Oleh : Achmanto Mendatu
Jika ditanya apa yang paling dinginkan dalam hidup ini, jawabannya pasti, kebahagiaan. Berasal dari manakah kebahagiaan? Tidak lain dari perasaan keadilan. Lalu dari manakah keadilan berasal? Ia bersumber dari penerimaan dan penghargaan dari orang lain, penerimaan serta penghargaan pada orang lain, dan penerimaan serta penghargaan pada diri sendiri. Seterusnya, berasal dari manakah penerimaan dan penghargaan? Tidak lain dari perasaan tulus bahwa semua orang sama dan berhak untuk berbahagia.
Meskipun kita yakin dan percaya berlaku adil merupakan kebajikan tertinggi, namun melaksanakannya tidak pernah mudah. Selalu lebih mudah untuk berlaku tidak adil. Wujud paling nyata dari ketidakadilan adalah perlakuan diskriminatif: terhadap apapun, terhadap siapapun. Ironisnya, diskrimasi sangat kerap kita lakukan, sadar ataupun tidak. Kita berlaku diskriminatif terhadap kelompok tertentu, pekerjaan tertentu, sekolah tertentu, budaya tertentu, orang dengan karakter dan atribut tertentu, dan sebagainya. Dan diskriminasi terhadap penderita penyakit tertentu adalah yang paling tidak manusiawi. Ironis memang, justru inilah jenis diskriminasi yang paling diterima masyarakat.
Sejarah pernah mencatat, penderita lepra dikucilkan dan dijauhi masyarakat semata-mata karena menderita lepra. Bahkan kemudian dianggap pula sebagi kutukan Tuhan. Sekarang, penderita AIDS mengalami hal serupa. AIDS dianggap sebagai kutukan Tuhan. Tidak lain karena dianggap sebagai penyakit orang-orang kotor (baca: penganut freesex). Maka menjadi merasa absahlah kita mengutuk penderitanya karena menganggap mereka sebagai orang-orang kotor dan tercela. Maka kita mengucilkan, mencela, dan menjauhi mereka.
Tetapi siapakah yang sesungguhnya pantas dicela? Tuhan tidak pernah memberi kutukan pada manusia hidup. DIA terlalu asih untuk melakukannya. Tuhan juga tidak pernah bilang untuk tidak berlaku adil. Lalu kenapa kita memberlakukan ketidakadilan pada hamba-hamba Tuhan yang teraniaya? Penderita AIDS jelas-jelas teraniaya, sebab mereka menderita, tidak saja fisik tapi lebih-lebih mentalnya.
Tekanan mental yang mereka alami semakin bertambah karena perlakuan buruk kita. Kita mengucilkan, mencela, dan jangankan berbicara, memandangnya pun enggan. Kitalah yang pantas mendapat celaan, bahkan celaan Tuhan. Sebab kita tidak menerima dan menghargai mereka sebagaimana seharusnya, agar mereka bisa menerima dan menghargai diri mereka sendiri, yang pada akhirnya akan membuat mereka bahagia. Alih-alih membuat bahagia, kita malah membuat mereka tambah menderita, sebab tidak ada seorangpun yang suka dikucilkan atau dicela. Pengucilan atau pencelaan membuat orang merasa tidak berharga, padahal merasa diri cukup berharga merupakan dasar dalam kepercayaan diri sebagai landasan dalam menjalani hidup bahagia.
AIDS bukan kutukan. Ia hanya sebuah penyakit, yang bisa diderita siapapun, bahkan bayi yang baru terlahir, pun juga orang yang paling soleh sekalipun. Stigma buruk yang dilekatkan pada penyakit itu, yang membuat AIDS jadi tampak begitu mengerikan. Dan memang menjadi mengerikan melebihi keadaan objektif penyakit itu sendiri, bahwa AIDS tak tersembuhkan d sebagai kutukan Tuhan atas dosa-dosa yang telah diperbuat. Kengerian bersumber dari kondisi penyakit yang dinilai ganas itu, tapi terutama oleh perlakuan masyarakat yang tidak manusiawi terhadap penderitanya. Kengerian-kengerianlah yang pada akhirnya menimbulkan diskriminasi.Bagaimana stigma buruk terhadap AIDS terbentuk? Tidak lain karena kita tidak beroleh informasi yang benar dan cukup. Kecenderungan kita untuk lebih mudah menerima informasi yang buruk, ditambah info yang tidak lengkap cenderung memudahkan prasangka. Misalnya saja kita memperoleh info bahwa AIDS bersumber dari seks bebas. Siapapun tidak menyangkal ini. Lalu kita mengkategorikan semua penderitanya sebagai pelaku seks bebas. Maka dianggap sebagai kewajaran belaka mereka dicela. Dari prasangka muncullah stigma, yang berujung pada terbentuknya perilaku negatif terhadap penderita AIDS. Apalagi setiap orang juga cenderung untuk lebih cepat mengakui informasi yang sesuai dengan skema kognitif yang telah ada. Jika skema pikiran telah negatif (yang terbentuk karena prasangka) pada penderita AIDS, maka orang akan cenderung untuk lebih menerima informasi yang negatif daripada yang positif. Misalnya, jika sejak awal telah berpikir buruk, maka ketika ada info penderita AIDS pembawa sial, itu lebih diterima ketimbang info tentang penemuan obatnya.
Barangkali yang paling ditakutkan adalah AIDS bisa menular dengan sangat mudah melalui perantara apapun, dan obat belum lagi tersedia. Benarkah? Nyatanya AIDS tidak mudah ditularkan. Ia hanya bisa ditularkan melalui cairan darah, hubungan seksual, dan barangkali kelenjar ludah, atau yang notabene cairan dari dalam tubuh (tidak termasuk keringat tentunya). Jadi, sangat tidak beralasan untuk mengucilkan penderita AIDS. Sampai-sampai berjabat tangan pun enggan, bahkan mengusir mereka para penderita dari lingkungan tempat tinggal. Tidak ada satupun penjelasan ilmiah yang bisa membenarkan pengucilan terhadap mereka. Kita yang mengaku manusia modern yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip keilmiahan dibalik segala sesuatu, sudah semestinya menentang pengucilan itu. Sebab pengucilan tidak memiliki dasar ilmiah apapun.
Penderita AIDS umumnya mengalami depresi, dimana perasaannya tertekan dan merasa tidak berguna, bahkan memiliki kecenderungan untuk bunuh diri. Ini akibat dari stigmasisasi masyarakat terhadap AIDS. Penolakan dan pengabaian orang lain, terutama keluarga akan menambah depresi yang diderita. Penderita AIDS yang mengalami kemunduran fisik secara bertahap, semestinya harus didorong untuk tetap bersemangat dan optimis dalam menjalani kehidupan. Mereka yang telah kehilangan kesehatan, ibarat orang telah kehilangan hartanya yang paling berharga. Jadi, dukungan penuh dari lingkungan akan sangat membantu penderita untuk menjalani kehidupan yang menyenangkan. Tapi alih-alih mendukung, perilaku kita malahan diskriminatif; menekan mereka. Sungguh benar-benar tidak manusiawi, orang yang tertimpa kesusahan diperberat kesusahannya oleh perlakuan kita yang mendiskreditkan.
Sangat banyak kasus, setelah diketahui HIV positif, penderita diberhentikan dari pekerjaan, dijauhi dalam pergaulan dan malahan juga keluarga, tidak diterima di tempat-tempat publik, ditangkap seperti napi untuk diamankan, dan bahkan dibunuh sebab dianggap sebagai pencemar masyarakat. Maka, dapat diterimalah banyak penderita tidak mau mengungkapkan keadaan mereka yang sebenarnya karena takut kehilangan lahan penghidupan karena tidak ada jaminan sosial jika berhenti kerja, dan lebih-lebih takut lagi tidak diterima masyarakat, yang akan sama berarti dengan kehilangan sifat manusianya sebagai mahluk sosial. Pengumuman kepada publik sama dengan bunuh diri secara sosial. Bahkan benar-benar bunuh diri yang sesungguhnya (baca:menyediakan diri untuk dibunuh) seperti di beberapa tempat di afrika. Bilamana diketahui ada penderita , maka penderita itu akan dirajam sampai mati.
Ketidakadilan masyarakat yang menyebabkan kekejaman itu.. Andai saja penderita AIDS diterima dan dihargai, serta diperlakukan sebagai manusia selayaknya, tentu penyebaran AIDS dapat ditekan. Sebab penderita bisa sukarela mengungkapkan diri kepada publik sehingga penanganan yang tepat bisa dilakukan. Kalau profesi penderita berpotensi menularkan virus HIV yang diidapnya pada orang lain (ex: pelacur), maka itu dapat dihindarkan jika penderita berhenti berprofesi. Hal ini akan mencegah penyebaran HIV yang lebih luas. Masalahnya, tidak ada jaminan sosial jika mereka berhenti kerja, dan terlebih mereka akan ditolak masyarakat bila mengumumkan penderitaan mereka.
Hakekat keadilan adalah keadilan sosial. Keadilan tidak dapat di formulasikan tanpa ada konteks sosialnya. Kita tidak bisa menganggap diri adil tanpa melihat perbandingannya dengan orang lain, dan apa yang diperbuat serta akibat yang kita perbuat pada orang lain. Salah satu bentuk keadilan adalah keadilan distributif, dimana salah satu prinsipnya adalah menggunakan prinsip karikatif, yaitu santunan kepada orang yang tidak dapat berusaha, dan secara potensial kurang dapat berusaha guna mendapatkan hasil bagi kehidupan yang layak. Termasuk didalamnya anak yatim, orang cacat, lansia, orang sakit (penderita AIDS salah satunya) dan lainnya yang sejenis. Bantuan tidak sekedar bermakna memberi untuk mencukupi pihak yang menerima, tetapi juga perhatian dan kepercayaan dari pihak lain. Disinilah jelas kiranya, penderita AIDS selayaknya untuk diperhatikan dan dipercayai sebagai manusia adanya. Pemenuhan bantuan tidak cuma soal jaminan sosial, tapi mutlak perlu pemenuhan kebutuhan psikologisnya.
Keadilan interaksional adalah jenis keadilan yang lain. Aspeknya yang penting adalah penghargaan dan kepercayaan. Sikap dan perilaku memaki, mencela, diskriminatif, menyepelekan, mengabaikan, menghina, mengancam dan membohongi adalah hal-hal yang berlawanan dengan penghargaan. Salah satu bagian kepercayaan adalah kepedulian. Hal itu bisa ditunjukkan dengan perhatian dan empati pada penderita AIDS. Akhirnya, sudahkah kita berlaku adil?
Kita bisa memulainya dengan bersikap adil pada diri kita sendiri dengan meyakini bahwa setiap orang berhak berbahagia. Dari sana akan tumbuh penerimaan dan penghargaan terhadap setiap orang, yang akhirnya bisa membahagiakan siapapun termasuk penderita AIDS. Dan untuk sampai ke sana, informasi yang utuh dan lengkap tentang AIDS menjadi mutlak, agar tidak mudah berprasangka. Sebab prasangka tumbuh dari kurangnya informasi yang akhirnya menimbulkan stigma. Selanjutnya tentu agar kita tidak diskriminatif dan menerima mereka dengan tulus.
Jika kita adalah orang yang perduli dengan sesama, kepedulian kita pada penderita AIDS adalah salah satu yang terluhur sebab mereka adalah orang-orang yang teraniaya. Langkah terbaik yang pertama-tama sebagai wujud kepedulian kita adalah mencari informasi mengenai AIDS secara utuh dan benar. Kemudian ketika ada penderita disekitar kita, berlaku tidak diskriminatif atau berkeadilan menjadi wajib dilakukan. Tidak saja demi penderita itu sendiri, tapi juga demi diri kita sendiri dalam mencapai sifat adil sebagai jalan mencapai manusia sejati. Adalah muskil keadilan bisa tercapai seperti yang diidamkan setiap orang bila masih ada diskriminasi: terhadap apapun terhadap siapapun.
Jika ditanya apa yang paling dinginkan dalam hidup ini, jawabannya pasti, kebahagiaan. Berasal dari manakah kebahagiaan? Tidak lain dari perasaan keadilan. Lalu dari manakah keadilan berasal? Ia bersumber dari penerimaan dan penghargaan dari orang lain, penerimaan serta penghargaan pada orang lain, dan penerimaan serta penghargaan pada diri sendiri. Seterusnya, berasal dari manakah penerimaan dan penghargaan? Tidak lain dari perasaan tulus bahwa semua orang sama dan berhak untuk berbahagia.
Meskipun kita yakin dan percaya berlaku adil merupakan kebajikan tertinggi, namun melaksanakannya tidak pernah mudah. Selalu lebih mudah untuk berlaku tidak adil. Wujud paling nyata dari ketidakadilan adalah perlakuan diskriminatif: terhadap apapun, terhadap siapapun. Ironisnya, diskrimasi sangat kerap kita lakukan, sadar ataupun tidak. Kita berlaku diskriminatif terhadap kelompok tertentu, pekerjaan tertentu, sekolah tertentu, budaya tertentu, orang dengan karakter dan atribut tertentu, dan sebagainya. Dan diskriminasi terhadap penderita penyakit tertentu adalah yang paling tidak manusiawi. Ironis memang, justru inilah jenis diskriminasi yang paling diterima masyarakat.
Sejarah pernah mencatat, penderita lepra dikucilkan dan dijauhi masyarakat semata-mata karena menderita lepra. Bahkan kemudian dianggap pula sebagi kutukan Tuhan. Sekarang, penderita AIDS mengalami hal serupa. AIDS dianggap sebagai kutukan Tuhan. Tidak lain karena dianggap sebagai penyakit orang-orang kotor (baca: penganut freesex). Maka menjadi merasa absahlah kita mengutuk penderitanya karena menganggap mereka sebagai orang-orang kotor dan tercela. Maka kita mengucilkan, mencela, dan menjauhi mereka.
Tetapi siapakah yang sesungguhnya pantas dicela? Tuhan tidak pernah memberi kutukan pada manusia hidup. DIA terlalu asih untuk melakukannya. Tuhan juga tidak pernah bilang untuk tidak berlaku adil. Lalu kenapa kita memberlakukan ketidakadilan pada hamba-hamba Tuhan yang teraniaya? Penderita AIDS jelas-jelas teraniaya, sebab mereka menderita, tidak saja fisik tapi lebih-lebih mentalnya.
Tekanan mental yang mereka alami semakin bertambah karena perlakuan buruk kita. Kita mengucilkan, mencela, dan jangankan berbicara, memandangnya pun enggan. Kitalah yang pantas mendapat celaan, bahkan celaan Tuhan. Sebab kita tidak menerima dan menghargai mereka sebagaimana seharusnya, agar mereka bisa menerima dan menghargai diri mereka sendiri, yang pada akhirnya akan membuat mereka bahagia. Alih-alih membuat bahagia, kita malah membuat mereka tambah menderita, sebab tidak ada seorangpun yang suka dikucilkan atau dicela. Pengucilan atau pencelaan membuat orang merasa tidak berharga, padahal merasa diri cukup berharga merupakan dasar dalam kepercayaan diri sebagai landasan dalam menjalani hidup bahagia.
AIDS bukan kutukan. Ia hanya sebuah penyakit, yang bisa diderita siapapun, bahkan bayi yang baru terlahir, pun juga orang yang paling soleh sekalipun. Stigma buruk yang dilekatkan pada penyakit itu, yang membuat AIDS jadi tampak begitu mengerikan. Dan memang menjadi mengerikan melebihi keadaan objektif penyakit itu sendiri, bahwa AIDS tak tersembuhkan d sebagai kutukan Tuhan atas dosa-dosa yang telah diperbuat. Kengerian bersumber dari kondisi penyakit yang dinilai ganas itu, tapi terutama oleh perlakuan masyarakat yang tidak manusiawi terhadap penderitanya. Kengerian-kengerianlah yang pada akhirnya menimbulkan diskriminasi.Bagaimana stigma buruk terhadap AIDS terbentuk? Tidak lain karena kita tidak beroleh informasi yang benar dan cukup. Kecenderungan kita untuk lebih mudah menerima informasi yang buruk, ditambah info yang tidak lengkap cenderung memudahkan prasangka. Misalnya saja kita memperoleh info bahwa AIDS bersumber dari seks bebas. Siapapun tidak menyangkal ini. Lalu kita mengkategorikan semua penderitanya sebagai pelaku seks bebas. Maka dianggap sebagai kewajaran belaka mereka dicela. Dari prasangka muncullah stigma, yang berujung pada terbentuknya perilaku negatif terhadap penderita AIDS. Apalagi setiap orang juga cenderung untuk lebih cepat mengakui informasi yang sesuai dengan skema kognitif yang telah ada. Jika skema pikiran telah negatif (yang terbentuk karena prasangka) pada penderita AIDS, maka orang akan cenderung untuk lebih menerima informasi yang negatif daripada yang positif. Misalnya, jika sejak awal telah berpikir buruk, maka ketika ada info penderita AIDS pembawa sial, itu lebih diterima ketimbang info tentang penemuan obatnya.
Barangkali yang paling ditakutkan adalah AIDS bisa menular dengan sangat mudah melalui perantara apapun, dan obat belum lagi tersedia. Benarkah? Nyatanya AIDS tidak mudah ditularkan. Ia hanya bisa ditularkan melalui cairan darah, hubungan seksual, dan barangkali kelenjar ludah, atau yang notabene cairan dari dalam tubuh (tidak termasuk keringat tentunya). Jadi, sangat tidak beralasan untuk mengucilkan penderita AIDS. Sampai-sampai berjabat tangan pun enggan, bahkan mengusir mereka para penderita dari lingkungan tempat tinggal. Tidak ada satupun penjelasan ilmiah yang bisa membenarkan pengucilan terhadap mereka. Kita yang mengaku manusia modern yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip keilmiahan dibalik segala sesuatu, sudah semestinya menentang pengucilan itu. Sebab pengucilan tidak memiliki dasar ilmiah apapun.
Penderita AIDS umumnya mengalami depresi, dimana perasaannya tertekan dan merasa tidak berguna, bahkan memiliki kecenderungan untuk bunuh diri. Ini akibat dari stigmasisasi masyarakat terhadap AIDS. Penolakan dan pengabaian orang lain, terutama keluarga akan menambah depresi yang diderita. Penderita AIDS yang mengalami kemunduran fisik secara bertahap, semestinya harus didorong untuk tetap bersemangat dan optimis dalam menjalani kehidupan. Mereka yang telah kehilangan kesehatan, ibarat orang telah kehilangan hartanya yang paling berharga. Jadi, dukungan penuh dari lingkungan akan sangat membantu penderita untuk menjalani kehidupan yang menyenangkan. Tapi alih-alih mendukung, perilaku kita malahan diskriminatif; menekan mereka. Sungguh benar-benar tidak manusiawi, orang yang tertimpa kesusahan diperberat kesusahannya oleh perlakuan kita yang mendiskreditkan.
Sangat banyak kasus, setelah diketahui HIV positif, penderita diberhentikan dari pekerjaan, dijauhi dalam pergaulan dan malahan juga keluarga, tidak diterima di tempat-tempat publik, ditangkap seperti napi untuk diamankan, dan bahkan dibunuh sebab dianggap sebagai pencemar masyarakat. Maka, dapat diterimalah banyak penderita tidak mau mengungkapkan keadaan mereka yang sebenarnya karena takut kehilangan lahan penghidupan karena tidak ada jaminan sosial jika berhenti kerja, dan lebih-lebih takut lagi tidak diterima masyarakat, yang akan sama berarti dengan kehilangan sifat manusianya sebagai mahluk sosial. Pengumuman kepada publik sama dengan bunuh diri secara sosial. Bahkan benar-benar bunuh diri yang sesungguhnya (baca:menyediakan diri untuk dibunuh) seperti di beberapa tempat di afrika. Bilamana diketahui ada penderita , maka penderita itu akan dirajam sampai mati.
Ketidakadilan masyarakat yang menyebabkan kekejaman itu.. Andai saja penderita AIDS diterima dan dihargai, serta diperlakukan sebagai manusia selayaknya, tentu penyebaran AIDS dapat ditekan. Sebab penderita bisa sukarela mengungkapkan diri kepada publik sehingga penanganan yang tepat bisa dilakukan. Kalau profesi penderita berpotensi menularkan virus HIV yang diidapnya pada orang lain (ex: pelacur), maka itu dapat dihindarkan jika penderita berhenti berprofesi. Hal ini akan mencegah penyebaran HIV yang lebih luas. Masalahnya, tidak ada jaminan sosial jika mereka berhenti kerja, dan terlebih mereka akan ditolak masyarakat bila mengumumkan penderitaan mereka.
Hakekat keadilan adalah keadilan sosial. Keadilan tidak dapat di formulasikan tanpa ada konteks sosialnya. Kita tidak bisa menganggap diri adil tanpa melihat perbandingannya dengan orang lain, dan apa yang diperbuat serta akibat yang kita perbuat pada orang lain. Salah satu bentuk keadilan adalah keadilan distributif, dimana salah satu prinsipnya adalah menggunakan prinsip karikatif, yaitu santunan kepada orang yang tidak dapat berusaha, dan secara potensial kurang dapat berusaha guna mendapatkan hasil bagi kehidupan yang layak. Termasuk didalamnya anak yatim, orang cacat, lansia, orang sakit (penderita AIDS salah satunya) dan lainnya yang sejenis. Bantuan tidak sekedar bermakna memberi untuk mencukupi pihak yang menerima, tetapi juga perhatian dan kepercayaan dari pihak lain. Disinilah jelas kiranya, penderita AIDS selayaknya untuk diperhatikan dan dipercayai sebagai manusia adanya. Pemenuhan bantuan tidak cuma soal jaminan sosial, tapi mutlak perlu pemenuhan kebutuhan psikologisnya.
Keadilan interaksional adalah jenis keadilan yang lain. Aspeknya yang penting adalah penghargaan dan kepercayaan. Sikap dan perilaku memaki, mencela, diskriminatif, menyepelekan, mengabaikan, menghina, mengancam dan membohongi adalah hal-hal yang berlawanan dengan penghargaan. Salah satu bagian kepercayaan adalah kepedulian. Hal itu bisa ditunjukkan dengan perhatian dan empati pada penderita AIDS. Akhirnya, sudahkah kita berlaku adil?
Kita bisa memulainya dengan bersikap adil pada diri kita sendiri dengan meyakini bahwa setiap orang berhak berbahagia. Dari sana akan tumbuh penerimaan dan penghargaan terhadap setiap orang, yang akhirnya bisa membahagiakan siapapun termasuk penderita AIDS. Dan untuk sampai ke sana, informasi yang utuh dan lengkap tentang AIDS menjadi mutlak, agar tidak mudah berprasangka. Sebab prasangka tumbuh dari kurangnya informasi yang akhirnya menimbulkan stigma. Selanjutnya tentu agar kita tidak diskriminatif dan menerima mereka dengan tulus.
Jika kita adalah orang yang perduli dengan sesama, kepedulian kita pada penderita AIDS adalah salah satu yang terluhur sebab mereka adalah orang-orang yang teraniaya. Langkah terbaik yang pertama-tama sebagai wujud kepedulian kita adalah mencari informasi mengenai AIDS secara utuh dan benar. Kemudian ketika ada penderita disekitar kita, berlaku tidak diskriminatif atau berkeadilan menjadi wajib dilakukan. Tidak saja demi penderita itu sendiri, tapi juga demi diri kita sendiri dalam mencapai sifat adil sebagai jalan mencapai manusia sejati. Adalah muskil keadilan bisa tercapai seperti yang diidamkan setiap orang bila masih ada diskriminasi: terhadap apapun terhadap siapapun.