Cinta dan budaya kita

Oleh Achmanto Mendatu
-
Tidak ada kata-kata yang lebih menginspirasi dari kata cinta. Ribuan film bertema cinta telah pernah dibuat dan akan terus dibuat lebih banyak lagi. Ribuan buku cinta telah pernah ditulis dan masih akan terus ditulis. Ribuan lagu cinta terus mengalir tak henti-henti. Jutaan kisah cinta terus dibicarakan sepanjang waktu dan masih akan menjadi sumber cerita paling menarik sampai kapanpun. Benarlah kata para penyair, ‘kisah cinta adalah kisah tentang keabadian’.

Apabila diadakan survei tentang buku-buku, film-film, lagu-lagu, dan kisah-kisah apa saja yang paling terkenal di dunia, kita akan menemukan semuanya bertemakan cinta. Bila kita membatasi pada cinta romantik saja, pastilah dalam sepuluh film paling terkenal, sepuluh lagu paling terkenal, sepuluh buku paling terkenal, sepuluh kisah paling terkenal, 7 diantaranya merupakan kisah cinta romantik. Ini perkiraan saja, tapi rasanya ini bisa dibuktikan. Ambil contoh, film yang paling banyak menghasilkan oscar, paling banyak di tonton dan paling banyak menghasilkan uang, apalagi kalau bukan ‘Titanic’. Film cinta romantis diatas kapal ‘Titanic’ yang dibintangi oleh Leonardo di Caprio dan Kate Winslet itu tak pelak masih merupakan film paling terkenal yang pernah dibuat. Theme song film tersebut, yakni ‘My heart will go on’ yang dinyanyikan penyanyi Kanada, Celine Dion, juga turut menikmati popularitas luar biasa dan menjadi salah satu lagu paling populer di dunia.

Berbagai kisah mendapatkan keabadian karena bertemakan cinta. Banyak diantaranya kita ingat di luar kepala karena begitu terkenalnya seperti kisah Samson and Delilah, kisah Oedipus dan Odissey, kisah Ratu Mesir Cleopatra, kisah persembahan cinta sang raja Shah Jehan pada permaisuri Mumtaz Mahal berupa Taj Mahal di India, kisah Rama dan Sinta, dan berbagai kisah lainnya yang telah berumur ribuan tahun. Beberapa yang umurnya lebih muda, diantaranya kisah Layla-Majnun, kisah Romeo dan Juliet, kisah Putri Salju, dan kisah Cinderella. Dari negeri kita sendiri, siapa tak mengenal kisah Siti Nurbaya, kisah Romi dan Juli, kisah Sampek-EngTay, atau yang lebih tua adalah kisah Pronocitro dan Roro Mendut, kisah Loro Jonggrang, kisah Sangkuriang, kisah Ande-ande lumut, dan banyak lainnya. Hampir setiap kebudayaan di dunia memiliki cerita rakyatnya sendiri mengenai cinta romantik.

Sekarang ini, kisah-kisah yang menghiasi keseharian kita juga berpusat pada tema cinta. Lihatlah sinetron-sinetron dan film yang ditayangkan di televisi, hampir seluruhnya merupakan kisah cinta, mulai dari kisah cinta ABG, mahasiswa, sampai orang-orang dewasa yang mapan.

Cerita cinta memang cerita terbesar umat manusia. Cerita cinta telah menggema diwaktu lampu, tetap menggema di waktu sekarang, dan akan terus bergema diwaktu yang akan datang. Hal itu membuktikan bahwa cinta adalah sumber inspirasi terbesar umat manusia. Karena cinta orang rela bersakit-sakit, menderita, dan bahkan mengorbankan nyawa. Karena cinta pula orang berbahagia, mencipta berbagai karya besar, dan mencipta keajaiban dunia.

Cinta dalam agama-agama

Agama-agama yang mengklaim sebagai pembawa kebahagiaan bagi umat manusia, tak luput memberikan pandangannya tentang cinta, sebab cinta dianggap sebagai salah satu sumber kebahagiaan terbesar. Agama-agama meletakkan cinta sebagai jiwa dari ajaran-ajaran yang dipunyainya. Hampir semua agama selalu mengklaim bahwa tujuan dari agama mereka adalah untuk menebarkan cinta diantara manusia.

Cinta dalam agama-agama, terutama agama abrahamik (Islam, Kristen, dan Yahudi) memusat kepada cinta terhadap Tuhan. Konsepsi cintanya mendasarkan pada premis, bahwa cinta sejati adalah cinta kepada Sang Pencipta. Sedangkan Sang Pencipta mewujudkan keberadaannya melalui segala sesuatu yang diciptakannya, maka cinta kepada Sang Pencipta bisa juga diartikan sebagai cinta kepada segenap isi dunia; pada sesama, dan pada alam lingkungan seluruhnya.

Secara tegas agama-agama memberikan pula panduan tentang cinta romantik. Islam misalnya, menyarankan sebuah pernikahan sebagai bentuk atau wujud dari cinta, sembari mengutuk keras zina (bahkan pandangan mata yang lama antara sepasang kekasih yang belum menikah bisa dikategorikan zina, apalagi yang lebih dari itu tentunya). Cinta dipandang sebagai citra Tuhan sehingga harus diletakkan pada tempat yang tepat, dalam hal ini hanya diberikan pada pasangannya saja. Lalu Kristen misalnya sangat mengharamkan terjadinya perceraian, atau putusnya hubungan cinta. Orang yang menikah dianggap telah disatukan oleh Tuhan, dan karena itu tidaklah layak manusia memutuskan hubungan yang disatukan oleh-Nya. “Agama cinta” demikian klaim umat kristiani terhadap keyakinannya itu.

Paradoks Cinta

Lebih dari masa-masa sebelumnya, kini kata-kata cinta menjadi jauh lebih populer. Dahulu, cinta tidak dianggap sebagai alasan penting untuk menikah. Bahkan pasangan yang hendak menikah sering tidak pernah berjumpa sebelum dipelaminan. Cinta dianggap akan tumbuh bila telah lama bersama. Etnik Jawa memiliki kata-kata yang bagus untuk menggambarkan hal ini, yakni “witing tresno jalaran soko kulino” yang artinya ‘tumbuhnya cinta karena terbiasa’. Akan tetapi kini hampir semua orang menginginkan adanya cinta sebelum menikah. Tanpa adanya cinta orang-orang umumnya berkeberatan untuk menikah. Alasan ekonomi sebagai dasar untuk menikah tidak populer lagi. Saat ini, alasan emosional (cinta) yang menjadi umumnya penyebab pernikahan atau hidup bersama. Cinta seolah-olah tiket wajib memasuki pernikahan. Akibatnya bila cinta telah menghilang dalam pernikahan, artinya tiket pernikahan habis masa berlakunya, maka itu sudah cukup sebagai alasan untuk bercerai.

Kehidupan modern adalah kehidupan yang sangat mengagungkan cinta. Saat ini cinta dianggap jauh lebih penting dibanding pada masa-masa sebelumnya. Orang sangat memimpikan cinta sejati yang dikonsepsikan sebagai cinta tanpa syarat sebagaimana cinta ibu kepada anaknya. Dimana-mana orang berharap akan adanya seseorang yang mencintainya apa adanya. Tidaklah mengherankan bila kini jawaban setiap orang hampir sama bila ditanya “Cinta dari orang seperti apakah yang engkau inginkan?” Mereka akan menjawab “Cinta dari orang yang mencintaiku apa adanya diriku.”

Tidak seperti masa-masa sebelumnya, dalam budaya modern sekarang ini, setiap pasangan berkesempatan membuat komunikasi antar pasangan, keintiman, kesenangan, dan seks yang lebih kaya dalam mengekspresikan cinta. Disisi lain tingkat perceraian yang tinggi merupakan peringatan bagi kita untuk jangan terlalu mempercayai cinta. Mudah kita temui betapa bergeloranya pasangan yang hendak menikah tapi hanya beberapa waktu setelah pernikahan yang ada hanyalah perceraian. Karenanya meskipun cinta menjadi semacam keharusan dalam memasuki gerbang pernikahan, hal itu kurang dapat menjadi jaminan akan kehidupan pernikahan yang langgeng. Cinta memang penting. Akan tetapi cinta hanyalah salah satu dari sekian banyak faktor dalam hubungan yang langgeng dan memuaskan.

Sangatlah mudah kita jumpai orang-orang yang kebingungan dengan dirinya sendiri dalam perkara cinta. Di satu sisi mereka sangat meyakini dan mengagungkan cinta, tapi disisi lain mereka merasa cinta menghambat kehidupan pribadi. Seolah-olah antara cinta dan karir sesuatu yang kontradiktif. Akan tetapi sementara itu kedua-duanya, baik cinta maupun karir begitu diagungkan. Akibatnya orang hanya mampu memilih salah satunya. Ketika orang memilih karir, maka ia harus lekas melupakan kehidupan cinta. Ketika seseorang memilih cinta, maka ia harus melupakan karir, atau setidaknya tidak lagi terlalu ambisius. Kenyataan ini bermula dari anggapan bahwa karir ataupun cinta sama-sama menyerap keseluruhan waktu. Oleh karena itu tidaklah mungkin memilih dua-duanya. Apalagi hubungan cinta membuat orang harus lebih sering mengkompromikan dirinya. Dan itu kontradiktif dengan semangat individualistik yang dijadikan patron dalam kehidupan modern sekarang ini.

Tidaklah mengherankan sekarang ini free sex begitu berkembang. Disatu sisi mereka masih sangat memerlukan seks, dan itu harfiah sebagai manusia, disisi lain mereka ketakutan untuk menjalin komitmen hubungan cinta. Sebab hubungan cinta yang serius lebih sering dirasakan sebagai gangguan, ketimbang berkah. Tapi meski begitu mereka tetap meyakini dan merindukan cinta. Maka tumbuh suburlah free sex, sebagai jalan tengah. Maka juga tak perlu heran mengapa para pelaku free sex selalu berawal dari anak-anak muda yang memiliki karir bagus dan penghasilan bagus, serta mereka yang memiliki semangat individualistik dan berkompetisi yang tinggi.

Fenomena diatas terlihat jelas bersisi ganda. Jejaknya bisa ditelusuri dalam kultur kehidupan modern. Disatu sisi budaya modern mengajak manusia untuk sungguh-sungguh mempercayai cinta, tapi sementara itu mereka ketakutan untuk benar-benar mempercayainya. Hochschild (1998) menyebut hal ini sebagai “Paradox of Love”. Saat orang merasa bebas untuk mencintai seperti yang dinginkan, dan untuk mempercayai cinta sebagai dasar dari tindakan, mereka juga merasa khawatir melakukannya karena cinta mudah pupus, mati, dan berganti dengan cinta yang baru. Cinta memang sebuah paradoks.

Cinta dan dan Batasan Norma

Apabila cinta begitu alamiah, begitu dibutuhkan, dan seringkali sangatlah indah, mengapa kita memiliki batasan-batasan moral tentangnya? Pepatah mengatakan ‘cintai istrimu, anak-anakmu, tetanggamu, saudara-saudaramu, tetapi jangan kau cintai sekretarismu’. Artinya objek cinta pun telah pula diatur dan dibatasi. Batasan itu muncul justru karena cinta begitu mempengaruhi manusia dan bisa menimbulkan energi besar bagi manusia untuk melakukan sesuatu. Agar cinta tidak merusak tatanan, maka batasan diciptakan untuknya.

Pernahkah anda mendengar kisah Sangkuriang, seorang anak yang mencintai ibunya sendiri sehingga ingin mengawininya? Dari perspektif cinta itu sendiri tentu tak ada salahnya. Akan tetapi dari segi moral apapun hal demikian jelas terlarang. Namun batasan moral tentang cinta sebenarnya bisa bergeser dari waktu ke waktu. Bila pada masa lalu sesama saudara kandung bisa menikah, seperti keluarga para kaisar Romawi, kini sesama saudara kandung ditabukan untuk menikah. Bila pada masa lalu, berciuman sebelum menikah sebuah tabu besar, saat ini mulai diijinkan. Di masa lalu, ada masanya orang berpacaran hanya saling melihat melalui lubang dinding rumah. Saat ini jalan-jalan bergandengan tangan telah dimaklumi bersama. Hal-hal demikian jelas membuktikan adanya perubahan batasan moral tentang cinta.

Masyarakat kita memberikan batasan-batasan cinta yang baik dengan jelas dan ketat. Mencintai istri atau kekasih orang merupakan tabu. Cinta romantis kepada ibu, kepada ayah, kepada anak, kepada saudara kandung, dan saudara sedarah lainnya jelas sebagai cinta terlarang. Demikian juga cinta romantis kepada orang yang usianya jauh lebih tua atau jauh lebih muda kurang dapat diterima. Saat ini cinta romantis kepada sesama jenis belum dapat diterima akan tetapi agaknya tidak lama lagi akan diterima. Gejalanya mengarah kesana dimana orang semakin terbuka terhadap fenomena lesbian dan homoseksual. Tahun 2003 muncul sebuah novel tentang Lesbian (“Garis Tepi Seorang Lesbian”, yang ditulis oleh Herlinatiens) dan meledak. Oplahnya mencapai puluhan ribu eksemplar. Hal ini menyiratkan mulai adanya penerimaan terhadap fenomena itu di masyarakat. Mungkin saja, hubungan cinta antara perempuan atau antara laki-laki akan dimaklumi bersama pada suatu waktu nanti sebagaimana yang telah terjadi di beberapa negara.