Oleh : Achmanto Mendatu
Istilah Etnik dan Etnis
Pada awalnya istilah etnik hanya digunakan untuk suku-suku tertentu yang dianggap bukan asli Indonesia, namun telah lama bermukim dan berbaur dalam masyarakat, serta tetap mempertahankan identitas mereka melalui cara-cara khas mereka yang dikerjakan, dan atau karena secara fisik mereka benar-benar khas. Misalnya etnik Cina, etnik Arab, dan etnik Tamil-India. Perkembangan belakangan, istilah etnik juga dipakai sebagai sinonim dari kata suku pada suku-suku yang dianggap asli Indonesia. Misalnya etnik Bugis, etnik Minang, etnik Dairi-Pakpak, etnik Dani, etnik Sasak, dan ratusan etnik lainnya. Malahan akhir-akhir ini istilah suku mulai ditinggalkan karena berasosiasi dengan keprimitifan (suku dalam bahasa inggris diterjemahkan sebagai ‘tribe’), sedangkan istilah etnik dirasa lebih netral. Istilah etnik sendiri merujuk pada pengertian kelompok orang-orang, sementara etnis merujuk pada orang-orang dalam kelompok. Dalam buku ini keduanya akan digunakan secara bergantian tergantung konteksnya.
Pengertian Etnik
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnik berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.
Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya. Kelompok etnik adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang :
Dalam populasi kelompok mereka mampu melestarikan kelangsungan kelompok dengan berkembang biak.
Mempunyai nila-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya.
Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.
Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.
Definisi etnik diatas menjelaskan pembatasan-pembatasan kelompok etnik yang didasarkan pada populasi tersendiri, terpisah dari kelompok lain, dan menempati lingkungan geografis tersendiri yang berbeda dengan kelompok lain. Seperti misalnya, etnik Minang menempati wilayah geografis pulau Sumatera bagian barat yang menjadi wilayah provinsi Sumatera Barat saat ini dan beberapa daerah pengaruh di provinsi sekitar. Lalu etnik Sunda menempati wilayah pulau jawa bagian barat. Dan etnik Madura menempati pulau madura sebagai wilayah geografis asal.
Sebuah kelompok etnik pertama kali diidentifikasi melalui hubungan darah. Apakah seseorang tergabung dalam suatu kelompok etnik tertentu ataukah tidak tergantung apakah orang itu memiliki hubungan darah dengan kelompok etnik itu atau tidak. Meskipun seseorang mengadopsi semua nilai-nilai dan tradisi suatu etnik tertentu tetapi jika ia tidak memiliki hubungan darah dengan anggota kelompok etnik itu, maka ia tidak bisa digolongkan anggota kelompok etnik tersebut. Seorang batak akan tetap menjadi anggota etnik batak meskipun dalam kesehariannya sangat ‘jawa’. Orang Jawa memiliki perbendaharaan kata untuk hal ini, yakni ‘durung jawa’ (belum menjadi orang jawa yang semestinya) untuk orang-orang yang tidak menerapkan nilai-nilai jawa dalam keseharian mereka. Dan menganggap orang dari etnik lain yang menerapkan nilai-nilai jawa sebagai ‘njawani’ (berlaku seperti orang jawa) (Suseno, 2001). Meskipun demikian orang itu tetap tidak dianggap sebagai orang Jawa.
Agama kadangkala menjadi ciri identitas yang penting bagi suatu etnis, tapi kadangkala tidak berarti apa-apa, hanya sebagai kepercayaan yang dianut anggota etnik. Di Jawa, agama yang dianut tidak menjadi penanda identitas etnik jawa (kejawaan) seseorang. Selain Islam, orang Jawa yang menganut kristen, Hindu, Budha, ataupun Kejawen juga cukup besar. Demikian juga pada etnis Betawi ataupun Sunda. Namun berbeda dengan etnik Minang. Agama dalam masyarakat Minangkabau justru dikukuhkan sebagai identitas kultur mereka sejak animisme ditinggalkan. Islam menjadi tolak ukur ke’minang’an seseorang secara legalitas adat. Karena itu, orang Minangkabau yang tidak lagi Islam dipandang sebagai orang yang tidak mempunyai hak dan kewajiban lagi terhadap adat Minangkabau, sebagaimana ditafsirkan dari ‘adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah’, kendatipun secara genealogis ia tetap beretnis Minang, yang tentu saja tidak bisa menjadi etnis lain (Arimi, 2002).
Pada saat anggota kelompok etnik melakukan migrasi, sering terjadi keadaan dimana mereka tercerabut dari akar budaya etniknya karena mengadopsi nilai-nilai baru. Demikian juga dengan bahasa, banyak anak-anak dari anggota kelompok etnik tertentu yang merantau tidak bisa lagi berbahasa etniknya. Akan tetapi mereka tetap menganggap diri sebagai anggota etnik yang sama dengan orangtuanya dan juga tetap diakui oleh kelompok etnikya. Jadi, keanggotaan seseorang pada suatu etnik terjadi begitu saja apa adanya, dan tidak bisa dirubah. Tidak bisa seorang etnis Sunda meminta dirubah menjadi etnis Bugis, atau sebaliknya. Meskipun orang bisa saja memilih untuk mengadopsi nilai-nilai, entah dari etniknya sendiri, dari etnik lain, ataupun dari gabungan keduanya.
Antara satu etnik dengan etnik lainnya kadang-kadang juga terdapat kemiripan bahasa. Kesamaan bahasa itu dimungkinkan karena etnik-etnik tersebut memiliki kesamaan sejarah tradisi kuno yang satu, yang mewariskan tradisi yang mirip dan juga bahasa yang mirip pula (Goodenough, 1997). Seperti misalnya bahasa jawa memiliki banyak kemiripan dengan bahasa bali, lalu bahasa minang mirip dengan bahasa banjar, dan lainnya.
Mengkritisi Etnisitas
Keanggotaan etnik yang menekankan hubungan ‘darah’ menurut keterangan diatas merupakan bagian dari perspektif teori primordial yang menyatakan bahwa etnisitas merupakan suatu keniscayaan. Keniscayaan tersebut meliputi keterpautan manusia pada kedekatan wilayah teritorial dan hubungan kerabat, bahkan juga keniscayaan bahwa individu selalu dilahirkan dalam sebuah masyarakat yang sudah terbentuk dengan sistem keagamaan, bahasa dan adat istiadatnya (Simatupang, 2003). Menurut perspektif ini, seseorang yang memiliki darah sebagai etnis Minang misalnya, maka ia tidak bisa mengelakkannya. Ia harus menerima fakta bahwa dirinya adalah seorang ‘Minang’. Etnik dalam perspektif primordial merupakan sesuatu yang memang sudah ada dan tinggal di lanjutkan.
Dalam antropologi ada tiga perspektif teori utama yang digunakan untuk membahas mengenai etnisitas, selain teori primordial, dua lainnya adalah teori situasional, dan teori relasional. Teori situasional berseberangan dengan teori primordial. Teori situasional memandang bahwa kelompok etnis adalah entitas yang dibangun atas dasar kesamaan para warganya, bagi mereka yang lebih penting bukan wujud kesamaan itu sendiri melainkan perihal penentuan dan pemeliharaan batas-batas etnis yang diyakini bersifat selektif dan merupakan jawaban atas kondisi sosial historis tertentu (Barth dalam Simatupang, 2003). Teori ini menekankan bahwa kesamaan kultural merupakan faktor yang lebih besar dibanding kesamaan darah dalam penggolongan orang-orang kedalam kelompok etnik.
Menurut perspektif teori situasional, etnik merupakan hasil dari adanya pengaruh yang berasal dari luar kelompok. Salah satu faktor luar yang sangat berpengaruh terhadap etnisitas adalah kolonialisme, yang demi kepentingan administratif pemerintah kolonial telah mengkotak-kotakkan warga jajahan ke dalam kelompok-kelompok etnik dan ras (Rex dalam Simatupang, 2003). Untuk seterusnya sisa warisan kolonial itu terus dipakai sampai sekarang. Contoh yang paling jelas adalah pembentukan identitas etnik Dayak. Istilah Dayak diberikan oleh kolonial Belanda untuk menyebut seluruh penduduk asli pulau Kalimantan. Padahal sesungguhnya etnik Dayak terdiri dari banyak subetnik ( yang sebenarnya sebagai etnik sendiri yang sangat berbeda satu sama lain, seperti Benuaq dan Ngaju). Istilah Dayak sendiri tidak dipergunakan sebagai identitas mereka. Mereka menyebut diri sebagai orang Benuaq jika itu etnis Benuaq (Trisnadi, 1996).
Teori relasional mendasarkan pada pandangan bahwa kelompok etnik merupakan penggabungan dua entitas atau lebih yang memiliki persamaan maupun perbedaan yang telah dibandingkan dalam menentukan pembentukan etnik dan pemeliharaan batas-batasnya. Kesamaan-kesamaan yang ada pada dua atau lebih entitas yang disatukan akan menjadi identitas etnik. Menurut perspektif relasional ini, etnik ada karena adanya hubungan antara entitas yang berbeda-beda; etnik Sasak tidak akan menjadi etnik Sasak bila tidak mengalami hubungan dengan entitas di luar kelompok itu. Etnik tergantung pada pengakuan entitas lain di luar kelompok.
Saat ini sepertinya tidak relevan lagi membicarakan mengenai etnik mengingat batas-batas etnik telah semakin kabur. Batas-batas budaya antar etnik telah semakin tidak jelas. Saat ini segala manusia dari berbagai etnik telah semakin melebur dalam kehidupan sosial yang satu. Apalagi globalisasi yang begitu deras dan nyaris tak tertahankan bertendensi memunculkan keseragaman budaya, baik dalam pola pikir, sikap, tingkah laku, seni, dan sebagainya. Saat ini, menemukan kekhasan perilaku dari etnik tertentu bukan hal yang mudah. Semua etnis pada dasarnya memiliki perilaku yang sama. Misalnya hampir tak dapat dibedakan lagi seorang Minang dengan seorang Jawa, seorang Bugis dengan seorang Batak di Jakarta dalam hal tata pergaulan. Lantas, apa perlunya lagi berbicara mengenai etnik?
Etnik sebagai kategori untuk membedakan ‘perilaku’ orang-orang merupakan sesuatu yang telah usang. ‘Model untuk’ yang digunakan dengan mengelompokkan perilaku dan budaya tertentu diasosiasikan dengan etnik tertentu sudah tidak dapat lagi dipergunakan. Sekarang ini, etnik sebagai identitas tidak berarti harus menunjukkan adanya perbedaan budaya. Mengaku berbeda etnik bukan lantas harus menunjukkan perbedaan dalam perilaku. Namun meski demikian, masyarakat umumnya tetap menganut adanya model-model perilaku dan sifat tertentu yang khas etnik tertentu, dan model tersebut digunakan untuk menjelaskan keberadaan etnik bersangkutan.
Persoalannya kemudian beranjak kepada masalah identitas. Etnik tetap ada karena berkait dengan kebutuhan akan identitas-identitas. Meskipun terdapat kesamaan-kesamaan yang besar dengan etnik lain, hal itu tidak menghalangi untuk tetap merasa berbeda. Identitas etnik yang diperkuat, dimana identitas etnik semakin kerap ditonjolkan dalam kehidupan sosial seperti yang terjadi belakangan ini, kontradiktif dengan ramalan para pemuja globalisasi. Justru, perkuatan identitas etnik lahir sebagai perlawanan atas globalisasi. Etnik dijadikan alat politik untuk mendapatkan posisi tawar yang lebih tinggi dalam meraih sumber daya tertentu. Beberapa manifestasi politik identitas etnik diantaranya, munculnya negara-negara etnik (seperti yang terjadi di bekas negara Soviet), tuntutan kemerdekaan atas suatu wilayah karena diklaim milik etnik tertentu (seperti di Aceh), tuntutan akan pengembalian tanah adat yang dipergunakan untuk perkebunan dan lainnya (terjadi hampir diseluruh Indonesia, terutama di luar jawa), tuntutan pengembalian kekuasaan adat (terlihat dalam kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, tahun 2003 lalu, lihat Kompas, 24 september 2003) dan berkembangnya isu putera daerah dalam era otonomi daerah (terjadi hampir diseluruh daerah).
Jadi, agaknya berbicara mengenai etnisitas tetap tidak kehilangan momentum. Hanya saja, pemahaman mengenai etnisitas perlu ditambahkan. Tidak saja etnik sebagai kategori orang-orang karena budaya dan darah, tetapi lebih penting lagi telah menjadi kategori identitas politis, dimana identitas etnis tetap dipertahankan karena memang bermanfaat. Meminjam istilah Edward Said, guru orientalisme, identitas etnikpun bisa dipilah sebagai identitas murni dan identitas politis. Identitas etnik menjadi identitas politis manakala identitas itu dipergunakan demi tujuan tertentu untuk memperoleh kemanfaatan tertentu.
Istilah Etnik dan Etnis
Pada awalnya istilah etnik hanya digunakan untuk suku-suku tertentu yang dianggap bukan asli Indonesia, namun telah lama bermukim dan berbaur dalam masyarakat, serta tetap mempertahankan identitas mereka melalui cara-cara khas mereka yang dikerjakan, dan atau karena secara fisik mereka benar-benar khas. Misalnya etnik Cina, etnik Arab, dan etnik Tamil-India. Perkembangan belakangan, istilah etnik juga dipakai sebagai sinonim dari kata suku pada suku-suku yang dianggap asli Indonesia. Misalnya etnik Bugis, etnik Minang, etnik Dairi-Pakpak, etnik Dani, etnik Sasak, dan ratusan etnik lainnya. Malahan akhir-akhir ini istilah suku mulai ditinggalkan karena berasosiasi dengan keprimitifan (suku dalam bahasa inggris diterjemahkan sebagai ‘tribe’), sedangkan istilah etnik dirasa lebih netral. Istilah etnik sendiri merujuk pada pengertian kelompok orang-orang, sementara etnis merujuk pada orang-orang dalam kelompok. Dalam buku ini keduanya akan digunakan secara bergantian tergantung konteksnya.
Pengertian Etnik
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnik berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.
Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya. Kelompok etnik adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang :
Dalam populasi kelompok mereka mampu melestarikan kelangsungan kelompok dengan berkembang biak.
Mempunyai nila-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya.
Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.
Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.
Definisi etnik diatas menjelaskan pembatasan-pembatasan kelompok etnik yang didasarkan pada populasi tersendiri, terpisah dari kelompok lain, dan menempati lingkungan geografis tersendiri yang berbeda dengan kelompok lain. Seperti misalnya, etnik Minang menempati wilayah geografis pulau Sumatera bagian barat yang menjadi wilayah provinsi Sumatera Barat saat ini dan beberapa daerah pengaruh di provinsi sekitar. Lalu etnik Sunda menempati wilayah pulau jawa bagian barat. Dan etnik Madura menempati pulau madura sebagai wilayah geografis asal.
Sebuah kelompok etnik pertama kali diidentifikasi melalui hubungan darah. Apakah seseorang tergabung dalam suatu kelompok etnik tertentu ataukah tidak tergantung apakah orang itu memiliki hubungan darah dengan kelompok etnik itu atau tidak. Meskipun seseorang mengadopsi semua nilai-nilai dan tradisi suatu etnik tertentu tetapi jika ia tidak memiliki hubungan darah dengan anggota kelompok etnik itu, maka ia tidak bisa digolongkan anggota kelompok etnik tersebut. Seorang batak akan tetap menjadi anggota etnik batak meskipun dalam kesehariannya sangat ‘jawa’. Orang Jawa memiliki perbendaharaan kata untuk hal ini, yakni ‘durung jawa’ (belum menjadi orang jawa yang semestinya) untuk orang-orang yang tidak menerapkan nilai-nilai jawa dalam keseharian mereka. Dan menganggap orang dari etnik lain yang menerapkan nilai-nilai jawa sebagai ‘njawani’ (berlaku seperti orang jawa) (Suseno, 2001). Meskipun demikian orang itu tetap tidak dianggap sebagai orang Jawa.
Agama kadangkala menjadi ciri identitas yang penting bagi suatu etnis, tapi kadangkala tidak berarti apa-apa, hanya sebagai kepercayaan yang dianut anggota etnik. Di Jawa, agama yang dianut tidak menjadi penanda identitas etnik jawa (kejawaan) seseorang. Selain Islam, orang Jawa yang menganut kristen, Hindu, Budha, ataupun Kejawen juga cukup besar. Demikian juga pada etnis Betawi ataupun Sunda. Namun berbeda dengan etnik Minang. Agama dalam masyarakat Minangkabau justru dikukuhkan sebagai identitas kultur mereka sejak animisme ditinggalkan. Islam menjadi tolak ukur ke’minang’an seseorang secara legalitas adat. Karena itu, orang Minangkabau yang tidak lagi Islam dipandang sebagai orang yang tidak mempunyai hak dan kewajiban lagi terhadap adat Minangkabau, sebagaimana ditafsirkan dari ‘adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah’, kendatipun secara genealogis ia tetap beretnis Minang, yang tentu saja tidak bisa menjadi etnis lain (Arimi, 2002).
Pada saat anggota kelompok etnik melakukan migrasi, sering terjadi keadaan dimana mereka tercerabut dari akar budaya etniknya karena mengadopsi nilai-nilai baru. Demikian juga dengan bahasa, banyak anak-anak dari anggota kelompok etnik tertentu yang merantau tidak bisa lagi berbahasa etniknya. Akan tetapi mereka tetap menganggap diri sebagai anggota etnik yang sama dengan orangtuanya dan juga tetap diakui oleh kelompok etnikya. Jadi, keanggotaan seseorang pada suatu etnik terjadi begitu saja apa adanya, dan tidak bisa dirubah. Tidak bisa seorang etnis Sunda meminta dirubah menjadi etnis Bugis, atau sebaliknya. Meskipun orang bisa saja memilih untuk mengadopsi nilai-nilai, entah dari etniknya sendiri, dari etnik lain, ataupun dari gabungan keduanya.
Antara satu etnik dengan etnik lainnya kadang-kadang juga terdapat kemiripan bahasa. Kesamaan bahasa itu dimungkinkan karena etnik-etnik tersebut memiliki kesamaan sejarah tradisi kuno yang satu, yang mewariskan tradisi yang mirip dan juga bahasa yang mirip pula (Goodenough, 1997). Seperti misalnya bahasa jawa memiliki banyak kemiripan dengan bahasa bali, lalu bahasa minang mirip dengan bahasa banjar, dan lainnya.
Mengkritisi Etnisitas
Keanggotaan etnik yang menekankan hubungan ‘darah’ menurut keterangan diatas merupakan bagian dari perspektif teori primordial yang menyatakan bahwa etnisitas merupakan suatu keniscayaan. Keniscayaan tersebut meliputi keterpautan manusia pada kedekatan wilayah teritorial dan hubungan kerabat, bahkan juga keniscayaan bahwa individu selalu dilahirkan dalam sebuah masyarakat yang sudah terbentuk dengan sistem keagamaan, bahasa dan adat istiadatnya (Simatupang, 2003). Menurut perspektif ini, seseorang yang memiliki darah sebagai etnis Minang misalnya, maka ia tidak bisa mengelakkannya. Ia harus menerima fakta bahwa dirinya adalah seorang ‘Minang’. Etnik dalam perspektif primordial merupakan sesuatu yang memang sudah ada dan tinggal di lanjutkan.
Dalam antropologi ada tiga perspektif teori utama yang digunakan untuk membahas mengenai etnisitas, selain teori primordial, dua lainnya adalah teori situasional, dan teori relasional. Teori situasional berseberangan dengan teori primordial. Teori situasional memandang bahwa kelompok etnis adalah entitas yang dibangun atas dasar kesamaan para warganya, bagi mereka yang lebih penting bukan wujud kesamaan itu sendiri melainkan perihal penentuan dan pemeliharaan batas-batas etnis yang diyakini bersifat selektif dan merupakan jawaban atas kondisi sosial historis tertentu (Barth dalam Simatupang, 2003). Teori ini menekankan bahwa kesamaan kultural merupakan faktor yang lebih besar dibanding kesamaan darah dalam penggolongan orang-orang kedalam kelompok etnik.
Menurut perspektif teori situasional, etnik merupakan hasil dari adanya pengaruh yang berasal dari luar kelompok. Salah satu faktor luar yang sangat berpengaruh terhadap etnisitas adalah kolonialisme, yang demi kepentingan administratif pemerintah kolonial telah mengkotak-kotakkan warga jajahan ke dalam kelompok-kelompok etnik dan ras (Rex dalam Simatupang, 2003). Untuk seterusnya sisa warisan kolonial itu terus dipakai sampai sekarang. Contoh yang paling jelas adalah pembentukan identitas etnik Dayak. Istilah Dayak diberikan oleh kolonial Belanda untuk menyebut seluruh penduduk asli pulau Kalimantan. Padahal sesungguhnya etnik Dayak terdiri dari banyak subetnik ( yang sebenarnya sebagai etnik sendiri yang sangat berbeda satu sama lain, seperti Benuaq dan Ngaju). Istilah Dayak sendiri tidak dipergunakan sebagai identitas mereka. Mereka menyebut diri sebagai orang Benuaq jika itu etnis Benuaq (Trisnadi, 1996).
Teori relasional mendasarkan pada pandangan bahwa kelompok etnik merupakan penggabungan dua entitas atau lebih yang memiliki persamaan maupun perbedaan yang telah dibandingkan dalam menentukan pembentukan etnik dan pemeliharaan batas-batasnya. Kesamaan-kesamaan yang ada pada dua atau lebih entitas yang disatukan akan menjadi identitas etnik. Menurut perspektif relasional ini, etnik ada karena adanya hubungan antara entitas yang berbeda-beda; etnik Sasak tidak akan menjadi etnik Sasak bila tidak mengalami hubungan dengan entitas di luar kelompok itu. Etnik tergantung pada pengakuan entitas lain di luar kelompok.
Saat ini sepertinya tidak relevan lagi membicarakan mengenai etnik mengingat batas-batas etnik telah semakin kabur. Batas-batas budaya antar etnik telah semakin tidak jelas. Saat ini segala manusia dari berbagai etnik telah semakin melebur dalam kehidupan sosial yang satu. Apalagi globalisasi yang begitu deras dan nyaris tak tertahankan bertendensi memunculkan keseragaman budaya, baik dalam pola pikir, sikap, tingkah laku, seni, dan sebagainya. Saat ini, menemukan kekhasan perilaku dari etnik tertentu bukan hal yang mudah. Semua etnis pada dasarnya memiliki perilaku yang sama. Misalnya hampir tak dapat dibedakan lagi seorang Minang dengan seorang Jawa, seorang Bugis dengan seorang Batak di Jakarta dalam hal tata pergaulan. Lantas, apa perlunya lagi berbicara mengenai etnik?
Etnik sebagai kategori untuk membedakan ‘perilaku’ orang-orang merupakan sesuatu yang telah usang. ‘Model untuk’ yang digunakan dengan mengelompokkan perilaku dan budaya tertentu diasosiasikan dengan etnik tertentu sudah tidak dapat lagi dipergunakan. Sekarang ini, etnik sebagai identitas tidak berarti harus menunjukkan adanya perbedaan budaya. Mengaku berbeda etnik bukan lantas harus menunjukkan perbedaan dalam perilaku. Namun meski demikian, masyarakat umumnya tetap menganut adanya model-model perilaku dan sifat tertentu yang khas etnik tertentu, dan model tersebut digunakan untuk menjelaskan keberadaan etnik bersangkutan.
Persoalannya kemudian beranjak kepada masalah identitas. Etnik tetap ada karena berkait dengan kebutuhan akan identitas-identitas. Meskipun terdapat kesamaan-kesamaan yang besar dengan etnik lain, hal itu tidak menghalangi untuk tetap merasa berbeda. Identitas etnik yang diperkuat, dimana identitas etnik semakin kerap ditonjolkan dalam kehidupan sosial seperti yang terjadi belakangan ini, kontradiktif dengan ramalan para pemuja globalisasi. Justru, perkuatan identitas etnik lahir sebagai perlawanan atas globalisasi. Etnik dijadikan alat politik untuk mendapatkan posisi tawar yang lebih tinggi dalam meraih sumber daya tertentu. Beberapa manifestasi politik identitas etnik diantaranya, munculnya negara-negara etnik (seperti yang terjadi di bekas negara Soviet), tuntutan kemerdekaan atas suatu wilayah karena diklaim milik etnik tertentu (seperti di Aceh), tuntutan akan pengembalian tanah adat yang dipergunakan untuk perkebunan dan lainnya (terjadi hampir diseluruh Indonesia, terutama di luar jawa), tuntutan pengembalian kekuasaan adat (terlihat dalam kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, tahun 2003 lalu, lihat Kompas, 24 september 2003) dan berkembangnya isu putera daerah dalam era otonomi daerah (terjadi hampir diseluruh daerah).
Jadi, agaknya berbicara mengenai etnisitas tetap tidak kehilangan momentum. Hanya saja, pemahaman mengenai etnisitas perlu ditambahkan. Tidak saja etnik sebagai kategori orang-orang karena budaya dan darah, tetapi lebih penting lagi telah menjadi kategori identitas politis, dimana identitas etnis tetap dipertahankan karena memang bermanfaat. Meminjam istilah Edward Said, guru orientalisme, identitas etnikpun bisa dipilah sebagai identitas murni dan identitas politis. Identitas etnik menjadi identitas politis manakala identitas itu dipergunakan demi tujuan tertentu untuk memperoleh kemanfaatan tertentu.