Oleh Achmanto Mendatu
Indonesia mencatat puluhan bahkan ratusan perselisihan antar kelompok etnik sejak berdirinya. Meskipun demikian hanya beberapa yang berskala luas dan besar. Selain konflik antara etnik-etnik yang digolongkan asli Indonesia dengan etnis Cina yang laten terjadi, konflik antar etnik yang terbesar diantaranya melibatkan etnik Madura dengan Etnik Dayak di Kalimantan yang terkenal dengan tragedi Sambas dan tragedi Sampit. Konflik-konflik dalam skala lebih kecil terjadi hampir setiap tahun di berbagai tempat di penjuru tanah air.
Tentunya sebagaimana konflik lain, mencari akar penyebab konflik antar etnik merupakan kunci dalam upaya meredam konflik dan mencegah terulangnya kembali konflik serupa. Berbagai perspektif telah memberikan pandangannya, baik itu perspektif politik, ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi, hukum, dan lainnya. Berbagai sebab konflik telah pula diidentifikasi. Salah satu sebab yang sering ditemukan dalam konflik antar etnik adalah prasangka antar etnik. Dalam bagian ini akan diketengahkan bagaimana peranan prasangka dalam konflik antar etnik.
Apakah konflik?
Apakah konflik? Lebih spesifik apakah konflik antar etnik? Menurut Hocker dan Wilmot (dalam Isenhart dan Spangle, 2000) konflik adalah ekpresi perjuangan diantara minimal dua belah pihak yang saling tergantung untuk mencapai tujuan tertentu, dimana dua pihak itu merasa tidak memiliki kesamaan tujuan, memperebutkan sumber daya yang langka, dan merasa adanya campur tangan pihak lain dalam upaya pencapaian tujuan. Definisi konflik diatas mencakup segala tindakan yang merupakan efek dari perjuangan mencapai tujuan, seperti saling memaki atau permusuhan verbal, menghindari pertemuan, perkelahian, perang, dan lainnya. Konflik bisa dalam skala besar bisa juga kecil. Memaki pihak lawan ketika bertemu di jalan mungkin hanya merupakan konflik skala kecil. Tapi itupun tergantung konteksnya, karena kalau yang bertemu dan saling memaki itu merupakan pemimpin dua belah pihak yang sedang berkonflik, efeknya bisa sangat besar.
Kita semua hampir selalu mengidentikkan konflik dengan pertentangan. Akan tetapi pertentangan tidak selalu bermakna konflik. Tidak semua pertentangan menciptakan konflik. Pertentangan yang terjadi antara dua pihak dalam forum diskusi misalnya, jarang sekali menimbulkan konflik. Menurut Gurr (1980) kriteria agar sebuah pertentangan bisa dikatakan sebagai sebuah konflik adalah :
Sebuah konflik melibatkan minimal dua pihak atau lebih.
Pihak-pihak tersebut saling tarik menarik dalam aksi saling memusuhi
Mereka cenderung menjalankan perilaku koersif untuk menghadapi dan menghancurkan pihak lawan
Hubungan pertentangan diantara pihak-pihak itu berada dalam keadaan yang tegas karena peristiwa pertentangan itu dapat dideteksi dengan mudah oleh para pengamat yang tidak terlibat dalam pertentangan.
Konflik antar etnik berarti dua pihak yang berlawanan adalah dua atau lebih kelompok etnik. Dalam konflik itu sendiri bisa saja pelakunya mengatasnamakan etnik dan bisa juga tidak. Demikan juga lawan dalam konflik bisa disebutkan mengatasnamakan etnik bisa juga tidak. Dalam kasus konflik antara etnik Madura dan etnik Dayak, jelas sekali mereka membawa bendera etnik. Pada kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan berbagai kota besar lainnya, tampak sekali bahwa sasaran kerusuhan adalah etnik Cina, sementara pelakunya etnik mana tidak jelas. Namun demikian, kerusuhan Mei di Jakarta, tetap bisa disebut konflik antar etnik, karena setidaknya salah satu pihak bisa diidentifikasi sebagai etnik mana.
Seringkali terjadi segerombolan pemuda etnik tertentu berkelahi dengan gerombolan pemuda etnik lain karena memperebutkan seorang gadis. Apakah hal ini juga bisa disebut konflik antar etnik? Apabila tidak melibatkan struktur dalam etnik masing-masing dalam konflik, maka perkelahian itu tidak bisa disebut konflik antar etnik. Perkelahian disebut perkelahian antar etnik bila telah membawa identitas etnik masing-masing.
Sumber konflik antaretnik
Konflik bisa disebabkan oleh suatu sebab tunggal. Akan tetapi jauh lebih sering konflik terjadi karena berbagai sebab sekaligus. Kadangkala antara sebab yang satu dengan yang lain tumpang tindih sehingga sulit menentukan mana sebenarnya penyebab konflik yang utama. Faturochman (2003) menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik, 1) Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak, 2) Perebutan sumber daya, 3) Sumber daya yang terbatas, 4) Kategori atau identitas yang berbeda, 5) Prasangka atau diskriminasi, 6) Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan). Sementara itu, Sukamdi (2002) menyebutkan bahwa konflik antar etnik di Indonesia terdiri dari tiga sebab utama: (1) konflik muncul karena ada benturan budaya, (2) karena masalah ekonomi-politik, (3) karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial. Menurutnya konflik terbuka dengan kelompok etnis lain hanyalah merupakan bentuk perlawanan terhadap struktur ekonomi-politik yang menghimpit mereka.
Bisa kita lihat, bahwa apa yang dikemukakan Sukamdi di atas merupakan turunan dari apa yang disampaikan faturochman mengenai penyebab konflik. Benturan budaya antar etnik terjadi karena adanya kategori atau identitas sosial yang berbeda. Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan budaya khasnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Sikap etnosentrik yang kaku ini sangat berperan dalam menciptakan konflik karena ketidakmampuan orang-orang untuk memahami perbedaan. Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang terhadap kelompok cenderung akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, halmana juga merupakan sumber konflik yang potensial. Terkait dengan resolusi konflik, karena konflik dimunculkan salah satunya karena adanya identitas budaya, yang mengandaikan adanya perbedaan dalam memahami realitas, maka sangatlah penting untuk membuat suatu resolusi konflik yang mempertimbangkan asal budaya (Kumolohadi & Andrianto, 2002). Seringkali pelaksana resolusi konflik gagal menjalankan perannya dalam menghentikan konflik antaretnik karena metode yang dipakai mengharuskan adanya sikap dan persepsi tertentu dari mereka yang bertikai, tapi sementara itu mereka yang bertikai memiliki sikap dan persepsi terhadap konflik yang beragam akibat perbedaan budaya.
Persoalan ekonomi sebagai penyebab konflik antar etnik merupakan sesuatu yang tak terbantah, meskipun tentu tidak semua konflik antar etnik ditimbulkan karena persoalan ekonomi belaka. Ketersediaan sumber daya ekonomi di suatu wilayah menjadi indikator penting bagi kemungkinan terjadinya konflik. Semakin mudah sumber daya itu didapatkan oleh setiap orang, maka kemungkinan konflik juga semakin rendah. Sebaliknya semakin langka sumber daya yang tersedia sehingga terjadi kompetisi untuk mendapatkan sumber daya maka kemungkinan terjadinya konflik semakin besar. Persoalan ekonomi juga menyangkut distribusi sumber daya. Ketidakjelasan aturan dalam kompetisi memperebutkan sumber daya merupakan sumber konflik yang potensial. Dalam hal ini ketidakjelasan aturan bisa dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya ketidakadilan. Adanya kesenjangan sosial sebagai akibat adanya kesenjangan ekonomi yang besar merupakan cerminan dari adanya ketidakadilan dalam distribusi sumber daya. Bila terjadi kesenjangan yang besar antar berbagai kelompok etnik maka kemungkinan terjadinya konflik juga semakin besar, karena perasaan ketidakadilan akan mendorong timbulnya semangat perlawanan.
Sementara itu peranan politik dalam konflik antar etnik berkaitan dengan adanya pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap adanya konflik. Haryanto (2002) menunjukkan bahwa konflik sosial yang terjadi di Indonesia salah satu akar permasalahannya adalah adanya faktor pemicu, selain faktor adanya deprivasi antar kelompok masyarakat dan faktor dominasi sosial, politik, dan agama. Faktor pemicu konflik antar etnik mungkin dimunculkan secara sengaja oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Penguasaan sumber daya tertentu yang diinginkan oleh beberapa pihak mungkin menjadi salah satu sebab yang membuat pihak-pihak yang terlibat menggunakan konflik antar etnik sebagai jalan untuk memenangkan persaingan. Hal ini bisa dilihat dari siapa yang mendapatkan keuntungan dari adanya konflik.
Faktor pemicu dengan sendirinya mengandaikan telah adanya faktor-faktor yang potensial mencipta konflik. Berbagai sebab konflik seperti yang dikemukakan Faturochman diatas, diandaikan telah ada dalam masyarakat. Dalam hal ini faktor prasangka merupakan determinan penting. Semakin besar prasangka antar etnik yang timbul maka semakin sedikit faktor pemicu yang diperlukan untuk menciptakan konflik antar etnik secara terbuka. Faktor prasangka sendiri seperti yang telah dibahas dalam bab tiga, bisa dimunculkan oleh lima sebab lainnya. Sehingga sangat beralasan kalau dinyatakan bahwa prasangka merupakan sumber konflik antar etnik terbesar.
Konflik antar etnik yang paling sering terjadi di Indonesia melibatkan etnik Cina sebagai korban, dan etnik lainnya sebagai pemegang inisiatif. Beberapa konflik menunjukkan skala yang luas dan berat, sementara yang lain berskala lebih kecil dan lokal. Menurut Arifin (1998) konflik antar etnik yang melibatkan etnik Cina tidak banyak terkait dengan dengan soal rasial dan pengakuan masyarakat terhadap mereka. Hal ini terlihat dari kenyataan, bahwa pada umumnya sasaran kerusuhan dan amuk massa berbentuk perusakan, penjarahan, dan pembakaran terhadap hak milik, dan bukan dalam bentuk rasa permusuhan terhadap etnis Cina, dan pembunuhan jiwa. Setelah tahun 70-an kerusuhan lebih banyak terkait dengan persoalan sosial, ekonomi, dan politik. Misalnya kerusuhan di Medan (1995), di Situbondo (1996), di Jakarta (14-15 Mei 1998) dan di Solo (1998) lebih dipicu oleh persoalan dominasi ekonomi dan kolusi oleh kelompok-kelompok elit WNI etnis Cina dengan kekuasaan.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwasanya etnis Cina merupakan penggerak perekonomian Indonesia yang utama. Mereka menguasai sebagian besar sektor perekonomian sehingga memiliki sumber daya ekonomi paling besar. Sayangnya, keberhasilan etnis Cina itu tidak berbarengan dengan keberhasilan etnis lain dalam mencapai kemakmuran. Dalam bahasa ekstrim, etnis Cina merupakan pemenang kompetisi perebutan sumber daya sementara etnis lain sebagai pihak yang dikalahkan. Sayangnya pula kesenjangan ekonomi antara etnis Cina dan etnis lain cukup besar, bahkan makin melebar dari waktu ke waktu. Kenyataan ini mendorong adanya deprivasi relatif, dimana seseorang merasa tidak mendapatkan kemakmuran yang ingin dicapai meskipun telah berupaya keras mendapatkan (menurutnya). Deprivasi ini, sebagaimana yang telah kita lihat, merupakan sumber dari adanya prasangka dan konflik. Jadi, etnik bukanlah merupakan sumber konflik. Kesenjanganlah yang menjadi sumber konflik utama halmana telah memunculkan prasangka, sedangkan etnik sebagai sebab-sebab yang memadai.
Selain adanya pihak-pihak tertentu yang sengaja memobilisasi massa untuk melakukan perusuhan terhadap etnis Cina (disinyalir kerusuhan Mei 1998 di Jakarta massa di kerahkan pihak-pihak tertentu demi kepentingan tertentu. Baca “Kapok Jadi Nonpri’, terbitan Zaman Wacana Mulia). Nampaknya jelas bahwa kerusuhan yang melibatkan etnis Cina lebih merupakan persoalan ekonomis. Adapun dari persoalan-persoalan ekonomi itu terciptalah berbagai prasangka yang menciptakan jarak sosial yang lebar antar etnis. Dan dalam konflik, prasangka digunakan untuk menjustifikasi tindakan destruktif yang dilakukan terhadap etnis Cina.
Siahaan (2002) menunjukkan bahwa berbagai prasangka, generalisasi, stereotip, serta tuduhan yang secara konvensional dialamatkan kepada etnik Cina ternyata tidak selalu faktual (tidak didukung fakta). Terbukti bahwa segala asumsi dan tesis mengenai Cina di tingkat makro (nasional) tidak selalu koheren dengan realitas lapangan (lokal). Misalnya dalam tingkat makro selalu didengung-dengungkan etnis Tonghoa bertindak secara eksklusif dan tidak mau bergaul dengan etnis lain, pada kenyataannya di tingkat lokal justru banyak sekali etnis Cina yang sudah sulit dibedakan identitas kecinannya. Mereka melebur dalam masyarakat secara keseluruhan.
Dalam sebuah penelitian di Kalimantan Barat, Siahaan (2002) menemukan bahwa secara empiris terbukti bahwa sukses dan dominasi ekonomi Cina bukan merupakan fungsi ras serta bakat, dan juga bukan semata-mata berkait konsesi dan privilese, tetapi hasil pemanfaatan peluang setempat secara tepat, cepat, efisien, dan efektif. Dalam sejarah, semangat dan etos kerja, daya juang, dan keuletan perantau cenderung menjadi determinan yang memungkinkan keunggulan dan keberhasilan kelompok perantau itu di atas penduduk lokal. ‘Keterasingan dan kesendirian’ sang perantau di negeri seberang, jauh dari sanak saudara dan sahabat yang dapat dimintai bantuan, lebih besar peranannya sebagai pendukung motivasi dan semangat kerja daripada faktor-faktor bawaan seperti bakat, budaya, dan ras.
Namun sementara itu prasangka yang berkembang terhadap mereka, beberapa juga melandaskan pada kesuksesan yang diraih etnis Cina. Seperti misalnya berkembang anggapan bahwa dalam berbisnis etnis Cina sering bermain curang dan suka menyuap pihak penguasa untuk mendapatkan konsesi ekonomi. Halmana membuat mereka cepat sekali sukses. Lalu jika ada etnis Cina datang untuk berbisnis di suatu wilayah, maka segera akan mendatangkan rekan-rekannya sesama etnis Cina untuk berbisnis di daerah itu dan akan mematikan bisnis warga setempat. Maka akibatnya dibanyak tempat bisa ditemui dimana etnis Cina dilarang melakukan perdagangan.
Sebenarnya konflik antar etnis yang melibatkan etnis Cina sesuatu yang memang sangat mungkin terus terjadi bahkan untuk waktu-waktu mendatang. Menurut analisis Amy Chua, seorang profesor dari Yale University, dimana ada sekelompok minoritas etnis yang mendominasi pasar dan sekaligus ada sistem politik yang menganut demokrasi, bisa diramalkan akan terjadi serangan terhadap kelompok minoritas Menurutnya terjadinya konflik bukan persoalan membaur atau tidak membaurnya etnik minoritas dengan etnik mayoritas, sebagaimana yang secara konvensional kita pahami. Masalahnya ada pada terdapatnya market-dominant minorities, yaitu keberadaan kelompok minoritas yang kaya raya yang memperolehnya berkat ekonomi pasar. Sistem pasar pada saat ini sudah menjadi semacam dogma yang tidak boleh dilanggar. Akan tetapi, justru sistem yang dipuji-puji inilah yang melahirkan sekelompok kecil yang kebetulan adalah kelompok minoritas etnis yang memiliki kekayaan menonjol. Oleh karena hal itu tumbuhlah iri hati kelompok mayoritas. Lalu bagaimana menyalurkan kemarahan itu? Lewat proses demokrasi. Dalam sistem demokrasi, kemenangan kelompok mayoritas dijamin ketika berhadapan dengan kelompok minoritas. Maka, tidak mengherankan justru ketika proses demokratisasi dimulai, dimulai juga serangan terhadap kelompok market-dominant minorities (untuk Indonesia etnis Cina). Kemenangan kelompok mayoritas dalam pemilu menjadi legitimasi untuk menetapkan kebijakan dan peraturan yang membatasi, bahkan memangkas hak-hak dari kelompok market-dominant minorities. Padahal demokrasi merupakan dogma wajib pada saat ini. Kesimpulannya, selama sistem ekonomi pasar dan demokrasi secara bersamaan diterapkan maka kekerasan terhadap market-dominant minorities akan terus berlanjut. Untuk konteks Indonesia, etnis Cina diramalkan akan terus menghadapi tantangan kekerasan terhadap mereka (Paragraf ini meringkas dari Review Buku Prof. Amy Chua, oleh I Budiman dalam kompas 20 maret 2004, h.45).
Setelah membahas konflik antar etnik yang terkait dengan etnik Cina, sekarang kita akan membicarakan konflik antar etnik yang paling besar yang pernah terjadi di Indonesia, yakni konflik antara etnik Dayak dan etnik Madura di Kalimantan beberapa tahun lalu (tragedi Sambas dan Sampit), dimana ribuan orang terbunuh dan puluhan ribu lainnya harus menjadi pengungsi di negerinya sendiri. Hidayah (2002) menyebutkan bahwa sebenarnya pemantik konflik hanya disebabkan oleh perkelahian antar pemuda etnis dayak dengan etnis madura. Akan tetapi karena dalam perkelahian itu ada yang terbunuh maka muncullah solidaritas dan balas dendam kesukuan karena pada konflik tersebut terjadi pembunuhan, dan kemudian diperkuat pula oleh prinsip-prinsip adat sehingga konflik menjadi berkepanjangan dan membawa korban yang luar biasa besar.
Banyak analisis telah dilakukan untuk mencari tahu akar dari adanya konflik. Selain analisis yang menunjukkan adanya pihak-pihak tertentu yang sengaja mengorganisir terjadinya kekerasan, ada banyak analisis lain yang mendasarkan pada berbagai perspektif. Sebuah analisis menyimpulkan bahwa terjadinya perebutan sumber daya ekonomi yang semakin terbatas yang telah menyebabkan terjadinya konflik. Dulu saat sumber daya ekonomi cukup melimpah dan mudah didapatkan maka konflik terhindarkan. Akan tetapi begitu sumberdaya ekonomi semakin terbatas dan semakin banyak orang memperebutkannya maka terjadilah kompetisi perebutan sumberdaya. Sebagai konsekuensi logis dari adanya kompetisi perebutan sumber daya adalah terciptanya prasangka antar etnik. Dan lalu adanya prasangka terhadap etnik lain menjadi justifikasi kekerasan terhadap etnik tersebut.
Sebagai lanjutan dari analisis diatas, analisis lain menunjukkan bahwa adanya kesenjangan ekonomi antara etnis Dayak dan etnis Madura sebagai penyebab konflik. Kesenjangan ekonomi itu tercipta sebagai konsekuensi dari adanya kompetisi perebutan sumberdaya ekonomi dimana relatif etnis Madura memenangkannya. Namun menurut Purbangkoro (2002) kondisi sosial ekonomi etnik Madura dan etnik lain relatif sama sehingga tak ada alasan yang menyatakan telah terjadi kecemburuan sosial antara etnik Dayak dan etnik Madura di Kalimantan.
Sementara itu Asykien (2001) menunjukkan bahwa konflik antar etnik itu terjadi karena sifat negatif keduanya. Sifat-sifat kurang terpuji etnik Dayak : 1) Fanatis dan mendewakan kesukuan, 2) tidak punya tenggang rasa dan pendengki etnis yang dimusuhi, 3) menggeneralisasikan kesalahan orang-perorang kepada keseluruhan etnis, 4) melestarikan budaya mengayau, 5) suka menyebarluaskan kebencian dan prasangka buruk. Sedangkan sifat-sifat etnik Madura yang menimbulkan dendam etnik lain : 1) mencuri, menjambret, dan menipu, 2) menempati tanah orang lain tanpa izin, 3) membuat kekacauan dalam perjudian, 4) melanggar lalu lintas, 5) merampas milik etnik lain di penambangan emas. Dari sifat-sifat negatif yang diklasifikasikan Asykien diatas menjadi jelas bahwasanya pertentangan antar etnis merupakan kulminasi dari adanya prasangka etnik. Berbagai keburukan anggota etnik lain dicatat, disimpan, dan digunakan sebagai dasar dalam bergaul dengan etnik tersebut, meskipun toh sebetulnya pelakunya hanyalah segelintir orang saja. Rupa-rupanya generalisasi sifat-sifat buruk seseorang menjadi sifat-sifat buruk kelompok yang telah menjadi penyebab berkembangnya prasangka etnik di Kalimantan. Akibatnya kesalahan satu orang atau kelompok kecil orang juga digeneralisasikan ke keseluruhan etnik. Seterusnya konflik antar etnik tinggal menunggu saat yang tepat.
Sekarang kita akan mencoba melihat kasus Ambon yang juga berskala besar pada tahun-tahun awal reformasi. Pertikaian yang membawa ribuan korban itu bermula dari isu etnis yang kemudian berkembang menjadi isu keagamaan sehingga tidak kunjung selesai hingga hari ini. Sebelum terjadi konflik, praktis kehidupan ekonomi di Ambon dikuasai oleh tiga etnis yaitu Buton, Bugis, dan Makassar, yang notabene merupakan etnis pendatang dari Sulawesi, sementara itu orang Ambon sendiri kurang memiliki peranan dalam bidang ekonomi. Keadaan demikian mudah saja kita mengerti bila menimbulkan konflik antar etnik. Sebab pertama mungkin adalah timbulnya deprivasi orang Ambon dimana mereka merasa kalah di tanah sendiri oleh pendatang. Sebab kedua, munculnya prasangka mayoritas-minoritas, sebagaimana yang juga terjadi di berbagai tempat lain di Indonesia terhadap etnis Cina. Prasangka muncul karena etnis Buton, Bugis, dan Makassar sebagai minoritas menguasai perekonomian di Ambon. Sebab ketiga, munculnya faktor pemicu, yakni dihembuskannya isu keagamaan oleh pihak-pihak tertentu dalam isu etnisitas. Di Ambon ternyata etnisitas tumpang tindih dengan keagamaan. Etnis Bugis, Buton dan Makassar notabene beragama Islam dan orang Ambon umumnya beragama kristen.
Pengusiran etnis Bugis, Buton dan Makassar (BBM) dari Ambon oleh orang-orang Ambon asli pada awalnya boleh jadi hanya dipicu oleh persoalan etnisitas belaka, mirip dengan pertikaian antara etnis Madura dan Dayak di Kalimantan. Namun jika hanya persoalan etnisitas tentunya begitu etnis Bugis, Buton dan Makassar keluar dari Ambon maka selesailah sudah permasalahan di Ambon. Faktanya, konflik di Ambon justru semakin menghebat. Setelah etnis Bugis, Buton dan Makassar keluar dari Ambon, kemudian yang berkonflik adalah orang Ambon yang beragama Islam kontra orang Ambon yang beragama kristen. Selanjutnya, konflik itu terus menerus membesar dan dilabeli konflik antar agama. Secara gampang bisa dikatakan bahwa konflik antar agama di Ambon muncul sebagai bentuk solidaritas agama. Tatkala etnis Bugis, Buton, dan Makassar yang beragama Islam terusir oleh orang Ambon yang beragama Kristen, lalu muncullah rasa solidaritas sesama muslim pada orang Ambon yang beragama Islam. Akibatnya kemudian pertikaian yang terjadi adalah antara penganut agama Islam dan agama Kristen.
Akibat konflik yang luas dan merusak antara penganut agama, muncullah prasangka masing-masing pihak terhadap pihak lain, halmana menyulitkan upaya rekonsiliasi. Prasangka inilah yang terus-menerus, sampai saat ini, menyebabkan potensi konflik antar agama di Ambon tetap besar. Menurut seorang teman dari Ambon, sampai saat ini masih sering terjadi konflik-konflik kecil di Ambon yang berpotensi melahirkan konflik berskala besar kembali. Jadi, konflik yang berawal dari adanya prasangka kemudian menghasilkan prasangka pula.
Di Indonesia, agama merupakan isu utama yang paling sensitif dalam menimbulkan konflik, sedangkan urutan kedua adalah etnis. Pada kasus pertikaian terhadap etnis Cina, dan pertikaian etnis di Kalimantan, persoalannya hanyalah persoalan etnisitas. Sedangkan pada kasus Ambon pertikaian yang terjadi dimulai dengan isu etnisitas tetapi kemudian berkembang menjadi isu keagamaan sehingga persoalannya lebih kompleks. Semua kasus diatas dipicu salah satunya oleh prasangka yang kemudian juga melahirkan prasangka. Hubungan prasangka dengan konflik antar etnis seperti lingkaran setan. Prasangka melahirkan konflik antar etnis, dan konflik antar etnis melahirkan prasangka.
Indonesia mencatat puluhan bahkan ratusan perselisihan antar kelompok etnik sejak berdirinya. Meskipun demikian hanya beberapa yang berskala luas dan besar. Selain konflik antara etnik-etnik yang digolongkan asli Indonesia dengan etnis Cina yang laten terjadi, konflik antar etnik yang terbesar diantaranya melibatkan etnik Madura dengan Etnik Dayak di Kalimantan yang terkenal dengan tragedi Sambas dan tragedi Sampit. Konflik-konflik dalam skala lebih kecil terjadi hampir setiap tahun di berbagai tempat di penjuru tanah air.
Tentunya sebagaimana konflik lain, mencari akar penyebab konflik antar etnik merupakan kunci dalam upaya meredam konflik dan mencegah terulangnya kembali konflik serupa. Berbagai perspektif telah memberikan pandangannya, baik itu perspektif politik, ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi, hukum, dan lainnya. Berbagai sebab konflik telah pula diidentifikasi. Salah satu sebab yang sering ditemukan dalam konflik antar etnik adalah prasangka antar etnik. Dalam bagian ini akan diketengahkan bagaimana peranan prasangka dalam konflik antar etnik.
Apakah konflik?
Apakah konflik? Lebih spesifik apakah konflik antar etnik? Menurut Hocker dan Wilmot (dalam Isenhart dan Spangle, 2000) konflik adalah ekpresi perjuangan diantara minimal dua belah pihak yang saling tergantung untuk mencapai tujuan tertentu, dimana dua pihak itu merasa tidak memiliki kesamaan tujuan, memperebutkan sumber daya yang langka, dan merasa adanya campur tangan pihak lain dalam upaya pencapaian tujuan. Definisi konflik diatas mencakup segala tindakan yang merupakan efek dari perjuangan mencapai tujuan, seperti saling memaki atau permusuhan verbal, menghindari pertemuan, perkelahian, perang, dan lainnya. Konflik bisa dalam skala besar bisa juga kecil. Memaki pihak lawan ketika bertemu di jalan mungkin hanya merupakan konflik skala kecil. Tapi itupun tergantung konteksnya, karena kalau yang bertemu dan saling memaki itu merupakan pemimpin dua belah pihak yang sedang berkonflik, efeknya bisa sangat besar.
Kita semua hampir selalu mengidentikkan konflik dengan pertentangan. Akan tetapi pertentangan tidak selalu bermakna konflik. Tidak semua pertentangan menciptakan konflik. Pertentangan yang terjadi antara dua pihak dalam forum diskusi misalnya, jarang sekali menimbulkan konflik. Menurut Gurr (1980) kriteria agar sebuah pertentangan bisa dikatakan sebagai sebuah konflik adalah :
Sebuah konflik melibatkan minimal dua pihak atau lebih.
Pihak-pihak tersebut saling tarik menarik dalam aksi saling memusuhi
Mereka cenderung menjalankan perilaku koersif untuk menghadapi dan menghancurkan pihak lawan
Hubungan pertentangan diantara pihak-pihak itu berada dalam keadaan yang tegas karena peristiwa pertentangan itu dapat dideteksi dengan mudah oleh para pengamat yang tidak terlibat dalam pertentangan.
Konflik antar etnik berarti dua pihak yang berlawanan adalah dua atau lebih kelompok etnik. Dalam konflik itu sendiri bisa saja pelakunya mengatasnamakan etnik dan bisa juga tidak. Demikan juga lawan dalam konflik bisa disebutkan mengatasnamakan etnik bisa juga tidak. Dalam kasus konflik antara etnik Madura dan etnik Dayak, jelas sekali mereka membawa bendera etnik. Pada kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan berbagai kota besar lainnya, tampak sekali bahwa sasaran kerusuhan adalah etnik Cina, sementara pelakunya etnik mana tidak jelas. Namun demikian, kerusuhan Mei di Jakarta, tetap bisa disebut konflik antar etnik, karena setidaknya salah satu pihak bisa diidentifikasi sebagai etnik mana.
Seringkali terjadi segerombolan pemuda etnik tertentu berkelahi dengan gerombolan pemuda etnik lain karena memperebutkan seorang gadis. Apakah hal ini juga bisa disebut konflik antar etnik? Apabila tidak melibatkan struktur dalam etnik masing-masing dalam konflik, maka perkelahian itu tidak bisa disebut konflik antar etnik. Perkelahian disebut perkelahian antar etnik bila telah membawa identitas etnik masing-masing.
Sumber konflik antaretnik
Konflik bisa disebabkan oleh suatu sebab tunggal. Akan tetapi jauh lebih sering konflik terjadi karena berbagai sebab sekaligus. Kadangkala antara sebab yang satu dengan yang lain tumpang tindih sehingga sulit menentukan mana sebenarnya penyebab konflik yang utama. Faturochman (2003) menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik, 1) Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak, 2) Perebutan sumber daya, 3) Sumber daya yang terbatas, 4) Kategori atau identitas yang berbeda, 5) Prasangka atau diskriminasi, 6) Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan). Sementara itu, Sukamdi (2002) menyebutkan bahwa konflik antar etnik di Indonesia terdiri dari tiga sebab utama: (1) konflik muncul karena ada benturan budaya, (2) karena masalah ekonomi-politik, (3) karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial. Menurutnya konflik terbuka dengan kelompok etnis lain hanyalah merupakan bentuk perlawanan terhadap struktur ekonomi-politik yang menghimpit mereka.
Bisa kita lihat, bahwa apa yang dikemukakan Sukamdi di atas merupakan turunan dari apa yang disampaikan faturochman mengenai penyebab konflik. Benturan budaya antar etnik terjadi karena adanya kategori atau identitas sosial yang berbeda. Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan budaya khasnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Sikap etnosentrik yang kaku ini sangat berperan dalam menciptakan konflik karena ketidakmampuan orang-orang untuk memahami perbedaan. Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang terhadap kelompok cenderung akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, halmana juga merupakan sumber konflik yang potensial. Terkait dengan resolusi konflik, karena konflik dimunculkan salah satunya karena adanya identitas budaya, yang mengandaikan adanya perbedaan dalam memahami realitas, maka sangatlah penting untuk membuat suatu resolusi konflik yang mempertimbangkan asal budaya (Kumolohadi & Andrianto, 2002). Seringkali pelaksana resolusi konflik gagal menjalankan perannya dalam menghentikan konflik antaretnik karena metode yang dipakai mengharuskan adanya sikap dan persepsi tertentu dari mereka yang bertikai, tapi sementara itu mereka yang bertikai memiliki sikap dan persepsi terhadap konflik yang beragam akibat perbedaan budaya.
Persoalan ekonomi sebagai penyebab konflik antar etnik merupakan sesuatu yang tak terbantah, meskipun tentu tidak semua konflik antar etnik ditimbulkan karena persoalan ekonomi belaka. Ketersediaan sumber daya ekonomi di suatu wilayah menjadi indikator penting bagi kemungkinan terjadinya konflik. Semakin mudah sumber daya itu didapatkan oleh setiap orang, maka kemungkinan konflik juga semakin rendah. Sebaliknya semakin langka sumber daya yang tersedia sehingga terjadi kompetisi untuk mendapatkan sumber daya maka kemungkinan terjadinya konflik semakin besar. Persoalan ekonomi juga menyangkut distribusi sumber daya. Ketidakjelasan aturan dalam kompetisi memperebutkan sumber daya merupakan sumber konflik yang potensial. Dalam hal ini ketidakjelasan aturan bisa dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya ketidakadilan. Adanya kesenjangan sosial sebagai akibat adanya kesenjangan ekonomi yang besar merupakan cerminan dari adanya ketidakadilan dalam distribusi sumber daya. Bila terjadi kesenjangan yang besar antar berbagai kelompok etnik maka kemungkinan terjadinya konflik juga semakin besar, karena perasaan ketidakadilan akan mendorong timbulnya semangat perlawanan.
Sementara itu peranan politik dalam konflik antar etnik berkaitan dengan adanya pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap adanya konflik. Haryanto (2002) menunjukkan bahwa konflik sosial yang terjadi di Indonesia salah satu akar permasalahannya adalah adanya faktor pemicu, selain faktor adanya deprivasi antar kelompok masyarakat dan faktor dominasi sosial, politik, dan agama. Faktor pemicu konflik antar etnik mungkin dimunculkan secara sengaja oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Penguasaan sumber daya tertentu yang diinginkan oleh beberapa pihak mungkin menjadi salah satu sebab yang membuat pihak-pihak yang terlibat menggunakan konflik antar etnik sebagai jalan untuk memenangkan persaingan. Hal ini bisa dilihat dari siapa yang mendapatkan keuntungan dari adanya konflik.
Faktor pemicu dengan sendirinya mengandaikan telah adanya faktor-faktor yang potensial mencipta konflik. Berbagai sebab konflik seperti yang dikemukakan Faturochman diatas, diandaikan telah ada dalam masyarakat. Dalam hal ini faktor prasangka merupakan determinan penting. Semakin besar prasangka antar etnik yang timbul maka semakin sedikit faktor pemicu yang diperlukan untuk menciptakan konflik antar etnik secara terbuka. Faktor prasangka sendiri seperti yang telah dibahas dalam bab tiga, bisa dimunculkan oleh lima sebab lainnya. Sehingga sangat beralasan kalau dinyatakan bahwa prasangka merupakan sumber konflik antar etnik terbesar.
Konflik antar etnik yang paling sering terjadi di Indonesia melibatkan etnik Cina sebagai korban, dan etnik lainnya sebagai pemegang inisiatif. Beberapa konflik menunjukkan skala yang luas dan berat, sementara yang lain berskala lebih kecil dan lokal. Menurut Arifin (1998) konflik antar etnik yang melibatkan etnik Cina tidak banyak terkait dengan dengan soal rasial dan pengakuan masyarakat terhadap mereka. Hal ini terlihat dari kenyataan, bahwa pada umumnya sasaran kerusuhan dan amuk massa berbentuk perusakan, penjarahan, dan pembakaran terhadap hak milik, dan bukan dalam bentuk rasa permusuhan terhadap etnis Cina, dan pembunuhan jiwa. Setelah tahun 70-an kerusuhan lebih banyak terkait dengan persoalan sosial, ekonomi, dan politik. Misalnya kerusuhan di Medan (1995), di Situbondo (1996), di Jakarta (14-15 Mei 1998) dan di Solo (1998) lebih dipicu oleh persoalan dominasi ekonomi dan kolusi oleh kelompok-kelompok elit WNI etnis Cina dengan kekuasaan.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwasanya etnis Cina merupakan penggerak perekonomian Indonesia yang utama. Mereka menguasai sebagian besar sektor perekonomian sehingga memiliki sumber daya ekonomi paling besar. Sayangnya, keberhasilan etnis Cina itu tidak berbarengan dengan keberhasilan etnis lain dalam mencapai kemakmuran. Dalam bahasa ekstrim, etnis Cina merupakan pemenang kompetisi perebutan sumber daya sementara etnis lain sebagai pihak yang dikalahkan. Sayangnya pula kesenjangan ekonomi antara etnis Cina dan etnis lain cukup besar, bahkan makin melebar dari waktu ke waktu. Kenyataan ini mendorong adanya deprivasi relatif, dimana seseorang merasa tidak mendapatkan kemakmuran yang ingin dicapai meskipun telah berupaya keras mendapatkan (menurutnya). Deprivasi ini, sebagaimana yang telah kita lihat, merupakan sumber dari adanya prasangka dan konflik. Jadi, etnik bukanlah merupakan sumber konflik. Kesenjanganlah yang menjadi sumber konflik utama halmana telah memunculkan prasangka, sedangkan etnik sebagai sebab-sebab yang memadai.
Selain adanya pihak-pihak tertentu yang sengaja memobilisasi massa untuk melakukan perusuhan terhadap etnis Cina (disinyalir kerusuhan Mei 1998 di Jakarta massa di kerahkan pihak-pihak tertentu demi kepentingan tertentu. Baca “Kapok Jadi Nonpri’, terbitan Zaman Wacana Mulia). Nampaknya jelas bahwa kerusuhan yang melibatkan etnis Cina lebih merupakan persoalan ekonomis. Adapun dari persoalan-persoalan ekonomi itu terciptalah berbagai prasangka yang menciptakan jarak sosial yang lebar antar etnis. Dan dalam konflik, prasangka digunakan untuk menjustifikasi tindakan destruktif yang dilakukan terhadap etnis Cina.
Siahaan (2002) menunjukkan bahwa berbagai prasangka, generalisasi, stereotip, serta tuduhan yang secara konvensional dialamatkan kepada etnik Cina ternyata tidak selalu faktual (tidak didukung fakta). Terbukti bahwa segala asumsi dan tesis mengenai Cina di tingkat makro (nasional) tidak selalu koheren dengan realitas lapangan (lokal). Misalnya dalam tingkat makro selalu didengung-dengungkan etnis Tonghoa bertindak secara eksklusif dan tidak mau bergaul dengan etnis lain, pada kenyataannya di tingkat lokal justru banyak sekali etnis Cina yang sudah sulit dibedakan identitas kecinannya. Mereka melebur dalam masyarakat secara keseluruhan.
Dalam sebuah penelitian di Kalimantan Barat, Siahaan (2002) menemukan bahwa secara empiris terbukti bahwa sukses dan dominasi ekonomi Cina bukan merupakan fungsi ras serta bakat, dan juga bukan semata-mata berkait konsesi dan privilese, tetapi hasil pemanfaatan peluang setempat secara tepat, cepat, efisien, dan efektif. Dalam sejarah, semangat dan etos kerja, daya juang, dan keuletan perantau cenderung menjadi determinan yang memungkinkan keunggulan dan keberhasilan kelompok perantau itu di atas penduduk lokal. ‘Keterasingan dan kesendirian’ sang perantau di negeri seberang, jauh dari sanak saudara dan sahabat yang dapat dimintai bantuan, lebih besar peranannya sebagai pendukung motivasi dan semangat kerja daripada faktor-faktor bawaan seperti bakat, budaya, dan ras.
Namun sementara itu prasangka yang berkembang terhadap mereka, beberapa juga melandaskan pada kesuksesan yang diraih etnis Cina. Seperti misalnya berkembang anggapan bahwa dalam berbisnis etnis Cina sering bermain curang dan suka menyuap pihak penguasa untuk mendapatkan konsesi ekonomi. Halmana membuat mereka cepat sekali sukses. Lalu jika ada etnis Cina datang untuk berbisnis di suatu wilayah, maka segera akan mendatangkan rekan-rekannya sesama etnis Cina untuk berbisnis di daerah itu dan akan mematikan bisnis warga setempat. Maka akibatnya dibanyak tempat bisa ditemui dimana etnis Cina dilarang melakukan perdagangan.
Sebenarnya konflik antar etnis yang melibatkan etnis Cina sesuatu yang memang sangat mungkin terus terjadi bahkan untuk waktu-waktu mendatang. Menurut analisis Amy Chua, seorang profesor dari Yale University, dimana ada sekelompok minoritas etnis yang mendominasi pasar dan sekaligus ada sistem politik yang menganut demokrasi, bisa diramalkan akan terjadi serangan terhadap kelompok minoritas Menurutnya terjadinya konflik bukan persoalan membaur atau tidak membaurnya etnik minoritas dengan etnik mayoritas, sebagaimana yang secara konvensional kita pahami. Masalahnya ada pada terdapatnya market-dominant minorities, yaitu keberadaan kelompok minoritas yang kaya raya yang memperolehnya berkat ekonomi pasar. Sistem pasar pada saat ini sudah menjadi semacam dogma yang tidak boleh dilanggar. Akan tetapi, justru sistem yang dipuji-puji inilah yang melahirkan sekelompok kecil yang kebetulan adalah kelompok minoritas etnis yang memiliki kekayaan menonjol. Oleh karena hal itu tumbuhlah iri hati kelompok mayoritas. Lalu bagaimana menyalurkan kemarahan itu? Lewat proses demokrasi. Dalam sistem demokrasi, kemenangan kelompok mayoritas dijamin ketika berhadapan dengan kelompok minoritas. Maka, tidak mengherankan justru ketika proses demokratisasi dimulai, dimulai juga serangan terhadap kelompok market-dominant minorities (untuk Indonesia etnis Cina). Kemenangan kelompok mayoritas dalam pemilu menjadi legitimasi untuk menetapkan kebijakan dan peraturan yang membatasi, bahkan memangkas hak-hak dari kelompok market-dominant minorities. Padahal demokrasi merupakan dogma wajib pada saat ini. Kesimpulannya, selama sistem ekonomi pasar dan demokrasi secara bersamaan diterapkan maka kekerasan terhadap market-dominant minorities akan terus berlanjut. Untuk konteks Indonesia, etnis Cina diramalkan akan terus menghadapi tantangan kekerasan terhadap mereka (Paragraf ini meringkas dari Review Buku Prof. Amy Chua, oleh I Budiman dalam kompas 20 maret 2004, h.45).
Setelah membahas konflik antar etnik yang terkait dengan etnik Cina, sekarang kita akan membicarakan konflik antar etnik yang paling besar yang pernah terjadi di Indonesia, yakni konflik antara etnik Dayak dan etnik Madura di Kalimantan beberapa tahun lalu (tragedi Sambas dan Sampit), dimana ribuan orang terbunuh dan puluhan ribu lainnya harus menjadi pengungsi di negerinya sendiri. Hidayah (2002) menyebutkan bahwa sebenarnya pemantik konflik hanya disebabkan oleh perkelahian antar pemuda etnis dayak dengan etnis madura. Akan tetapi karena dalam perkelahian itu ada yang terbunuh maka muncullah solidaritas dan balas dendam kesukuan karena pada konflik tersebut terjadi pembunuhan, dan kemudian diperkuat pula oleh prinsip-prinsip adat sehingga konflik menjadi berkepanjangan dan membawa korban yang luar biasa besar.
Banyak analisis telah dilakukan untuk mencari tahu akar dari adanya konflik. Selain analisis yang menunjukkan adanya pihak-pihak tertentu yang sengaja mengorganisir terjadinya kekerasan, ada banyak analisis lain yang mendasarkan pada berbagai perspektif. Sebuah analisis menyimpulkan bahwa terjadinya perebutan sumber daya ekonomi yang semakin terbatas yang telah menyebabkan terjadinya konflik. Dulu saat sumber daya ekonomi cukup melimpah dan mudah didapatkan maka konflik terhindarkan. Akan tetapi begitu sumberdaya ekonomi semakin terbatas dan semakin banyak orang memperebutkannya maka terjadilah kompetisi perebutan sumberdaya. Sebagai konsekuensi logis dari adanya kompetisi perebutan sumber daya adalah terciptanya prasangka antar etnik. Dan lalu adanya prasangka terhadap etnik lain menjadi justifikasi kekerasan terhadap etnik tersebut.
Sebagai lanjutan dari analisis diatas, analisis lain menunjukkan bahwa adanya kesenjangan ekonomi antara etnis Dayak dan etnis Madura sebagai penyebab konflik. Kesenjangan ekonomi itu tercipta sebagai konsekuensi dari adanya kompetisi perebutan sumberdaya ekonomi dimana relatif etnis Madura memenangkannya. Namun menurut Purbangkoro (2002) kondisi sosial ekonomi etnik Madura dan etnik lain relatif sama sehingga tak ada alasan yang menyatakan telah terjadi kecemburuan sosial antara etnik Dayak dan etnik Madura di Kalimantan.
Sementara itu Asykien (2001) menunjukkan bahwa konflik antar etnik itu terjadi karena sifat negatif keduanya. Sifat-sifat kurang terpuji etnik Dayak : 1) Fanatis dan mendewakan kesukuan, 2) tidak punya tenggang rasa dan pendengki etnis yang dimusuhi, 3) menggeneralisasikan kesalahan orang-perorang kepada keseluruhan etnis, 4) melestarikan budaya mengayau, 5) suka menyebarluaskan kebencian dan prasangka buruk. Sedangkan sifat-sifat etnik Madura yang menimbulkan dendam etnik lain : 1) mencuri, menjambret, dan menipu, 2) menempati tanah orang lain tanpa izin, 3) membuat kekacauan dalam perjudian, 4) melanggar lalu lintas, 5) merampas milik etnik lain di penambangan emas. Dari sifat-sifat negatif yang diklasifikasikan Asykien diatas menjadi jelas bahwasanya pertentangan antar etnis merupakan kulminasi dari adanya prasangka etnik. Berbagai keburukan anggota etnik lain dicatat, disimpan, dan digunakan sebagai dasar dalam bergaul dengan etnik tersebut, meskipun toh sebetulnya pelakunya hanyalah segelintir orang saja. Rupa-rupanya generalisasi sifat-sifat buruk seseorang menjadi sifat-sifat buruk kelompok yang telah menjadi penyebab berkembangnya prasangka etnik di Kalimantan. Akibatnya kesalahan satu orang atau kelompok kecil orang juga digeneralisasikan ke keseluruhan etnik. Seterusnya konflik antar etnik tinggal menunggu saat yang tepat.
Sekarang kita akan mencoba melihat kasus Ambon yang juga berskala besar pada tahun-tahun awal reformasi. Pertikaian yang membawa ribuan korban itu bermula dari isu etnis yang kemudian berkembang menjadi isu keagamaan sehingga tidak kunjung selesai hingga hari ini. Sebelum terjadi konflik, praktis kehidupan ekonomi di Ambon dikuasai oleh tiga etnis yaitu Buton, Bugis, dan Makassar, yang notabene merupakan etnis pendatang dari Sulawesi, sementara itu orang Ambon sendiri kurang memiliki peranan dalam bidang ekonomi. Keadaan demikian mudah saja kita mengerti bila menimbulkan konflik antar etnik. Sebab pertama mungkin adalah timbulnya deprivasi orang Ambon dimana mereka merasa kalah di tanah sendiri oleh pendatang. Sebab kedua, munculnya prasangka mayoritas-minoritas, sebagaimana yang juga terjadi di berbagai tempat lain di Indonesia terhadap etnis Cina. Prasangka muncul karena etnis Buton, Bugis, dan Makassar sebagai minoritas menguasai perekonomian di Ambon. Sebab ketiga, munculnya faktor pemicu, yakni dihembuskannya isu keagamaan oleh pihak-pihak tertentu dalam isu etnisitas. Di Ambon ternyata etnisitas tumpang tindih dengan keagamaan. Etnis Bugis, Buton dan Makassar notabene beragama Islam dan orang Ambon umumnya beragama kristen.
Pengusiran etnis Bugis, Buton dan Makassar (BBM) dari Ambon oleh orang-orang Ambon asli pada awalnya boleh jadi hanya dipicu oleh persoalan etnisitas belaka, mirip dengan pertikaian antara etnis Madura dan Dayak di Kalimantan. Namun jika hanya persoalan etnisitas tentunya begitu etnis Bugis, Buton dan Makassar keluar dari Ambon maka selesailah sudah permasalahan di Ambon. Faktanya, konflik di Ambon justru semakin menghebat. Setelah etnis Bugis, Buton dan Makassar keluar dari Ambon, kemudian yang berkonflik adalah orang Ambon yang beragama Islam kontra orang Ambon yang beragama kristen. Selanjutnya, konflik itu terus menerus membesar dan dilabeli konflik antar agama. Secara gampang bisa dikatakan bahwa konflik antar agama di Ambon muncul sebagai bentuk solidaritas agama. Tatkala etnis Bugis, Buton, dan Makassar yang beragama Islam terusir oleh orang Ambon yang beragama Kristen, lalu muncullah rasa solidaritas sesama muslim pada orang Ambon yang beragama Islam. Akibatnya kemudian pertikaian yang terjadi adalah antara penganut agama Islam dan agama Kristen.
Akibat konflik yang luas dan merusak antara penganut agama, muncullah prasangka masing-masing pihak terhadap pihak lain, halmana menyulitkan upaya rekonsiliasi. Prasangka inilah yang terus-menerus, sampai saat ini, menyebabkan potensi konflik antar agama di Ambon tetap besar. Menurut seorang teman dari Ambon, sampai saat ini masih sering terjadi konflik-konflik kecil di Ambon yang berpotensi melahirkan konflik berskala besar kembali. Jadi, konflik yang berawal dari adanya prasangka kemudian menghasilkan prasangka pula.
Di Indonesia, agama merupakan isu utama yang paling sensitif dalam menimbulkan konflik, sedangkan urutan kedua adalah etnis. Pada kasus pertikaian terhadap etnis Cina, dan pertikaian etnis di Kalimantan, persoalannya hanyalah persoalan etnisitas. Sedangkan pada kasus Ambon pertikaian yang terjadi dimulai dengan isu etnisitas tetapi kemudian berkembang menjadi isu keagamaan sehingga persoalannya lebih kompleks. Semua kasus diatas dipicu salah satunya oleh prasangka yang kemudian juga melahirkan prasangka. Hubungan prasangka dengan konflik antar etnis seperti lingkaran setan. Prasangka melahirkan konflik antar etnis, dan konflik antar etnis melahirkan prasangka.