Oleh : Achmanto Mendatu
Adakah orang yang tidak pernah berbohong?
Mari mengajukan pertanyaan sederhana: Adakah seseorang yang tidak pernah berbohong selama hidupnya? Rasa-rasanya kita akan bersepakat dengan jawaban ‘tidak ada’. Saya hampir yakin bahwa semua orang pernah berbohong, minimal sekali dalam hidupnya. Dan jujur saja, saya pernah berbohong. Bagaimana dengan Anda? Maukah kali ini jujur menjawab pertanyaan saya? Apakah Anda pernah berbohong? Tidak... tidak saya tidak sedang mencoba ‘membongkar’ kepribadian Anda. Bukan juga bermaksud menyepelekan taraf moralitas Anda, tapi saya kok, 90% yakin kalau Anda pernah berbohong.
Apakah Anda pernah berniat membohongi seseorang untuk menghindari kesulitan yang datang pada Anda? Misalnya Anda mengatakan tidak memiliki uang pada saat seorang teman ingin meminjam uang. Anda tahu akan kesulitan menagihnya jika teman Anda itu dipinjami. Tapi mengapa harus berbohong mengatakan tidak memiliki uang, kenapa tidak jujur saja mengatakan keberatan meminjamkan uang karena tidak percaya padanya? Apakah Anda takut menyakiti perasaannya sehingga Anda berbohong tidak punya uang? Mungkin saja Anda sangat percaya bahwa teman Anda pasti akan mengembalikan uang yang dipinjam, tapi Anda hanya memiliki sedikit uang yang apabila dipinjamkan maka akan mengalami kesulitan. Apa yang akan Anda lakukan? Mengatakan sejujurnya bahwa memiliki uang tapi tidak bisa dipinjamkan atau mengatakan tidak memiliki uang? Mana pilihan Anda?
Apakah Anda pernah menjenguk orang sakit parah dan mengatakan, “Anda akan segera sembuh”, padahal Anda tahu si sakit akan lama sembuh. Jika ya, maka Anda telah berbohong. Rasanya kok jarang yang mau mengatakan, “Anda akan sembuh dalam jangka waktu amat lama.” Demi menenangkan hati si sakit maka diucapkanlah perkataan bohong itu.
Apakah Anda sering memuji seseorang? Nah, ingat-ingatlah apakah pujian Anda itu benar-benar berlandaskan fakta yang Anda yakini benar atau kebohongan demi menyenangkan seseorang? Anda mungkin akan mengatakan baju yang dipakai pacar Anda sangat bagus padahal Anda menilainya norak. Anda mungkin akan mengatakan teman Anda brilian, tapi dalam hati diam-diam Anda mengatakan ‘dongok’. Apabila diminta mengomentari cara berpakaian seseorang, calon mertua misalnya, apa yang akan Anda katakan? Saya agak yakin kalau Anda akan mengatakan bagus meskipun Anda menilainya jelek.
Ingatlah hari-hari yang telah Anda lalui. Anda akan mengingat kebohongan yang telah Anda lakukan, mungkin malah cukup sering. Sebagian dari kebohongan itu membuat Anda merasa bersalah seperti berbohong tidak selingkuh padahal selingkuh. Sebagian yang lain membuat Anda merasa lega seperti berbohong mengatakan masakan pacar enak padahal asin minta ampun. Beberapa kebohongan malah tidak disadari seperti memberi semangat si sakit. Pendek kata, setiap hari kita dihadapkan pada situasi yang memberikan peluang untuk berbohong.
Kaum muslim meyakini 100% bahwa nabi Muhammad adalah sejujur-jujurnya manusia. Namun toh beliau tahu bahwa kebohongan adalah bagian dari hidup manusia. Buktinya, meskipun mengutuk kebohongan, kelonggaran untuk berbohong tetap diberikan. Menurut Beliau, berbohong untuk kebaikan itu boleh dan sah. Hanya saja sejauh mungkin diupayakan untuk tidak berbohong. Ini artinya Beliau menyadari memang sungguh sulit untuk sama sekali tidak berbohong sepanjang hayat. Kiranya hanya orang-orang suci yang bisa melakukannya. Jadi ini menambah keyakinan saya untuk menyimpulkan nyaris tidak ada manusia yang tidak pernah berbohong dalam hidupnya. Oleh karena itu pertanyaan yang paling tepat untuk diajukan bukannya apakah Anda pernah berbohong, tapi kapan Anda berbohong dan apa kebohongan Anda.
Apakah kebohongan merupakan fakta sosial dalam hidup sehari-hari?
Maaf kepada Anda yang moralis dan percaya bahwa kebohongan adalah penyimpangan berat dalam hidup manusia, karena ternyata kebohongan adalah bagian dari hidup manusia sehari-hari. Bohong sama sekali bukan peristiwa yang luar biasa atau langka. Dalam sebuah penelitian, ditemukan bahwasanya dalam seminggu seseorang melakukan kebohongan antara 0 atau tidak sama sekali, sampai 46 kali kebohongan. Artinya ada orang yang melakukan kebohongan rata-rata sampai 6 kali dalam sehari.
Penelitian itu juga menemukan bahwa masyarakat umumnya melakukan kebohongan minimal 1 kali dalam satu hari interaksi dengan orang lain. Mahasiswa melakukan rata-rata 2 kebohongan setiap hari. Mereka berbohong 1 kali dalam setiap 3 kali interaksi. Artinya sepertiga interaksi yang dilakukan mengandung kebohongan. Luar biasa bukan?!
Tentunya ada alasan mengapa bohong secara masif dilakukan, bahkan oleh semua kelompok umur. Satu yang pasti adalah karena bohong menguntungkan, baik bagi pelakunya maupun bagi kehidupan sosial. Keuntungan bagi pelaku kebohongan sangat jelas, entah itu untuk keuntungan psikis maupun keuntungan material. Dalam interaksi sosial, bohong menjadi sarana bagi seseorang untuk melakukan manajemen kesan, mengatur emosi, dan memberikan dukungan sosial. Lalu apa keuntungan bagi kehidupan sosial?
Kebohongan dalam masyarakat rupa-rupanya menjaga terciptanya lingkungan sosial yang erat. Bohong merupakan perantara bagi banyak orang untuk menunjukkan dukungan sosial kepada yang lainnya. Pada saat kesusahan, berbagai basa basi menunjukkan perhatian dan keprihatinan, yang tentunya banyak mengandung kebohongan, diucapkan. Tidak lain untuk menunjukkan adanya saling dukung dalam masyarakat. Dan semua orang mahfum belaka adanya kebohongan itu.
Bohong juga dilakukan untuk menciptakan keteraturan dan menjamin bahwa tata krama dalam masyarakat diterapkan. Bayangkan, jika seseorang selalu mengatakan apa adanya pendapat pribadinya pada orang lain, maka yang ada hanyalah geger sosial. Apa mungkin Anda mengatakan jelek anak tetangga Anda yang memang jelek, di depan orangtuanya? Lha, kalau mengatakan begitu Anda bakal tidak punya teman. Semua tetangga bakal menghindari Anda.
Keramahtamahan jangan-jangan juga sering dihiasi ketidakjujuran. Mempersilakan mampir seseorang, padahal hati tidak ingin orang itu mampir, hal biasa bukan? Tapi toh setiap orang telah mahfum, bahwa ramah-tamah semacam itu, tidaklah bermaksud sungguhan, sehingga ya menolak. Jikalau menerima tawaran untuk mampir, malah mungkin dianggap kurang ajar.Apakah ada hubungan kebohongan dengan bentuk masyarakat tertentu?
Tidak ada masyarakat yang pernah diketahui, yang sama sekali terbebas dari bohong. Penelitian menunjukkan bahwa hampir semua bentuk masyarakat yang ada di dunia ini, terdapat perilaku bohong diantara anggota-anggotanya. Mengapa demikian?
Pertama, bohong tumbuh pada masyarakat yang memiliki perbedaan kelas-kelas sosial. Ada yang kaya, ada yang miskin. Ada yang menjadi atasan, ada yang menjadi bawahan. Ada yang berkuasa ada yang tidak, dan seterusnya. Selama ada kelas-kelas sosial tersebut, adalah muskil untuk meniadakan kebohongan. Kelas sosial berimplikasi pada munculnya beragam tata krama untuk menyesuaikan perilaku dengan kelas-kelas sosial yang ada. Seseorang dari kelas sosial rendah diharapkan berbeda dalam bersikap dan berperilaku menghadapi kelas sosial yang setara maupun yang lebih tinggi. Seorang bawahan diharapkan akan berbeda cara dalam menghadapi sesama bawahan dengan menghadapi atasan. Persetujuan lebih sering diberikan kepada atasan.
Perbedaan kelas sosial menunjukkan adanya hirarki. Seseorang yang lebih baik dari segi apapun, baik itu harta, pengetahuan, penampilan atau lainnya, tentu akan menempati hirarki lebih tinggi dibandingkan yang lain. Nah, agar seseorang menempati posisi lebih tinggi dalam hirarki maka orang-orang berupaya melakukan manajemen kesan supaya terlihat lebih baik.
Kedua, bohong tumbuh pada masyarakat yang relasi sosialnya terdapat dominasi. Seseorang tentu akan menghadapi yang lebih berkuasa dengan cara berbeda dengan ketika menghadapi yang kurang berkuasa. Jika Anda selalu membangkang yang berkuasa, bukankah Anda akan mendapat kesulitan? Pada saat seorang anak berbohong pada orangtuanya, tidak lain karena orangtua mempunyai dominasi kekuasaan. Sang anak khawatir akan mendapatkan hukuman dari orangtua jika mengatakan kebenaran, dan oleh karena itu diungkapkanlah kebohongan. Pada saat Anda berbohong pada penagih hutang, bukankah karena dalam hubungan itu, si penagih hutang adalah pihak yang dominan?
Ketiga, bohong tumbuh pada masyarakat yang mengajarkan kepatuhan. Setiap kepatuhan diharapkan maka juga melahirkan kebohongan. Pada masyarakat dimana tata aturan norma sangat berat dan dimana pelanggaran dijatuhi hukuman berat, bukankah menjadi wajar jika melakukan kebohongan untuk menghindari kesulitan?
Adakah bentuk masyarakat tanpa kebohongan? Pertanyaannya justru adakah masyarakat yang benar-benar setara, dimana tidak ada kelas sosial, tidak ada relasi yang mendominasi, tidak ada tata aturan norma yang mengikat kepatuhan? Sebab hanya masyarakat yang setara yang bisa menghindarkan terjadinya kebohongan.
Terdapat satu lagi bentuk masyarakat yang memungkinkan memunculkan perilaku bohong lebih sering, yakni masyarakat yang mengharapkan anggota-anggotanya menunjukkan perhatian lebih besar dalam bentuk dukungan sosial, dukungan emosional atau kepedulian. Pada bentuk masyarakat yang mengajarkan moral demikian itu, maka anggota-anggotanya akan berusaha sedapat mungkin mewujudkannya meskipun dalam bentuk kebohongan. Bukankah Anda akan disebut kurang ajar jika pada saat ada kematian tetangga, Anda menyetel musik keras-keras?! Bahkan meskipun Anda tidak turut berduka, Anda toh tetap harus menunjukkan perilaku berduka.
Budaya masyarakat Indonesia yang banyak menempatkan sopan santun dan unggah-ungguh atau tata krama dalam pergaulan memberikan pengaruh terhadap perilaku bohong. Misalnya budaya jawa yang melarang anak mengatakan tidak pada orangtuanya meskipun tidak menjalankan apa yang diperintahkan, jelas mendorong terjadinya perilaku bohong. Pada saat atasan Anda meminta Anda mencoba masakan buatannya, apakah Anda akan mengatakan tidak enak, meskipun Anda merasakannya tidak enak? Anda hanya diharuskan untuk mengatakan enak, meski toh sang atasan cukup menyadari bahwa masakannya memang tidak enak. Jadi, sebenarnya tidak ada ruginya mengatakan apa adanya. Tapi ya itu, demi tata krama, maka bohong mengatakan enak adalah yang paling lazim dilakukan.
Adakah orang yang tidak pernah berbohong?
Mari mengajukan pertanyaan sederhana: Adakah seseorang yang tidak pernah berbohong selama hidupnya? Rasa-rasanya kita akan bersepakat dengan jawaban ‘tidak ada’. Saya hampir yakin bahwa semua orang pernah berbohong, minimal sekali dalam hidupnya. Dan jujur saja, saya pernah berbohong. Bagaimana dengan Anda? Maukah kali ini jujur menjawab pertanyaan saya? Apakah Anda pernah berbohong? Tidak... tidak saya tidak sedang mencoba ‘membongkar’ kepribadian Anda. Bukan juga bermaksud menyepelekan taraf moralitas Anda, tapi saya kok, 90% yakin kalau Anda pernah berbohong.
Apakah Anda pernah berniat membohongi seseorang untuk menghindari kesulitan yang datang pada Anda? Misalnya Anda mengatakan tidak memiliki uang pada saat seorang teman ingin meminjam uang. Anda tahu akan kesulitan menagihnya jika teman Anda itu dipinjami. Tapi mengapa harus berbohong mengatakan tidak memiliki uang, kenapa tidak jujur saja mengatakan keberatan meminjamkan uang karena tidak percaya padanya? Apakah Anda takut menyakiti perasaannya sehingga Anda berbohong tidak punya uang? Mungkin saja Anda sangat percaya bahwa teman Anda pasti akan mengembalikan uang yang dipinjam, tapi Anda hanya memiliki sedikit uang yang apabila dipinjamkan maka akan mengalami kesulitan. Apa yang akan Anda lakukan? Mengatakan sejujurnya bahwa memiliki uang tapi tidak bisa dipinjamkan atau mengatakan tidak memiliki uang? Mana pilihan Anda?
Apakah Anda pernah menjenguk orang sakit parah dan mengatakan, “Anda akan segera sembuh”, padahal Anda tahu si sakit akan lama sembuh. Jika ya, maka Anda telah berbohong. Rasanya kok jarang yang mau mengatakan, “Anda akan sembuh dalam jangka waktu amat lama.” Demi menenangkan hati si sakit maka diucapkanlah perkataan bohong itu.
Apakah Anda sering memuji seseorang? Nah, ingat-ingatlah apakah pujian Anda itu benar-benar berlandaskan fakta yang Anda yakini benar atau kebohongan demi menyenangkan seseorang? Anda mungkin akan mengatakan baju yang dipakai pacar Anda sangat bagus padahal Anda menilainya norak. Anda mungkin akan mengatakan teman Anda brilian, tapi dalam hati diam-diam Anda mengatakan ‘dongok’. Apabila diminta mengomentari cara berpakaian seseorang, calon mertua misalnya, apa yang akan Anda katakan? Saya agak yakin kalau Anda akan mengatakan bagus meskipun Anda menilainya jelek.
Ingatlah hari-hari yang telah Anda lalui. Anda akan mengingat kebohongan yang telah Anda lakukan, mungkin malah cukup sering. Sebagian dari kebohongan itu membuat Anda merasa bersalah seperti berbohong tidak selingkuh padahal selingkuh. Sebagian yang lain membuat Anda merasa lega seperti berbohong mengatakan masakan pacar enak padahal asin minta ampun. Beberapa kebohongan malah tidak disadari seperti memberi semangat si sakit. Pendek kata, setiap hari kita dihadapkan pada situasi yang memberikan peluang untuk berbohong.
Kaum muslim meyakini 100% bahwa nabi Muhammad adalah sejujur-jujurnya manusia. Namun toh beliau tahu bahwa kebohongan adalah bagian dari hidup manusia. Buktinya, meskipun mengutuk kebohongan, kelonggaran untuk berbohong tetap diberikan. Menurut Beliau, berbohong untuk kebaikan itu boleh dan sah. Hanya saja sejauh mungkin diupayakan untuk tidak berbohong. Ini artinya Beliau menyadari memang sungguh sulit untuk sama sekali tidak berbohong sepanjang hayat. Kiranya hanya orang-orang suci yang bisa melakukannya. Jadi ini menambah keyakinan saya untuk menyimpulkan nyaris tidak ada manusia yang tidak pernah berbohong dalam hidupnya. Oleh karena itu pertanyaan yang paling tepat untuk diajukan bukannya apakah Anda pernah berbohong, tapi kapan Anda berbohong dan apa kebohongan Anda.
Apakah kebohongan merupakan fakta sosial dalam hidup sehari-hari?
Maaf kepada Anda yang moralis dan percaya bahwa kebohongan adalah penyimpangan berat dalam hidup manusia, karena ternyata kebohongan adalah bagian dari hidup manusia sehari-hari. Bohong sama sekali bukan peristiwa yang luar biasa atau langka. Dalam sebuah penelitian, ditemukan bahwasanya dalam seminggu seseorang melakukan kebohongan antara 0 atau tidak sama sekali, sampai 46 kali kebohongan. Artinya ada orang yang melakukan kebohongan rata-rata sampai 6 kali dalam sehari.
Penelitian itu juga menemukan bahwa masyarakat umumnya melakukan kebohongan minimal 1 kali dalam satu hari interaksi dengan orang lain. Mahasiswa melakukan rata-rata 2 kebohongan setiap hari. Mereka berbohong 1 kali dalam setiap 3 kali interaksi. Artinya sepertiga interaksi yang dilakukan mengandung kebohongan. Luar biasa bukan?!
Tentunya ada alasan mengapa bohong secara masif dilakukan, bahkan oleh semua kelompok umur. Satu yang pasti adalah karena bohong menguntungkan, baik bagi pelakunya maupun bagi kehidupan sosial. Keuntungan bagi pelaku kebohongan sangat jelas, entah itu untuk keuntungan psikis maupun keuntungan material. Dalam interaksi sosial, bohong menjadi sarana bagi seseorang untuk melakukan manajemen kesan, mengatur emosi, dan memberikan dukungan sosial. Lalu apa keuntungan bagi kehidupan sosial?
Kebohongan dalam masyarakat rupa-rupanya menjaga terciptanya lingkungan sosial yang erat. Bohong merupakan perantara bagi banyak orang untuk menunjukkan dukungan sosial kepada yang lainnya. Pada saat kesusahan, berbagai basa basi menunjukkan perhatian dan keprihatinan, yang tentunya banyak mengandung kebohongan, diucapkan. Tidak lain untuk menunjukkan adanya saling dukung dalam masyarakat. Dan semua orang mahfum belaka adanya kebohongan itu.
Bohong juga dilakukan untuk menciptakan keteraturan dan menjamin bahwa tata krama dalam masyarakat diterapkan. Bayangkan, jika seseorang selalu mengatakan apa adanya pendapat pribadinya pada orang lain, maka yang ada hanyalah geger sosial. Apa mungkin Anda mengatakan jelek anak tetangga Anda yang memang jelek, di depan orangtuanya? Lha, kalau mengatakan begitu Anda bakal tidak punya teman. Semua tetangga bakal menghindari Anda.
Keramahtamahan jangan-jangan juga sering dihiasi ketidakjujuran. Mempersilakan mampir seseorang, padahal hati tidak ingin orang itu mampir, hal biasa bukan? Tapi toh setiap orang telah mahfum, bahwa ramah-tamah semacam itu, tidaklah bermaksud sungguhan, sehingga ya menolak. Jikalau menerima tawaran untuk mampir, malah mungkin dianggap kurang ajar.Apakah ada hubungan kebohongan dengan bentuk masyarakat tertentu?
Tidak ada masyarakat yang pernah diketahui, yang sama sekali terbebas dari bohong. Penelitian menunjukkan bahwa hampir semua bentuk masyarakat yang ada di dunia ini, terdapat perilaku bohong diantara anggota-anggotanya. Mengapa demikian?
Pertama, bohong tumbuh pada masyarakat yang memiliki perbedaan kelas-kelas sosial. Ada yang kaya, ada yang miskin. Ada yang menjadi atasan, ada yang menjadi bawahan. Ada yang berkuasa ada yang tidak, dan seterusnya. Selama ada kelas-kelas sosial tersebut, adalah muskil untuk meniadakan kebohongan. Kelas sosial berimplikasi pada munculnya beragam tata krama untuk menyesuaikan perilaku dengan kelas-kelas sosial yang ada. Seseorang dari kelas sosial rendah diharapkan berbeda dalam bersikap dan berperilaku menghadapi kelas sosial yang setara maupun yang lebih tinggi. Seorang bawahan diharapkan akan berbeda cara dalam menghadapi sesama bawahan dengan menghadapi atasan. Persetujuan lebih sering diberikan kepada atasan.
Perbedaan kelas sosial menunjukkan adanya hirarki. Seseorang yang lebih baik dari segi apapun, baik itu harta, pengetahuan, penampilan atau lainnya, tentu akan menempati hirarki lebih tinggi dibandingkan yang lain. Nah, agar seseorang menempati posisi lebih tinggi dalam hirarki maka orang-orang berupaya melakukan manajemen kesan supaya terlihat lebih baik.
Kedua, bohong tumbuh pada masyarakat yang relasi sosialnya terdapat dominasi. Seseorang tentu akan menghadapi yang lebih berkuasa dengan cara berbeda dengan ketika menghadapi yang kurang berkuasa. Jika Anda selalu membangkang yang berkuasa, bukankah Anda akan mendapat kesulitan? Pada saat seorang anak berbohong pada orangtuanya, tidak lain karena orangtua mempunyai dominasi kekuasaan. Sang anak khawatir akan mendapatkan hukuman dari orangtua jika mengatakan kebenaran, dan oleh karena itu diungkapkanlah kebohongan. Pada saat Anda berbohong pada penagih hutang, bukankah karena dalam hubungan itu, si penagih hutang adalah pihak yang dominan?
Ketiga, bohong tumbuh pada masyarakat yang mengajarkan kepatuhan. Setiap kepatuhan diharapkan maka juga melahirkan kebohongan. Pada masyarakat dimana tata aturan norma sangat berat dan dimana pelanggaran dijatuhi hukuman berat, bukankah menjadi wajar jika melakukan kebohongan untuk menghindari kesulitan?
Adakah bentuk masyarakat tanpa kebohongan? Pertanyaannya justru adakah masyarakat yang benar-benar setara, dimana tidak ada kelas sosial, tidak ada relasi yang mendominasi, tidak ada tata aturan norma yang mengikat kepatuhan? Sebab hanya masyarakat yang setara yang bisa menghindarkan terjadinya kebohongan.
Terdapat satu lagi bentuk masyarakat yang memungkinkan memunculkan perilaku bohong lebih sering, yakni masyarakat yang mengharapkan anggota-anggotanya menunjukkan perhatian lebih besar dalam bentuk dukungan sosial, dukungan emosional atau kepedulian. Pada bentuk masyarakat yang mengajarkan moral demikian itu, maka anggota-anggotanya akan berusaha sedapat mungkin mewujudkannya meskipun dalam bentuk kebohongan. Bukankah Anda akan disebut kurang ajar jika pada saat ada kematian tetangga, Anda menyetel musik keras-keras?! Bahkan meskipun Anda tidak turut berduka, Anda toh tetap harus menunjukkan perilaku berduka.
Budaya masyarakat Indonesia yang banyak menempatkan sopan santun dan unggah-ungguh atau tata krama dalam pergaulan memberikan pengaruh terhadap perilaku bohong. Misalnya budaya jawa yang melarang anak mengatakan tidak pada orangtuanya meskipun tidak menjalankan apa yang diperintahkan, jelas mendorong terjadinya perilaku bohong. Pada saat atasan Anda meminta Anda mencoba masakan buatannya, apakah Anda akan mengatakan tidak enak, meskipun Anda merasakannya tidak enak? Anda hanya diharuskan untuk mengatakan enak, meski toh sang atasan cukup menyadari bahwa masakannya memang tidak enak. Jadi, sebenarnya tidak ada ruginya mengatakan apa adanya. Tapi ya itu, demi tata krama, maka bohong mengatakan enak adalah yang paling lazim dilakukan.