Oleh Achmanto Mendatu
Setiap budaya memiliki dunia batinnya sendiri. Manusia dalam budaya tertentu mempersepsi dunia sekitar mereka dan memahaminya secara khas. Fenomena yang sama mungkin saja akan dilihat, dipersepsi dan ditafsirkan secara berbeda oleh orang dari budaya berbeda. Misalnya angin ribut yang memporak-porandakan rumah mungkin akan dipahami sebagai gejala alam biasa oleh orang minang, dipahami sebagai pertanda tertentu oleh orang jawa, dan dipahami sebagai pekerjaan hantu oleh Orang Rimba.
Orang Rimba memiliki cara yang khas dalam memahami dunia sekitar yang merupakan hasil dari interaksinya dengan alam dan kelompok manusia lainnya selama ribuan tahun. Mereka mengembangkan dunia batin yang cocok dan sesuai dengan kondisi mereka. Dunia batin itu mempengaruhi cara mereka dalam memahami sesuatu dan dalam bertindak. Ide tentang dunia atau dunia batin mewujudkan dirinya dalam bentuk riil yakni sistem kepercayaan, mitos, adat, struktur sosial, trait psikologis dan sebagainya.
“Orang Rimba memiliki kepercayaan dinamisme dan animisme. Mereka mempercayai kekuatan alam. Mereka memuja roh nenek moyang. Mereka memiliki banyak Dewa yang mereka anggap Tuhan. Akan tetapi mereka sesungguhnya tidak benar-benar bertuhan. Mereka benar-benar masih merupakan masyarakat primitif....” Demikianlah salah satu komentar terhadap Orang Rimba yang dilontarkan oleh salah seorang penduduk desa yang dekat dengan kawasan hutan tempat tinggal Orang Rimba.
Komentar diatas menumbuhkan keingintahuan saya mengenai kepercayaan Orang Rimba. Dengan minat bagaikan anak kecil yang ingin tahu isi sebuah kebun binatang setelah mendengar betapa menariknya isi kebun binatang, saya berupaya mencari tahu seperti apa sebenarnya kepercayaan Orang Rimba. Sayangnya Orang Rimba yang saya temui tidak bercerita sebanyak yang saya harapkan. Tapi mungkin hal itu dikarenakan memang tidak banyak yang bisa mereka ceritakan. Untungnya ada beberapa literatur yang juga menceritakan mengenai kepercayaan Orang Rimba.
Mitologi Penciptaan
Sama seperti setiap sistem kepercayaan lainnya, Orang Rimba juga memiliki mitologi mengenai penciptaan. Mereka memiliki suatu mitologi yang menjelaskan terjadinya kehidupan. Menurut mitologi Orang Rimba, pada awal kehidupan tidak ada sesuatupun kecuali Tuhan. Dunia beserta segala sesuatu yang ada belum ada, yang ada adalah ketiadaan. Lantas Tuhan berkehendak menciptakan kehidupan. Maka diciptakanlah kuntul putih (langit) dan gagak hitam (bumi beserta segala isinya). Sejak penciptaan itulah maka kehidupan dimulai.
Mitologi penciptaan Orang Rimba tampaknya dipengaruhi oleh persentuhan mereka dengan para penganut agama Islam. Bukti kuat dari adanya pengaruh itu adalah kisah tentang manusia pertama. Menurut mereka, manusia pertama yang ada di bumi adalah Nabi Adam. Mereka adalah keturunan Nabi Adam dan merasa paling dekat dengannya. Kedekatan itu terbukti dalam pemeliharaan adat atau aturan yang berasal dari nenek moyang. Kaum yang tidak lagi memelihara aturan nenek moyang berarti keturunan yang jauh hubungannya dengan Nabi Adam. Berbeda dengan Orang Rimba yang selalu memelihara aturan dan adat dari nenek moyang. Artinya, merekalah yang paling dekat dengan Nabi Adam.
Penolakan terhadap agama lain selain apa yang sudah diyakini juga berasal dari keyakinan akan kedekatan hubungan dengan Nabi Adam. Menurut mereka agama yang mereka yakini adalah agama Nabi Adam. Mereka percaya dan yakin akan hal itu karena mereka dan nenek moyang mereka tidak pernah mengubah apapun yang sudah ada. Oleh karena itu mengikuti agama lain yang berasal dari nabi lebih rendah tidak mau mereka lakukan. Misalnya agama Islam tidak mau mereka ikuti karena dibawa oleh Nabi Muhammad yang merupakan nabi terakhir.
Orang Rimba percaya bahwa manusia berasal dari tanah. Hal itu terlihat jelas dari kepercayaan mereka mengenai ilmu kebal. Sehebat apapun orangnya, menurut mereka tidak ada orang yang kebal dengan senjata yang telah ditancapkan di tanah. Hal itu dikarenakan manusia berasal dari tanah. Oleh karena itu biasanya mereka menancapkan salah satu senjata ditanah sekitar rumah untuk berjaga-jaga kalau ada pengganggu yang memiliki ilmu kebal.
Ketuhanan Orang Rimba
Tuhan dalam konsepsi Orang Rimba adalah pencipta segala sesuatu. Esensi Tuhan ada di dalam segala sesuatu. Namun kehadiran Dzat Tuhan itu sendiri sesuatu yang gaib. Tidak ada yang mengetahui keberadaan Tuhan. Mereka membandingkan antara esensi Tuhan dengan Dzat Tuhan yang gaib dengan fenomena burung gading. Menurut kepercayaan Orang Rimba, burung gading adalah burung penjelmaan Tuhan. Ketika burung gading memperdengarkan suaranya yang merdu, saat itulah sama dengan esensi Tuhan yang bisa dirasakan, namun burung gading itu sendiri tidak pernah terlihat, halmana menunjukkan kegaiban dzat Tuhan. Kadang Orang Rimba menyebut Tuhan dengan ungkapan Allah. Tampaknya ungkapan itu merupakan hasil dari pengaruh Islam.
Orang Rimba mempercayai Dewo dan Dewi yang fungsi dan perannya mirip dengan Tuhan dalam konsepsi agama monotheis. Namun meski demikian nyatanya mereka juga mempercayai Tuhan tunggal sebagai pencipta alam, sehingga konsep ketuhanan Orang Rimba sangat unik sekaligus membingungkan. Peran Tuhan tertinggi sebagai pencipta alam seolah-olah hanya untuk menjelaskan tentang penciptaan kehidupan. Karena pada kenyataannya, meskipun eksistensi Tuhan tertinggi diakui akan tetapi hampir tidak pernah disinggung dalam kehidupan keseharian. Dewa serta Dewi yang selalu disinggung dan benar-benar berperan dalam kehidupan. Dewa dan Dewi adalah tujuan berdoa, tujuan meminta ampun, dianggap yang akan menjatuhkan kesenangan maupun kutukan, dan lainnya. Misalnya ketika takut melakukan sesuatu karena merupakan pantangan, mereka umumnya beralasan “nanti dikutuk Dewo.”
Mengikuti pendapat Wilhelm Schmidt, dalam bukunya ‘The Origins of The Idea of God’, Orang Rimba agaknya telah memiliki kepercayaan monoteis primitif. Namun lama kelamaan kepercayaan itu memudar karena Tuhan dianggap sesuatu yang suci dan sakral sehingga tidak ada ritus apapun yang memadai yang ditujukan untuk-Nya. Oleh karena itu kepercayaan terhadap Tuhan tunggal perlahan memudar karena tidak hadir dalam keseharian Orang Rimba, dan digantikan dengan kepercayaan terhadap banyak Dewa. Kepercayaan terhadap banyak Dewa terus bertahan karena lebih menarik dan bersifat praktikal. Baru setelah adanya persentuhan dengan dunia luar, terutama Islam, konsepsi Tuhan tunggal sebagai pencipta alam diadopsi kembali. Meski demikian perannya di dalam kehidupan tetap sangat kurang atau malah hampir tidak ada. Dewo dan Dewi yang dianggap sebagai pengatur tatanan kehidupan. Seluruh dimensi kehidupan diatur dan dimiliki oleh Dewo dan Dewi. Merekalah sumber dari kesehatan, kesenangan, rezeki, sakit dan segala sesuatu yang lainnya. Sehingga secara praksis Dewo dan Dewi-lah Tuhan mereka sesungguhnya. Oleh karena itu agaknya sah bila mereka disebut berkepercayaan polytheistik.
Sesuai sebutannya, Dewo dan Dewi berjumlah lebih dari satu. Tidak ada yang paling utama diantara Dewa dan Dewi itu. Mereka memiliki tempat tinggal tertentu, seperti di sungai (di hulu maupun di hilir), di pinggir sungai dan di puncak bukit. Yang menarik ternyata Orang Rimba mengklasifikasikan Dewo dan Dewi ke dalam dua kategori bertentangan, yakni Dewo dan Dewi pembawa kebaikan serta Dewo dan Dewi pembawa keburukan. Dewo dan Dewi yang tinggal di hulu sungai dianggap sebagai pembawa kebaikan, sebaliknya yang tinggal dihilir sungai dianggap pembawa keburukan. Pembagian itu tampaknya terkait dengan interaksi Orang Rimba dengan orang Melayu. Daerah hilir sungai merupakan daerah orang Melayu. Melalui interaksi dengan orang Melayu, Orang Rimba mendapat berbagai penyakit menular dan ganas seperti cacar. Selain itu orang Melayu juga sering menangkap Orang Rimba untuk dijadikan budak.
Setan dan malaikat
Tidak berbeda jauh dengan konsepsi agama Abrahamik mengenai setan dan malaikat yang saling bertentangan satu sama lain, Orang Rimba pun memiliki konsepsi mengenai setan dan malaikat yang serupa. Setan adalah makhluk gaib yang sifatnya merusak dan mengganggu manusia. Setan memiliki wilayah kekuasaan tertentu, misalnya bukit. Menurut Orang Rimba, setan tidak meninggalkan daerah kekuasaannya. Daerah yang dianggap dikuasai setan tidak akan ditempati oleh Orang Rimba, karena akan menimbulkan berbagai musibah dan penyakit. Setan akan marah kalau daerah kekuasaannya diganggu. Oleh karena itu untuk menghindari kemarahan setan, daerah yang dianggap dikuasai setan tidak dilewati. Kalaupun terpaksa, tidak boleh merusak tumbuhan atau benda yang ada di tempat tersebut.
Di dalam rimba terdapat juga makhluk gaib sejenis dengan setan, yakni hantu. Tidak berbeda dengan setan, kerja hantu adalah merusak. Hantu dikonsepsikan sebagai mahluk gaib yang bisa bergerak. Hantu bisa menyatukan diri dengan angin ribut dan hujan yang sangat deras serta lama. Apabila ada angin ribut atau hujan deras merusak rumah, ladang, dan hutan, maka menurut Orang Rimba pastilah ada hantu yang menyatukan diri dengan angin ribut dan hujan tersebut.
Hampir setiap kelompok budaya di Indonesia mengenal adanya hantu yang suka menyembunyikan anak-anak. Misalnya etnis jawa mengenal jenis hantu yang disebut wewe. Demikian juga Orang Rimba mengenal jenis hantu yang suka menyembunyikan anak-anak. Mereka menyebutnya hantu garo-garo. Secara harfiah hantu garo-garo mungkin bermakna hantu pembuat gara-gara
Hantu garo-garo adalah hantu perempuan. Kemunculannya memiliki sejarah. Diceritakan pada zaman dahulu kala ada seorang ibu yang kehilangan bayinya. Karena sangat sedih, maka sang ibu meninggal. Setelah meninggal, arwah sang ibu berusaha mencari anaknya dan rohnya berubah menjadi hantu. Namun karena menurut sang hantu anaknya tentu sudah beranjak besar, maka yang dicari adalah anak yang sudah cukup besar. Hantu garo-garo tidak akan menyembunyikan anak yang masih baru dilahirkan. Oleh karena itu anak-anak yang mulai tumbuh besar selalu dipasangi jimat oleh orang tuanya. Jimat itu berguna untuk menangkal hantu garo-garo. Biasanya jimat dipakaikan seperti kalung. Apabila hantu garo-garo sudah menyembunyikan anak, maka sang anak harus diminta kembali dengan cara tertentu. Bila tidak maka sang hantu tidak akan mengembalikan anak yang dibawa untuk selama-lamanya. Menurut cerita Sediah, salah seorang remaja rimba, adiknya, yakni Begenyek pernah disembunyikan hantu garo-garo selama beberapa hari. Begenyek sendiri mengakui bahwa dirinya pernah dibawa hantu garo-garo.
Fakta bahwa hampir setiap budaya memiliki cerita tentang hantu pembawa anak-anak sangatlah menarik. Mungkin cerita tentang hantu itu adalah penjelasan atas perginya anak-anak yang sering tidak diketahui oleh orang tuanya. Adalah hal biasa apabila anak-anak yang dibesarkan di lingkungan alam yang memiliki ruang luas seperti halnya desa maupun hutan, pergi untuk memuaskan rasa ingin tahunya maupun sebagai bentuk protes (minggat). Karena luasnya ruang, maka sang anak seringkali tidak dapat ditemukan dengan segera. Kadangkala sang anak tersesat. Dalam kondisi bingung, takut, ataupun tertekan, anak-anak biasanya menggunakan kekuatan fantasinya yang kuat sebagai mekanisme untuk menentramkan diri dan bertahan. Fantasi itu biasanya berkisar pada kenikmatan, baik karena makanan yang lezat maupun kondisi yang menyenangkan lainnya. Namun fantasi yang berkembang bisa juga hal-hal yang bersifat menakutkan.
Orang-orang dewasa hanya memiliki satu penjelasan mengapa sang anak tidak bisa ditemukan, yakni melalui kacamata supranatural. Anak hilang dianggap dibawa hantu. Hal itu wajar mengingat hampir setiap budaya di Indonesia sangat mempercayai kekuatan supranatural. Segala sesuatu yang tidak atau belum dapat dijelaskan dengan nalar akan dikaitkan dengan dunia supranatural. Mereka belum atau tidak memiliki penjelasan dari sisi manusianya saja. Mereka tidak dapat menjelaskan alasan sang anak pergi berdasarkan kondisi psikologis sang anak semata. Maka penjelasan dari sisi supranatural adalah penjelasan yang paling masuk akal dan paling bisa diterima. Lalu cerita tentang dibawa hantu diperkuat oleh cerita dari sang anak hilang sendiri. Fantasi yang sangat kuat boleh jadi membuat sang anak merasakan fantasinya sebagai kenyataan. Meskipun ingatan tentang fantasinya sendiri samar-samar namun biasanya sang anak mampu menceritakan fantasinya yang luar biasa kepada orang-orang dewasa. Akibatnya orang-orang dewasa semakin yakin bahwa sang anak dibawa oleh hantu. Seterusnya berkembanglah cerita tentang hantu pembawa anak.
Cerita tentang hantu pembawa anak dipastikan fungsional dalam kehidupan. Bila tidak, cerita itu akan lenyap. Sebab hanya cerita yang bermanfaat yang akan terus bertahan. Fungsi pertama cerita itu adalah menjelaskan atas sesuatu yang belum diketahui. Sudah menjadi sifat manusia untuk memahami dan menjelaskan segala sesuatu yang terjadi di lingkungannya. Apabila tidak dapat menjelaskan, manusia akan merasa terancam. Adanya cerita hantu pembawa anak menentramkan karena mereka tahu sebab kejadian anak hilang. Selain itu salah satu fungsi cerita hantu pembawa anak mungkin adalah untuk sarana menakut-nakuti anak-anak agar tidak berbuat tidak baik. Kenyataannya anak-anak rimba sangat takut bila ditakut-takuti dengan cerita hantu pembawa anak. Tampaknya cerita itu merupakan alat kontrol perilaku anak-anak yang ampuh.
Berbeda dengan setan dan hantu, malaikat adalah makhluk gaib yang menjaga manusia, terutama menjaga dari gangguan setan dan hantu. Menurut Orang Rimba, malaikat hampir setingkat dengan dewa akan tetapi selalu berada di sekitar Orang Rimba. Adanya malaikat membuat manusia aman. Namun demikian, apabila manusia berbuat tidak baik maka malaikat bisa pergi. Apabila ditinggal malaikat manusia menjadi rentan terhadap gangguan setan dan hantu. Orang yang diganggu hantu atau setan adalah mereka yang telah ditinggalkan malaikat.
Alam bagi Orang Rimba
Orang Rimba membagi alam dalam dua kategori yang berlawanan yakni dunia nyata (halom nio) dan dunia atas (halom Dewo). Halom Nio adalah alam raya yang ditempati Orang Rimba. Mereka menyebut juga sebagai halom kasar. Halom Dewo adalah dunia yang juga akan ditempati oleh Orang Rimba yang telah meninggal. Orang Rimba menyebutnya juga sebagai halom haluy (dunia halus). Antara kedua alam tersebut bisa saling berhubungan. Penghuni halom haluy bisa terus memantau keadaan Orang Rimba yang ada di halom kasar. Sebaliknya penghuni halom kasar juga bisa berhubungan dengan penghuni halom haluy melalui perantara malim atau pemimpin spiritual Orang Rimba.
Orang Rimba menganggap diri mereka sebagai bagian dari alam semesta (halom). Mereka adalah bagian yang integral di dalam alam. Orang Rimba adalah alam dan alam adalah Orang Rimba. Mereka dan alam adalah satu. Dalam kepercayaan Orang Rimba, alam semesta tidak berkembang. Sejak penciptaan, langit dan bumi seisinya sudah demikian adanya. Mereka hanya tinggal meneruskan apa yang sudah ada dan tidak perlu dirubah. Mereka memiliki keyakinan bahwa merubah alam akan merubah Orang Rimba, sebaliknya jika Orang Rimba berubah maka alam pun akan ikut berubah. Oleh sebab itu mereka sangat kritis dengan perubahan. Selain itu, keengganan untuk berubah juga ditunjang oleh ketakutan akan kutukan nenek moyang. Roh nenek moyang yang tinggal di halom haluy yang membuat berbagai macam aturan adat akan marah dan menjatuhkan kutuk apabila anak keturunannya, yakni Orang Rimba tidak menaati adat. Akibat dari kepercayaan itu mereka menjalani kehidupan yang kurang lebih sama dengan kehidupan yang dijalani nenek moyang mereka ratusan tahun silam. Mereka sangat berhati-hati dengan perubahan karena perubahan dianggap akan merubah alam (halom). Oleh karena itulah pada masa lalu Orang Rimba dikenal sangat anti dengan perubahan. Bahkan menurut cerita, dahulu mereka sama sekali tidak mau bertemu orang asing.
Ada ungkapan yang biasa dipakai Orang Rimba untuk menolak terjadinya perubahan, yakni “sejak gagak hitam, kuntul putih diciptakan Tuhan...”, yang artinya ‘sejak Tuhan menciptakan langit dan bumi seisinya...’. Ungkapan itu biasa digunakan dalam musyawarah untuk menolak terjadinya perubahan. Bila ungkapan diatas disampaikan, maka maknanya adalah sesuatu (yang dibicarakan, baik adat ataupun lainnya) tidak perlu dirubah karena sesuatu itu sudah demikian adanya sejak awal mula alam semesta diciptakan. Ungkapan lain yang menggambarkan paham fatalis dan pasifis terhadap perubahan adalah ‘alam sekato Tuhan’. Artinya alam seisinya termasuk manusia dalam keadaan yang telah ditakdirkan demikian oleh Tuhan. Apapun kondisinya itulah yang telah ditentukan Tuhan bagi alam dan manusia. Oleh karena itu manusia tidak berhak merubah apapun karena merubah dengan sengaja berarti menentang kehendak Tuhan.
Saat ini kepercayaan tentang alam yang statik mulai memudar seiring dengan persentuhan Orang Rimba dengan masyarakat luar yang tidak dapat dihindari. Misalnya pada awal proses pemberian pengajaran baca tulis dan berhitung yang diselenggarakan untuk Orang Rimba oleh LSM Warsi mendapat banyak tentangan dari Orang Rimba karena khawatir akan merubah alam. Mereka menyadari bahwasanya adanya pendidikan akan banyak mengubah berbagai dimensi kehidupan mereka. Namun saat ini mereka menjadi antusias dengan pendidikan karena menyadari bahwasanya apabila mereka tidak berubah menjadi pintar, mereka hanya akan menjadi orang-orang kalah. Demikian juga berbagai pengetahuan dan teknologi baru diserap dengan cepat oleh Orang Rimba.
Dalam kepercayaan Orang Rimba terdapat juga konsep tentang surga dan neraka. Kedua tempat itu berada di dunia sesudah mati. Surga merupakan tempat bagi manusia yang baik dan taat pada aturan adat. Sebaliknya neraka adalah tempat bagi manusia yang jahat dan tidak taat pada aturan adat. Neraka memiliki panas tidak terbayangkan. Percikan api neraka sama panasnya dengan seluruh api yang ada di dunia.
Namun agak mengherankan ketika beberapa Orang Rimba ditanya mengenai surga dan neraka, mereka menyatakan tidak khawatir dan tidak perduli dengan keberadaannya. Tampaknya mereka memang tidak terlalu perduli. Hampir tidak pernah didengar anak-anak ditakuti dengan ancaman neraka. Kosa kata nerakan hampir tidak pernah didengar. Artinya, surga dan neraka hampir tidak memiliki fungsi praktis dalam kehidupan keseharian.
Konsepsi tentang arwah
Orang Rimba percaya bahwa roh atau arwah nenek moyang senantiasa berada di sekitar mereka dan mengawasi segala tindak tanduk Orang Rimba yang masih hidup. Roh nenek moyang dianggap mengetahui apa yang tidak diketahui oleh Orang Rimba yang masih hidup. Mereka juga percaya bahwa roh mengalami emosi sebagaimana manusia yang masih hidup. Selain itu Orang Rimba meyakini bahwa roh masih dapat aktif berbuat sesuatu di dunia nyata dengan cara menjatuhkan kutuk.
Roh orang yang meninggal dunia akan berjalan ke hentew (suatu tempat yang dikonsepsikan sebagai alam roh dan berada di dekat dunia Tuhan). Roh orang yang belum tinggi tingkat spiritualitasnya akan tinggal di hentew. Sedangkan roh orang yang sudah tinggi tingkat spiritualitasnya juga akan pergi ke hentew namun untuk sementara. Di hentew, roh akan menanggalkan berbagai sifat keduniawian. Setelah bersih dari sifat-sifat duniawi, roh akan berjalan menuju dunia Tuhan dan menjadi malaikat. Apabila tingkat spiritulitasnya benar-benar mumpuni, setelah jadi malaikat roh bisa menjadi dewa.
Menurut Orang Rimba, roh nenek moyang bisa marah apabila Orang Rimba yang masih hidup melanggar berbagai aturan yang telah ditetapkan karena berarti tidak menghormati nenek moyang. Pelanggaran aturan meliputi melanggar pantangan, berbuat tidak sopan, dan merubah adat. Apabila roh nenek moyang marah, maka roh tersebut bisa menjatuhkan kutuk terhadap si pelanggar maupun terhadap Orang Rimba keseluruhan. Tanda bahwa Orang Rimba mendapat kutuk dari nenek moyang diantaranya adalah terkena musibah, hidup menderita, bertanam padi tidak pernah berhasil, berburu tidak dapat-dapat, menjerat tidak pernah kena, dan lainnya.
Tidak hanya marah, roh nenek moyang juga merasakan senang. Roh nenek moyang akan merasa senang apabila anak keturunannya taat pada aturan adat. Oleh karena itulah Orang Rimba akan berusaha sedapat mungkin melaksanakan aturan adat, karena selain untuk menghindari kutuk juga untuk menyenangkan roh nenek moyang. Tanda bahwa roh nenek moyang senang terhadap perilaku Orang Rimba adalah kehidupan yang aman dan tenteram, tidak ada musibah yang datang, berhasil dalam panen padi dan lainnya.
Orang Rimba memiliki upacara untuk menghadirkan roh nenek moyang. Esensinya tidak berbeda dengan berbagai upacara serupa yang dilaksanakan oleh berbagai budaya di seluruh dunia, seperti misalnya pesta aruh ganal oleh etnis Dayak di Kalimantan, atau upacara sesajen pada etnis jawa. Roh dihadirkan dalam rangka penghormatan dan atau untuk pengobatan. Upacara menghadirkan roh pada Orang Rimba disebut sale. Upacara tersebut di pimpin oleh malim, yakni pemimpin spiritual Orang Rimba.
Sale biasanya diselenggarakan ketika kelahiran bayi dan perkawinan. Tujuannya adalah menghadirkan roh nenek moyang agar memberkati. Selain itu sale juga diselenggarakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan dengan obat-obatan. Upacara sale tertutup bagi orang luar. Sangat jarang ada orang luar yang diperbolehkan untuk melihat upacara sale.
Balai adalah tempat pelaksanaan sale. Balai juga tertutup bagi orang luar, setidaknya sampai selesai digunakan. Apabila balai sudah selesai digunakan barulah boleh dilihat. Oleh karena itu balai biasanya dibuat di tempat-tempat yang kecil kemungkinannya didatangi orang. Ketika saya pertama kali datang ke Kedondong Mudo, yakni suatu kawasan dimana sekelompok Orang Rimba Makekal tinggal, disana sedang ada ibu yang baru saja melahirkan dan akan diselenggarakan upacara sale. Oleh Orang Rimba saya diajak jalan agak berputar agar saya tidak melihat balai.
Menurut sebuah sumber, balai yang digunakan untuk upacara sale dalam rangka menyambut kelahiran bayi berukuran kurang lebih sekitar 3 X 5 meter. Balai dibuat oleh kerabat dekat dari yang akan diupacarakan, yakni sang bayi. Sedangkan balai untuk perkawinan ukurannya sekitar 8 X 12 meter dan dibuat secara bersama-sama oleh Orang Rimba. Balai dibuat berlantai panggung. Alasnya terdiri dari gelondongan batang kayu ukuran sedang. Dindingnya dari kulit kayu setinggi pinggang. Atapnya menggunakan daun serdang. Setiap balai hanya memiliki dua pintu keluar.
Melahirkan
Bagi masyarakat yang memiliki tingkat kematian sangat tinggi seperti halnya Orang Rimba, kelahiran bayi merupakan kejadian yang dianggap sangat penting. Bayi yang lahir merupakan pertanda bahwa kelompok mereka bisa terus berlanjut. Upacara untuk menyambut bayi pun dilakukan. Pada saat hamil delapan bulan, anggota keluarga terdekat telah menyiapkan tempat khusus untuk melahirkan, yakni tano peranakan. Tempat khusus untuk melahirkan itu terpisah jauh dari rumah. Hanya suami, dukun bayi dan anggota keluarga terdekat yang boleh datang ke sana. Pada saat menjelang upacara sale mereka juga menyiapkan balai sebagai tempat upacara. Sale diselenggarakan pada hari dimana diperkirakan bayi akan lahir. Tujuannya agar sang bayi mendapat berkah dari nenek moyang serta berumur panjang.
Proses kelahiran bayi dianggap penuh dengan bahaya. Hantu-hantu akan berusaha mengganggu bayi dan ibunya. Tidak jarang gangguan yang berat bisa membunuh ibu dan bayi. Oleh karena itu dalam proses melahirkan, sang ibu ditunggui oleh suami, mertua, orangtua, kakek nenek suami, dan kakek neneknya sendiri. Mereka berharap ibu dan bayi yang ditunggui tidak akan didekati hantu pengganggu. Dengan cemas mereka menunggu. Proses melahirkan seolah dianggap pertarungan hidup mati. Hal itu sebenarnya sangat wajar karena karena tingkat kematian ibu dan anak pada saat melahirkan sangat tinggi.
Setelah melahirkan, ubun-ubun dan tali pusat bayi yang baru lahir diolesi kulit pohon tenggeris. Kulit kayu yang hendak dioleskan itu terlebih dahulu dikerok dengan parang dengan aturan dari atas kebawah. Setelah itu kulit kayu dikeringkan dan siap digunakan. Dalam waktu tujuh hari, tali pusat akan tanggal dan kering. Dalam waktu tujuh hari pula ubun-ubun akan mengeras. Ari-ari bayi (bali anak) yang keluar ditanam di tanah. Disekitarnya diletakkan tiga ranting pohon setubung bercabang tiga. Ari-ari bayi diperlakukan sama seperti anak. Pekuburannya tidak boleh dilewati oleh siapapun dan juga tidak boleh dijadikan ladang.
Sakit dan Kematian
Angka kematian dikalangan Orang Rimba sangat tinggi. Tidak ada keluarga yang tidak memiliki riwayat kematian diantara anggota keluarganya. Umur harapan hidup mereka sangat rendah. Mereka yang berumur 40-an sudah dianggap tua. Secara fisik pun mereka memang cepat tua. Jarang ada yang berumur diatas 50-an, apalagi sampai berumur 70-an. Hal itu mungkin disebabkan oleh rendahnya derajat kesehatan dan kerasnya alam tempat hidup Orang Rimba.
Banyak kematian disebabkan oleh penyakit. Pada tahun 1800-an eksistensi Orang Rimba hampir punah karena serangan penyakit cacar yang mereka peroleh dari interaksi dengan orang luar. Oleh sebab itulah sampai sekarang mereka sangat ketakutan terhadap penyakit cacar. Ketakutan itu seolah mengendap ke bawah sadar. Pengaruhnya sampai merubah dimensi kepercayaan mereka. Dewa-dewi yang tinggal di hilir sungai mendapat predikat bukan Dewa-Dewi yang baik karena penyakit cacar datangnya dari arah hilir sungai, yakni dari daerah orang Melayu. Ditambah lagi dengan keberadaan para penangkap budak yang juga datang dari hilir, makin lengkaplah predikat itu. Hal ini menggambarkan dengan jelas kepada kita bahwasanya Orang Rimba secara terus menerus merubah konsep kepercayaannya agar tetap sesuai.
Dalam kepercayaan Orang Rimba, sebagian penyakit disebabkan oleh gangguan setan dan hantu. Setidaknya ada tiga penyakit yang dianggap perbuatan setan dan hantu, yakni flu, malaria, dan campak. Oleh karena itu mengobati penyakit yang disebabkan oleh setan dan hantu adalah dengan mengusir setan dan hantu tersebut. Pengusiran hantu dilakukan oleh malim. Selain itu penyakit juga bisa disebabkan karena jatuhnya kutuk atas diri si sakit atas perbuatan melanggar adat dan tabu yang dilakukannya.
Apabila terdapat penyakit yang menimpa beberapa orang sekaligus dan tidak dapat disembuhkan dengan obat-obatan tradisional mereka, maka malim, yakni pemimpin spiritual mereka diundang untuk melakukan upacara sale pengobatan. Upacara sale dilangsungkan sepanjang malam. Malim akan membuat ramuan-ramuan yang akan digunakan oleh semua yang sakit. Malim bertindak sebagai pemimpin upacara dan menyanyikan mantera-mantera panjang yang diucapkan tidak jelas. Keluarga si sakit mengikuti proses upacara dari rumah dengan membunyikan berbagai bunyi-bunyian agar setan dan hantu pergi.
Upacara pengobatan penyakit oleh Malim memiliki dimensi serupa dengan yang dilaporkan oleh antropolog Claude Levi Strauss tentang pengobatan oleh dukun. Kepercayaan seluruh masyarakat dan si sakit terhadap dukun menimbulkan suatu reaksi fisiologis sedemikian rupa sehingga si sakit akan sangat tergantung kondisi fisiologisnya terhadap sang dukun. Jika dukun mengatakan sembuh, maka seluruh fisiologis tubuh mengikutinya sehingga si sakit sembuh. Sebaliknya jika dukun mengatakan mati, maka fisiologis tubuh mematuhinya, dimana jantung dan aliran darah secara perlahan akan berhenti.
Ada kepercayaan dikalangan Orang Rimba bahwasanya pengobatan ala Orang Rimba tidak boleh bercampur dengan pengobatan ala orang luar. Bila sudah diobati menurut cara Orang Rimba maka tidak boleh lagi diobati menurut cara orang luar. Demikian juga sebaliknya. Apabila sudah diobati mengikuti cara oarang luar maka tidak boleh lagi diobati menurut cara Orang Rimba. Sediah, salah seorang anak Rimba menceritakan alasannya. Apabila kedua macam pengobatan dilakukan untuk satu jenis penyakit pada satu orang maka pengaruh pengobatan satu sama lainnya akan saling meniadakan. Pengobatan akan sia-sia karena pengobatan tidak akan bekerja, alias menjadi netral. Menurutnya, obat yang dimasukkan ke dalam tubuh hanyalah sarana untuk menyembuhkan tetapi yang menjadikan sembuh atau tidak adalah doa-doa yang menyertai obat tersebut. Pengobatan ala Orang Rimba tentu memakai doa-doa terhadap Dewa-Dewa, sedangkan pengobatan oleh orang luar memakai doa-doa kepada Tuhannya sendiri. Karena Doa yang dipanjatkan untuk Tuhan yang berbeda maka doa tidak akan membawa pebngaruh apa-apa. Artinya pengobatan tidak akan berhasil.
Selain oleh penyakit, kematian banyak disebabkan kecelakaan. Bahkan menurut seorang penduduk yang mengenal hampir seluruh Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas, sebagian besar kematian laki-laki Orang Rimba disebabkan oleh faktor kecelakaan. Mereka meninggal karena tertimpa kayu, jatuh dari pohon, diserang binatang buas dan lainnya. Meskipun demikian penyakit usia tua tampaknya juga menunjang. Seseorang yang koordinasi geraknya sudah tidak bagus lagi namun tetap memaksakan diri naik pohon tentu saja berpeluang sangat besar untuk jatuh.
Jasad orang yang meninggal tidak dikubur. Biasanya jenazah hanya ditinggalkan saja didalam sebuah pondok yang memang dibuat khusus untuk menempatkan jenazah. Pondok jenazah itu disebut pusaron. Lantainya dibuat setinggi leher. Pusaron dibuat khusus ditempat dimana tidak ada orang yang datang. Disana sang jenasah dibiarkan membusuk. “Dari alam maka kembali ke alam”, demikian ungkap Orang Rimba.
Didalam pondok biasanya diletakkan makanan, kain, dan parang. Diluar pondok, anjing orang yang meninggal diikat. Mereka berharap kalau orang yang telah meninggal hidup kembali maka bisa memakan makanan yang disediakan, kain yang ada dipakai dan parang dibawa. Anjing yang diikat diluar akan menuntun orang tersebut kembali ke kelompoknya.
Besesandingon
Besesandingon adalah perpindahan tempat tinggal Orang Rimba dikarenakan adanya penyakit menular di tempat tinggal asal. Apabila mereka tidak pergi mereka khawatir akan tertular. Akan tetapi apabila pergi mereka harus meninggalkan yang sakit, yang artinya sama saja dengan membunuh si sakit. Namun pertimbangan kelanjutan kelompok tetap diutamakan. Mereka memilih untuk meninggalkan tempat terjadinya wabah.
Ada sebuah cerita memilukan mengenai besesandingon. Pada suatu masa pernah terjadi wabah penyakit campak. Beberapa orang telah terkena. Menurut ingatan mereka, penyakit campak adalah penyakit yang bisa membunuh oleh karena itu mereka tidak ingin yang sehat terkena dan meninggal. Kematian satu orang sangat mahal harganya bagi kelompok Orang Rimba yang berjumlah sedikit. Mereka yang belum terkena tidak mau mendekati yang terkena. Akibatnya yang sakit terisolasi dari kelompoknya. Ketika akhirnya diputuskan untuk besesandingon agar penyakit campak tidak menyebar dan menyebabkan kematian massal, mereka bertangis-tangisan dari jarak jauh. Namun akhirnya si sakit ditinggalkan meski meraung-raung meratap meminta jangan ditinggalkan.
Sebuah sumber mengatakan bahwa pada saat pergi besesandingon, mereka akan pergi sambil merangkak, lalu naik ke atas pohon, turun dan merangkak lagi sampai jarak tertentu. Kemudian mereka naik pohon lagi, turun dan merangkak lagi sampai merasa bahwa dirinya aman. Cara seperti itu dimaksudkan agar penyakit tidak dapat mengikuti kepergian mereka sehingga ditempat baru mereka akan bebas dari penyakit.
Melangun
Apabila ada Orang Rimba meninggal, maka kawasan tempat meninggalnya dianggap tidak baik lagi untuk ditinggali karena akan membawa sial. Oleh sebab itu mereka berpindah tempat mencari tempat baru. Perpindahan itu dikenal dengan istilah melangun, suatu tradisi berpindah yang boleh jadi sebagai tradisi Orang Rimba yang paling khas. Biasanya mereka berpindah cukup jauh dari tempat semula. Jaraknya bisa sehari perjalanan.
Melangun merupakan tradisi yang paling banyak dikenal oleh masyarakat luas. Tradisi itulah yang menyebabkan Orang Rimba mendapat sebutan nomaden atau kelompok yang berpindah-pindah. Namun sebenarnya mereka bukanlah kelompok nomaden. Mereka pada dasarnya tinggal menetap. Mereka berpindah hanya apabila ada kematian salah satu anggota kelompok. Jadi bukan atas alasan mencari daerah baru yang lebih banyak binatang buruan sebagaimana anggapan banyak orang. Namun melangun memang sering mereka lakukan karena tingkat kematian yang sangat tinggi. Mereka melangun sebanyak terjadinya kematian di dalam kelompok. Orang yang telah berumur tua sangat mungkin telah mengalami melangun puluhan kali dalam hidupnya.
Perjalanan melangun persis seperti acara pindah rumah. Mereka membawa seluruh harta benda dan peralatan yang mereka miliki. Alat-alat dapur, kain, berbagai senjata tajam dan lainnya mereka bawa semua. Cukup sekali perjalanan semua barang-barang sudah bisa terangkut. Hal itu tidak mengherankan karena memang harta benda yang dimiliki tidak banyak. Paling-paling hanya kain saja yang dianggap sebagai harta berharga. Harta selebihnya merupakan perlengkapan standar mereka seperti periuk, tombak, parang, dan kecepek. Mereka tidak mengembangkan budaya materil karena tidak sesuai dengan kepercayaan mereka yang menghendaki mobilitas yang tinggi. Semua barang-barang dibuat atau disimpan karena berguna praktis. Kain sebagai harta yang paling berharga dan harus diperoleh dari luar berguna untuk dipakai, membayar denda dan untuk melamar.
Orang Rimba beranggapan bahwasanya kawasan tempat tinggal terdahulu yang ditinggalkan karena adanya kematian akan kembali netral setelah beberapa waktu. Kesialan tempat itu akan menghilang seiring waktu. Oleh karena itu mereka bisa kembali. Pada masa lalu lamanya melangun paling sedikit enam tahun, kemudian berubah menjadi dua tahun, lalu berubah lagi menjadi sekitar setahun.. Setelah itu mereka berkemungkinan kembali lagi ke tempat yang ditinggalkan. Kalaupun tidak persis ditempat yang dulu, biasanya tidak jauh dari sana.
Saat ini bagi sebagian Orang Rimba, melangun sepertinya hanya sebuah pengungsian sementara sampai kesialan tempat tinggal dahulu dianggap menghilang. Orang Rimba hampir selalu kembali lagi ke tempat tinggal semula. Hal itu dikarenakan mulai menguatnya budaya berladang. Mereka sayang meninggalkan tanaman-tanaman di ladang yang telah dapat menunjang kehidupan mereka lebih baik. Kini lamanya mereka melangun jauh lebih singkat. Hanya dalam hitungan bulan biasanya sudah kembali. Apalagi apabila ladang-ladang itu telah ditanami karet, mereka pasti akan kembali lagi.
Pada bulan Maret ada seorang perempuan yang meninggal pada saat melahirkan dalam kelompok Orang Rimba Makekal Hulu yang bertempat tinggal di kawasan Kedondoing Mudo. Bayinya selamat dan diasuh oleh salah seorang keluarga. Kebetulan perempuan yang meninggal tersebut adalah adik Temenggung, yaitu sang pemimpin kelompok. Maka sesuai tradisi. mereka yang tinggal di Kedondong Mudo pun melangun. Tempat mereka yang baru berjarak cukup jauh. Dari tempat lama ke tempat yang baru mereka harus bermalam di jalan.
Menurut salah seorang Orang Rimba yang tidak ikut melangun karena tidak tinggal di Kedondong Mudo, mereka yang pergi melangun paling kurang satu tahun baru kembali. Namun menurut Orang Rimba yang tinggal di Siamang Mati, mereka yang melangun akan kembali lagi tidak lebih dari sebulan. Informasi terakhir lebih saya percayai karena banyak harta benda yang tidak dibawa. Banyak kain yang ditinggalkan, padahal kain merupakan harta paling berharga milik Orang Rimba. Lalu ada seorang pasangan pengantin baru yang ditugaskan untuk menjaga ladang-ladang yang ditinggalkan. Itu artinya mereka memang tidak berniat untuk pergi lama. Namun tampaknya mereka tidak akan kembali kurang dari satu bulan.
Perubahan lamanya melangun merupakan gambaran jelas bahwa tradisi Orang Rimba perlahan mulai berubah. Desakan ekonomi memaksa mereka untuk lebih fleksibel dalam mempertahankan adat. Saat ini berpindah ke tempat baru secara mendadak hanya akan menyebabkan turunnya kesejahteraan karena tidak ada jaminan pasti bakal adanya sumber makanan yang memadai. Makanan pokok seperti halnya umbi-umbian sulit diperoleh dalam keadaan melimpah di hutan. Binatang buruan tidak banyak. Hanya babi yang berjumlah banyak tapi itupun dikawasan yang dekat pinggiran hutan. Sementara itu bila mereka tetap tinggal di ladang-ladang, maka setidaknya makanan pokok terjamin. Itulah mengapa mereka memilih untuk tidak lama-lama pergi melangun. Kalaupun mereka berpindah maka dilakukan secara bertahap sembari menyiapkan ladang baru.
Perubahan sikap terhadap tradisi melangun tergambar sangat jelas pada sosok Srine, salah seorang Orang Rimba yang tinggal di Siamang Mati. Ia menceritakan bahwa dirinya masih tetap akan melangun kalau ada yang meninggal. Akan tetapi tidak akan lama. Ia pernah melangun hanya selama 2 bulan ketika anaknya meninggal. Tapi kemudian cepat kembali lagi karena khawatir tanah yang diklaim miliknya akan diambil orang. Bahkan Laman, kakak Srine yang juga tinggal di Siamang Mati menurut cerita tidak akan pernah mau melangun lagi. Siapapun yang mati, dia tidak berkeinginan pergi melangun.
Tabu-Tabu
Masyarakat tradisional sebagaimana Orang Rimba mempertahankan keteraturan sosial dan adat melalui berbagai tabu atau pantangan. Pelanggaran terhadap tabu-tabu itu akan dikenakan denda. Fungsi denda adalah semacam penghukum (punishment) bagi perilaku yang salah. Siapapun yang berrtindak melanggar adat maka hukumannya sudah jelas dan tinggal ditetapkan. Pelaksanaan pemberian hukuman yang sangat ketat menjamin adat tetap terus dipertahankan oleh anggota kelompok. Itulah kunci mengapa adat dan tradisi Orang Rimba bisa tetap tidak berubah setelah ratusan tahun.
Menurut Orang Rimba, tabu atau pantangan telah ditetapkan oleh nenek moyang mereka sejak mereka ada. Oleh karena itu tidak ada yang berhak mengubahnya. Tabu-tabu itu telah dijalankan oleh nenek moyang mereka dan sudah seharusnya dijalankan dengan baik oleh mereka. Adanya tabu-tabu merupakan wujud dari kebijaksanaan nenek moyang dalam menjaga adat. Adapun denda sebagai alat penghukum bagi yang melanggar ditetapkan dalam musyawarah adat. Namun biasanya sudah ada ketentuan baku mengenai jumlah denda yang harus dibayarkan apabila terjadi pelanggaran.
Tabu-tabu yang ada bisa digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu tabu-tabu mengenai makanan, tabu-tabu mengenai hubungan dengan sesama manusia, tabu-tabu mengenai hubungan antara manusia dan alam, dan tabu-tabu mengenai hubungan antara manusia dan alam supranatural. Empat kategori itu menunjukkan bahwa Orang Rimba telah mengatur seluruh kehidupannya agar sesuai dengan kepercayaan mereka. Semuanya sudah diatur dan memiliki hukum yang bersifat tetap. Perubahan telah diantisipasi dengan penerapan tabu-tabu yang beraneka ragam.
Salah satu tabu yang menarik adalah tabu untuk menceritakan mengenai kepercayaan mereka. Artinya sesungguhnya mereka dilarang untuk menceritakan kepada orang asing mengenai kepercayaan mereka. Hal inlah mungkin yang menyebabkan Orang Rimba sulit untuk berbicara mengenai kepercayaan mereka. Alasan dibalik tabu ini misterius. Namun mungkin disebabkan karena rendah diri dengan kepercayaan milik mereka sendiri sehingga mereka enggan menceritakan pada orang asing. Untuk itu mereka berlindung pada topeng tabu.
Tabu lain yang sangat menarik adalah tabu untuk membunuh binatang yang sedang minum di sungai atau telaga. Padahal binatang sangat mudah dibunuh ketika dalam posisi minum. Mereka lengah sehingga sangat mudah ditombak maupun ditembak. Salah seorang Orang Rimba menceritakan alasan dibalik tabu itu. Menurutnya binatang yang sedang minum berarti sedang berada di rumah Dewa, yakni pemilik dari binatang tersebut. Oleh karenanya binatang tidak boleh diganggu. Apabila nekat mengganggu maka Dewa akan menjatuhkan kutuk.
Bediom
Budaya Orang Rimba ternyata menyediakan mekanisme bagi siapa saja Orang Rimba yang ingin meninggalkan kehidupan hutan. Mereka yang ingin keluar dari hutan dan menetap secara tetap diluar hutan dan berkampung seperti penduduk desa tidak mendapat halangan. Istilah untuk hal itu adalah bediom. Dalam budaya Orang Rimba terjadi semacam ketentuan bahwa adat dan tradisi mereka hanya berlaku di dalam rimba. Ketika keluar dari rimba maka yang berlaku dan harus diikuti adalah adat dan tradisi orang Melayu. Adat dan tradisi rimba tidak boleh lagi digunakan dilua rimba. Oleh karena itu syarat bediom adalah meninggalkan hal-hal terkait dengan kehidupan di dalam rimba dan mengadopsi seluruh tatacara berkampung. Mereka mesti merubah kepercayaan dari kepercayaan yang memuja banyak Dewa kepada kepercayaan monotheis. Mereka juga sudah diperbolehkan memakan makanan yang semula diharamkan yakni daging serta segala produk sampingan dari binatang ternak yang dipelihara orang Melayu. Sebaliknya daging babi dan binatang lain yang diharamkan tidak boleh lagi mereka makan. Dari sisi hukum mereka juga telah dikenai hukum formal kenegaraan, tidak lagi memakai hukum adat.
Budaya rimba ternyata juga menyediakan mekanisme bagi Orang Rimba yang telah bediom untuk kembali lagi ke kehidupan rimba. Karena ternyata tidak semua yang bediom mampu beradaptasi dengan kehidupan ala berkampung. Namun sebelum diijinkan Temenggung kembali ke kelompok di rimba, mereka harus melakukan ritus persiapan masuk rimba. Salah satunya adalah selama 3 bulan mereka tidak boleh lagi makan-makanan yang ditabukan.
Binatang dalam kepercayaan Orang Rimba
Menurut kepercayaan Orang Rimba, binatang (natong dalam bahasa Orang Rimba) ada di dunia tidak dengan sendirinya. Binatang juga diciptakan oleh Tuhan. Penciptaan binatang bersamaan dengan penciptaan manusia. Sesuai dengan dunia batin Orang Rimba yang selalu menggolong-golongkan sesuatu ke dalam dua hal secara bertentangan. Binatang ada yang baik dan ada yang jahat. Binatang yang baik diciptakan bersama manusia di surga. Perannya adalah untuk menemani manusia. Oleh karena itu binatang yang baik tidak akan mengganggu manusia. Pun manusia dilarang keras mengganggunya. Binatang baik menurut Orang Rimba diantaranya adalah merego (harimau) dan kera. Ada satu lagi binatang yang pantang diganggu, yakni burung gading. Oleh Orang Rimba, burung gading dianggap sebagai burung suci karena merupakan penjelmaan Dewa. Apabila burung gading bersuara maka itu dianggap sebagai suara dewa. Oleh karena itu Orang Rimba akan berdoa.
Merego adalah binatang yang pantang dibunuh dan sebaliknya menurut kepercayaan Orang Rimba, merego juga berpantang membunuh Orang Rimba. Sampai saat ini belum pernah ada Orang Rimba menjadi korban merego meskipun mereka hidup bersama di dalam hutan. Menurut cerita yang disampaikan oleh Orang Rimba, ada sejarahnya mengapa terjadi saling pantang itu. Diceritakan pada zaman dulu merego mengamuk dan membunuh Orang Rimba. Korban yang terbunuh mencapai ratusan orang dalam sehari. Akhirnya sang merego ditangkap oleh Orang Rimba. Namun karena merego adalah binatang dari surga, maka merego tidak dibunuh tetapi diajak untuk membuat perjanjian. Isinya adalah bahwa merego tidak akan membunuh Orang Rimba. Kalau sampai terjadi pantangan itu dilanggar, maka satu Orang Rimba yang terbunuh harus dibayar satu nyawa merego. Kalau dua yang terbunuh, maka harus pula dibayar dua nyawa merego. Perjanjian itu berlaku sebaliknya. Apabila ada Orang Rimba membunuh merego maka Orang Rimba juga harus dibunuh satu, yakni sang pembunuh. Artinya diantara Orang Rimba dan merego berlaku hukum satu berbanding satu, “membunuh maka dibunuh”
Binatang yang jahat adalah binatang yang mengganggu. Binatang jahat diciptakan di neraka. Oleh sebab itulah binatang jahat boleh dibunuh, terutama bila mengganggu Orang Rimba. Yang termasuk binatang jahat diantaranya adalah beruang, babi, ular, tikus dan kaki seribu (lipan). Beruang adalah binatang yang sangat ditakuti oleh Orang Rimba. Bahkan ketika Orang Rimba ditanya apa yang paling membuat takut, hampir semuanya menjawab beruang.
Setiap budaya memiliki dunia batinnya sendiri. Manusia dalam budaya tertentu mempersepsi dunia sekitar mereka dan memahaminya secara khas. Fenomena yang sama mungkin saja akan dilihat, dipersepsi dan ditafsirkan secara berbeda oleh orang dari budaya berbeda. Misalnya angin ribut yang memporak-porandakan rumah mungkin akan dipahami sebagai gejala alam biasa oleh orang minang, dipahami sebagai pertanda tertentu oleh orang jawa, dan dipahami sebagai pekerjaan hantu oleh Orang Rimba.
Orang Rimba memiliki cara yang khas dalam memahami dunia sekitar yang merupakan hasil dari interaksinya dengan alam dan kelompok manusia lainnya selama ribuan tahun. Mereka mengembangkan dunia batin yang cocok dan sesuai dengan kondisi mereka. Dunia batin itu mempengaruhi cara mereka dalam memahami sesuatu dan dalam bertindak. Ide tentang dunia atau dunia batin mewujudkan dirinya dalam bentuk riil yakni sistem kepercayaan, mitos, adat, struktur sosial, trait psikologis dan sebagainya.
“Orang Rimba memiliki kepercayaan dinamisme dan animisme. Mereka mempercayai kekuatan alam. Mereka memuja roh nenek moyang. Mereka memiliki banyak Dewa yang mereka anggap Tuhan. Akan tetapi mereka sesungguhnya tidak benar-benar bertuhan. Mereka benar-benar masih merupakan masyarakat primitif....” Demikianlah salah satu komentar terhadap Orang Rimba yang dilontarkan oleh salah seorang penduduk desa yang dekat dengan kawasan hutan tempat tinggal Orang Rimba.
Komentar diatas menumbuhkan keingintahuan saya mengenai kepercayaan Orang Rimba. Dengan minat bagaikan anak kecil yang ingin tahu isi sebuah kebun binatang setelah mendengar betapa menariknya isi kebun binatang, saya berupaya mencari tahu seperti apa sebenarnya kepercayaan Orang Rimba. Sayangnya Orang Rimba yang saya temui tidak bercerita sebanyak yang saya harapkan. Tapi mungkin hal itu dikarenakan memang tidak banyak yang bisa mereka ceritakan. Untungnya ada beberapa literatur yang juga menceritakan mengenai kepercayaan Orang Rimba.
Mitologi Penciptaan
Sama seperti setiap sistem kepercayaan lainnya, Orang Rimba juga memiliki mitologi mengenai penciptaan. Mereka memiliki suatu mitologi yang menjelaskan terjadinya kehidupan. Menurut mitologi Orang Rimba, pada awal kehidupan tidak ada sesuatupun kecuali Tuhan. Dunia beserta segala sesuatu yang ada belum ada, yang ada adalah ketiadaan. Lantas Tuhan berkehendak menciptakan kehidupan. Maka diciptakanlah kuntul putih (langit) dan gagak hitam (bumi beserta segala isinya). Sejak penciptaan itulah maka kehidupan dimulai.
Mitologi penciptaan Orang Rimba tampaknya dipengaruhi oleh persentuhan mereka dengan para penganut agama Islam. Bukti kuat dari adanya pengaruh itu adalah kisah tentang manusia pertama. Menurut mereka, manusia pertama yang ada di bumi adalah Nabi Adam. Mereka adalah keturunan Nabi Adam dan merasa paling dekat dengannya. Kedekatan itu terbukti dalam pemeliharaan adat atau aturan yang berasal dari nenek moyang. Kaum yang tidak lagi memelihara aturan nenek moyang berarti keturunan yang jauh hubungannya dengan Nabi Adam. Berbeda dengan Orang Rimba yang selalu memelihara aturan dan adat dari nenek moyang. Artinya, merekalah yang paling dekat dengan Nabi Adam.
Penolakan terhadap agama lain selain apa yang sudah diyakini juga berasal dari keyakinan akan kedekatan hubungan dengan Nabi Adam. Menurut mereka agama yang mereka yakini adalah agama Nabi Adam. Mereka percaya dan yakin akan hal itu karena mereka dan nenek moyang mereka tidak pernah mengubah apapun yang sudah ada. Oleh karena itu mengikuti agama lain yang berasal dari nabi lebih rendah tidak mau mereka lakukan. Misalnya agama Islam tidak mau mereka ikuti karena dibawa oleh Nabi Muhammad yang merupakan nabi terakhir.
Orang Rimba percaya bahwa manusia berasal dari tanah. Hal itu terlihat jelas dari kepercayaan mereka mengenai ilmu kebal. Sehebat apapun orangnya, menurut mereka tidak ada orang yang kebal dengan senjata yang telah ditancapkan di tanah. Hal itu dikarenakan manusia berasal dari tanah. Oleh karena itu biasanya mereka menancapkan salah satu senjata ditanah sekitar rumah untuk berjaga-jaga kalau ada pengganggu yang memiliki ilmu kebal.
Ketuhanan Orang Rimba
Tuhan dalam konsepsi Orang Rimba adalah pencipta segala sesuatu. Esensi Tuhan ada di dalam segala sesuatu. Namun kehadiran Dzat Tuhan itu sendiri sesuatu yang gaib. Tidak ada yang mengetahui keberadaan Tuhan. Mereka membandingkan antara esensi Tuhan dengan Dzat Tuhan yang gaib dengan fenomena burung gading. Menurut kepercayaan Orang Rimba, burung gading adalah burung penjelmaan Tuhan. Ketika burung gading memperdengarkan suaranya yang merdu, saat itulah sama dengan esensi Tuhan yang bisa dirasakan, namun burung gading itu sendiri tidak pernah terlihat, halmana menunjukkan kegaiban dzat Tuhan. Kadang Orang Rimba menyebut Tuhan dengan ungkapan Allah. Tampaknya ungkapan itu merupakan hasil dari pengaruh Islam.
Orang Rimba mempercayai Dewo dan Dewi yang fungsi dan perannya mirip dengan Tuhan dalam konsepsi agama monotheis. Namun meski demikian nyatanya mereka juga mempercayai Tuhan tunggal sebagai pencipta alam, sehingga konsep ketuhanan Orang Rimba sangat unik sekaligus membingungkan. Peran Tuhan tertinggi sebagai pencipta alam seolah-olah hanya untuk menjelaskan tentang penciptaan kehidupan. Karena pada kenyataannya, meskipun eksistensi Tuhan tertinggi diakui akan tetapi hampir tidak pernah disinggung dalam kehidupan keseharian. Dewa serta Dewi yang selalu disinggung dan benar-benar berperan dalam kehidupan. Dewa dan Dewi adalah tujuan berdoa, tujuan meminta ampun, dianggap yang akan menjatuhkan kesenangan maupun kutukan, dan lainnya. Misalnya ketika takut melakukan sesuatu karena merupakan pantangan, mereka umumnya beralasan “nanti dikutuk Dewo.”
Mengikuti pendapat Wilhelm Schmidt, dalam bukunya ‘The Origins of The Idea of God’, Orang Rimba agaknya telah memiliki kepercayaan monoteis primitif. Namun lama kelamaan kepercayaan itu memudar karena Tuhan dianggap sesuatu yang suci dan sakral sehingga tidak ada ritus apapun yang memadai yang ditujukan untuk-Nya. Oleh karena itu kepercayaan terhadap Tuhan tunggal perlahan memudar karena tidak hadir dalam keseharian Orang Rimba, dan digantikan dengan kepercayaan terhadap banyak Dewa. Kepercayaan terhadap banyak Dewa terus bertahan karena lebih menarik dan bersifat praktikal. Baru setelah adanya persentuhan dengan dunia luar, terutama Islam, konsepsi Tuhan tunggal sebagai pencipta alam diadopsi kembali. Meski demikian perannya di dalam kehidupan tetap sangat kurang atau malah hampir tidak ada. Dewo dan Dewi yang dianggap sebagai pengatur tatanan kehidupan. Seluruh dimensi kehidupan diatur dan dimiliki oleh Dewo dan Dewi. Merekalah sumber dari kesehatan, kesenangan, rezeki, sakit dan segala sesuatu yang lainnya. Sehingga secara praksis Dewo dan Dewi-lah Tuhan mereka sesungguhnya. Oleh karena itu agaknya sah bila mereka disebut berkepercayaan polytheistik.
Sesuai sebutannya, Dewo dan Dewi berjumlah lebih dari satu. Tidak ada yang paling utama diantara Dewa dan Dewi itu. Mereka memiliki tempat tinggal tertentu, seperti di sungai (di hulu maupun di hilir), di pinggir sungai dan di puncak bukit. Yang menarik ternyata Orang Rimba mengklasifikasikan Dewo dan Dewi ke dalam dua kategori bertentangan, yakni Dewo dan Dewi pembawa kebaikan serta Dewo dan Dewi pembawa keburukan. Dewo dan Dewi yang tinggal di hulu sungai dianggap sebagai pembawa kebaikan, sebaliknya yang tinggal dihilir sungai dianggap pembawa keburukan. Pembagian itu tampaknya terkait dengan interaksi Orang Rimba dengan orang Melayu. Daerah hilir sungai merupakan daerah orang Melayu. Melalui interaksi dengan orang Melayu, Orang Rimba mendapat berbagai penyakit menular dan ganas seperti cacar. Selain itu orang Melayu juga sering menangkap Orang Rimba untuk dijadikan budak.
Setan dan malaikat
Tidak berbeda jauh dengan konsepsi agama Abrahamik mengenai setan dan malaikat yang saling bertentangan satu sama lain, Orang Rimba pun memiliki konsepsi mengenai setan dan malaikat yang serupa. Setan adalah makhluk gaib yang sifatnya merusak dan mengganggu manusia. Setan memiliki wilayah kekuasaan tertentu, misalnya bukit. Menurut Orang Rimba, setan tidak meninggalkan daerah kekuasaannya. Daerah yang dianggap dikuasai setan tidak akan ditempati oleh Orang Rimba, karena akan menimbulkan berbagai musibah dan penyakit. Setan akan marah kalau daerah kekuasaannya diganggu. Oleh karena itu untuk menghindari kemarahan setan, daerah yang dianggap dikuasai setan tidak dilewati. Kalaupun terpaksa, tidak boleh merusak tumbuhan atau benda yang ada di tempat tersebut.
Di dalam rimba terdapat juga makhluk gaib sejenis dengan setan, yakni hantu. Tidak berbeda dengan setan, kerja hantu adalah merusak. Hantu dikonsepsikan sebagai mahluk gaib yang bisa bergerak. Hantu bisa menyatukan diri dengan angin ribut dan hujan yang sangat deras serta lama. Apabila ada angin ribut atau hujan deras merusak rumah, ladang, dan hutan, maka menurut Orang Rimba pastilah ada hantu yang menyatukan diri dengan angin ribut dan hujan tersebut.
Hampir setiap kelompok budaya di Indonesia mengenal adanya hantu yang suka menyembunyikan anak-anak. Misalnya etnis jawa mengenal jenis hantu yang disebut wewe. Demikian juga Orang Rimba mengenal jenis hantu yang suka menyembunyikan anak-anak. Mereka menyebutnya hantu garo-garo. Secara harfiah hantu garo-garo mungkin bermakna hantu pembuat gara-gara
Hantu garo-garo adalah hantu perempuan. Kemunculannya memiliki sejarah. Diceritakan pada zaman dahulu kala ada seorang ibu yang kehilangan bayinya. Karena sangat sedih, maka sang ibu meninggal. Setelah meninggal, arwah sang ibu berusaha mencari anaknya dan rohnya berubah menjadi hantu. Namun karena menurut sang hantu anaknya tentu sudah beranjak besar, maka yang dicari adalah anak yang sudah cukup besar. Hantu garo-garo tidak akan menyembunyikan anak yang masih baru dilahirkan. Oleh karena itu anak-anak yang mulai tumbuh besar selalu dipasangi jimat oleh orang tuanya. Jimat itu berguna untuk menangkal hantu garo-garo. Biasanya jimat dipakaikan seperti kalung. Apabila hantu garo-garo sudah menyembunyikan anak, maka sang anak harus diminta kembali dengan cara tertentu. Bila tidak maka sang hantu tidak akan mengembalikan anak yang dibawa untuk selama-lamanya. Menurut cerita Sediah, salah seorang remaja rimba, adiknya, yakni Begenyek pernah disembunyikan hantu garo-garo selama beberapa hari. Begenyek sendiri mengakui bahwa dirinya pernah dibawa hantu garo-garo.
Fakta bahwa hampir setiap budaya memiliki cerita tentang hantu pembawa anak-anak sangatlah menarik. Mungkin cerita tentang hantu itu adalah penjelasan atas perginya anak-anak yang sering tidak diketahui oleh orang tuanya. Adalah hal biasa apabila anak-anak yang dibesarkan di lingkungan alam yang memiliki ruang luas seperti halnya desa maupun hutan, pergi untuk memuaskan rasa ingin tahunya maupun sebagai bentuk protes (minggat). Karena luasnya ruang, maka sang anak seringkali tidak dapat ditemukan dengan segera. Kadangkala sang anak tersesat. Dalam kondisi bingung, takut, ataupun tertekan, anak-anak biasanya menggunakan kekuatan fantasinya yang kuat sebagai mekanisme untuk menentramkan diri dan bertahan. Fantasi itu biasanya berkisar pada kenikmatan, baik karena makanan yang lezat maupun kondisi yang menyenangkan lainnya. Namun fantasi yang berkembang bisa juga hal-hal yang bersifat menakutkan.
Orang-orang dewasa hanya memiliki satu penjelasan mengapa sang anak tidak bisa ditemukan, yakni melalui kacamata supranatural. Anak hilang dianggap dibawa hantu. Hal itu wajar mengingat hampir setiap budaya di Indonesia sangat mempercayai kekuatan supranatural. Segala sesuatu yang tidak atau belum dapat dijelaskan dengan nalar akan dikaitkan dengan dunia supranatural. Mereka belum atau tidak memiliki penjelasan dari sisi manusianya saja. Mereka tidak dapat menjelaskan alasan sang anak pergi berdasarkan kondisi psikologis sang anak semata. Maka penjelasan dari sisi supranatural adalah penjelasan yang paling masuk akal dan paling bisa diterima. Lalu cerita tentang dibawa hantu diperkuat oleh cerita dari sang anak hilang sendiri. Fantasi yang sangat kuat boleh jadi membuat sang anak merasakan fantasinya sebagai kenyataan. Meskipun ingatan tentang fantasinya sendiri samar-samar namun biasanya sang anak mampu menceritakan fantasinya yang luar biasa kepada orang-orang dewasa. Akibatnya orang-orang dewasa semakin yakin bahwa sang anak dibawa oleh hantu. Seterusnya berkembanglah cerita tentang hantu pembawa anak.
Cerita tentang hantu pembawa anak dipastikan fungsional dalam kehidupan. Bila tidak, cerita itu akan lenyap. Sebab hanya cerita yang bermanfaat yang akan terus bertahan. Fungsi pertama cerita itu adalah menjelaskan atas sesuatu yang belum diketahui. Sudah menjadi sifat manusia untuk memahami dan menjelaskan segala sesuatu yang terjadi di lingkungannya. Apabila tidak dapat menjelaskan, manusia akan merasa terancam. Adanya cerita hantu pembawa anak menentramkan karena mereka tahu sebab kejadian anak hilang. Selain itu salah satu fungsi cerita hantu pembawa anak mungkin adalah untuk sarana menakut-nakuti anak-anak agar tidak berbuat tidak baik. Kenyataannya anak-anak rimba sangat takut bila ditakut-takuti dengan cerita hantu pembawa anak. Tampaknya cerita itu merupakan alat kontrol perilaku anak-anak yang ampuh.
Berbeda dengan setan dan hantu, malaikat adalah makhluk gaib yang menjaga manusia, terutama menjaga dari gangguan setan dan hantu. Menurut Orang Rimba, malaikat hampir setingkat dengan dewa akan tetapi selalu berada di sekitar Orang Rimba. Adanya malaikat membuat manusia aman. Namun demikian, apabila manusia berbuat tidak baik maka malaikat bisa pergi. Apabila ditinggal malaikat manusia menjadi rentan terhadap gangguan setan dan hantu. Orang yang diganggu hantu atau setan adalah mereka yang telah ditinggalkan malaikat.
Alam bagi Orang Rimba
Orang Rimba membagi alam dalam dua kategori yang berlawanan yakni dunia nyata (halom nio) dan dunia atas (halom Dewo). Halom Nio adalah alam raya yang ditempati Orang Rimba. Mereka menyebut juga sebagai halom kasar. Halom Dewo adalah dunia yang juga akan ditempati oleh Orang Rimba yang telah meninggal. Orang Rimba menyebutnya juga sebagai halom haluy (dunia halus). Antara kedua alam tersebut bisa saling berhubungan. Penghuni halom haluy bisa terus memantau keadaan Orang Rimba yang ada di halom kasar. Sebaliknya penghuni halom kasar juga bisa berhubungan dengan penghuni halom haluy melalui perantara malim atau pemimpin spiritual Orang Rimba.
Orang Rimba menganggap diri mereka sebagai bagian dari alam semesta (halom). Mereka adalah bagian yang integral di dalam alam. Orang Rimba adalah alam dan alam adalah Orang Rimba. Mereka dan alam adalah satu. Dalam kepercayaan Orang Rimba, alam semesta tidak berkembang. Sejak penciptaan, langit dan bumi seisinya sudah demikian adanya. Mereka hanya tinggal meneruskan apa yang sudah ada dan tidak perlu dirubah. Mereka memiliki keyakinan bahwa merubah alam akan merubah Orang Rimba, sebaliknya jika Orang Rimba berubah maka alam pun akan ikut berubah. Oleh sebab itu mereka sangat kritis dengan perubahan. Selain itu, keengganan untuk berubah juga ditunjang oleh ketakutan akan kutukan nenek moyang. Roh nenek moyang yang tinggal di halom haluy yang membuat berbagai macam aturan adat akan marah dan menjatuhkan kutuk apabila anak keturunannya, yakni Orang Rimba tidak menaati adat. Akibat dari kepercayaan itu mereka menjalani kehidupan yang kurang lebih sama dengan kehidupan yang dijalani nenek moyang mereka ratusan tahun silam. Mereka sangat berhati-hati dengan perubahan karena perubahan dianggap akan merubah alam (halom). Oleh karena itulah pada masa lalu Orang Rimba dikenal sangat anti dengan perubahan. Bahkan menurut cerita, dahulu mereka sama sekali tidak mau bertemu orang asing.
Ada ungkapan yang biasa dipakai Orang Rimba untuk menolak terjadinya perubahan, yakni “sejak gagak hitam, kuntul putih diciptakan Tuhan...”, yang artinya ‘sejak Tuhan menciptakan langit dan bumi seisinya...’. Ungkapan itu biasa digunakan dalam musyawarah untuk menolak terjadinya perubahan. Bila ungkapan diatas disampaikan, maka maknanya adalah sesuatu (yang dibicarakan, baik adat ataupun lainnya) tidak perlu dirubah karena sesuatu itu sudah demikian adanya sejak awal mula alam semesta diciptakan. Ungkapan lain yang menggambarkan paham fatalis dan pasifis terhadap perubahan adalah ‘alam sekato Tuhan’. Artinya alam seisinya termasuk manusia dalam keadaan yang telah ditakdirkan demikian oleh Tuhan. Apapun kondisinya itulah yang telah ditentukan Tuhan bagi alam dan manusia. Oleh karena itu manusia tidak berhak merubah apapun karena merubah dengan sengaja berarti menentang kehendak Tuhan.
Saat ini kepercayaan tentang alam yang statik mulai memudar seiring dengan persentuhan Orang Rimba dengan masyarakat luar yang tidak dapat dihindari. Misalnya pada awal proses pemberian pengajaran baca tulis dan berhitung yang diselenggarakan untuk Orang Rimba oleh LSM Warsi mendapat banyak tentangan dari Orang Rimba karena khawatir akan merubah alam. Mereka menyadari bahwasanya adanya pendidikan akan banyak mengubah berbagai dimensi kehidupan mereka. Namun saat ini mereka menjadi antusias dengan pendidikan karena menyadari bahwasanya apabila mereka tidak berubah menjadi pintar, mereka hanya akan menjadi orang-orang kalah. Demikian juga berbagai pengetahuan dan teknologi baru diserap dengan cepat oleh Orang Rimba.
Dalam kepercayaan Orang Rimba terdapat juga konsep tentang surga dan neraka. Kedua tempat itu berada di dunia sesudah mati. Surga merupakan tempat bagi manusia yang baik dan taat pada aturan adat. Sebaliknya neraka adalah tempat bagi manusia yang jahat dan tidak taat pada aturan adat. Neraka memiliki panas tidak terbayangkan. Percikan api neraka sama panasnya dengan seluruh api yang ada di dunia.
Namun agak mengherankan ketika beberapa Orang Rimba ditanya mengenai surga dan neraka, mereka menyatakan tidak khawatir dan tidak perduli dengan keberadaannya. Tampaknya mereka memang tidak terlalu perduli. Hampir tidak pernah didengar anak-anak ditakuti dengan ancaman neraka. Kosa kata nerakan hampir tidak pernah didengar. Artinya, surga dan neraka hampir tidak memiliki fungsi praktis dalam kehidupan keseharian.
Konsepsi tentang arwah
Orang Rimba percaya bahwa roh atau arwah nenek moyang senantiasa berada di sekitar mereka dan mengawasi segala tindak tanduk Orang Rimba yang masih hidup. Roh nenek moyang dianggap mengetahui apa yang tidak diketahui oleh Orang Rimba yang masih hidup. Mereka juga percaya bahwa roh mengalami emosi sebagaimana manusia yang masih hidup. Selain itu Orang Rimba meyakini bahwa roh masih dapat aktif berbuat sesuatu di dunia nyata dengan cara menjatuhkan kutuk.
Roh orang yang meninggal dunia akan berjalan ke hentew (suatu tempat yang dikonsepsikan sebagai alam roh dan berada di dekat dunia Tuhan). Roh orang yang belum tinggi tingkat spiritualitasnya akan tinggal di hentew. Sedangkan roh orang yang sudah tinggi tingkat spiritualitasnya juga akan pergi ke hentew namun untuk sementara. Di hentew, roh akan menanggalkan berbagai sifat keduniawian. Setelah bersih dari sifat-sifat duniawi, roh akan berjalan menuju dunia Tuhan dan menjadi malaikat. Apabila tingkat spiritulitasnya benar-benar mumpuni, setelah jadi malaikat roh bisa menjadi dewa.
Menurut Orang Rimba, roh nenek moyang bisa marah apabila Orang Rimba yang masih hidup melanggar berbagai aturan yang telah ditetapkan karena berarti tidak menghormati nenek moyang. Pelanggaran aturan meliputi melanggar pantangan, berbuat tidak sopan, dan merubah adat. Apabila roh nenek moyang marah, maka roh tersebut bisa menjatuhkan kutuk terhadap si pelanggar maupun terhadap Orang Rimba keseluruhan. Tanda bahwa Orang Rimba mendapat kutuk dari nenek moyang diantaranya adalah terkena musibah, hidup menderita, bertanam padi tidak pernah berhasil, berburu tidak dapat-dapat, menjerat tidak pernah kena, dan lainnya.
Tidak hanya marah, roh nenek moyang juga merasakan senang. Roh nenek moyang akan merasa senang apabila anak keturunannya taat pada aturan adat. Oleh karena itulah Orang Rimba akan berusaha sedapat mungkin melaksanakan aturan adat, karena selain untuk menghindari kutuk juga untuk menyenangkan roh nenek moyang. Tanda bahwa roh nenek moyang senang terhadap perilaku Orang Rimba adalah kehidupan yang aman dan tenteram, tidak ada musibah yang datang, berhasil dalam panen padi dan lainnya.
Orang Rimba memiliki upacara untuk menghadirkan roh nenek moyang. Esensinya tidak berbeda dengan berbagai upacara serupa yang dilaksanakan oleh berbagai budaya di seluruh dunia, seperti misalnya pesta aruh ganal oleh etnis Dayak di Kalimantan, atau upacara sesajen pada etnis jawa. Roh dihadirkan dalam rangka penghormatan dan atau untuk pengobatan. Upacara menghadirkan roh pada Orang Rimba disebut sale. Upacara tersebut di pimpin oleh malim, yakni pemimpin spiritual Orang Rimba.
Sale biasanya diselenggarakan ketika kelahiran bayi dan perkawinan. Tujuannya adalah menghadirkan roh nenek moyang agar memberkati. Selain itu sale juga diselenggarakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan dengan obat-obatan. Upacara sale tertutup bagi orang luar. Sangat jarang ada orang luar yang diperbolehkan untuk melihat upacara sale.
Balai adalah tempat pelaksanaan sale. Balai juga tertutup bagi orang luar, setidaknya sampai selesai digunakan. Apabila balai sudah selesai digunakan barulah boleh dilihat. Oleh karena itu balai biasanya dibuat di tempat-tempat yang kecil kemungkinannya didatangi orang. Ketika saya pertama kali datang ke Kedondong Mudo, yakni suatu kawasan dimana sekelompok Orang Rimba Makekal tinggal, disana sedang ada ibu yang baru saja melahirkan dan akan diselenggarakan upacara sale. Oleh Orang Rimba saya diajak jalan agak berputar agar saya tidak melihat balai.
Menurut sebuah sumber, balai yang digunakan untuk upacara sale dalam rangka menyambut kelahiran bayi berukuran kurang lebih sekitar 3 X 5 meter. Balai dibuat oleh kerabat dekat dari yang akan diupacarakan, yakni sang bayi. Sedangkan balai untuk perkawinan ukurannya sekitar 8 X 12 meter dan dibuat secara bersama-sama oleh Orang Rimba. Balai dibuat berlantai panggung. Alasnya terdiri dari gelondongan batang kayu ukuran sedang. Dindingnya dari kulit kayu setinggi pinggang. Atapnya menggunakan daun serdang. Setiap balai hanya memiliki dua pintu keluar.
Melahirkan
Bagi masyarakat yang memiliki tingkat kematian sangat tinggi seperti halnya Orang Rimba, kelahiran bayi merupakan kejadian yang dianggap sangat penting. Bayi yang lahir merupakan pertanda bahwa kelompok mereka bisa terus berlanjut. Upacara untuk menyambut bayi pun dilakukan. Pada saat hamil delapan bulan, anggota keluarga terdekat telah menyiapkan tempat khusus untuk melahirkan, yakni tano peranakan. Tempat khusus untuk melahirkan itu terpisah jauh dari rumah. Hanya suami, dukun bayi dan anggota keluarga terdekat yang boleh datang ke sana. Pada saat menjelang upacara sale mereka juga menyiapkan balai sebagai tempat upacara. Sale diselenggarakan pada hari dimana diperkirakan bayi akan lahir. Tujuannya agar sang bayi mendapat berkah dari nenek moyang serta berumur panjang.
Proses kelahiran bayi dianggap penuh dengan bahaya. Hantu-hantu akan berusaha mengganggu bayi dan ibunya. Tidak jarang gangguan yang berat bisa membunuh ibu dan bayi. Oleh karena itu dalam proses melahirkan, sang ibu ditunggui oleh suami, mertua, orangtua, kakek nenek suami, dan kakek neneknya sendiri. Mereka berharap ibu dan bayi yang ditunggui tidak akan didekati hantu pengganggu. Dengan cemas mereka menunggu. Proses melahirkan seolah dianggap pertarungan hidup mati. Hal itu sebenarnya sangat wajar karena karena tingkat kematian ibu dan anak pada saat melahirkan sangat tinggi.
Setelah melahirkan, ubun-ubun dan tali pusat bayi yang baru lahir diolesi kulit pohon tenggeris. Kulit kayu yang hendak dioleskan itu terlebih dahulu dikerok dengan parang dengan aturan dari atas kebawah. Setelah itu kulit kayu dikeringkan dan siap digunakan. Dalam waktu tujuh hari, tali pusat akan tanggal dan kering. Dalam waktu tujuh hari pula ubun-ubun akan mengeras. Ari-ari bayi (bali anak) yang keluar ditanam di tanah. Disekitarnya diletakkan tiga ranting pohon setubung bercabang tiga. Ari-ari bayi diperlakukan sama seperti anak. Pekuburannya tidak boleh dilewati oleh siapapun dan juga tidak boleh dijadikan ladang.
Sakit dan Kematian
Angka kematian dikalangan Orang Rimba sangat tinggi. Tidak ada keluarga yang tidak memiliki riwayat kematian diantara anggota keluarganya. Umur harapan hidup mereka sangat rendah. Mereka yang berumur 40-an sudah dianggap tua. Secara fisik pun mereka memang cepat tua. Jarang ada yang berumur diatas 50-an, apalagi sampai berumur 70-an. Hal itu mungkin disebabkan oleh rendahnya derajat kesehatan dan kerasnya alam tempat hidup Orang Rimba.
Banyak kematian disebabkan oleh penyakit. Pada tahun 1800-an eksistensi Orang Rimba hampir punah karena serangan penyakit cacar yang mereka peroleh dari interaksi dengan orang luar. Oleh sebab itulah sampai sekarang mereka sangat ketakutan terhadap penyakit cacar. Ketakutan itu seolah mengendap ke bawah sadar. Pengaruhnya sampai merubah dimensi kepercayaan mereka. Dewa-dewi yang tinggal di hilir sungai mendapat predikat bukan Dewa-Dewi yang baik karena penyakit cacar datangnya dari arah hilir sungai, yakni dari daerah orang Melayu. Ditambah lagi dengan keberadaan para penangkap budak yang juga datang dari hilir, makin lengkaplah predikat itu. Hal ini menggambarkan dengan jelas kepada kita bahwasanya Orang Rimba secara terus menerus merubah konsep kepercayaannya agar tetap sesuai.
Dalam kepercayaan Orang Rimba, sebagian penyakit disebabkan oleh gangguan setan dan hantu. Setidaknya ada tiga penyakit yang dianggap perbuatan setan dan hantu, yakni flu, malaria, dan campak. Oleh karena itu mengobati penyakit yang disebabkan oleh setan dan hantu adalah dengan mengusir setan dan hantu tersebut. Pengusiran hantu dilakukan oleh malim. Selain itu penyakit juga bisa disebabkan karena jatuhnya kutuk atas diri si sakit atas perbuatan melanggar adat dan tabu yang dilakukannya.
Apabila terdapat penyakit yang menimpa beberapa orang sekaligus dan tidak dapat disembuhkan dengan obat-obatan tradisional mereka, maka malim, yakni pemimpin spiritual mereka diundang untuk melakukan upacara sale pengobatan. Upacara sale dilangsungkan sepanjang malam. Malim akan membuat ramuan-ramuan yang akan digunakan oleh semua yang sakit. Malim bertindak sebagai pemimpin upacara dan menyanyikan mantera-mantera panjang yang diucapkan tidak jelas. Keluarga si sakit mengikuti proses upacara dari rumah dengan membunyikan berbagai bunyi-bunyian agar setan dan hantu pergi.
Upacara pengobatan penyakit oleh Malim memiliki dimensi serupa dengan yang dilaporkan oleh antropolog Claude Levi Strauss tentang pengobatan oleh dukun. Kepercayaan seluruh masyarakat dan si sakit terhadap dukun menimbulkan suatu reaksi fisiologis sedemikian rupa sehingga si sakit akan sangat tergantung kondisi fisiologisnya terhadap sang dukun. Jika dukun mengatakan sembuh, maka seluruh fisiologis tubuh mengikutinya sehingga si sakit sembuh. Sebaliknya jika dukun mengatakan mati, maka fisiologis tubuh mematuhinya, dimana jantung dan aliran darah secara perlahan akan berhenti.
Ada kepercayaan dikalangan Orang Rimba bahwasanya pengobatan ala Orang Rimba tidak boleh bercampur dengan pengobatan ala orang luar. Bila sudah diobati menurut cara Orang Rimba maka tidak boleh lagi diobati menurut cara orang luar. Demikian juga sebaliknya. Apabila sudah diobati mengikuti cara oarang luar maka tidak boleh lagi diobati menurut cara Orang Rimba. Sediah, salah seorang anak Rimba menceritakan alasannya. Apabila kedua macam pengobatan dilakukan untuk satu jenis penyakit pada satu orang maka pengaruh pengobatan satu sama lainnya akan saling meniadakan. Pengobatan akan sia-sia karena pengobatan tidak akan bekerja, alias menjadi netral. Menurutnya, obat yang dimasukkan ke dalam tubuh hanyalah sarana untuk menyembuhkan tetapi yang menjadikan sembuh atau tidak adalah doa-doa yang menyertai obat tersebut. Pengobatan ala Orang Rimba tentu memakai doa-doa terhadap Dewa-Dewa, sedangkan pengobatan oleh orang luar memakai doa-doa kepada Tuhannya sendiri. Karena Doa yang dipanjatkan untuk Tuhan yang berbeda maka doa tidak akan membawa pebngaruh apa-apa. Artinya pengobatan tidak akan berhasil.
Selain oleh penyakit, kematian banyak disebabkan kecelakaan. Bahkan menurut seorang penduduk yang mengenal hampir seluruh Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas, sebagian besar kematian laki-laki Orang Rimba disebabkan oleh faktor kecelakaan. Mereka meninggal karena tertimpa kayu, jatuh dari pohon, diserang binatang buas dan lainnya. Meskipun demikian penyakit usia tua tampaknya juga menunjang. Seseorang yang koordinasi geraknya sudah tidak bagus lagi namun tetap memaksakan diri naik pohon tentu saja berpeluang sangat besar untuk jatuh.
Jasad orang yang meninggal tidak dikubur. Biasanya jenazah hanya ditinggalkan saja didalam sebuah pondok yang memang dibuat khusus untuk menempatkan jenazah. Pondok jenazah itu disebut pusaron. Lantainya dibuat setinggi leher. Pusaron dibuat khusus ditempat dimana tidak ada orang yang datang. Disana sang jenasah dibiarkan membusuk. “Dari alam maka kembali ke alam”, demikian ungkap Orang Rimba.
Didalam pondok biasanya diletakkan makanan, kain, dan parang. Diluar pondok, anjing orang yang meninggal diikat. Mereka berharap kalau orang yang telah meninggal hidup kembali maka bisa memakan makanan yang disediakan, kain yang ada dipakai dan parang dibawa. Anjing yang diikat diluar akan menuntun orang tersebut kembali ke kelompoknya.
Besesandingon
Besesandingon adalah perpindahan tempat tinggal Orang Rimba dikarenakan adanya penyakit menular di tempat tinggal asal. Apabila mereka tidak pergi mereka khawatir akan tertular. Akan tetapi apabila pergi mereka harus meninggalkan yang sakit, yang artinya sama saja dengan membunuh si sakit. Namun pertimbangan kelanjutan kelompok tetap diutamakan. Mereka memilih untuk meninggalkan tempat terjadinya wabah.
Ada sebuah cerita memilukan mengenai besesandingon. Pada suatu masa pernah terjadi wabah penyakit campak. Beberapa orang telah terkena. Menurut ingatan mereka, penyakit campak adalah penyakit yang bisa membunuh oleh karena itu mereka tidak ingin yang sehat terkena dan meninggal. Kematian satu orang sangat mahal harganya bagi kelompok Orang Rimba yang berjumlah sedikit. Mereka yang belum terkena tidak mau mendekati yang terkena. Akibatnya yang sakit terisolasi dari kelompoknya. Ketika akhirnya diputuskan untuk besesandingon agar penyakit campak tidak menyebar dan menyebabkan kematian massal, mereka bertangis-tangisan dari jarak jauh. Namun akhirnya si sakit ditinggalkan meski meraung-raung meratap meminta jangan ditinggalkan.
Sebuah sumber mengatakan bahwa pada saat pergi besesandingon, mereka akan pergi sambil merangkak, lalu naik ke atas pohon, turun dan merangkak lagi sampai jarak tertentu. Kemudian mereka naik pohon lagi, turun dan merangkak lagi sampai merasa bahwa dirinya aman. Cara seperti itu dimaksudkan agar penyakit tidak dapat mengikuti kepergian mereka sehingga ditempat baru mereka akan bebas dari penyakit.
Melangun
Apabila ada Orang Rimba meninggal, maka kawasan tempat meninggalnya dianggap tidak baik lagi untuk ditinggali karena akan membawa sial. Oleh sebab itu mereka berpindah tempat mencari tempat baru. Perpindahan itu dikenal dengan istilah melangun, suatu tradisi berpindah yang boleh jadi sebagai tradisi Orang Rimba yang paling khas. Biasanya mereka berpindah cukup jauh dari tempat semula. Jaraknya bisa sehari perjalanan.
Melangun merupakan tradisi yang paling banyak dikenal oleh masyarakat luas. Tradisi itulah yang menyebabkan Orang Rimba mendapat sebutan nomaden atau kelompok yang berpindah-pindah. Namun sebenarnya mereka bukanlah kelompok nomaden. Mereka pada dasarnya tinggal menetap. Mereka berpindah hanya apabila ada kematian salah satu anggota kelompok. Jadi bukan atas alasan mencari daerah baru yang lebih banyak binatang buruan sebagaimana anggapan banyak orang. Namun melangun memang sering mereka lakukan karena tingkat kematian yang sangat tinggi. Mereka melangun sebanyak terjadinya kematian di dalam kelompok. Orang yang telah berumur tua sangat mungkin telah mengalami melangun puluhan kali dalam hidupnya.
Perjalanan melangun persis seperti acara pindah rumah. Mereka membawa seluruh harta benda dan peralatan yang mereka miliki. Alat-alat dapur, kain, berbagai senjata tajam dan lainnya mereka bawa semua. Cukup sekali perjalanan semua barang-barang sudah bisa terangkut. Hal itu tidak mengherankan karena memang harta benda yang dimiliki tidak banyak. Paling-paling hanya kain saja yang dianggap sebagai harta berharga. Harta selebihnya merupakan perlengkapan standar mereka seperti periuk, tombak, parang, dan kecepek. Mereka tidak mengembangkan budaya materil karena tidak sesuai dengan kepercayaan mereka yang menghendaki mobilitas yang tinggi. Semua barang-barang dibuat atau disimpan karena berguna praktis. Kain sebagai harta yang paling berharga dan harus diperoleh dari luar berguna untuk dipakai, membayar denda dan untuk melamar.
Orang Rimba beranggapan bahwasanya kawasan tempat tinggal terdahulu yang ditinggalkan karena adanya kematian akan kembali netral setelah beberapa waktu. Kesialan tempat itu akan menghilang seiring waktu. Oleh karena itu mereka bisa kembali. Pada masa lalu lamanya melangun paling sedikit enam tahun, kemudian berubah menjadi dua tahun, lalu berubah lagi menjadi sekitar setahun.. Setelah itu mereka berkemungkinan kembali lagi ke tempat yang ditinggalkan. Kalaupun tidak persis ditempat yang dulu, biasanya tidak jauh dari sana.
Saat ini bagi sebagian Orang Rimba, melangun sepertinya hanya sebuah pengungsian sementara sampai kesialan tempat tinggal dahulu dianggap menghilang. Orang Rimba hampir selalu kembali lagi ke tempat tinggal semula. Hal itu dikarenakan mulai menguatnya budaya berladang. Mereka sayang meninggalkan tanaman-tanaman di ladang yang telah dapat menunjang kehidupan mereka lebih baik. Kini lamanya mereka melangun jauh lebih singkat. Hanya dalam hitungan bulan biasanya sudah kembali. Apalagi apabila ladang-ladang itu telah ditanami karet, mereka pasti akan kembali lagi.
Pada bulan Maret ada seorang perempuan yang meninggal pada saat melahirkan dalam kelompok Orang Rimba Makekal Hulu yang bertempat tinggal di kawasan Kedondoing Mudo. Bayinya selamat dan diasuh oleh salah seorang keluarga. Kebetulan perempuan yang meninggal tersebut adalah adik Temenggung, yaitu sang pemimpin kelompok. Maka sesuai tradisi. mereka yang tinggal di Kedondong Mudo pun melangun. Tempat mereka yang baru berjarak cukup jauh. Dari tempat lama ke tempat yang baru mereka harus bermalam di jalan.
Menurut salah seorang Orang Rimba yang tidak ikut melangun karena tidak tinggal di Kedondong Mudo, mereka yang pergi melangun paling kurang satu tahun baru kembali. Namun menurut Orang Rimba yang tinggal di Siamang Mati, mereka yang melangun akan kembali lagi tidak lebih dari sebulan. Informasi terakhir lebih saya percayai karena banyak harta benda yang tidak dibawa. Banyak kain yang ditinggalkan, padahal kain merupakan harta paling berharga milik Orang Rimba. Lalu ada seorang pasangan pengantin baru yang ditugaskan untuk menjaga ladang-ladang yang ditinggalkan. Itu artinya mereka memang tidak berniat untuk pergi lama. Namun tampaknya mereka tidak akan kembali kurang dari satu bulan.
Perubahan lamanya melangun merupakan gambaran jelas bahwa tradisi Orang Rimba perlahan mulai berubah. Desakan ekonomi memaksa mereka untuk lebih fleksibel dalam mempertahankan adat. Saat ini berpindah ke tempat baru secara mendadak hanya akan menyebabkan turunnya kesejahteraan karena tidak ada jaminan pasti bakal adanya sumber makanan yang memadai. Makanan pokok seperti halnya umbi-umbian sulit diperoleh dalam keadaan melimpah di hutan. Binatang buruan tidak banyak. Hanya babi yang berjumlah banyak tapi itupun dikawasan yang dekat pinggiran hutan. Sementara itu bila mereka tetap tinggal di ladang-ladang, maka setidaknya makanan pokok terjamin. Itulah mengapa mereka memilih untuk tidak lama-lama pergi melangun. Kalaupun mereka berpindah maka dilakukan secara bertahap sembari menyiapkan ladang baru.
Perubahan sikap terhadap tradisi melangun tergambar sangat jelas pada sosok Srine, salah seorang Orang Rimba yang tinggal di Siamang Mati. Ia menceritakan bahwa dirinya masih tetap akan melangun kalau ada yang meninggal. Akan tetapi tidak akan lama. Ia pernah melangun hanya selama 2 bulan ketika anaknya meninggal. Tapi kemudian cepat kembali lagi karena khawatir tanah yang diklaim miliknya akan diambil orang. Bahkan Laman, kakak Srine yang juga tinggal di Siamang Mati menurut cerita tidak akan pernah mau melangun lagi. Siapapun yang mati, dia tidak berkeinginan pergi melangun.
Tabu-Tabu
Masyarakat tradisional sebagaimana Orang Rimba mempertahankan keteraturan sosial dan adat melalui berbagai tabu atau pantangan. Pelanggaran terhadap tabu-tabu itu akan dikenakan denda. Fungsi denda adalah semacam penghukum (punishment) bagi perilaku yang salah. Siapapun yang berrtindak melanggar adat maka hukumannya sudah jelas dan tinggal ditetapkan. Pelaksanaan pemberian hukuman yang sangat ketat menjamin adat tetap terus dipertahankan oleh anggota kelompok. Itulah kunci mengapa adat dan tradisi Orang Rimba bisa tetap tidak berubah setelah ratusan tahun.
Menurut Orang Rimba, tabu atau pantangan telah ditetapkan oleh nenek moyang mereka sejak mereka ada. Oleh karena itu tidak ada yang berhak mengubahnya. Tabu-tabu itu telah dijalankan oleh nenek moyang mereka dan sudah seharusnya dijalankan dengan baik oleh mereka. Adanya tabu-tabu merupakan wujud dari kebijaksanaan nenek moyang dalam menjaga adat. Adapun denda sebagai alat penghukum bagi yang melanggar ditetapkan dalam musyawarah adat. Namun biasanya sudah ada ketentuan baku mengenai jumlah denda yang harus dibayarkan apabila terjadi pelanggaran.
Tabu-tabu yang ada bisa digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu tabu-tabu mengenai makanan, tabu-tabu mengenai hubungan dengan sesama manusia, tabu-tabu mengenai hubungan antara manusia dan alam, dan tabu-tabu mengenai hubungan antara manusia dan alam supranatural. Empat kategori itu menunjukkan bahwa Orang Rimba telah mengatur seluruh kehidupannya agar sesuai dengan kepercayaan mereka. Semuanya sudah diatur dan memiliki hukum yang bersifat tetap. Perubahan telah diantisipasi dengan penerapan tabu-tabu yang beraneka ragam.
Salah satu tabu yang menarik adalah tabu untuk menceritakan mengenai kepercayaan mereka. Artinya sesungguhnya mereka dilarang untuk menceritakan kepada orang asing mengenai kepercayaan mereka. Hal inlah mungkin yang menyebabkan Orang Rimba sulit untuk berbicara mengenai kepercayaan mereka. Alasan dibalik tabu ini misterius. Namun mungkin disebabkan karena rendah diri dengan kepercayaan milik mereka sendiri sehingga mereka enggan menceritakan pada orang asing. Untuk itu mereka berlindung pada topeng tabu.
Tabu lain yang sangat menarik adalah tabu untuk membunuh binatang yang sedang minum di sungai atau telaga. Padahal binatang sangat mudah dibunuh ketika dalam posisi minum. Mereka lengah sehingga sangat mudah ditombak maupun ditembak. Salah seorang Orang Rimba menceritakan alasan dibalik tabu itu. Menurutnya binatang yang sedang minum berarti sedang berada di rumah Dewa, yakni pemilik dari binatang tersebut. Oleh karenanya binatang tidak boleh diganggu. Apabila nekat mengganggu maka Dewa akan menjatuhkan kutuk.
Bediom
Budaya Orang Rimba ternyata menyediakan mekanisme bagi siapa saja Orang Rimba yang ingin meninggalkan kehidupan hutan. Mereka yang ingin keluar dari hutan dan menetap secara tetap diluar hutan dan berkampung seperti penduduk desa tidak mendapat halangan. Istilah untuk hal itu adalah bediom. Dalam budaya Orang Rimba terjadi semacam ketentuan bahwa adat dan tradisi mereka hanya berlaku di dalam rimba. Ketika keluar dari rimba maka yang berlaku dan harus diikuti adalah adat dan tradisi orang Melayu. Adat dan tradisi rimba tidak boleh lagi digunakan dilua rimba. Oleh karena itu syarat bediom adalah meninggalkan hal-hal terkait dengan kehidupan di dalam rimba dan mengadopsi seluruh tatacara berkampung. Mereka mesti merubah kepercayaan dari kepercayaan yang memuja banyak Dewa kepada kepercayaan monotheis. Mereka juga sudah diperbolehkan memakan makanan yang semula diharamkan yakni daging serta segala produk sampingan dari binatang ternak yang dipelihara orang Melayu. Sebaliknya daging babi dan binatang lain yang diharamkan tidak boleh lagi mereka makan. Dari sisi hukum mereka juga telah dikenai hukum formal kenegaraan, tidak lagi memakai hukum adat.
Budaya rimba ternyata juga menyediakan mekanisme bagi Orang Rimba yang telah bediom untuk kembali lagi ke kehidupan rimba. Karena ternyata tidak semua yang bediom mampu beradaptasi dengan kehidupan ala berkampung. Namun sebelum diijinkan Temenggung kembali ke kelompok di rimba, mereka harus melakukan ritus persiapan masuk rimba. Salah satunya adalah selama 3 bulan mereka tidak boleh lagi makan-makanan yang ditabukan.
Binatang dalam kepercayaan Orang Rimba
Menurut kepercayaan Orang Rimba, binatang (natong dalam bahasa Orang Rimba) ada di dunia tidak dengan sendirinya. Binatang juga diciptakan oleh Tuhan. Penciptaan binatang bersamaan dengan penciptaan manusia. Sesuai dengan dunia batin Orang Rimba yang selalu menggolong-golongkan sesuatu ke dalam dua hal secara bertentangan. Binatang ada yang baik dan ada yang jahat. Binatang yang baik diciptakan bersama manusia di surga. Perannya adalah untuk menemani manusia. Oleh karena itu binatang yang baik tidak akan mengganggu manusia. Pun manusia dilarang keras mengganggunya. Binatang baik menurut Orang Rimba diantaranya adalah merego (harimau) dan kera. Ada satu lagi binatang yang pantang diganggu, yakni burung gading. Oleh Orang Rimba, burung gading dianggap sebagai burung suci karena merupakan penjelmaan Dewa. Apabila burung gading bersuara maka itu dianggap sebagai suara dewa. Oleh karena itu Orang Rimba akan berdoa.
Merego adalah binatang yang pantang dibunuh dan sebaliknya menurut kepercayaan Orang Rimba, merego juga berpantang membunuh Orang Rimba. Sampai saat ini belum pernah ada Orang Rimba menjadi korban merego meskipun mereka hidup bersama di dalam hutan. Menurut cerita yang disampaikan oleh Orang Rimba, ada sejarahnya mengapa terjadi saling pantang itu. Diceritakan pada zaman dulu merego mengamuk dan membunuh Orang Rimba. Korban yang terbunuh mencapai ratusan orang dalam sehari. Akhirnya sang merego ditangkap oleh Orang Rimba. Namun karena merego adalah binatang dari surga, maka merego tidak dibunuh tetapi diajak untuk membuat perjanjian. Isinya adalah bahwa merego tidak akan membunuh Orang Rimba. Kalau sampai terjadi pantangan itu dilanggar, maka satu Orang Rimba yang terbunuh harus dibayar satu nyawa merego. Kalau dua yang terbunuh, maka harus pula dibayar dua nyawa merego. Perjanjian itu berlaku sebaliknya. Apabila ada Orang Rimba membunuh merego maka Orang Rimba juga harus dibunuh satu, yakni sang pembunuh. Artinya diantara Orang Rimba dan merego berlaku hukum satu berbanding satu, “membunuh maka dibunuh”
Binatang yang jahat adalah binatang yang mengganggu. Binatang jahat diciptakan di neraka. Oleh sebab itulah binatang jahat boleh dibunuh, terutama bila mengganggu Orang Rimba. Yang termasuk binatang jahat diantaranya adalah beruang, babi, ular, tikus dan kaki seribu (lipan). Beruang adalah binatang yang sangat ditakuti oleh Orang Rimba. Bahkan ketika Orang Rimba ditanya apa yang paling membuat takut, hampir semuanya menjawab beruang.