Pluralitas etnik di Indonesia

Oleh : Achmanto Mendatu

The more voices are allow to speak about one thing.
The more eyes, different eyes, we can use to observe one thing
The more complete will our concept of this thing, our objectivity be
(Nietzsche)

Indonesia merupakan salah satu bangsa yang paling plural didunia dengan lebih dari 500 etnik dan menggunakan lebih dari 250 bahasa. Karenanya, sebagaimana bangsa multietnik lainnya, persoalan-persoalan mengenai pengintegrasian berbagai etnik kedalam kerangka persatuan nasional selalu menjadi tema penting. Ironisnya, setelah sekian puluh tahun kemerdekaan, pertikaian antar etnik tetap saja terjadi. Sementara pembauran antar etnik intens berlangsung terutama di daerah-daerah urban, konflik antar etnik terus terjadi. Di satu sisi di galakkan upaya untuk meningkatkan nasionalisme guna mengurangi etnosentrisme, di sisi lain tumbuh subur pemujaan etnik.

Memiliki ratusan etnik dengan budaya berlainan, yang bahkan beberapa di antaranya sangat kontras, potensi kearah konflik sangatlah besar. Ketika Koentjaraningrat mendefinisikan nilai budaya sebagai suatu rangkaian konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai apa yang di anggap penting dan remeh dalam hidup, sehingga berfungsi sebagai pedoman dan pendorong perilaku, yang tidak lain mengenai sikap dan cara berfikir tertentu pada warga masyarakat, sekaligus ia menyatakan inilah masalah terbesar dalam persatuan antar etnik (Koentjaraningrat, 1971). Nilai budaya inilah yang berperan dalam mengendalikan kehidupan kelompok etnik tertentu, memberi ciri khas pada kebudayaan etnik, dan dijadikan patokan dalam menentukan sikap dan perilaku setiap anggota kelompok etnik. Nilai budaya-nilai budaya yang berbeda pada tiap etnik akan menimbulkan sikap dan cara berfikir yang berbeda pula. Demikian juga dalam perilaku yang di ambil meskipun dalam masalah yang sama. Perbedaan ini potensial menimbulkan konflik terutama pada masalah-masalah yang datang dengan adanya interaksi antar etnik.

Apakah perbedaan akan selalu menimbulkan konflik? Jawabnya tentu tidak. Adakalanya perbedaan-perbedaan yang dihayati dengan sungguh-sungguh akan melahirkan persatuan. Semakin tampak berbeda tidak selalu berarti konflik juga semakin potensial.

A. Pluralisme: Keberagaman Kehidupan

Masyarakat Indonesia umumnya memahami adanya pluralitas manakala menjumpai suatu komunitas yang terdiri dari banyak etnik dan terdapat pemeluk agama yang berbeda-beda. Hal ini tidak mengherankan bila mengingat kategori sosial utama dalam membedakan kelompok adalah etnik dan agama. Seseorang di Indonesia biasanya digolongkan mula-mula berdasarkan etniknya baru kemudian berdasarkan agamanya. Maka pertanyaan mula-mula yang paling sering dilontarkan saat bertemu orang baru adalah “anda orang mana?” yang maksudnya adalah “etnik anda apa?” Jarang sekali pada awal-awal pertemuan akan bertanya agama yang dianut.

Pluralisme mengandung beberapa makna sesuai dengan wacana yang mengikutinya. Dalam wacana filsafat saat ini, konsep tentang pluralitas mengacu pada pandangan bahwa dunia bisa ditafsirkan dalam berbagai cara, atau untuk mengadakan evaluasi ilmu yang ternyata diperkaya oleh kompetisi antara berbagai macam penafsiran. Dalam sosiologi kebudayaan dan etnologi, pluralisme merujuk pada fragmentasi kebudayaan ke dalam sub-sub kebudayaan yang dipisahkan oleh etnik, bahasa, agama, dan batasan-batasan lain. Dalam sosiologi kognitif konsep pluralisme menggambarkan situasi sosial yang didalamnya terdapat beberapa sistem makna yang dihadirkan secara terus menerus sebagai tafsir yang dapat diterima. Dalam sosiologi fungsional, pluralisme merujuk pada diferensiasi masyarakat yang dapat diselidiki pada tingkat individual sebagai diferensiasi peran-peran (Abdilah, 2002).

Pluralisme akan jadi kenyataan bila pluralisme kegiatan, nilai, struktur, sistem ide, dan institusi yang hidup dalam masyarakat benar-benar muncul ke permukaan. Artinya pluralisme baru berarti bila pluralisme itu tampak dalam hidup keseharian warga masyarakat: adanya kegiatan yang beragam, nilai-nilai berbeda bisa dijalankan tanpa kekhawatiran, struktur sosial atau organisasi yang beraneka macam, sistem ide yang tidak tunggal, dan berbagai institusi hadir di tengah masyarakat dan masing-masing menunjukkan keberadaanya. Sayangnya, sekalipun disadari bahwa masyarakat kita merupakan masyarakat yang plural, tidak semua bisa mewujudkan keberadaannya dengan bebas. Abrar (2002) menemukan, bahwa meskipun pluralisme sesuatu yang niscaya di masyarakat, media massa yang ada kurang menfasilitasi pluralisme nilai dalam berita yang mereka siarkan. Artinya, pluralisme yang ada ditengah masyarakat kurang mendapat tempat selayaknya.

Prinsip-prinsip kesamaan, kesetaraan, demokrasi, kebersamaan, keadilan dan kesetiakawanan sosial merupakan prinsip-prinsip utama yang seharusnya berlaku dalam masyarakat plural. Tanpa adanya prinsip-prinsip tersebut mustahil suatu masyarakat plural dapat berjalan baik dalam koridor kedamaian. Ketiadaan prinsip-prinsip itu akan membuat elemen-elemen masyarakat yang berbeda-beda saling bertikai dan terlibat konflik terus menerus.

Prinsip kesamaan dan kesetaraan mengandung arti semua hal yang berbeda-beda dipandang sama dimana yang satu tidak lebih tinggi dibanding yang lain. Prinsip kesamaan dan kesetaraan berasumsi bahwa semua orang semestinya memandang bahwa setiap orang memiliki harkat dan martabat yang sama sebagai manusia. Prinsip ini mengajarkan bahwa etnik yang satu tidak lebih tinggi dibanding etnik yang lain. Akan tetapi faktanya pada masyarakat Indonesia sekarang ini, masih ada pandangan etnik tertentu lebih tinggi atau lebih baik daripada etnik yang lain. Pandangan ini merupakan akibat dari adanya etnosentrisme yang kuat.

Prinsip demokrasi mengandung arti dijunjung tingginya hak setiap orang untuk berpendapat, untuk memiliki ideologi tertentu, dan untuk memiliki identitas tertentu. Demokrasi menghargai setiap pendapat yang keluar dari pikiran setiap orang. Penilaian bernilai tidaknya suatu pendapat semata-mata didasarkan pada isi pendapatnya bukan siapa yang berpendapat. Prinsip demokrasi juga mengajarkan bahwa perbedaan cara hidup karena perbedaan cara memandang hidup (baca; ideologi) sebagai sesuatu yang lumrah. Tidak bisa karena seseorang berbeda ideologi dengan umumnya anggota masyarakat maka ia dikucilkan.

Prinsip kebersamaan mengandung makna bahwa setiap elemen masyarakat yang berbeda-beda mampu menjalin kerjasama yang harmonis demi kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Perbedaan menjadi tidak berarti bila satu sama lain bisa saling menumbuhkan rasa kebersamaan sebagai suatu komunitas. Prinsip kebersamaan ini berkaitan erat dengan prinsip keadilan dan kesetiakawanan sosial.

Kesamaan, kesetaraan, demokrasi, kebersamaan, keadilan dan kesetiakawanan sosial mengacu pada suatu terma dasar yakni humanisme. Dalam setiap masyarakat, humanisme merupakan prinsip agung yang mendasari terbentuknya masyarakat madani. Humanisme berarti menghormati orang lain dalam identitasnya, dengan keyakinan-keyakinan, kepercayaan-kepercayaan, cita-cita, ketakutan-ketakutan dan kebutuhan-kebutuhannya. Humanisme berarti perspektif dimana hormat dasar diberikan kepada orang lain tidak tergantung dari ciri-ciri atau kemampuan-kemampuannya, melainkan semata-mata dari kenyataan bahwa dia manusia (Suseno, 2002). Seorang yang humanis dengan sendirinya melampaui batas-batas ideologis, agama, etnik, kelompok dan berbagai identitas lainnya. Ia akan menolong dan akan tidak mencelakai orang lain dari ideologi apapun, agama apapun, etnik apapun dan kelompok manapun.

Prinsip-prinsip kesamaan, kesetaraan, demokrasi, kebersamaan, keadilan dan kesetiakawanan sosial memerlukan pendidikan multikultural dalam upaya menumbuhkannya. Kedudukan dan peranan setiap kesatuan budaya yang ada juga harus memperoleh jaminan, fasilitas, dukungan dan perlindungan secara legal dan operasional (Suyata, 2002). Tanpa adanya dukungan institusional dari lembaga resmi akan sangat sulit prinsip-prinsip itu tumbuh dan menemukan aplikasinya yang nyata didalam masyarakat. Artinya diperlukan suatu institusi dan tindakan politik dalam mewujudkan pluralisme yang damai.

B. Keberagaman dalam Masyarakat Plural

Salah satu ilmu perilaku yang terpenting yakni psikologi, khususnya psikologi lintas budaya, menunjukkan bahwa kita berbeda dengan orang lain karena kita anggota kelompok budaya yang berbeda. Kita tidak hanya berbicara dalam bahasa dan cara yang berbeda tetapi juga berpikir beda, berbeda dalam merasa, dan berbeda dalam cara berhubungan dengan orang lain. Tidak hanya secara psikis, tubuh kita dan gerakan tubuh kita juga berbeda, tertawa berbeda, menggerakkan tangan berbeda, mengekpresikan wajah dengan cara berbeda (Wierzbicka, 1999). Perbedaan-perbedaan yang sedemikian besar tentunya membawa konsekuensi yang besar pula. Bila tidak terdapat saling pengertian yang mendalam akan adanya perbedaan itu maka interaksi yang terjadi bisa jadi hanya akan menimbulkan konflik.

Kita selalu diyakinkan bahwa perbedaan merupakan suatu anugerah. Demikian yang selalu digembor-gemborkan. Seolah-olah perbedaan tanpa masalah. Padahal akar dari semua konflik adalah perbedaan. Sayangnya perbedaan suatu keniscayaan. Ia sesuatu yang pasti ada dan akan tetap ada. Jadi, yang bisa dilakukan tinggal lagi bagaimana berdamai dengan perbedaan yang ada. Banyak contoh hadir ditengah kita bagaimana upaya pengabaian perbedaan dengan hanya menghadirkan kesamaan yang ada dengan alasan demi persatuan, justru malah menghancurkan persatuan yang ingin dicapai. Politik persamaan yang dilakukan orde baru, yang tidak mentolerir perbedaan yang muncul kontradiktif dengan tujuannya untuk mempersatukan, yang muncul malahan keretakan di masyarakat. Dalam kasus Indonesia, terutama pada zaman orde baru, terbukti bahwa intervensi tanpa perhatian pada perbedaan kelompok dapat membawa pada kebijakan assimilisianist dimana anggota kelompok minoritas diharapkan untuk konform atau melebur terhadap kelompok mayoritas. Fenomena ini nyata sekali pada perlakuan yang diberikan pada etnis Cina. Misalnya mereka diharuskan mengubah nama menjadi nama Indonesia. Mereka juga dilarang menyelenggarakan berbagai ritual budaya. Akibatnya mereka mengalami kegamangan budaya. Disatu sisi mereka tercerabut dari akar budayanya, disisi lain mereka tetap kurang diterima sebagai bagian dari masyarakat mayoritas, sebab jelas mereka benar-benar berbeda, setidaknya secara fisik. Tampaknya justru ketika membiarkan suatu kelompok dengan identitas budayanya, di ikuti dengan menumbuhkan toleransi antar kelompoklah yang akan mencipta persatuan yang hakiki.

Pada saat berbicara mengenai perbedaan, mau tidak mau kita akan sering bertemu dengan kata diversitas. Seringkali arti ‘perbedaan’ dan ‘diversitas’ kita artikan sama saja, padahal keduanya sedikit berbeda (dalam bahasa inggris ‘perbedaan’ diterjemahkan sebagai ‘difference’, sedangkan diversitas atau keberagaman diterjemahkan sebagai ‘diversity’). Perbedaan merujuk pada adanya sesuatu yang beda atau lain antara dua hal atau lebih (lebih bersifat kualitatif). Diversitas merujuk pada keberadaan dua hal atau lebih yang memiliki kesetaraan (lebih bersifat kuantitatif). Banyaknya etnik di negeri kita lebih tepat bila disebut diversitas etnik atau keberagaman etnik karena merujuk adanya banyak etnik dimana yang satu tidak lebih rendah dari yang lain.

Diversitas atau keberagaman memiliki sisi positif maupun negatif. Keberagaman akan menjadi sisi yang mana tergantung penilaian individu pada keberagaman itu sendiri. Menurut Johnson dan Johnson (2000) sebuah diversitas menjadi positif atau negatif tergantung apakah kita:

  1. Mengakui bahwa diversitas ada dan merupakan sesuatu yang berharga
  2. Membangun identitas pribadi yang utuh yang mengandung a) Pengakuan tehadap warisan budaya etnik, b) Memandang diri sebagai individu yang menghargai adanya perbedaan nilai-nilai pada setiap orang.Mengerti keadaan kognitif diri sendiri (seperti stereotip dan prasangka) untuk membangun hubungan dengan teman-teman yang berbeda latar belakang budaya.
  3. Mengerti adanya konflik antar kelompok yang dinamis
  4. Mengerti proses penilaian sosial dan mengetahui bagaimana proses terbentuknya penerimaan dan penolakan.
  5. Mampu menyusun sebuah konteks kerjasama dalam hubungan positif antara individu yang berbeda.
  6. Memanajemen konflik dalam cara-cara yang konstruktif: a) Konflik intelektual, yaitu pembuatan keputusan dan mempelajari situasi, b) Konflik kepentingan, yaitu pemecahan masalah melalui negosiasi dan mediasi.
  7. Belajar dan menginternalisasi nilai-nilai pluralitas dan demokrasi.
Bila kita mampu melakukan kedelapan hal itu dengan baik maka diversitas akan menjadi sesuatu yang positif bagi kita. Sebaliknya bila kita gagal melakukannya maka mungkin sekali kita akan menilai diversitas secara negatif. Sangat mungkin adanya diversitas kita artikan sebagai ancaman bagi diri kita dimana kita tidak merasa nyaman dengan adanya diversitas atau keberagaman. Tiliklah kedalam diri kita, kita kadangkala enggan untuk bergaul atau berada diantara orng yang berbeda dengan diri kita.

Diversitas bisa menguntungkan dan bisa juga merugikan. Pada suatu kondisi tertentu diversitas akan menyebabkan terjadinya ketidaknyamanan dalam kehidupan sosial. Namun sebaliknya, dalam kondisi yang lain diversitas bisa meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Johnson dan Johnson (2000) mengidentifikasikan delapan kondisi yang menyebabkan diversitas lebih merupakan suatu keuntungan, bila:

  1. Menurunkan stereotip dan prasangka,
  2. Meningkatkan hubungan lebih positif,
  3. Memperbaharui vitalitas masyarakat,
  4. Meningkatkan prestasi dan produktivitas,
  5. Meningkatkan kreativitas dalam pemecahan masalah,
  6. Menjaga pertumbuhan kognitif dan penalaran moral,
  7. Menjaga cara pandang yang dimiliki,
  8. Membangun komitmen terhadap demokrasi bangsa.
  9. Sementara itu diversitas menjadi sebuah kerugian, bila:
  10. Meningkatkan stereotip dan prasangka,
  11. Membentuk hubungan yang penuh ketegangan,
  12. Meningkatkan hubungan lebih negatif, seperti pengkambinghitaman, kekerasan, penolakan, dan lainnya,
  13. Membuat hidup lebih kompleks dan sulit,
  14. Membuat produktivitas rendah karena susah dalam komunikasi, koordinasi, dan pembuatan keputusan,
  15. Mengharuskan lebih banyak upaya untuk bisa berhubungan dengan orang lain,
  16. Merupakan sesuatu yang mengancam,
  17. Membuat cemas.

Implikasi adanya keberagaman budaya dalam suatu masyarakat cukup luas. Organisasi yang bergerak dalam masyarakat yang memiliki keberagaman mau tidak mau harus sensitif terhadap keberagaman itu. Sebuah organisasi publik, entah itu perusahaan atau instansi pemerintahan akan menghadapi kenyataan untuk menerima pegawai yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Karenanya diperlukan suatu manajemen khusus untuk mensinergikan kerja dari pegawai-pegawai yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Dalam kondisi demikian peran pemimpin sangat sentral. Untuk mengarahkan berbagai orang dengan berbagai latar belakang budaya dalam pencapaian tujuan organisasi diperlukan suatu kepemimpinan yang mampu memhami adanya perbedaan budaya diantara anggota-anggota organisasi. Menurut Chemers dan Ayman (1993) setidaknya ada empat karakter penting dalam kepemimpinan organisasi multikultural, yaitu:
  1. Pribadi yang memiliki visi yang luas, yang mengakui dan mendukung perbedaan dalam komunitas organisasi. Pemimpin seharusnya memiliki rencana jangka panjang termasuk memperkerjakan karyawan yang berasal dari berbagai latar belakang budaya pada semua level organisasi.
  2. Memiliki pengetahuan yang luas mengenai dimensi-dimensi diversitas dan memiliki kesadaran mengenai permasalahan multikultural.
  3. Terbuka untuk melakukan perubahan di dalam dirinya
  4. Membimbing dan mengarahkan pegawai yang berbeda-beda latar belakang budayanya.
Kesadaran akan adanya diversitas merupakan kemutlakan karena kita hidup dalam masyarakat plural. Kita mesti menyadari bahwa ada begitu banyak perbedaan di sekitar kita sebelum kita memutuskan apa yang terbaik yang harus dilakukan. Tiga alasan kenapa kesadaran akan diversitas penting:
  1. Meningkatkan kualitas kehidupan kita. Dengan menyadari adanya beragam budaya maka kita bisa lebih humanis.
  2. Diversitas merupakan suatu hal yang tidak terhindarkan
  3. Kehidupan ekonomi semakin mengglobal dan mengharuskan terjalinnya hubungan dengan berbagai orang dengan latar belakang budaya yang berbeda

C. Pluralitas Etnik di Indonesia

Terbentuknya masyarakat plural bisa melalui berbagai cara. Pluralitas nilai misalnya bisa bersumber dari perbedaan arus informasi dan pengetahuan yang diterima masyarakat. Maka tidak heran bila terjadi perbedaan nilai yang tajam antara orang berpendidikan tinggi dengan yang berpendidikan rendah dan antara orang kota dengan orang desa. Sementara itu pluralitas etnik dalam suatu komunitas masyarakat tertentu umumnya disebabkan karena migrasi. Contoh yang paling bagus untuk fenomena ini adalah kota Jakarta. Saat ini Jakarta dihuni oleh puluhan etnik yang beberapa diantaranya malah memiliki perkampungan sendiri. Jika seseorang mengaku berasal dari Jakarta, sulit untuk menduga asal etniknya karena sangat mungkin ia bukan orang Betawi. Pluralitas etnik bisa juga terbentuk karena adanya komitmen persatuan antara berbagai etnik. Indonesia terbentuk melalui cara ini. Puluhan etnik yang ada di wilayah Indonesia mungkin kurang saling berinteraksi, tetapi dengan adanya ikatan politis yaitu negara Indonesia, maka semua etnik terikat dalam komunitas Indonesia. Maka jadilah sebuah Indonesia yang plural meskipun mungkin ada puluhan ribu orang yang tidak pernah bertemu etnis lain seumur hidupnya.

Satu hal yang sentral dalam diskusi mengenai pluralitas etnik adalah migrasi, yakni tentang bagaimana suatu etnik yang memiliki wilayah adat tertentu berpindah ke wilayah adat lain baik secara kelompok maupun secara individual. Misalnya orang Minang pindah ke Yogyakarta dimana Yogyakarta merupakan wilayah adat orang Jawa. Perpindahan ini membawa konsekuensi terjadinya interaksi, dan adanya interaksi itu membawa sekian banyak akibat bagi pendatang maupun bagi yang menerima. Bagi pendatang yang kerap disebut perantau, memperoleh penerimaan warga asli adalah pencapaian terpenting. Sementara itu bagi warga asli, mampu menerima warga pendatang sebagai bagian dari masyarakat merupakan indikasi keberhasilan suatu migrasi.

Penerimaan warga asli terhadap pendatang tidak selalu mudah, tidak bisa semata-mata melalui kebaikan hati. Ada banyak faktor lain yang turut berperan dalam proses penerimaan itu, diantaranya adalah tersedianya sumberdaya di wilayah tersebut, dominan tidaknya warga pendatang, dan karakteristik budaya. Bila di suatu wilayah cukup tersedia sumber daya yang melimpah dan semua orang bisa mendapatkannya tanpa perlu kompetisi yang ketat sangat mungkin warga pendatang akan diterima dengan tangan terbuka. Sebaliknya bila sumber daya yang tersedia terbatas dan memunculkan kompetisi yang ketat untuk mendapatkannya biasanya penerimaan warga pendatang kurang berjalan baik.

Kadangkala warga pendatang memiliki jumlah cukup besar, malahan lebih besar daripada warga asli dan mereka juga dominan. Seperti misalnya pada tahun 2000 dari 2.233.530 penduduk Papua, 1.460.846 atau 65,41% adalah orang Papua asli, yang 80% ada di Gunung-gunung, dan 20 % ada diperkotaan. Di kota provinsi, kota kotamadya 90% adalah warga pendatang (Kompas, 23 Februari 2003). Bila hal itu meminggirkan warga asli baik secara ekonomi, sosial, dan politik, banyak kemungkinan penerimaan tidak berjalan mulus. Demikian juga bila warga asli ataupun warga pendatang memiliki budaya yang tertutup maka akan menimbulkan penerimaan yang tidak mudah.

Eksotisme menjadi tak terelakkan dalam masyarakat plural. Suatu etnik yang benar-benar berbeda dalam hal budaya, seni, dan sebagainya menjadi tontonan menarik bagi etnik lain. Sayangnya, tontonan akan eksotisme budaya tertentu seringkali berakibat munculnya pandangan bahwa suatu etnik masih primitif, bukannya menimbulkan pandangan betapa agungnya keberagaman budaya yang ada. Hal ini dipicu adanya anggapan bahwa kebenaran merupakan otoritas pihak tertentu untuk menentukannya. Menurut Trisnadi (1996) pandangan akan adanya hirarki dalam menafsirkan suatu kebenaran melahirkan pemikiran untuk mengklasifikasikan kebudayaan sebagai tradisional dan modern, atau ahistoris dan historis. Upaya tersebut mengandung maksud untuk menghirarkikan kebudayaan untuk konsumsi khalayak dan rekayasa politik dan sosial. Penghirarkian itu pada akhirnya untuk mendiskreditkan identitas lokal. Maka mudah dimengerti bila budaya yang berbau lokal dan eksotik kurang diterima sebagai sesuatu yang sama nilainya dengan budaya yang bersifat global.

Saat ini Indonesia merupakan negara dengan lebih dari 500 etnik. Namun demikian tidak lebih dari 20 etnik yang memiliki anggota cukup besar. Sebagian besar hanya memiliki anggota yang relatif kecil. Yang cukup menarik adalah keberadaan puluhan etnik di Papua. Kadangkala satu etnik hanya memiliki wilayah satu desa saja. Bahasa mereka juga berbeda satu sama lain. Disana ada ratusan bahasa yang dipergunakan untuk komunikasi sesama anggota etnis. Jadi tidak benar kebijakan yang menganggap orang papua adalah satu etnik yang besar. Mereka benar-benar masyarakat yang plural. Kesamaan mereka lebih pada kesamaan ras.

Berikut adalah distribusi etnis di Indonesia pada tahun 1930 yang diambil dari Statistiche Zakhoekje voor Nederlandsch-Indie yang terbit tahun 1940 (Lihat Suryadinata, 1999, hal.188).

Kelompok Etnis %
Etnis Jawa 47,02
Etnis Sunda 14,53
Etnis Madura 7,28
Etnis Minangkabau 3,36
Etnis Bugis 2,59
Etnis Batak 2,04
Etnis Bali 1,88
Etnis Betawi 1,66
Etnis Melayu 1,61
Etnis Banjar 1,52
Etnis Aceh 1,41
Etnis Palembang 1,30
Etnis Sasak 1,12
Etnis Dayak 1,10
Etnis Makassar 1,09
Etnis Toraja 0,94
Etnis lainnya 9,54
Total 100,00

Angka-angka diatas mungkin telah berubah. Akan tetapi mendasarkan pada asumsi setiap etnis memiliki tingkat pertumbuhan sama maka sangat mungkin angka-angka itu relatif tidak terlalu banyak berubah. Dan karena angka dalam tabel itu mendasarkan pada kebijakan kolonial belanda, maka didalamnya tidak terdapat etnis Cina. Saat itu etnis Cina tidak diperhitungkan masuk sebagai kelompok etnis di Hindia Belanda. Saat ini sudah seharusnya etnis Cina masuk dalam daftar. Etnis Cina hanya berjumlah 2,8% tetapi mereka menyebar ke seluruh kepulauan Indonesia (Suryadinata, 1999).

Daftar diatas juga bisa diperdebatkan karena adanya pemisahan kelompok etnik. Batak misalnya, saat ini hanya dinilai sebagai kumpulan beberapa kelompok etnik berbeda seperti Dairi pakpak, Simalungun, Batak Karo, Mandailing dan lainnya. Lalu demikian juga etnik Dayak yang dulu digunakan untuk menyebut seluruh etnik yang ada di kalimantan, sebenarnya terdiri dari berbagai etnik seperti Benuaq, Ngaju, Apau Kayan, Meratus. Murut, Punan, Ot Danum, Iban, dan lainnya.

Keberagaman bahasa menjadi fenomena menarik yang lain. Lebih dari 300 bahasa digunakan sebagai komunikasi. Menurut Laporan dari Unesco, PBB, saat ini telah puluhan bahasa lokal menghilang dan diperkirakan pada tahun 2020 bahasa lokal yang memiliki pengguna kurang dari 10.000 orang benar-benar akan menghilang. Bahasa lokal yang dimaksud adalah bahasa etnis yang jumlahnya minoritas sehingga jumlah penggunanyapun sedikit. Sebagai contoh, di Papua, bahasa yang digunakan antara satu desa dengan desa lainnya kadang-kadang sudah berbeda sama sekali. Bahkan banyak juga bahasa yang hanya digunakan oleh satu desa saja.


D. Hubungan Antar Etnik

Masyarakat yang terdiri dari banyak etnik seperti Indonesia memiliki pola hubungan antar etnik yang beragam. Menurut Suyata (2002) posisi sejumlah kelompok etnik bisa vertikal juga horizontal dengan sedikit banyak overlapping. Hubungan antar masyarakat dapat dibedakan dalam empat tipe. Masyarakat tipe A menunjuk adanya perbedaan etnik kultural yang jelas dan diperkuat oleh semacam monopoli gengsi kultural dan kekuatan politik ekonomi dipegang oleh satu kelompok. Masyarakat tipe B tersusun atas kelompok yang menjadi subordinasi dan berupaya mempertahankan hak prerogatifnya. Urusan sosial ekonomi tidak sejalan dengan perbedaan etnik. Masyarakat tipe C memiliki perbedaan etnik kultural tetapi tidak terjadi monopoli kekuasaan dan gengsi. Dan terakhir, masyarakat tipe D memiliki kesamaan struktural dan posisi gengsi dan kekuasaan relatif seimbang antar kelompok etnik.

Masyarakat tipe A dan tipe B memiliki potensi konflik yang paling besar. Dalam masyarakat tipe A dan B ini stereotip dan prasangka etnik cenderung sangat kuat. Diskriminasi tumbuh subur. Identitas etnik diperkuat sebagai upaya pertahanan sosial melawan kelompok etnik lain. Pemicu sedikit saja bisa mengakibatkan pertikaian yang besar. Sementara itu dalam masyarakat tipe C dan tipe D relatif memiliki potensi konflik rendah. Batas-batas antar kelompok etnik dalam masyarakat tipe C memang masih cukup kuat akan tetapi tidak membatasi kelompok-kelompok itu untuk berinteraksi secara akrab. Berbagai kelompok etnik yang ada relatif memiliki posisi yang setara. Kekuasaan politik, penguasaan sumber daya ekonomi, dan gengsi sosial dibagi sama rata.

Dalam masyarakat Indonesia tipe masyarakatnya berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Sayangnya belum ada pemetaan mengenai pola hubungan antar etnik didalam masyarakat di Indonesia. Jika saja pemetaan diadakan, hal itu akan sangat berguna dalam mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya konflik sehingga bisa diupayakan pencegahannya.

Masyarakat Nusa Tenggara Timur merupakan contoh masyarakat yang plural. Disana ada 5 kelompok besar etnik yaitu Timor, Sumba, Rote, Sabu, dan Flores. Secara umum di NTT terdiri dari 15 kelompok utama etnik, 75 kesatuan etnik, dan 550 sub etnik. Di kota Kupang, etnik-etnik tertentu terkonsentrasi di pemukiman tertentu dan memiliki konsentrasi pada jenis pekerjaan, unit dan satuan kerja tertentu. Sebagai misal, mayoritas pegawai kantor gubernur adalah orang Flores, dan Universitas Cendana mayoritas pegawainya orang Rote dan Sabu. Disana juga terdapat organisasi kekeluargaan yang bertujuan mempertahankan kesatuan etnik. Misalnya Ikatan keluarga kawanua, ikatan keluarga sumba, dan lainnya. Bahkan perumahan, asrama, penginapan ada yang khusus diperuntukkan bagi etnik tertentu saja (Liliweri,1994). Jika saja pemetaan hubungan antar etnik dilakukan, hal itu akan sangat membantu upaya pencegahan konflik antar etnik. Sebab keadaan di Kupang sendiri telah menggambarkan adanya persaingan atau pertentangan antaretnik secara tidak terbuka.

E. Konsekuensi Pluralisme Etnik

Keberagaman etnik memang indah, tapi dibaliknya terkandung pula potensi konflik yang besar. Konsekuensi negatif teringan adalah munculnya stereotip etnik, yang lebih berat munculnya prasangka etnik, lalu terparah muncul diskriminasi dan konflik antar etnik. Semuanya bertalian satu sama lain. Dalam konteks interaksi antar etnik, prasangka etnik sangat relevan untuk dikaji, karena prasangka bisa memunculkan diskriminasi dan konflik. Prasangka juga merupakan penghambat terbesar dalam membangun hubungan antaretnik yang sehat halmana berarti kegagalan bagi masyarakat plural. Buku ini memfokuskan pada masalah prasangka etnik atas alasan ini.

Tidak hanya konflik antar etnik, konflik bisa juga muncul antara etnik tertentu terhadap pemerintah. Di Indonesia, kebijakan pemerintah mengenai keberagaman etnik seringkali malah menimbulkan konflik panjang terhadap pemerintah dan terhadap kelompok etnik tertentu. Misalnya kebijakan transmigrasi (meskipun dianggap hanya sebagai kebijakan kependudukan, tapi bagaimanapun itu merupakan kebijakan kebudayaan karena membawa konsekuensi sosial budaya yang besar) sering membawa masalah sosial budaya yang parah. Akibat program itu sering muncul pertikaian antara warga etnik asli di wilayah transmigran dengan warga transmigran. Demikian juga penggunaan tanah-tanah adat untuk kepentingan industri dan perkebunan sering membawa pertikaian tak berkesudahan antara masyarakat etnik tertentu dan pemerintah.

Belakangan semangat etnis menguat. Bahkan ada kecenderungan terjadinya politik etnis, dimana identitas etnis menjadi isu politik utama. Isu putra daerah dalam era otonomi daerah sekarang ini merupakan bukti yang tak terbantah. Di beberapa daerah hanya putra daerah yang bisa diterima sebagai pegawai baru atau pejabat baru. Kriteria kapabilitas menjadi nomor sekian dalam syarat penerimaan pegawai dan pengangkatan pejabat. Pada umumnya putra daerah dilekatkan pada mereka yang memiliki nenek moyang dan orangtua asli dari daerah tersebut, dan bukan pendatang. Artinya isu etnisitas menjadi sentral dalam penyelenggaraan kekuasaan di daerah. Demikian juga gerakan-gerakan separatis umumnya menggunakan isu etnisitas. GAM di Aceh, RMS di Maluku, OPM di Papua jelas-jelas menggunakan isu etnis sebagai dasar perjuangan. Dengan alasan memperjuangkan etnis itulah maka gerakan-gerakan itu mendapatkan landasan bagi perjuangannya.

Gerakan politik etnis yang belakangan marak mengarah pada tuntutan penguasaan wilayah dan penguasaan sumber daya ekonomi di suatu area yang diklaim sebagai milik etnis bersangkutan. Untuk tujuan itu mereka tidak perlu menjadi separatis. Mereka tetap menjadi bagian dari Republik Indonesia, akan tetapi menuntut otonomi sepenuhnya. Hal ini yang dilakukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam Kongres II, 19-25 September di Tanjung, Nusa Tenggara Barat. Dalam Kongres tersebut mereka ingin mempertegas kembali mahluk apa sesungguhnya yang disebut sebagai masyarakat adat. Ia lebih kurang dikatakan sebagai sebagai kelompok penduduk yang memiliki ideologi, sistem sosial, dan sistem politik yang khas dan bersifat lokal spesifik, baik yang dibangun diatas kesamaan wilayah hidup bersama secara turun temurun (basis teritorial) maupun atas dasar kesamaan nenek moyang/leluhur (hubungan darah), atau perpaduan diantara keduanya. Berbagai persoalan sosial yang melanda bangsa akibat pelecehan terhadap adat dan budaya menjadi agenda gugatan AMAN. Mereka melakukan gugatan atas hak atas tanah dan sumberdaya lainnya, serta pengurusan diri sendiri dan administrasi pemerintahan. (Kompas, 24 September 2003).

Masyarakat etnik yang plural menghadapi masalah yang kompleks yang berbeda dengan masyarakat monoetnik. Berbagai persoalan benturan sosial dan budaya antaretnik akan senantiasa ada dan harus terus menerus diupayakan tindak pencegahan terhadap meletusnya konflik. Sangat mungkin pula disintegrasi masyarakat yang terfragmentasi atas dasar kelompok etnik muncul. Sehingga upaya memelihara persatuan merupakan sesuatu yang sentral. Pada akhirnya, pluralitas etnik bukan sesuatu yang negatif atau positif. Posisinya netral. Menjadi negatif atau positif tergantung konteks mana memandangnya dan atas dasar kepentingan apa melihatnya.