunuh diri dan depresinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang menikah. Sebuah survei yang dilakukan National Institute of Mental Health di Amerika menemukan bahwa rata-rata tingkat depresi meningkat dua sampai empat kali lipat lebih besar pada orang dewasa yang tidak menikah.
Menurut David G. Myers (2002) pernikahan meningkatkan kebahagiaan setidaknya karena dua alasan. Pertama, orang yang menikah sepertinya lebih menikmati dukungan, hubungan yang erat, dan kurang merasa kesepian. Pernikahan yang baik memberikan seseorang tempat bergantung secara emosional, cinta, dan teman. Kedua, pernikahan menjaga kita dari kesengsaraan. Pernikahan memberikan kita peran sebagai suami atau istri, dan sebagai orangtua, yang memberikan kita sumber tambahan harga diri. Barangkali kita akan sedikit malu apabila kita tidak juga memiliki suami atau istri sementara teman-teman kita bahkan sudah memiliki anak. Artinya dengan menjadi seorang suami, menjadi seorang istri, atau menjadi seorang ayah atau ibu bisa membuat kita semakin puas dengan kehidupan kita sendiri karena kita lebih bangga dengan yang kita alami.
Kualitas pernikahan merupakan hal terpenting ketimbang status pernikahan itu sendiri. Sebuah ironi tetap mempertahankan status pernikahan bila sementara pernikahan itu tidak memiliki kualitas yang baik. Seringkali orang-orang yang berkata bahwa pernikahan mereka memuaskan dan juga menemukan cinta terhadap pasangannya, mereka juga melaporkan tidak bahagia, tidak puas dengan hidupnya, atau tertekan. Pernikahan yang mereka alami itu tentulah pernikahan yang kurang berkualitas. Pernikahan yang berkualitas haruslah menimbulkan kebahagiaan pelakunya, memuaskan diri pelakunya dan membuat pelakunya merasa bebas. Orang yang berbahagia dalam pernikahan lebih mudah tertawa dalam hidupnya. Mereka juga lebih hangat, lebih percaya, lebih perduli, dan lebih memperhatikan orang lain.
Penting kiranya untuk mengetahui apa-apa yang menjadi tanda bagi sebuah pernikahan yang sukses atau membahagiakan. Sebab pengetahuan akan hal itu bisa menjadi tes terhadap kehidupan pernikahan yang dijalani. Kita bisa mengetahui apakah suatu pernikahan sukses atau telah gagal, melalui perbandingan dengan kehidupan pernikahan yang membahagiakan.
Lauer & Lauer pada tahun 1985 (dalam Baron & Byrne, 1991) melakukan studi tentang pernikahan sukses terhadap 351 pasangan yang telah menikah 15 tahun atau lebih. Mereka menemukan bahwa untuk mempertahankan suatu pernikahan yang berbahagia diperlukan perasaan yang kuat akan adanya persahabatan, komitmen, kesamaan, dan adanya pengaruh positif dari pernikahan. Mereka mengidentifikasi pernyataan-pernyataan yang menggambarkan hal tersebut :
- Suami/istriku adalah teman terbaikku
- Saya menyukai suami/istriku sebagai dirinya pribadi
- Pernikahan adalah komitmen jangka panjang
- Pernikahan adalah suci/kudus
- Saya ingin pernikahan kami sukses
- Untuk menjaga agar pernikahan abadi adalah penting tetap menjaga kestabilan sosial
- Kami sepakat akan tujuan yang hendak kami capai
- Kami sepakat dalam bagaimana dan seberapa sering menunjukkan perhatian
- Kami sepakat dalam falsafah hidup
- Kami sepakat dalam kehidupan seksual kami
- Suami/istri kami tumbuh semakin menarik
- Kami tertawa bersama
- Saya bangga pada prestasi suami/istri saya
Apakah kunci sukses sebuah pernikahan? Sementara orang menjawab dengan kesamaan. Hal itu benar sebagian. Bagaimanapun kesamaan yang ada diantara pasangan, baik kesamaan nilai-nilai, kesamaan sikap dan lainnya, akan membuat hubungan terhindar dari banyak konflik. Akan tetapi hidup merupakan proses. Manusia semakin berkembang dari waktu ke waktu. Perubahan merupakan suatu keniscayaan. Masing-masing pasangan pastilah akan berubah menjadi berbeda, minimal karena bertambahnya pengalaman hidup. Kita mungkin cukup similar atau sama dengan pasangan kita saat ini. Akan tetapi 10 tahun mendatang, apakah kita bisa menjamin kita akan tetap sama? Oleh karena itu kesamaan belaka tidaklah cukup dalam sebuah pernikahan yang langgeng dan sukses. Jauh lebih penting adalah komitmen untuk ‘berbicara’. Melalui komitmen untuk berbicara, berbagai perbedaan dan konflik yang timbul bisa didiskusikan dan dicari pemecahannya bersama sehingga bisa memberi kepuasan bersama pula.
Setelah melakukan observasi terhadap lebih dari 2000 pasangan, John Gottman mencatat bahwa pernikahan yang sehat dan sukses terjadi manakala mereka tidak menghindari adanya konflik, melainkan menghadapinya. Mereka yang sukses agaknya memiliki kemampuan untuk berdamai dengan perbedaan yang ada, kemampuan untuk memahami dan memaafkan. Dalam pernikahan yang berhasil, hubungan yang positif (tersenyum, menyentuh, memuji, tertawa) lima kali lebih banyak daripada hubungan yang negatif (menyindir, menolak, menghina).