Gaya hidup Orang Rimba

Oleh Achmanto Mendatu
-
(Artikel ini adalah bagian dari tulisan panjang tentang Orang Rimba atau lebih dikenal dengan sebutan Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Secara keseluruhan, artikel mengenai Orang Rimba bisa Anda temukan secara terpisah dalam rangkaian situs psikologi online)
-

Fashion

Membedakan Orang Rimba di dalam kerumunan orang-orang etnis lain, misalnya dalam kerumunan etnis jawa atau melayu bukan hal yang mudah dilakukan. Mereka sangat mirip dengan orang jawa ataupun melayu. Hanya ketika memakai pakaian tradisional saja Orang Rimba akan terlihat jelas bedanya. Artinya, hanya pakaianlah yang membedakan.

Pakaian tradisional laki-laki rimba dinamakan cawot. Bahan dasarnya dari kain biasa (jarit dalam istilah orang jawa) yang dililitkan dipinggang dan menutupi kemaluan serta dubur. Pakaian itu benar-benar praktis. Sangat mudah dipasang dan juga sangat mudah dilepas. Mereka tidak memakai baju. Cawot adalah pakaian adat bagi laki-laki Orang Rimba. Mereka memakainya di dalam hutan. Kadang ketika keluar hutan mereka juga tetap memakainya. Apabila ada suatu pertemuan yang mempertemukan Orang Rimba dengan pihak tertentu, sebagai penegas identitas, mereka biasanya juga memakai cawot. Pada masa lalu cawot dibuat dari kulit kayu. Mereka menghaluskannya sehingga lentur dan enak dipakai. Saat ini cawot dari kulit kayu sudah tidak pernah dibuat lagi.

Di dalam rimba, cawot, benar-benar praktis. Orang Rimba tidak diribetkan dengan tetek bengek yang terkait dengan pakaian. Gerak mereka jadi sangat bebas. Hal itu cocok dengan kondisi hutan yang menghendaki pergerakan dinamis. Artinya Orang Rimba memang telah mengembangkan pakaian yang paling efektif dan efisien bagi mereka. Apabila cawot tidak enak dipakai dan menyulitkan pergerakan mereka, tentunya mereka sudah menggantinya dengan model lain.

Pernah selama seminggu terus menerus saya memakai cawot bersama Orang Rimba di dalam hutan. Mula-mula memakainya, rasanya memang agak lain sebab sering melorot. Akhirnya saya minta tolong dipakaikan. Saya kaget, ternyata saya sangat menikmati kenyamanannya. Rasanya memakai cawot sungguh-sungguh enak. Desir-desir angin halus yang menerpa terasa betul ditubuh. Seolah dibelai-belai. Fantasi jadi melayang kemana-mana. Sayangnya kenyamanan memakai cawot harus dibayar dengan datangnya masuk angin.

Memakai cawot secara terus menerus didalam rimba tidak membuat timbulnya perasaan risih. Padahal praktis hampir sama saja dengan hanya memakai celana dalam. Pun ketika perempuan rimba datang, perasaan saya biasa saja. Mungkin karena yang lain sama-sama memakai cawot sehingga rasanya melebur menjadi satu dengan mereka. “Wah, bepak makoi cawot, olen bepak?” kata seorang perempuan rimba kepada saya. Maksudnya, saya memakai cawot enak tidak rasanya. Tentu saja saya jawab enak, “olen nihan”

Perempuan rimba memakai kain yang dililitkan dari perut ke bawah. Payudara mereka dibiarkan begitu saja tanpa ditutupi. Hanya anak-anak perempuan yang telah mendapat haid sampai mereka menikah 3 bulan yang diharuskan menutup payudara. Penutupnya biasanya juga berupa kain. Mereka tidak mengenal BH. Kalau mereka keluar dari hutan, mereka kadang memakai kaos, namun bawahan mereka tetap kain biasanya.

Orang Rimba selalu memiliki pakaian seperti lazimnya orang-orang diluar. Mereka memakainya ketika harus keluar hutan, misalnya bila mereka berbelanja ke pasar atau untuk urusan tertentu. Mereka tampaknya menyukai warna-warna cerah dan menyala. Kadang celana yang dipakai juga bukan main-main, jeans bermerk Lea. Meski tentu saja bukan yang asli. Tapi mereka tahu betul mana merk yang terkenal dan mana yang bukan.

Suatu kali saya hendak masuk ke dalam hutan. Mendekati hutan, dari jauh saya melihat seseorang yang saya kira pelancong. Topinya lebar seperti topi para pecinta alam. Tas yang dipakai semacam tas carrier para pendaki gunung. Seseorang itu bercelana panjang dan bersepatu. Ketika dekat saya kaget bukan kepalang karena ternyata sang bapak yang tersenyum-senyum adalah Temenggung Segrip. Ia adalah pemimpin Orang Rimba Makekal Hulu. Ia hendak pergi ke Jambi atas undangan LSM Warsi untuk mengikuti pertemuan etnik-etnik minoritas di Indonesia.

Biasanya kelompok-kelompok etnis memiliki berbagai rupa perhiasan nang sangat menarik. Namun dalam kehidupan Orang Rimba tampaknya tidak terdapat tradisi memakai perhiasan dengan tujuan untuk mode. Ada beberapa perlengkapan serupa dengan perhiasan yang biasa mereka pakai, tetapi memiliki tujuan khusus yakni untuk perlindungan. Anak-anak memang pada umumnya memakai kalung dari rangkaian bagian pohon tertentu. Namun kalung itu adalah jimat yang dipasang oleh orangtuanya untuk melindungi si anak dari hantu jahat. Kalung yang menarik adalah kalung yang terbuat dari rangkaian biji buah-buhan khusus. Namanya buah dibalik sumpah. Bentuknya sangat indah. Bijinya sangat keras. Warnanya agak kekuningan. Buahnya sendiri sangat jarang. Menurut mereka, buah dibalik sumpah akan berkhasiat setelah diberi mantera oleh orang sakti. Gunanya untuk menangkal adanya sumpah bagi si pemakai. Apabila ada yang megirimkan guna-guna atau sumpah, maka guna-guna atau sumpah itu akan berbalik kepada yang mengirim.

Makanan

Sejak awal mula, binatang memiliki peranan sangat penting bagi kehidupan Orang Rimba. Bahkan pada masa lalu daging binatang merupakan sumber makanan terpenting. Saat ini meskipun peran daging binatang mulai menurun seiring semakin langkanya binatang di dalam rimba, peran daging sebagai makanan utama Orang Rimba masih signifikan. Namun sangat berbeda dengan yang digambarkan oleh orang-orang desa yang dengan jijik menggambarkan Orang Rimba sebagai orang-orang rakus yang memakan segala jenis binatang, Orang Rimba ternyata memiliki pantangan daging tertentu. Hal ini sama saja dengan orang melayu yang notabene muslim.

Orang Rimba berpantang makan daging hewan peliharaan orang Melayu. Mereka tidak mau makan daging ayam, angsa, bebek, itik, kambing, sapi, kerbau dan kuda. Hasil-hasil lain dari binatang peliharaan itu juga pantang mereka konsumsi, seperti halnya telur dan susu. Beberapa binatang yang hidup di hutan ada juga yang pantang dimakan. Pada jaman dulu ketika gajah masih ada di hutan-hutan pedalaman jambi, mereka berpantang makan daging gajah. Saat ini mereka masih berpantang makan daging harimau, kera, dan burung gading. Selebihnya mereka tidak berpantang. Mereka memakan daging tapir, babi, rusa, ular, kelelawar, biawak dan lainnya.

Saat ini pantangan memakan hasil binatang peliharaan orang melayu tidak begitu diperhatikan lagi oleh anak-anak muda Orang Rimba. Mereka tetap mau makan roti meskipun diberitahu bahwa roti itu dibuat dari campuran telur. Demikian juga mereka mau minum susu. Bahkan pernah ketika ditawari telor, mereka mau juga memakannya. Namun demikian untuk makan daging hewan ternak, kadang mereka masih berkeberatan. Hal itu sungguh berbeda dengan para orangtua yang sangat ketat menjaga pantangan makan daging dan hasil dari hewan ternak peliharaan orang melayu.

Orang Rimba selalu membagi hasil buruan yang berukuran besar dengan tetangga yang ladangnya berdekatan. Apabila tidak dibagi maka yang memperoleh daging akan dikenai denda. Pendendaan seperti itu tampaknya dalam upaya pemerataan dan untuk memastikan semua Orang Rimba memperoleh makanan. Kadang hanya sebagian saja hasil buruan yang dibagi. Sebagian dijual kepada orang desa.

Daging binatang hasil buruan atau jerat tidak ada yang dimakan mentah. Semuanya dimatangkan dahulu. Cara yang umum adalah dibakar. Jarang sekali daging direbus atau dimasak dengan santan. Untuk mengawetkan, daging diasapi. Orang Rimba menyebutnya diselai. Daging digantung diatas perapian yang menyala terus-menerus. Asap yang keluar akan mengenai dagaing dan lama kelamaan akan membuat daging seperti dendeng. Daging yang diawetkan akan menjadi makanan cadangan bagi mereka.

Makanan pokok Orang Rimba adalah umbi-umbian. Seperti diterangkan dalam bab 4, ada banyak umbi-umbian yang jadi alternatif makanan. Pada umumnya mereka merebus atau membakar. Sangat jarang umbi-umbian itu diolah menjadi suatu jenis penganan tertentu. Mereka benar-benar makan umbi-umbian dalam bentuk aslinya. Sepanjang yang saya lihat, mereka makan hanya dua kali, yakni pada pagi hari menjelang siang dan pada malam hari. Namun sebenarnya tidak ada waktu makan khusus. Mereka makan apabila lapar dan apabila ada makanan.

Orang Rimba adalah penggemar roti marie yang berlapis krim alias biskuit. Itu adalah kesimpulan salah seorang pedagang di pasar desa Bukit Suban. Menurutnya setiap hari pasaran mesti selalu ada yang membeli biskuit. Pernyataannya itu diperkuat oleh pemilik warung yang paling dekat dengan jalan keluar Orang Rimba dari dalam hutan. Dia sampai menyediakan biskuit dalam jumlah besar. Demikian juga sering saya melihat mereka membawa biskuit untuk oleh-oleh. Selain biskuit, secara umum mereka juga menyukai berbagai makanan ringan kemasan. Anak-anak rimba benar-benar tidak berbeda jauh dengan anak-anak lainnya. Makanan ringan seperti kacang atom sangat mereka sukai. Permen juga menjadi kegemaran.

Tidak ada sumur di dalam rimba. Orang Rimba meminum air langsung dari sungai yang mengalir di dalam hutan. Itu pun tidak sembarangan. Mereka hanya minum air yang airnya bening. Bila mereka memasak air, airnya juga diambil dari sungai. Umumnya sungai di rimba airnya sangat jernih dan sangat mengundang siapapun untuk meminumnya. Implikasi dari cara Orang Rimba meminum air adalah larangan untuk buang air besar maupun kecil di dalam sungai-sungai di rimba. Mereka buang air besar di darat. Istilah untuk itu adalah bingguk. Untuk membersihkan diri setelah buang air besar (cebok) digunakan daun atau kulit kayu dan dikenal dengan istilah becuka.

Selain dari air sungai, Orang Rimba juga biasa mendapatkan air minum dari akar-akar gantung yang banyak terdapat di dalam rimba. Caranya akar gantung tersebut dipotong. Dari potongan itu akan mengalir keluar air yang bisa langsung diminum. Airnya tidak banyak, namun sangat menyegarkan. Menurut mereka ada air dari akar gantung yang rasanya manis. Akan tetapi bila minum air akar gantung, saya selalu merasakan air tersebut agak sepat. Mungkin karena air bercampur dengan getah. Oleh karena itu dilarang minum banyak-banyak sebab akan menimbulkan sakit perut.

Rumah

Rumah tradisional Orang Rimba disebut bubungan. Jenisnya bermacam-macam sesuai bentuk dan kegunaannya. Secara umum seluruh jenis rumahnya adalah rumah panggung karena memiliki lantai panggung. Atapnya menggunakan plastik hitam yang diperoleh di desa sekitar hutan atau mengggunakan daun serdang. Tiangnya menggunakan kayu bulat utuh. Demikian juga untuk kerangka atap dan alas lantai seluruhnya menggunakan kayu bulat utuh. Lantai biasanya dipasangi kulit kayu yang diratakan sehingga cenderung datar dan nyaman untuk tidur.

Berdasarkan bentuknya, bubungan di bagi dua yakni ruma godong dan ruma sampaeon. Rumah godong memiliki atap seperti rumah umumnya yang memiliki puncak ditengah. Sedangkan rumah sampaeon memiliki atap lurus miring tanpa puncak ditengah. Rumah Orang Rimba itu memiliki tempat-tempat khusus bagi setiap orang. Ada yang khusus untuk suami, ada yang khusus untuk anak gadis, dan ada yang khusus untuk anak bujang. Ada pula yang khusus untuk anak-anak kecil. Bagian yang khusus untuk gadis disebut kedalomon. Mereka yang tidak berhak menginjakkan kaki ke dalamnya maka akan didenda. Oleh karena itu apabila berkunjung ke rumah Orang Rimba lebih baik menunggu sampai dipersilahkan untuk masuk darimana dan untuk duduk dimana sebab banyak peraturan yang berlaku di dalam rumah Orang Rimba. Bila tidak hati-hati, kita bisa kena denda.

Berdasarkan kegunaannya, rumah Orang Rimba dibagi dua yakni rumah untuk tinggal menetap dan rumah untuk tinggal sementara. Rumah untuk tinggal menetap dibuat kokoh seperti rumah godong atau rumah sampaeon. Sedangkan rumah untuk tinggal sementara dibuat sederhana dan mudah dibongkar. Istilah untuk rumah sementara adalah sudung. Rumah sementara atau sudung biasanya digunakan ketika besanding (bermalam ditempat lain yang letaknya jauh dari rumah). Tiang dan lantai sudung dibuat dari kayu-kayu bulat kecil. Atapnya dibuat dari terpal yang mereka bawa kemanapun mereka pergi. Tempat untuk mendirikan sudung tidak jauh dari jalan mereka lewat dan dekat dengan sumber air.

Orang Rimba memasak makanan di dapur. Ada dapur yang lantainya langsung ditanah dan ada yang lantainya diatas tanah. Untuk dapur lantai tanah, periuk untuk memasak digantungkan ke kayu yang dipasang melintang. Kadang-kadang periuk digantungkan di ujung batang kayu yang ditancapkan ke tanah yang disebut cagai. Dibawahnya kayu-kayu dinyalakan.

Lantai dapur diatas tanah cukup unik. Lantainya terbuat dari kayu-kayu bulat yang dipasang diatas tanah. Diatasnya diberi tanah tebal agar kayu tidak terbakar. Lalu tungku dibuat menggunakan rumah semut yang telah mengeras. Rumah semut atau anai-anai banyak terdapat di belantara. Kadang tingginya bisa mencapai satu meter lebih. Oleh Orang Rimba, rumah semut itu dipotong-potong setinggi kurang lebih 20 cm. Tiga buah rumah semut akan menopang kuali atau periuk. Kayu bakar dimasukkan melalui tiga lobang tungku tersebut.

Alat-alat & Kerajinan

Peralatan yang dimiliki Orang Rimba hampir semuanya bersifat fungsional. Tidak banyak yang mereka miliki. Paling-paling yang dimiliki hanya alat-alat untuk berburu dan berladang yang terbuat dari besi, alat-alat dapur dan sedikit hasil kerajinan. Alat-alat dari besi yang digunakan oleh Orang Rimba untuk senjata dan berladang diantaranya tombak, kampak, kecepek, parang, beliung, gergaji, linggis, tembilang dan pisau. Alat dari besi untuk memasak adalah kuali dan periuk. Seluruh alat-alat yang terbuat dari besi diperoleh diluar. Sedangkan alat-alat tertentu, terutama untuk wadah, adalah kerajinan Orang Rimba sendiri.

Parang adalah alat serbaguna yang dimiliki oleh setiap Orang Rimba. Parang digunakan untuk berburu, membuka ladang, memotong-motong sesuatu, dan sebagainya. Kemanapun mereka pergi selalu membawa parang yang diselipkan ke dalam cawot. Saya kadang merasa ngeri melihat parang telanjang yang diselipkan di cawot karena sangat mungkin melukai paha. Tetapi menurut mereka hal itu aman-aman saja. Mereka bahkan berlari tanpa ragu dengan parang tanpa sarung bergantung di pinggang.

Tombak digunakan untuk berburu. Setidaknya ada 3 macam tombak yang digunakan yakni tiruk, kujur dan serampangan. Tiruk berbentuk besi bulat sebesar jari yang semakin ke ujung semakin meruncing. Tiruk digunakan dengan cara menusuk. Biasanya tiruk digunakan untuk mencari labi-labi (penyu air tawar). Kujur adalah tombak umumnya. Kadangkala kujur menggunakan pengait sehingga ketika ditombakkan ke tubuh hewan akan terus menempel ditubuh hewan tersebut. Menurut cerita ada beberapa kujur keramat yang dimiliki Orang Rimba. Kujur keramat itu merupakan warisan dari nenek moyang. Dipercaya mata tombaknya sangat beracun sehingga tidak pernah dipakai. Serampangan sejenis dengan kujur akan tetapi berukuran kecil dan bermata 2 atau 3 yang masing-masing berpengait. Bentuknya ada yang sangat mirip dengan tombak yang dibawa oleh setan dalam lambang klub sepak bola Manchester United dari Inggris. Serampangan sangat efektif untuk membunuh ikan, kancil dan ular.

Tugal, tembilang dan beliung adalah alat yang digunakan untuk membuat ladang. Diantaranya untuk membongkar akar pohon dan menanam tanaman. Linggis kadang digunakan untuk membuat lobang ditanah. Kampak adalah alat yang digunakan untuk menebang pohon yang berukuran besar. Untuk pohon yang berukuran kecil mereka menggunakan parang.

Kuali (wajan dalam bahasa jawa) digunakan untuk menggoreng atau menyelai. Kadang-kadang digunakan juga untuk merebus. Minyak untuk menggoreng dibeli dari desa sekitar. Meskipun jarang, kadangkala mereka memasak sayuran dengan bumbu yang diperoleh dari warung-warung di desa seperti ajinomoto, masako, royko dan sejenisnya. Selain kuali, alat masak lain yang penting, bahkan boleh dibilang yang terpenting adalah periuk. Alat ini benar-benar serbaguna. Setiap keluarga pasti memilikinya. Mereka merebus semua makanan dan kadang air memakai periuk. Boleh dibilang, periuk adalah peralatan wajib bagi Orang Rimba selain parang dan tombak.

Orang Rimba memiliki wadah yang berfungsi layaknya tas carrier, namanya ambung. Wadah keranjang ini terbuat dari rotan yang dianyam dan berbentuk segi empat. Kekuatannya mengagumkan. Orang Rimba membawa apapun menggunakan ambung. Barang seberat setengah kuintal sanggup dibawa dengan menggunakan ambung. Mereka membawanya dipunggung. Kadang tali pengikat dari kain dikaitkan dipundak seperti tas punggung. Namun bila barang yang dibawa sangat berat, mereka biasa mengkaitkan kain pengikat dikening. Jadi kekuatan yang menopang adalah kekuatan leher. Setelah saya mencoba, membawa ambung dengan tali yang dikaitkan di kening memang lebih mudah dan enak.

Barang kerajinan Orang Rimba lainnya adalah wadah-wadah seperti ambung tetapi berukuran kecil. Wadah-wadah itu biasa digunakan untuk meletakkan berbagai barang. Tikar dari daun sejenis daun pandan juga merupakan salah satu barang kerajinan yang sering dibuat. Semua barang itu dibuat oleh kaum perempuan. Kadangkala barang-barang kerajinan itu diwarnai warna merah yang berasal dari getah jernang.

Pasar

Orang Rimba mengenal pasar sudah sejak lama. Dahulu sebelum desa-desa dipinggir hutan mereka dibuka, dan belum ada pasar, mereka pergi ke pasar di kota Bangko. Salah seorang penduduk kota Bangko menceritakan bahwa pada tahun 80-an awal masih banyak Orang Rimba yang pergi ke pasar di Bangko. Akan tetapi saat ini sudah tidak ada lagi. Hal itu karenakan banyak pasar telah dibuka di desa-desa sekitar hutan.

Pasar merupakan tempat dimana Orang Rimba berbaur dengan penduduk desa. Meskipun jarang sekali ada percakapan yang terjadi, akan tetapi mereka benar-benar menyatu di dalam pasar. Di pasar Orang Rimba membeli berbagai macam barang yang mereka inginkan. Kain adalah barang berharga mereka yang dibeli di pasar. Satu potong kain kualitas biasa berharga sekitar 15 ribu rupiah. Sedangkan kualitas bagus berharga paling kurang 25 ribu rupiah. Selain kain, untuk pakaian mereka juga membeli sarung, celana, kaos, dan kemeja. Tidak jarang mereka membeli manik-manik dari plastik yang dipakai sebagai kalung atau gelang. Banyak juga perempuan rimba yang membeli jepit rambut dari plastik.

Alat elektronik berupa radio-tape kadang dibeli juga oleh Orang Rimba. Mereka umumnya juga memiliki arloji. Bahkan ada Orang Rimba yang memiliki televisi yang tenaganya dihidupkan menggunakan aki. Pengisian atau cas aki dilakukan di desa seminggu sekali. Alat-alat keseharian seperti parang, pisau, tombak, periuk, kuali, senter, baterai, dan banyak lainnya juga diperoleh pada hari pasaran. Kadang-kadang mereka memesan tombak atau senapan secara khusus agar mendapatkan kualitas yang baik. Minggu depan mereka akan kembali lagi mengambil pesanan itu.

Untuk keperluan dapur, Orang Rimba biasanya membeli bumbu, terutama garam. Ikan asin kadang dibeli. Kerapkali dibeli juga ikan segar. Patin adalah jenis ikan yang sangat disukai. Buah-buahan yang tidak tumbuh di dalam hutan tidak jarang dibeli oleh Orang Rimba. Biasanya buah yang dibeli adalah semangka, salak, jeruk dan apel. Namun ironisnya mereka sering membeli buah-buahan yang sebenarnya banyak tumbuh dihutan seperti duku, manggis, dan durian. Setiap ke pasar Orang Rimba hampir selalu membeli makanan, baik itu roti maupun makanan ringan. Boleh dibilang barang yang dibeli Orang Rimba di pasar didominasi oleh makanan. Barang yang hampir selalu dibeli selain makanan adalah rokok atau tembakau beserta kertas pembungkusnya.

Pasar desa Bukit Suban diselenggarakan setiap selasa. Hari itu boleh dibilang hari libur bagi Orang Rimba. Mereka berbondong-bondong pergi ke pasar. Dari yang tua sampai anak-anak akan pergi bersama-sama. Mereka yang bertempat tinggal agak jauh didalam hutan akan berangkat ke pasar pada sore senin. Mendekati pinggir hutan yang berjarak kira-kira 4 km lagi ke pasar, mereka mendirikan rumah sementara atau sudung untuk bermalam. Besok paginya mereka baru berangkat ke pasar setelah berganti kostum menggunakan pakaian seperti kebanyakan penduduk desa.

Kesehatan

Laki-laki Orang Rimba adalah orang-orang yang gagah. Banyak diantara mereka memiliki postur seperti model, tinggi dan tampan. Mereka tidak pernah mengalami problem obesitas. Tidak pernah ada bapak-bapak yang gemuk dan perutnya membuncit. Mereka tetap langsing sejak muda sampai tua. Ibu-ibu di kota-kota boleh jadi iri dengan bentuk tubuh perempuan Orang Rimba yang tidak pernah mengalami kegemukan. Tidak ada perut yang menggelambir, bahkan sekalipun usai melahirkan. Padahal di dalam Rimba tidak ada program diet khusus yang berbiaya mahal. Tampaknya, bentuk tubuh yang bagus adalah hasil dari aktivitas fisik mereka yang luar biasa. Mereka adalah manusia-manusia penuh gerak. Boleh jadi hanya saat tidur saja mereka tidak bergerak.

Saya kira satu-satunya masalah fisik mereka adalah kesehatan gigi yang kurang terawat. Mereka kurang memiliki kesadaran untuk gosok gigi. Kebiasaan makan makanan berserat seperti daging, tidak ditunjang oleh perawatan gigi. Akibatnya banyak gigi mereka keropos. Sakit gigi adalah keluhan mereka yang paling sering.

Berkait dengan gigi, saya teringat dengan sebuah peristiwa lucu. Saya bersama seorang teman laki-laki dari desa Bukit Suban bertemu dengan serombongan perempuan Orang Rimba. Salah seorang diantaranya tampak cukup cantik. Kulitnya kuning. Rambutnya panjang. Tingginya semampai. Saya kira ia masih gadis. Oleh teman saya, gadis itu dilihat terus. Tiba-tiba sang gadis berbicara dengan rekannya, dan tampaklah giginya yang ompong disana sini. Teman saya langsung melonjak menyumpah-nyumpah. “Sialan, sialan !” umpatnya kecewa.

Orang Rimba dikenal jarang mandi. Oleh karena itu oleh penduduk desa sering dihindari karena badan mereka bau. Pertanyaan apakah tidak bau dekat-dekat dengan mereka, adalah pertanyaan yang seringkali datang. Nyatanya saya jarang merasakan mereka bau. Mungkin karena saya telah terbiasa. Kadang-kadang saya memang merasa satu atau dua orang dari mereka cukup bau. Tapi saya diam saja. Lagipula lebih sering saya merasa tidak bau. Saya sering melihat mereka, anak-anak yang belajar, mandi di sungai. Paling tidak sehari sekali mereka pasti mandi. Mereka juga memakai sabun mandi. Mungkin tradisi mandi seperti yang dikenal penduduk desa memang belum membudaya di kalangan Orang Rimba. Akan tetapi mereka bukannya tidak membersihkan diri. Mereka mengistilahkan bebesuh, untuk membersihkan diri yang mereka lakukan.

Orang Rimba banyak menderita penyakit kulit. Mungkin hal itu dikarenakan kurangnya kebersihan. Selain itu mereka sering menderita infeksi saluran pernafasan yang mungkin disebabkan karena kebiasaan merokok. Penyakit yang cukup berat biasanya berkisar pada malaria, cacingan, diare serta hepatitis. Selebihnya adalah penyakit-penyakit yang umum di derita oleh masyarakat Indonesia, seperti sakit kepala dan flu.

Pengobatan

Salah seorang warga desa Bukit Suban pernah bercerita tentang keampuhan pengobatan Orang Rimba. Pernah anaknya sakit gigi menahun. Berkali-kali diobatkan kesana kemari tidak sembuh-sembuh. Suatu ketika ada Orang Rimba yang sudah dikenal dengan baik datang sambil merokok menggunakan pipa. Oleh Orang Rimba tersebut, anak yang sakit gigi diminta untuk menghisap pipa rokoknya. Tidak perlu menunggu lama, seketika itu juga sakit gigi sang anak sembuh dan tidak pernah kambuh lagi sampai dewasa.

Ada kepercayaan dikalangan Orang Rimba bahwasanya pengobatan ala Orang Rimba tidak boleh bercampur dengan pengobatan ala orang luar. Bila sudah diobati menurut cara Orang Rimba maka tidak boleh lagi diobati menurut cara orang luar. Demikian juga sebaliknya. Apabila sudah diobati mengikuti cara oarang luar maka tidak boleh lagi diobati menurut cara Orang Rimba. Sediah, salah seorang anak Rimba menceritakan alasannya. Apabila kedua macam pengobatan dilakukan untuk satu jenis penyakit pada satu orang maka pengaruh pengobatan satu sama lainnya akan saling meniadakan. Pengobatan akan sia-sia karena pengobatan tidak akan bekerja, alias menjadi netral. Menurutnya, obat yang dimasukkan ke dalam tubuh hanyalah sarana untuk menyembuhkan tetapi yang menjadikan sembuh atau tidak adalah doa-doa yang menyertai obat tersebut. Pengobatan ala Orang Rimba tentu memakai doa-doa terhadap Dewa-Dewa, sedangkan pengobatan oleh orang luar memakai doa-doa kepada Tuhannya sendiri. Karena Doa yang dipanjatkan untuk Tuhan yang berbeda maka doa tidak akan membawa pengaruh apa-apa. Artinya pengobatan tidak akan berhasil.

Suatu hari Sediah jatuh dari atas batang kayu yang ditancapkan di tanah. Tulang tangannya patah. Oleh pamannya, Enjalo, tangan Sediah dilumuri lumpur sungai yang berwarna kekuningan lalu diurut perlahan, ditiup dan diberi doa-doa. Melihat tangannya semakin membengkak saya menawarkan diri untuk membawanya keluar dari hutan untuk diurut oleh dukun jawa yang terkenal memiliki ajian sangkal putung. Menurut cerita banyak orang, dukun urut tersebut memang ampuh membetulkan patah tulang. Saya menceritakan kehebatan sang dukun kepada mereka agar tertarik. Namun Sediah dengan halus menolak dan mengatakan sudah capek sehingga merasa tidak sanggup untuk berjalan keluar hutan. Belum lagi waktu itu hari sudah malam. Belakangan barulah saya mengerti bahwa Sediah menolak bukan karena capek, tetapi karena pantang diobati menurut cara orang luar karena sudah diobati menurut ala Orang Rimba.

Secara tradisional Orang Rimba mengobati penyakit dengan berbagai ramuan dari tumbuhan berkhasiat obat dan dari bagian-bagian tertentu organ binatang. Beberapa organ binatang yang berkhasiat diantaranya empedu beruang untuk menurunkan panas dan duri landak yang dikerik untuk meredakan demam. Mereka mengenal puluhan, bahkan ratusan tumbuhan berkhasiat obat. Hampir setiap penyakit yang mereka derita telah ada penawarnya. Sayangnya saat ini, sebagian tanaman obat sangat sulit didapatkan.

Seiring dengan makin kerapnya interaksi dengan orang luar, Orang Rimba juga semakin kerap menggunakan obat-obatan dari luar. Mereka biasa membeli obat sakit kepala semisal bodrex dan paramex, ataupun obat sakit gigi seperti puyer. Menurut mereka obat-obatan itu sangat praktis dan tidak membuat mereka repot. Apabila menggunakan tumbuhan tradisional mereka harus repot dahulu sebelum memperoleh obat.

Agaknya Orang Rimba perlahan mulai meninggalkan berbagai pengobatan tradisional mereka. Sekarang ini mereka mulai tidak enggan memeriksakan diri ke puskesmas apabila sakit. Bahkan beberapa diantara keluarga rimba diberi kartu sehat sebagai fasilitas berobat gratis ke puskesmas. Mereka cukup sering memanfaatkan kartu tersebut. Apabila ada petugas kesehatan dari LSM Warsi datang ke dalam rimba untuk melakukan pengobatan, dengan kesadaran sendiri mereka datang untuk meminta obat. Bahkan saya pernah beberapa kali memberikan obat kepada mereka. Pernah ada ibu yang mengeluh mencret. Untunglah saya membawa obat anti mencret diapet yang sebenarnya untuk keperluan saya sendiri. Obat itu saya berikan kepada sang ibu. Menurut cerita, obat itu mereka anggap manjur karena mencretnya lekas hilang. Keluhan paling sering adalah sakit gigi. Puluhan butir antalgin yang saya bawa dari Jogja habis diberikan untuk mereka yang sakit gigi.

Merokok

Orang Rimba adalah suku bangsa perokok. Tidak banyak berbeda dengan orang Indonesia lainnya. Hampir setiap orang dewasa merokok, tidak peduli laki-laki ataupun perempuan. Anak-anak secara sembunyi-sembunyi juga merokok. Apabila ketahuan mereka akan dimarahi habis-habisan. Oleh karena itu di depan orangtua anak-anak tidak merokok. Saya sering dimintai rokok oleh anak-anak. Biasanya mereka saya beri tapi dengan perjanjian apabila ketahuan mereka harus mengatakan bahwa mereka yang memaksa minta rokok pada saya.

Ngudut atau merokok biasa dilakukan ketika sedang beristirahat, sesudah makan, maupun ketika akan melakukan sesuatu. Umumnya Orang Rimba merokok tembakau yang dipilin sendiri dengan kertas rokok. Tembakau dan kertas rokok mudah mereka dapatkan di desa sekitar. Namun begitu tampaknya mereka lebih menyukai rokok-rokok bungkusan yang dikeluarkan oleh pabrik rokok. Mereka tahu betul mana rokok yang baik dan mana yang bukan. Rokok mahal seperti marlboro, dji sam soe, surya, sampoerna dan sejenisnya dianggap sebagai rokok bagus. Apabila mempunyai rokok-rokok bagus, mereka akan memamerkannya. Dibawahnya ada rokok-rokok kelas dua seperti harum manis, matra, 543, dan rawit. Rokok-rokok itu berharga sekitar 2 ribu sampai 3 ribu rupiah sebungkus. Mereka biasanya membeli rokok itu karena murah.

Rokok adalah bahasa pergaulan dengan Orang Rimba. Akan lebih mudah memulai pergaulan dengan mereka melalui perantara rokok. Kalau mereka merokok, biasanya akan menawarkan kepada kita. Oleh karena itu lebih baik kita langsung mengeluarkan rokok ketika bertemu mereka, terutama bila rokok yang kita bawa adalah rokok bagus. Mereka biasanya akan senang diajak ngobrol, apalagi bila rokok milik kita ditinggalkan untuk mereka.

Menurut cerita, Orang Rimba adalah perokok sejak jaman dulu. Mereka merokok menggunakan tembakau dengan bungkus daun tertentu. Bahkan menurut cerita ada sejenis pohon yang ranting atau kulitnya biasa digunakan untuk merokok. Saat ini hal itu tidak ditemui lagi. Namun yang jelas mereka memang sangt gemar merokok. Akibatnya banyak dari mereka terkena ispa (infeksi saluran pernafasan akut).

Hiburan

Tampaknya memang benar bahwasanya musik memiliki bahasa universal. Orang Rimba adalah penikmat musik. Mereka biasa membeli kaset dan diputar di tape milik mereka. Umumnya kaset yang mereka beli adalah kaset yang berisi lagu-lagu dangdut, terutama dangdut minang dan melayu. Banyak anak muda rimba hafal dengan lagu-lagu dangdut. Suatu ketika beberapa anak rimba mengatakan mau merekam lagu-lagu yang mereka hafal. Saya berikan alat perekam saya kepadanya. Semula saya kira ia akan menyanyi lagu-lagu khas Orang Rimba. Ternyata yang dinyanyikan hampir seluruhnya adalah lagu-lagu dangdut. Mungkin mereka lebih banyak hafal lagu dangdut daripada pantun atau seloka khas Orang Rimba. Namun bisa saja hal itu untuk menunjukkan bahwa mereka bisa lagu-lagu tersebut.

Setelah selesai merekam, rekaman itu lantas diperdengarkan kembali. Mereka sangat senang. Saya juga ikut senang karena mereka juga merekam pantun atau seloka. Mereka bilang untuk belajar saya agar saya bisa. Saya bahkan ikut menghafalkan lagu mereka, yang katanya lagu dari nenek moyang. Namun dari segi bahasa, tampaknya merupakan lagu minang.

Menonton gelaran musik adalah kegemaran anak muda rimba. Mereka sangat senang menonton band atau permainan organ tunggal yang diselenggarakan di desa-desa sekitar. Mereka menceritakan bahwa setiap ada tontonan, tuan rumah pasti mempersilahkan Orang Rimba untuk naik ke panggung dan berjoget. Saat itulah mereka naik ke panggung dan berjoget tanpa malu. Mereka bilang kesempatan itulah yang paling ditunggu.

Orang Rimba yang tinggal tidak jauh di dalam hutan kadang menonton televisi di rumah penduduk desa. Mereka berangkat sesudah maghrib dan pulang tengah malam. Beberapa dari anak muda rimba bahkan hafal acara-acara malam di televisi. Mereka menyukai acara televisi yang menampilkan adegan silat seperti Angling Darma, Mak Lampir (Misteri Gunung Merapi), Misteri Nini Pelet, Jaka Tingkir, dan semacamnya. Acara-acara lain kurang mereka sukai.

Harta

Sebagai kelompok yang sangat kerap berpindah, Orang Rimba praktis tidak memiliki barang-barang yang berukuran besar dan menyulitkan perpindahan. Harta mereka yang paling berharga adalah kain karena kain bisa digunakan sebagai pakaian maupun sebagai pembayar denda. Kemampuan seorang anak muda biasanya dilihat dari kemampuannya mengumpulkan kain. Anak muda idaman mertua adalah mereka yang mampu mengumpulkan banyak kain. Selain kain, kadang Orang Rimba menyimpan uang dengan cara membeli perhiasan emas.

Dalam kepercayaan Orang Rimba terdapat harta bersama dan harta pribadi. Harta bersamo (harto besamo) adalah harta yang kepemilikannya tidak dikuasai oleh satu orang. Semua orang boleh memanfaatkannya. Adapun yang termasuk harta bersama adalah tumbuhan rotan, damar, jernang dan balam. Wilayah perburuan kjuga merupakan milik bersama. Siapa saja diperbolehkan untuk berburu diwilayah manapun. Demikian juga tidak ada binatang yang menjadi miliki pribadi kecuali anjing yang dipelihara.

Harto tidak besamo atau harta pribadi pemanfaatannya mutlak dalam kuasa pemiliknya. Jika orang lain ingin memanfaatkannya harus meminta izin pada sang pemilik. Orang Rimba sangat menabukan mengambil milik orang tanpa permisi. Oleh karena itu nyaris tidak terdapat kasus pencurian di lingkungan Orang rimba. Adapun yang termasuk harta pribadi adalah seluruh barang yang dibeli, tanaman yang ditanam, tanah yang telah dibuka, pohon sialang dan pohon buah yang telah dimiliki.

Seriring dengan perkembangan jaman, berbagai mesin telah menjadi harta pribadi yang dimiliki Orang Rimba, misalnya gergaji mesin dan motor. Ada beberapa Orang Rimba yang memiliki gergaji mesin meskipun tidak dipergunakan. Mereka biasanya hanya menggunakan untuk menebang kayu besar saat membuka ladang. Saat ini motor telah mulai diminati oleh Orang Rimba. Beberapa Orang Rimba memiliki motor. Hal itu menjadikan motor sebagai harta pribadi yang bernilai paling tinggi.


Motor

Bayangkan, memiliki motor tapi tidak bisa membawanya ke rumah. Itulah yang terjadi pada Orang Rimba. Beberapa dari mereka memiliki motor, tetapi hanya dititipkan pada saudara atau orang yang dipercaya yang tinggal di pinggir jalan. Karena untuk membawa ke rumah didalam hutan tidak ada jalan masuk yang bisa dilewati motor. Beberapa yang lain memang memiliki motor dan bisa membawanya ke rumah karena rumahnya memang bisa dijangkau dengan motor. Tapi dari kacamata masyarakat umumnya bukankah gejala itu sedikit ironis?

Orang Rimba kelompok Air Panas, yang merupakan sub kelompok Air Hitam, merupakan kelompok Orang Rimba yang mula-mula tergila-gila pada motor. Kebun sawit dan rumah yang diberi Dinas Sosial untuk didiami dijual. Hasil penjualannya untuk membeli motor. Padahal kebun sawit itu tadinya dimaksudkan sebagai sumber pendapatan mereka. Alhasil mereka kehilangan sumber pendapatan. Banyak diantara mereka kembali ke hutan dengan mendirikan rumah-rumah di hutan. Motor mereka bawa masuk ke dalam hutan. Bukan pemandangan yang aneh ada motor disamping rumah-rumah sudung yang beratap terpal.

Pernah suatu hari di rumah Pak Alisman di Pematang Kabau, salah seorang Orang Rimba membawa motor barunya yang bekas, yakni astrea grand. Dengan bangga ditunjukkan motor itu pada kami. Dia bilang motor itu hasil dari menukar kapling sawit. Kami yang mendengar saling berpandangan. Alangkah jahatnya yang menukar motor itu karena nilai kapling sawit meskipun belum berbuah tentu jauh dari harga motor yang ditukarkan. Harga motor itu paling tinggi 7 juta. Sementara kapling sawit 1 kapling yang idem dengan 2 hektar berharga paling kurang 3 kali lipatnya.

Memiliki motor merupakan kebanggaan yang bukan main nilainya bagi Orang Rimba. Salah seorang Orang Rimba yang memiliki motor mengatakan bahwa dengan motor dirinya merasa sangat gagah. Dari seseorang yang rendah diri berubah menjadi sangat percaya diri. Meminjam istilah dalam film animasi Shark Tale, ‘from nobody to be somebody” Mereka benar-benar mengasosiasikan motor sebagai status sosial tinggi. Tanpa motor mereka merasa bukan apa-apa. Akibatnya memiliki motor seolah-olah menjadi keharusan hidup. Ketika saya menanyakan kepada beberapa orang anak muda rimba ‘apa yang akan dilakukan bila mempunyai banyak uang’, jawaban mereka seragam, yakni membeli motor.

Orang Rimba membeli motor dengan cara kontan maupun kredit. Bagi yang membeli kredit mereka memerlukan kartu tanda penduduk alias KTP sebagai identitas diri. Beberapa kali saya lihat mereka mengurus KTP ke desa Bukit Suban sebagai syarat untuk mencari kredit motor. Ada pula yang mencari kredit motor memakai KTP penduduk desa yang percaya dengan mereka. Pak Ratam, salah seorang yang meminjamkan KTP kepada Orang Rimba mengatakan pada saya bahwa dia sangat percaya kepada Orang Rimba karena mereka tidak pernah menipu. Selain itu yang dipinjami KTP juga memiliki kebun karet yang sudah disadap sehingga semestinya kredit motor pasti terbayar. Nyatanya apa yang dikatakan Pak Ratam terbukti. Angsuran kredit selalu lunas. Sayangnya tidak semua Orang Rimba yang kredit motor memiliki penghasilan tetap. Akibatnya motor ditarik dealer karena tidak membayar angsuran adalah hal biasa. Oleh karena itu permintaan kredit Orang Rimba jarang dikabulkan lagi.

Apabila kredit sulit maka jalan satu-satunya untuk memiliki motor adalah membeli kontan. Lagipula sebenarnya Orang Rimba memang tidak terlalu menyukai kredit karena ikatan hutang yang lama lunasnya. Pada dasarnya membeli kontan lebih disukai. Darimana mereka memperoleh uang? Inilah yang disayangkan. Lahan sawit yang mulai berbuah dan kebun karet yang siap disadap dijual untuk memperoleh motor.

Tidak ada yang salah dengan motor. Orang Rimba berhak untuk memiliki motor meskipun tinggal jauh di dalam hutan. Akan tetapi dengan menjual kebun karet maupun sawit itu artinya menjual lahan penghidupan. Padahal saat ini kebun karet dan sawitlah yang bisa menghasilkan uang. Hasil hutan lainnya hasilnya tidak seberapa, hanya sekedar cukup untuk membeli keperluan minimal mereka.

Akhir bulan April ada Orang Rimba yang bercerita bahwa ia akan menjual kebun karet miliknya yang sudah bisa disadap. Kebun karet itu terletak didalam taman. Ia dibujuk jangan menjualnya karena bisa disadap sendiri. Hasil sadapan karet bisa untuk kredit motor. Tapi ia bersikeras. Alasannya ia tidak bisa menyadap karet. Ketika dikatakan padanya bahwa kebun karet Orang Rimba yang ada didalam taman tidak boleh dijual kepada orang luar, dia bersikeras bahwa yang membeli adalah anak jenang, yakni penghubung Orang Rimba. Oleh karena itu hal itu boleh-boleh saja. Beberapa waktu kemudian, saya mendengar kabar darinya bahwa motor Supra X masih dalam bungkus (kondisi baru) sudah tiba di rumah salah seorang Orang Rimba yang tinggal ditepi jalan. Dia hanya tinggal bilang setuju maka motor baru itu dan tambahan uang 5 juta menjadi miliknya. Dari roman mukanya, tampaknya ia cenderung untuk setuju meski telah dibujuk jangan menjualnya. Tidak jelas apakah ia jadi menjual kebun karet miliknya karena saya keburu pulang ke Jogja.

Begitulah yang biasa terjadi pada Orang Rimba, menjual kebun karet untuk memperoleh motor. Padahal mereka kurang memerlukan motor itu. Bagaimana tidak, mereka sehari-hari lebih banyak tinggal di dalam hutan dimana motor tidak dapat dioperasikan. Paling-paling mereka menggunakan motor untuk pergi ke pasar seminggu sekali. Sementara itu penghasilan dari kebun karet menguap berganti asap knalpot yang menyesakkan.

Komunikasi

Bahasa Orang Rimba adalah varian dari bahasa melayu. Bahasanya serumpun dengan bahasa minangkabau dan melayu jambi. Perbedaan yang ada tidak sangat jauh. Umumnya perbedaan hanya berkisar pada dialek dan sebagian kosa kata. Misalnya kata tanya ‘dimana’ dalam bahasa Indonesia adalah ‘dima’ dalam bahasa minang, ‘dimano’ dalam bahasa melayu jambi, dan ‘dimono’ dalam bahasa Orang Rimba.

Pada saat berbicara dengan penduduk desa melayu maupun dari minangkabau mereka menggunakan bahasa melayu jambi. Umumnya orang Melayu Jambi tidak begitu menguasai bahasa Orang Rimba, tetapi hampir semua Orang Rimba menguasai bahasa melayu jambi dengan baik. Orang Rimba menggunakan bahasa nasional ketika berbicara dengan penduduk desa yang berasal dari jawa. Secara otomatis Orang Rimba menggunakan bahasa yang berbeda tergantung orang yang dihadapi.

Diantara sesama Orang Rimba, mereka menggunakan bahasa rimba yang khas. Tidak banyak orang luar yang mengerti meski relatif mirip dengan rumpun bahasa melayu lainnya. Dalam bahasa rimba tidak ada penjenjangan bahasa. Semua orang memakai bahasa yang sama ketika berbicara dengan siapa saja. Tidak ada kata ganti yang menunjukkan kedudukan seseorang lebih tinggi dari yang lainnya. Paling-paling kata gantinya adalah nama jabatan yang disandang, misalnya temenggung, tengganai, depati atau yang lainnya.

Untuk berkomunikasi jarak jauh mereka memanfaatkan jasa manti atau penyampai pesan. Tugasnya adalah menyampaikan suatu berita kepada kelompok-kelompok Orang Rimba yang terpisah-pisah jauh. Apabila ingin masuk ke dalam untuk menemui mereka misalnya untuk mengajar, biasanya cukup dengan bertemu Orang Rimba yang pertama kali ditemui di hutan. Pesan disampaikan padanya. Dia yang akan menyampaikan kepada yang lain. Bila pesannya minta dijemput, keesokan harinya mereka akan keluar dari hutan datang menjemput.

Komunikasi di dalam hutan ketika tidak bertatap muka langsung dikenal dengan istilah pantau. Antara Orang Rimba satu dan yang lainnya saling berbicara dari jarak jauh. Kondisi hutan membuat suara dari jauh bergema sehingga tetap dapat didengarkan. Saya tidak pernah tahu apa yang dibicarakan. Nadanya berlagu seperti nyanyian. Seolah-olah bahasa dalam pantau berbeda dengan bahasa rimba keseharian. Namun ternyata meski hanya seperti racauan yang tidak jelas mereka bisa saja sedang membicarakan perkara yang serius. Komunikasi dengan cara pantau sungguh-sungguh unik dan khas hutan.

Salah satu kehebatan Orang Rimba adalah mengenali suara orang meski hanya dari teriakan. Bahkan dari suara jejak kaki, mereka sudah tahu siapa yang akan datang. Berkali-kali hal itu saya buktikan. Pernah sayup-sayup terdengar ada yang berteriak keras “auu...” Yang ada didekat saya langsung menduga itu Sergi. Ternyata benar, tidak lama kemudian muncullah Sergi membawa kecepek.

Ada hal unik yang selalu dilakukan bila buang air besar. Kita harus bersuara keras, lebih tepatnya berteriak “a..u.., a..u..” berulang-ulang. Cara komunikasi ini penting karena peluang untuk kepergok orang saat buang air besar cukup besar. Hal itu wajib dilakukan agar orang lain yang kebetulan ada di dekat situ tidak mendekat. Apabila kita buang air tidak jauh dari jalan, maka yang mendengar akan berhenti dahulu sampai suara yang kita keluarkan menghilang. Itu artinya kita harus terus bersuara sampai kita selesai. Jika kita tidak bersuara ketika buang air besar dan kepergok, maka denda menanti kita.

Sebagaimana manusia dari budaya lain, Orang Rimba juga memiliki bahasa nonverbal. Misalnya mengangguk menandakan persetujuan, mendelik atau mata tebeelong menandakan marah dan jangan mendekat, melambaikan tangan dengan telapak membuka menutup menandakanmemanggil, bahu diangkat menandakan tidak tahu dan sebagainya. Bahasa verbal Orang Rimba boleh dibilang sama saja dengan bahasa nonverbal orang melayu.

Ada sesuatu yang sangat unik dalam komunikasi Orang Rimba. Besesema namanya. Besesema sama dengan ucapan salam perpisahan yang disampaikan kepada yang ditinggal. Siapa yang melakukan besesema dianggap orang baik dan sopan. Kalimat besesema ada yang khusus untuk laki-laki dan ada yang khusus untuk perempuan. Sayangnya saya tidak sempat hafal kalimat besesema untuk perempuan. Kata yang diucapkan dalam besesema mencerminkan ekspresivitas mereka dalam hal seksualitas. Besesema terdiri dari empat kalimat pendek yang harus diucapkan ketika pamitan. Sebelumnya harus ada kalimat pendahuluan yang bebas kita susun sendiri, misalnya ‘halom akeh jauh, akeh endok belik. Guing....’ (artinya alam rumah saya jauh, saya mau pulang, sedangkan guing adalah panggilan untuk sesama laki-laki). Setelah itu langsung dilanjutkan dengan kalimat besesema “tasi dimakon, air koncing diminom, ciceh dikulum, burit dijilat” (artinya tinja dimakan, air kecing diminum, penis dikulum, dubur dijilat).

Orang Rimba memiliki simbol-simbol tertentu untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada orang lain tentang sesuatu. Misalnya untuk peringatan bahwa sebuah pohon ada yang memiliki, maka tumbuhan kecil disekitar pohon tersebut ditebasi. Kadang pohon tersebut diikat kain. Apabila di suatu tempat ditanam ari-ari bayi maka tumbuhan disekitarnya dipatahkan. Hal itu merupakan tanda bahwa daerah itu tidak boleh dilewati. Apabila ada sudung atau rumah-rumah Orang Rimba sementara di dalam kebun karet atau sawit, maka di pinggir jalan dimana orang sering lewat diletakkan kain dan pakaian sebagai tanda adanya Orang Rimba di sekitarnya.

Berfoto

Orang Rimba sebenarnya sangat menabukan foto. Menurut mereka berfoto artinya akan meninggalkan kenangan kepada keluarga. Apabila meninggal hal itu akan sangat menyedihkan keluarga karena terus menerus melihat fotonya. Namun agaknya keengganan berfoto disebabkan kekhawatiran mereka bahwa foto-foto mereka akan dimanfaatkan tidak benar oleh orang luar. Hanya orang yang dianggap baik dan banyak menolong yang boleh mengambil foto mereka. Orang dari LSM Warsi misalnya sangat mudah mengambil foto Orang Rimba karena mereka dianggap baik dan banyak membantu.

Menurut peraturan Orang Rimba ada beberapa objek yang terlarang untuk difoto, diantaranya ladang dan rumah serta perempuan. Demikian juga makanan yang akan dimakan seperti daging hasil buruan. Namun peraturan itu bersifat fleksibel. Mereka yang dinilai dekat dan baik boleh mengambil foto-foto yang dianggap terlarang. Satu hal yang pasti terlarang adalah mengambil foto tanpa ijin. Pernah suatu kali ada penduduk desa iseng memotret beberapa Orang Rimba yang lewat. Mereka, Orang Rimba, marah-marah dan menuntut supaya negatifnya dikeluarkan. Selain itu mereka juga meminta denda. Perkaranya sampai di kantor desa Bukit Suban. Pada akhirnya, si pemotret membayar denda 20 ribu rupiah dan negatifnya diambil. Lain kali saya mendapat cerita dari seorang yang baru saja masuk ke dalam bersama Orang Rimba. Menurutnya Orang Rimba tidak mau difoto, padahal yang akan difoto adalah laki-laki. Mereka mau difoto hanya jika dibayar 50 ribu rupiah per orang sekali jepret.

Untungnya, Orang Rimba yang saya temui mau difoto. Bahkan mereka yang mengajak berfoto. Padahal saya tidak pernah meminta foto mereka sebelumnya. Rupanya mereka mengerti bahwa toh pada akhirnya saya ingin berfoto dengan mereka meskipun saya tidak pernah menunjukkan kamera pada mereka. Sayangnya saya hanya membawa kamera saku sehingga hasilnya tidak memuaskan. Tragisnya lagi baru habis 2 rol film, kamera terjatuh sehingga tidak bisa digunakan sama sekali. Agaknya lamanya interaksi dan aktivitas mengajar yang saya lakukan adalah 2 alasan yang menyebabkan saya bisa memperoleh foto-foto dari Orang Rimba. Apabila saya hanya berkunjung seperti layaknya turis, saya mungkin tetap akan mendapatkan foto mereka akan tetapi dengan mengeluarkan uang yang sangat besar. Untungnya hal itu tidak terjadi.

Mistik

Mistik adalah perkara yang paling menarik banyak orang ketika membicarakan etnik-etnik minoritas, tidak terkecuali ketika membicarakan Orang Rimba. Masyarakat di sekitar hutan sangat gemar membicarakan mistik Orang Rimba, meski tidak jelas kebenarannya. Salah satu yang paling populer adalah keampuhan ilmu sirap atau ilmu pelet untuk memikat perempuan agar tertarik.

Cerita paling seru mengenai Orang Rimba yang diceritakan orang-orang desa sekitar hutan adalah mengenai ilmu magis orang Rimba. Menurut mereka, siapapun, terutama perempuan tidak boleh meludah bila ada Orang Rimba yang lewat karena bila tersinggung, maka bisa dipelet. Tidak ada penawar pelet tersebut. Ampuhnya bukan kepalang. Jadi siapapun yang terkena dijamin tidak akan kembali. Perempuan yang terkena pelet bisa kembali hanya bila yang melakukan pelet berkehendak. Sebuah cerita yang selalu didengung-dengungkan adalah kisah anak gadis dari sebuah desa di dekat hutan yang kena pelet. Anak gadis itu bersekolah di SMP. Diceritakan sang gadis meludah di depan Orang Rimba yang lewat. Kontan oleh Orang Rimba yang merasa tersinggung, sang gadis diguna-gunai. Akibatnya sang gadis ikut Orang Rimba tersebut masuk ke dalam hutan dan dikawini olehnya. Oleh orangtua si gadis, si gadis dibujuk dengan segala macam cara agar tidak ikut ke dalam hutan. Tapi si gadis tidak bergeming. Menurut cerita, gadis desa yang menjadi perempuan rimba itu kini telah mempunyai anak.

Ilmu pelet adalah ilmu yang umum dimiliki oleh Orang Rimba. Hampir setiap orang memiliki ilmu pelet. Fungsinya agar orang yang dipelet sayang kepada yang memelet. Anak-anak kecilpun ada yang hafal beberapa mantera pelet. Saya pernah diperdengarkan beberapa mantera tersebut. Menurut mereka, cara untuk memperoleh gadis adalah dengan memelet. Tidak ada cara lain. Hal ini menjelaskan pada kita bahwa pelet mungkin sebenarnya bukan ampuh secara intrinsik dalam mantera akan tetapi hanya sebagai penjelasan bagi ketertarikan seseorang kepada yang lain. Mereka tidak mampu menjelaskan mengapa seorang gadis tertarik pada seorang pria. Satu-satunya penjelasan yang mereka mengerti adalah ilmu pelet.

Cara memperoleh ilmu pelet ada yang mudah dan ada yang rumit. Semakin rumit maka ilmu pelet yang didapat akan semakin ampuh. Menurut Orang Rimba, cara terbaik adalah dengan bertapa lama ditempat sepi. Anak-anak muda rimba umumnya tidak mau repot. Mereka mendapatkan ilmu itu dengan cara paling mudah yaitu belajar dari yang memiliki ilmu pelet. Cukup dengan menghafalkan manteranya maka ilmu pelet bisa dikuasai. Namun biasanya ilmu pelet tidak hanya soal mantera, ada juga persyaratan lain agar ilmu bekerja yakni ritual tertentu dan adanya ramuan khusus.

Menurut cerita orang-orang desa dan juga cerita dari Orang Rimba sendiri, banyak diantara Orang Rimba yang memiliki ilmu mistik yang sangat tinggi. Ada yang memiliki kemampuan terbang, membentuk besi hanya dengan tangan, menghilang dan muncul di suatu tempat, ilmu kebal, dan sebagainya. Terlepas benar tidaknya ada ilmu-ilmu tersebut, yang pasti kehidupan Orang Rimba memang dilingkupi mistik yang kuat, setidaknya dipercaya demikian. Menurut cerita Sergi, banyak Orang Rimba yang tidak mempan ditembak. Badannya berubah seperti karet bila ditembak. Peluru akan membal. Demikian juga bila ditusuk dengan apapun tidak akan mempan. Ilmu kebal merupakan ilmu yang paling banyak dimiliki oleh Orang Rimba selain ilmu pelet. Mereka mendapatkan ilmu kebal dengan cara berguru dari Orang Rimba lainnya yang sakti.

Salah seorang Orang Rimba menceritakan pada saya kehebatan Temenggung mereka beberapa generasi yang lalu. Sang Temenggung diakui sebagai orang hebat. Ia mampu menghentikan awan untuk tetap diam diatasnya dan menjatuhkan hujan dimanapun dia kehendaki. Angin bisa dikendalikannya. Demikian juga air bisa dikontrolnya. Alam benar-benar dibuat tunduk. Menurut Orang Rimba yang bercerita pada saya, generasi sekarang sudah tidak lagi memiliki mistik yang ampuh. Sangat berbeda dengan generasi Orang Rimba pada masa lalu. Banyak dari mereka sungguh-sungguh hebat, banyak yang memiliki pandangan mata orang-orang sakti. Kemampuan mereka sangat mengagumkan. Generasi muda rimba sekarang terlalu banyak bersantai dan memanjakan diri sehingga ilmu-ilmu dari nenek moyang tidak mampu dikuasai lagi.