Sekolah Orang Rimba

Oleh : Achmanto Mendatu
-
(Artikel ini adalah bagian dari tulisan panjang tentang Orang Rimba atau lebih dikenal dengan sebutan Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Secara keseluruhan, artikel mengenai Orang Rimba bisa Anda temukan secara terpisah dalam rangkaian situs psikologi online)

Saat ini Orang Rimba mulai bergeliat. Perlahan mereka menyerap pengetahuan dari dunia luar. Mereka sadar, untuk terus dapat bertahan mereka harus memiliki pengetahuan yang cukup agar memiliki posisi tawar dengan orang luar. Setidaknya mereka tidak menjadi objek penipuan dan pembodohan oleh orang luar yang notabene jauh lebih terdidik. Perubahan pola berpikir ini terjadi paling tidak berkat peran-peran pemberdayaan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan LSM di Jambi, terutama LSM Warsi yang intensif masuk ke komunitas Orang Rimba.

Setelah perbincangan pertama dengan Prabung, salah seorang Orang Rimba, saya mulai memikirkan cara yang paling efektif untuk mendekati mereka. Saya teringat dengan berita-berita di koran dan TV mengenai aktivitas tim LSM Warsi memberikan pengajaran untuk Orang Rimba secara langsung di dalam rimba. Agaknya mengajar merupakan cara terbaik untuk mendekati mereka. Paling tidak, selain akan memiliki waktu yang cukup banyak bergaul dengan Orang Rimba, juga merupakan pendekatan yang berbiaya murah.

Tim LSM Warsi telah bertahun-tahun melakukan pengajaran untuk Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas. Menurut sebuah informasi, LSM Warsi telah terjun melakukan pengajaran sejak tahun 1999, atau sudah hampir 6 tahun. Salah satu perintis pendidikan untuk Orang Rimba adalah Butet Manurung yang dijadikan iklan di salah satu media massa nasional. Pada awal merintis pengajaran atau ‘sokola’ (sokola adalah istilah Orang Rimba untuk sekolah), mereka mengalami berbagai hambatan yang luar biasa. Hambatan itu berkisar dari kecurigaan dan kekhawatiran akan terjadinya perubahan terhadap budaya Orang Rimba. Sebab mereka menyadari perubahan apapun berpotensi merubah budaya Orang Rimba secara keseluruhan.

Berdasarkan sensus LSM Warsi pada tahun 2004, diperkirakan sekitar 100 orang Rimba telah memiliki kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Jumlah itu sekitar 7,6 % dari keseluruhan Orang Rimba yang ada di Taman Nasional Bukit Duabelas, yakni sekitar 1316 jiwa. Tentunya saat ini prosentase itu telah bertambah karena adanya sokola Orang Rimba yang terus menerus diselenggarakan.

Sikap Terhadap Pendidikan
Pada masa lalu bersekolah merupakan tabu. Sebab bersekolah adalah satu ciri dari kehidupan berkampung ala orang melayu. Mereka mengganggap sekolah akan merubah adat. Padahal kepercayaan mereka tidak mentolerir adanya perubahan. Tabu bersekolah pada saat itu tampaknya juga ditunjang tidak adanya yang bersedia mengajar mereka di dalam hutan.

Saat ini sikap Orang Rimba terhadap pendidikan sangat positif. Mereka memiliki semangat luar biasa untuk belajar. Mereka beranggapan bahwa bila seseorang bodoh maka hanya akan dibodohi oleh orang pintar. Mereka merasa bahwa kebodohan mereka karena ketidak mampuan membaca, menulis dan berhitung menyebabkan sering ditipu oleh orang luar. Sediah, salah seorang pelajar rimba mengungkapkan sebuah kalimat yang mendasari perubahan sikap mereka, yakni “sokola biar tidak mudah ditipu orang.’

Perubahan sikap tampaknya terjadi tidak secara tiba-tiba. Interaksi mereka yang kerap dengan orang luar, terutama warga transmigran dari jawa, menyebabkan mereka berpikir ulang mengenai sikap mereka. Mereka sadar hanya dengan menjadi pintar maka mereka dapat menghindarkan diri dari eksploitasi orang luar. Kesadaran itu tumbuh ketika menyaksikan warga transmigran yang notabene lebih terdidik dan sangat memperhatikan pendidikan, memiliki taraf hidup yang cukup tinggi. Warga transmigran sangat cepat berubah dari warga yang relatif sengsara menjadi warga yang makmur hanya dalam tempo beberapa tahun saja. Perubahan cepat itu diakui Orang Rimba karena para transmigran pintar, dan kepintaran itu diperoleh melalui sekolah.

Perubahan sikap juga sangat dipengaruhi oleh upaya persuasi yang terus menerus yang dilakukan oleh berbagai pihak baik secara perorangan maupun lembaga. Pak Alisman dan istrinya di Pematang Kabau diakui oleh Orang Rimba merupakan pelopor pendidikan bagi kelompok Orang Rimba Air Hitam. Lalu LSM seperti Warsi mempelopori pendidikan di kelompok-kelompok lain, termasuk di Makekal Hulu. Ketika saya datang mengajar di kelompok ini, semuanya cukup mudah bagi saya. Kemudahan itu berkat peran LSM Warsi yang telah merintis pendidikan untuk mereka.Sokola di dalam rimba

Sokola rimba yang diadakan oleh LSM Warsi dilangsungkan didalam hutan. Guru, yang merupakan staf Warsi menginap selama beberapa malam didalam hutan bersama para pelajar. Dalam sebulan sokola diselenggarakan hanya kurang lebih selama seminggu. Para pengajar membawa bekal untuk selama didalam rimba. Biasanya bekal yang dibawa cukup banyak karena bekal itu tidak hanya untuk makan mereka sendiri tetapi juga untuk makan para pelajar rimba. Kadang-kadang ada orangtua yang ikut datang dan ikut makan bersama. Jadi bekal yang dibawa masuk tergantung banyaknya pelajar dan memperhitungkan kelebihan dua atau tiga orang. Bila tidak ada alat masak yang ditinggal, biasanya dibawa juga alat-alat masak yang terdiri dari kuali dan periuk.

Mengajar didalam rimba ibarat berkemah. Berbagai peralatan dan bekal makanan harus disiapkan dengan cermat. Tatkala saya masuk sendirian untuk mengajar didalam rimba selama seminggu, saya membawa beras sebanyak 25 kg. Beras sebanyak itu diperkirakan cukup selama seminggu untuk 10 orang. Pelajarnya sendiri cuma 7 orang. Salah seorang diantaranya sudah menikah. Saya harus memperhitungkan minimal 2 orang tambahan yang mungkin akan ikut ketika makan bersama. Sayangnya ikan asin dan indomie goreng yang saya bawa sebagai lauk hanya bertahan selama 3 hari. Sisanya kami mengandalkan ikan-ikan yang yang dipancing oleh mereka. Ikan-ikan tersebut kami goreng dan menjadi lauk yang lumayan sedap meski bumbunya cuma garam.

Perbekalan lain yang harus dibawa adalah obat-obatan. Persiapan obat harus terus ada untuk menjaga kalau-kalau sakit datang. Lagipula kadangkala Orang Rimba, baik tua ataupun muda, laki-laki maupun perempuan datang untuk meminta obat. Pernah suatu kali ada perempuan yang meminta obat mencret. Saya memberikan seluruh obat mencret yang saya bawa. Celakanya sehari kemudian ternyata saya terserang mencret juga. Lain waktu, dan paling sering, ada yang datang meminta obat untuk sakit gigi. Untungnya saya membawa obat pereda rasa sakit, antalgin, dalam jumlah cukup banyak. Obat itu saya bagi-bagi pada mereka.

Rokok adalah perbekalan yang penting, meskipun toh kita tidak merokok. Peran rokok untuk mengakrabkan dengan Orang Rimba yang datang berkunjung. Siapa saja yang berkunjung dipersilakan untuk merokok. Rokoknya tidak perlu mahal-mahal yang penting ada. Biasanya rokok yang dibawa adalah yang bermerk matra, harum manis atau rawit yang harganya sekitar 3 ribu rupiah perbungkus.

Untuk membawa perbekalan masuk ke dalam hutan, para pelajar rimba yang akan melakukannya. Sehari sebelum masuk kita harus masuk dulu ke dalam rimba dan menitipkan pesan pada Orang Rimba yang ditemui agar menjemput ke desa esok hari. Esoknya para pelajar pasti akan datang menjadi porter bagi kita.

Apabila sokola rimba diselenggarakan untuk suatu kelompok, maka ada rumah sokola yang didirikan. Di rumah sokola itulah para pengajar dan pelajar belajar dan bermalam. Rumah sokola didirikan di dekat aliran sungai sehingga mudah mendapatkan air. Pada saat saya pertama kali mengajar pada rombongan Nijo, yang merupakan subkelompok Makekal Hulu, kami mendirikan rumah sokola dahulu. Dengan cekatan para pelajar itu menebang batang-batang kayu dan merangkainya. Tidak lebih dari satu jam, rumah sokola pun jadi. Kami merayakan selesainya rumah sokola dengan minum kopi bersama. Bentuk rumah sokola hanya semacam panggung. Atapnya menggunakan terpal. Lantai panggungnya menggunakan batang-batang kayu dan kulit kayu.

Belajar di dalam rimba sangat fleksibel. Jika dibayangkan sokola rimba seperti sekolah pada umumnya yang memiliki jam belajar tertentu dan berseragam, maka anda harus merevisi anggapan anda. Sokola rimba adalah sekolah informal. Tidak ada ijasah setelah dinyatakan lulus dan dinyatakan pandai membaca, menulis dan berhitung. Tidak ada jam sekolah. Mereka sewaktu-waktu bisa belajar, bisa malam hari sampai larut malam, bisa pagi sampai sore, namun bisa juga tidak belajar sama sekali. Semuanya tergantung pada keinginan para pelajar rimba. Pernah seharian, dari pagi sampai sore tidak ada yang belajar, dan bahkan saya ditinggal sendirian karena mereka mengangkut rotan keluar hutan. Rotan-rotan itu harus dibawa keluar hutan hari itu juga karena akan diangkut oleh toke rotan. Pada akhirnya saya malah ikut bersama-sama menyaksikan pengangkutan rotan.

Saya tidak selalu menginap di dalam hutan. Selama tiga bulan lebih saya mengajar Orang Rimba tidak dengan menginap didalam hutan. Saya tetap menginap di rumah kepala desa Bukit Suban. Pagi hari saya berangkat ke pinggiran hutan memakai sepeda kayuh untuk mengajar. Sore hari baru kembali pulang. Rumah belajarnya lebih permanen yakni rumah dari dinas sosial yang diberikan untuk Orang Rimba. Atapnya menggunakan seng dan dindingnya papan. Pelajar rimba yang belajar terdiri dari empat bersaudara. Dua diantaranya perempuan. Mereka tinggal kira-kira hanya 1 km masuk ke dalam hutan. Oleh karena itu mereka mau keluar setiap hari ke pinggir hutan untuk belajar. Semangat belajar mereka membuat kagum. Tidak jarang kalau saya terlambat datang, mereka menjemput saya sampai ke rumah kepala desa. Padahal jaraknya dari pinggir hutan sekitar 3 km. Sediah, Nuju, Nidar, dan Begenyek adalah nama keempat bersaudara itu. Mereka merupakan jalan akses untuk bergaul dengan komunitas Orang Rimba. Saya dianggap guru oleh mereka dan itu sangat memudahkan dalam berinteraksi. “Bepak guru Sediah”, kata beberapa Orang Rimba. Melalui mereka banyak informasi tentang Orang Rimba didapatkan.

Pelajar rimba
Mereka yang belajar dalam sokola rimba tidak hanya anak-anak. Ada juga orang yang telah dianggap dewasa. Dalam catatan LSM Warsi, rentang umur pelajar sekitar 7 sampai 18 tahun. Akan tetapi kelompok yang pernah saya ajar terdapat pelajar yang sudah menikah, bahkan istrinya dua. Meskipun paling tua dia justru tampak paling bersemangat. Dia paling aktif bertanya dan paling cepat menguasai materi pelajaran.

Pada awalnya, seluruh sokola rimba hanya diikuti oleh laki-laki. Perempuan dilarang untuk belajar karena dianggap tabu. Namun seiring waktu sebagian Orang Rimba mulai berpikir bahwa sokola juga baik bagi kaum perempuan. Akhirnya saat ini sokola juga telah diikuti oleh kaum perempuan. Namun demikian sebagian masih menganggap bahwa sokola merupakan tabu bagi perempuan.Pelajar rimba adalah anak-anak yang cerdas. Demikian kesimpulan yang diambil banyak orang tentang kecepatan mereka menangkap pelajaran yang diberikan. Hanya belajar dalam seminggu, mereka telah mampu membaca eja kata-kata yang sederhana. Padahal sebelumnya mereka tidak paham huruf satupun. Demikian juga ketika didiktekan sebuah kata dan mereka harus menuliskannya, umumnya mereka melakukan dengan benar. Mereka mampu menulis kata-kata sederhana yang mereka pilih sendiri. Tentu saja pencapaian itu bisa dibilang spektakuler. Oleh karena itu kesimpulan yang lekas diambil adalah mereka pelajar yang cerdas. Makanan yang baik dan penuh protein dianggap sebab dari kecerdasan mereka.

Saya mengangguk saja dengan pendapat bahwa pelajar rimba adalah pelajar yang cerdas. Akan tetapi saya rasa kecerdasan mereka sebenarnya rata-rata saja. Mereka mencapai pencapaian luar biasa dalam belajar dikarenakan umur mereka yang telah lewat. Anak berumur 15 tahun yang belajar membaca menulis dari awal seperti anak kelas 1 SD, sudah tentu akan menguasainya jauh lebih cepat. Bagaimana tidak cepat menguasai jika anak umur 15 tahun melahap materi untuk anak umur 6 tahun. Analoginya sama saja dengan lomba lari yang peserta sesungguhnya anak-anak umur 6 tahun, tetapi didalam lomba itu turut pula menjadi peserta anak umur 15 tahun yang normal. Siapakah pemenangnya? Sudah tentu anak umur 15 tahun.

Materi Belajar
Tujuan sokola bagi Orang Rimba sangat sederhana, yakni bisa membaca, menulis, dan berhitung. Kemampuan yang dimiliki akan menghindarkan mereka dari penipuan. Lebih dari itu, tiga kemampuan dasar itu merupakan senjata untuk memperoleh pengetahuan lebih lanjut. Mereka yang telah pandai membaca, menulis dan berhitung diarahkan untuk menjadi guru bagi yang lainnya. Beberapa Orang Rimba diklaim oleh mereka telah menjadi guru bagi mereka sendiri. “Sodah jadi guru” kata mereka.

Bersesuaian dengan tujuannya, maka materi belajar juga terkait dengan pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Secara bertahap, layaknya mengikuti kurikulum, materi belajar diberikan. Biasanya dimulai dari membaca. Materi bagi yang belum bisa sama sekali persis seperti materi untuk anak SD pada tahun-tahun awal. Akan tetapi kata-kata yang ditulis sebagian besar adalah kata-kata yang bermakna bagi mereka alias yang merupakan kosa kata bahasa rimba.

Setiap kali masuk ke dalam rimba untuk mengajar, staf pengajar LSM Warsi membawa alat tulis dan buku-buku. Demikian juga saya. Buku tulis itu dipergunakan pelajar rimba untuk belajar menulis. Biasanya buku tulis itu habis hanya dalam sekali masa sokola saja. Selain buku tulis, dibawa juga buku gambar dan pensil warna. Apabila mereka jenuh, mereka akan menggambar apapun yang mereka inginkan. Namun biasanya yang digambar tidak jauh dari kehidupan mereka yakni binatang hutan, tumbuhan dan aktivitas yang dilakukan di dalam hutan seperti berburu.

SD sanak
Di perbatasan desa Pematang Kabau dan Bukit Suban, jauh dari pemukiman penduduk, terdapat bangunan tembok yang dikenal masyarakat luas sebagai SD sanak. Artinya sekolah dasar untuk sanak, yakni sebutan untuk Orang Rimba. Pada awal pendirian, SD tersebut memang ditujukan bagi Orang Rimba yang mau bersekolah. Saat ini tidak lebih dari 3 Orang Rimba yang bersekolah, muridnya pun hanya kisaran 15 orang saja. Guru yang aktif mengajar hanya 4 orang. Ruangan kelasnya hanya ada 2. Jadi satu kelas menampung murid dari 3 kelas berbeda.

Kisah SD tersebut sangat menarik. Sejarahnya dimulai pada saat pak Alisman, dan terutama istrinya mengajar Orang Rimba kelompok Air Hitam.Cukup banyak anak-anak rimba yang belajar secara informal pada mereka. Akhirnya diputuskanlah untuk meminta sekolah pada pemerintah. Ada dua Orang Rimba yang sangat gigih memperjuangkan sekolah, yakni Muhammad Ali dan Besiring. Keduanya termasuk pengulu. Besiring adalah Temenggung. Mereka berdua pergi ke kantor DPRD untuk meminta sekolahan bagi Orang Rimba. Mereka tidak beranjak dari sana sebelum permintaan itu dikabulkan. Akhirnya, tidak menunggu lama permintaan tersebut disetujui.

Pada awal berdiri, sekitar 50-an Orang Rimba belajar di SD tersebut. Seiring dengan meninggalnya Muhammad Ali dan Besiring semakin berkurang pula jumlah Orang Rimba yang tetap bersekolah. Apalagi kemudian istri pak Alisman juga tidak mengajar lagi, sehingga tidak ada yang sungguh-sungguh kenal dengan anak-anak rimba. Akibatnya semakin menurun jumlah Orang Rimba yang belajar. Rata-rata mereka keluar di kelas 2 atau 3. Namun ada juga beberapa orang yang sampai lulus.

“Ngapo hopi sokola?” (mengapa tidak bersekolah) tanya saya pada salah seorang anak Temenggung Tarib, pimpinan kelompok Orang Rimba Air Hitam. Anak temenggung tersebut sudah keluar sekolah beberapa tahun lamanya dan kini sudah menikah. Sang temenggung yang menjawab untuk anaknya, “kalau guru kami ditukar, kami keluar. Yo nian, guru kami ditukar, keluarlah kami.”

Adapun yang dimaksud ‘guru kami‘adalah istri pak Alisman. Ketika dia tidak mengajar lagi, maka banyak Orang Rimba yang kemudian tidak mau bersekolah. Bagi mereka, yang dianggap guru sejati adalah yang mengajar mereka pertama kali. Adapun keberadaan guru-guru yang lain hanya dianggap sebagai penggantinya. Hal ini persis seperti lelucon orang madura yang menganggap presiden Indonesia adalah Soekarno, adapun Soeharto, Habibie, dan lainnya hanyalah penggantinya. Buat mereka sang presiden tetap Soekarno.