Prasangka etnik minoritas

By Achmanto Mendatu

“Apakah yang paling cepat membuat kehancuran suatu bangsa? “
“Ketidakpercayaan dan prasangka anak bangsa!”

Prasangka muncul dalam interaksi sosial dimana terdapat minimal dua entitas yang berbeda. Entitas itu bisa setara ataupun berbeda baik dalam hal jumlah pendukung atau anggota maupun kekuasaan. Perbedaan itu melahirkan adanya entitas yang mayoritas dan minoritas. Prasangka jauh lebih sering muncul dalam kondisi masyarakat yang terdapat entitas mayoritas dan minoritas. Sementara itu dalam masyarakat yang kelompok-kelompoknya relatif setara, prasangka umumnya kurang berkembang.

Definisi minoritas umumnya hanya menyangkut jumlah. Suatu kelompok dikatakan sebagai minoritas apabila jumlah anggota kelompok tersebut secara signifikan jauh lebih kecil daripada kelompok lain di dalam komunitas. Dari sudut pandang ilmu sosial pengertian minoritas tidak selalu terkait dengan jumlah anggota. Suatu kelompok akan dianggap kelompok minoritas apabila anggota-anggotanya memiliki kekuasaan, kontrol dan pengaruh yang lemah terhadap kehidupannya sendiri dibanding anggota-anggota kelompok dominan. Jadi, bisa saja suatu kelompok secara jumlah anggota merupakan mayoritas tetapi dikatakan sebagai kelompok minoritas karena kekuasan, kontrol, dan pengaruh yang dimiliki lebih kecil daripada kelompok yang jumlah anggotanya lebih sedikit.

Prasangka etnik minoritas

Indonesia paling sering menghadapi permasalahan minoritas-mayoritas ketika berkaitan dengan etnis Cina. Dari segi jumlah, etnis Cina jelas minoritas. Namun meskipun demikian, dengan jumlah sebesar 2,8% dari keseluruhan penduduk Indonesia, etnis Cina merupakan salah satu kelompok etnis yang cukup besar, setidaknya masuk dalam sepuluh besar kelompok etnik di Indonesia (lihat Suryadinata, 1999, hal. 188). Hanya sayangnya karena domisili etnis Cina tersebar diseluruh kepulauan Indonesia, maka dari segi jumlah mereka selalu minoritas dalam suatu wilayah. Perkecualian khusus diberlakukan untuk kota Singkawang, Kalimantan Barat, dimana etnis Cina merupakan mayoritas. Lebih dari 40% penduduk kota Singkawang merupakan etnis Cina, sisanya terdiri dari etnis melayu, dayak, jawa, dan lainnya. Sebenarnya, menyebut seluruh keturunan imigran dari Cina dengan istilah etnis Cina tidak terlalu tepat karena itu terlalu menggeneralisasi. Pada kenyataannya, mereka yang ada di Indonesia berasal dari etnik yang berbeda-beda di dataran Cina. Jadi, kalau kita menyamakan mereka kedalam satu etnik saja, itu sama sekali salah. Akan tetapi, demi alasan kepraktisan dan kemudahan dalam menunjukkan identitas maka penggunaan nama etnis Cina bisa dimaklumi.

Menurut Brehm & Kassim (1994), loyalitas terhadap kelompok, demikian juga prasangka rasial (etnik) lebih intens pada kelompok minoritas daripada kelompok mayoritas karena identitas sosial mereka selalu terancam oleh kelompok mayoritas. Kita misalnya umumnya beranggapan bahwa etnis Cina memiliki persatuan yang sangat kuat diantara mereka dan juga solidaritas etniknya sangat tinggi. Hal ini sebenarnya wajar saja jika mengingat bahwa kelompok minoritas memiliki peluang untuk mengalami kekerasan sosial yang jauh lebih besar daripada kelompok mayoritas. Dalam keadaan bergejolak, kelompok minoritas akan selalu sebagai pihak yang paling rentan terhadap kemungkinan terjadinya kekerasan. Misalnya saja dalam gejolak sosial yang melanda pada tahun 1998 di Indonesia, etnis Cina menjadi korban kekerasan sosial. Di berbagai kota mereka mengalami serangan dari pihak lain. Oleh karena itu sebagai bentuk pertahanan kelompok dalam mengantisipasi hal itu maka mereka mengorganisasikan diri lebih kuat dan lebih loyalis terhadap kelompoknya.

Ancaman terhadap etnik minoritas tidak hanya datang dari besarnya kemungkinan menjadi sasaran kekerasan tetapi juga terhadap identitas kultur mereka. Apalagi bila pemerintah menerapkan kebijakan asimiliasionist dimana etnik minoritas diharapkan melebur ke dalam budaya mayoritas. Kebijakan itu jelas mengancam identitas etnik minoritas sebagai kelompok tersendiri yang memiliki budaya dan tata nilai tersendiri. Ancaman terhadap identitas budaya ini juga mengakibatkan etnik minoritas lebih loyalis terhadap kelompoknya.

Reaksi terhadap ancaman terjadinya kekerasan dan ancaman kehilangan identitas budaya, bisa berbeda antara etnis minoritas yang notabene lemah dalam hal sumber daya ekonomi dan rendah dalam pendidikan dengan etnis minoritas yang memiliki sumber daya ekonomi kuat dan pendidikan yang tinggi. Pada etnis yang terhitung lemah, mereka cenderung untuk kurang loyalis terhadap etniknya karena mereka tidak mampu untuk mengorganisasikan diri dengan baik. Sementara itu pada etnis minoritas yang kuat, seperti etnis Cina yang bahkan secara umum lebih maju dibanding etnis-etnis lain di Indonesia, memiliki sumber daya ekonomi yang sangat kuat dan memiliki pendidikan serta skill yang tinggi, mereka mampu dan bisa mengorganisasikan diri dengan baik dalam keluarga dan komunitas, dan seterusnya memiliki perasaan kuat akan kohesi kelompok dan identifikasi. Artinya mereka memang sungguh-sungguh memiliki rasa kebersatuan sebagai sesama etnis Cina yang jauh lebih kuat ketimbang mayoritas etnis lainnya.

Ancaman-ancaman yang datang terhadap kelompok etnik minoritas menyebabkan mereka memiliki kecurigaan yang lebih tinggi terhadap orang lain dan mereka juga lebih tertutup dalam pergaulan sosial (Brehm dan Kassim, 1994). Ketertutupan kelompok minoritas dalam pergaulan sosial mengurangi kesempatan kelompok minoritas untuk bergaul secara akrab dengan kelompok mayoritas. Akibatnya antara kelompok minoritas dan mayoritas kurang saling mengenal hal mana berpotensi menimbulkan prasangka. Sebuah penelitian mengenai prasangka rasial yang dilakukan terhadap mahasiswa di empat perguruan tinggi di kota Bandung menunjukkan bukti bahwa ketiadaan pergaulan sosial yang luas antara berbagai ras/etnik akan menyebabkan prasangka etnik yang tinggi. Ditemukan bahwa kelompok mahasiswa yang tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan interaksi antar etnik, relatif lebih tinggi prasangka etniknya dibandingkan dengan kelompok mahasiswa yang memiliki kesempatan melakukan interaksi antaretnik. Kelompok mahasiswa etnik Cina, sebagai kelompok minoritas di kota Bandung, memiliki tingkat prasangka etnik yang lebih tinggi dibandingkan pribumi (Abidin & Darokah, 1999). Mahasiswa etnis Cina yang kuliah di perguruan tinggi yang mayoritas mahasiswanya sesama etnis Cina memiliki prasangka etnik paling tinggi dibandingkan mereka yang kuliah di perguruan tinggi yang mahasiswanya mayoritas pribumi.

Penelitian diatas masih menggunakan dikotomi pribumi-non pribumi yang seringkali menyesatkan. Kita memang telah terbiasa menggolongkan etnik di Indonesia dalam dua kategori besar, yakni pribumi dan nonpribumi (untuk nonpribumi kerap diasosiasikan dengan etnik Cina karena merupakan etnis asing minoritas terbesar) Pemakaian istilah yang dikotomis itu telah menimbulkan berbagai masalah besar, terutama tidak diterimanya etnik Cina sebagai bagian dari etnik di Indonesia. Istilah itu telah menciptakan adanya jarak yang lebar antara kelompok etnik Cina dan lainnya. Akibatnya prasangka terhadap etnik Cina oleh etnik-etnik yang dimasukkan kategori pribumi sangat tinggi. Semestinya dikotomi pribumi-nonpribumi dihilangkan yang berarti penerimaan etnik Cina sebagai bagian dari Indonesia seutuhnya. Penghilangan dikotomi dengan sendirinya akan menurunkan prasangka etnik.

Prasangka etnik berhubungan secara negatif dan signifikan dengan persepsi agresi yang dilakukan oleh anggota-anggota etnik sendiri terhadap anggota-anggota yang berasal dari etnik lain. Prasangka etnik yang semakin tinggi akan menyebabkan toleransi yang semakin tinggi terhadap kekerasan yang dilakukan terhadap kelompok etnik lain oleh kelompok etnik sendiri. Abidin dan Darokah (1999) menemukan bahwa kelompok mahasiswa etnik Cina yang lebih berprasangka memiliki tingkat persepsi agresi yang lebih positif dibandingkan pribumi yang kurang berprasangka. Mereka lebih menerima jika terjadi kekerasan yang dilakukan etniknya terhadap etnik lain. Seolah-olah kalau sesama etnis melakukan kekerasan terhadap etnis lain, -bila kita berprasangka- kita akan menerima dengan senang hati hal tersebut. “Syukurin, rasaian!” barangkali demikian umpat kita turut mendukung kekerasan yang dilakukan.

Selain berprasangka, golongan minoritas biasanya juga memiliki ketidakpercayaan yang tinggi (distrustful) terhadap golongan mayoritas, serta memandang mayoritas sebagai berprasangka dan kurang komunikatif (Brewer & Miller, 1996). Kelompok minoritas biasanya enggan untuk sungguh-sunggguh memiliki kerjasama yang mengharuskan mereka terikat erat dengan kelompok mayoritas. Kerjasama yang terjadi antara kelompok minoritas dan kelompok mayoritas umumnya hanya kerjasama yang bersifat terbuka dan tidak menyebabkan diperlukannya suatu komitmen untuk menjaga rahasia tertentu. Artinya tidak ada kerjasama yang benar-benar erat dan saling percaya mempercayai secara sungguh-sungguh. Kecurigaannya benar-benar tinggi. Berkurangnya kemungkinan kerjasama ditambah dengan adanya penilaian bahwa kelompok mayoritas memiliki prasangka terhadap kelompok minoritas semakin menjauhkan potensi kerjasama yang erat. Belum lagi prasangka yang dimiliki kelompok minoritas mencegah mereka untuk bergaul secara akrab terhadap kelompok mayoritas. Akibatnya kelompok mayoritas menilai mereka sebagai eksklusif dan menjaga jarak sosial. Seterusnya, prasangka antara kedua kelompok akan tumbuh subur.

Tentu saja prasangka bukan monopoli kelompok minoritas semata. Kelompok mayoritas juga bisa sangat berprasangka. Dalam kasus Indonesia, prasangka terhadap minoritas etnik Cina cukup besar. Akan tetapi, khusus untuk prasangka terhadap etnik Cina, penyebabnya jauh lebih kompleks ketimbang sekedar posisi mayoritas-minoritas. Faktor politik, ekonomi, sosial, dan sejarah turut menyumbang terhadap tumbuhnya prasangka terhadap mereka. Dalam keseharian kita seringkali menemui perkataan-perkataan sarkasme berkaitan dengan persepsi agresi terhadap kelompok etnik lain. Misalnya saat ada seorang anggota etnik Cina tertuduh sebagai koruptor, dan rumahnya dibakar massa, banyak anggota etnik lain menerimanya hanya karena korban adalah etnik Cina. Perkataan “rasain, dasar cina!” kerap kita dengar.

Representasi paling nyata adanya prasangka terhadap minoritas, khususnya etnik Cina terjadi pada tahun 1998 ketika terjadi tragedi Mei. Menurut laporan Komnas HAM, korban terbunuh dalam tragedi itu sebanyak 1.188 orang, korban luka-luka sebanyak 101 orang, dan korban perempuan etnis Cina diperkosa sebanyak 52 orang. Peristiwa yang menggiriskan itu semestinya menimbulkan keprihatinan besar. Tetapi, reaksi masyarakat umum terhadap kejadian itu sungguh di luar dugaan. Sedikit sekali keprihatinan ditunjukkan oleh kelompok etnik lain. Kejadian itu seolah-olah direstui atau setidaknya ditoleransi karena menyangkut etnik Cina.

Prasangka terhadap kelompok minoritas setidaknya memiliki dua efek fundamental, yaitu efek pada tekanan kepribadian individu, serta efek pada struktur dan proses kelompok yang di bentuk sebagai hasil dari prasangka. Struktur dan proses kelompok yang terbentuk dalam iklim berprasangka akan menjadi lebih ekslusif, tertutup, dan sangat berprasangka terhadap kelompok lain. Keanggotaannya terbatas pada kalangan tertentu yang memiliki kriteria tertentu saja. Kelompok yang dibentuk oleh mayoritas biasanya mencegah kelompok minoritas untuk turut bergabung, demikian pula sebaliknya. Biasanya, kelompok yang ada telah memiliki acuan untuk menerima anggota dari etnik tertentu saja. Bila kelompok yang terbentuk mengharuskan kerjasama antara kelompok minoritas dan mayoritas, maka pengawasan dalam kelompok menjadi sangat ketat.

Individu yang terlibat dalam interaksi sosial dengan kelompok minoritas mengalami tekanan besar dari kelompoknya. Mudah saja kita temukan orangtua yang melarang anaknya menikah dengan seseorang dari kelompok minoritas. Sebaliknya, karena prasangka pula seringkali orangtua kelompok minoritas melarang anaknya menikah dengan seseorang dari kelompok mayoritas. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ati (1999) mengenai pernikahan Cina-Jawa menemukan bahwa sebagian besar dari mereka yang menikah antar etnik (laki-laki Jawa dengan perempuan Cina dan laki-laki Cina dengan perempuan Jawa) mengaku tidak mendapatkan dukungan keluarga atau malah minus dalam arti mendapat kecaman keluarga. Hal demikian menggambarkan bahwa masih ada keengganan untuk pernikahan antara dua etnik tersebut sebagai cermin adanya prasangka diantara kedua etnik bersangkutan.

Pugiyanto (dalam Ati, 1999) pernah melakukan survei eksplorasi mengenai pandangan orang Cina terhadap kawin campur. Terungkap bahwa 35% menganggap sesama Cina dari etnis apa saja (seperti diterangkan dimuka, keturunan Cina di Indonesia terdiri dari beragam etnis) adalah merupakan pasangan yang paling baik. Bahkan sebanyak 7,5% memilih sesama Cina dari etnis yang sama. Tidak seorangpun atau hanya 0% yang beranggapan bahwa etnis Jawa adalah jodoh yang paling baik, tetapi 57,7% berpendapat bahwa jodoh yang baik tergantung etnik asalnya. Dari survei tersebut tampak bahwa sesama etnis minoritas dalam hal ini etnis Cina cenderung untuk melakukan pernikahan sesama etnis. Kecenderungan yang hampir sama juga terjadi pada etnis Jawa.

Kebijakan terhadap Etnik Minoritas

Peran pemerintah terhadap tata kehidupan kelompok etnik minoritas sangat berpengaruh. Kebijakan-kebijakan terhadap kaum etnik minoritas secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi tata pergaulan sosial dalam masyarakat. Beberapa kebijakan yang mungkin dilakukan terhadap kaum minoritas adalah asimilasi, pluralisme, perlindungan legal terhadap kelompok etnik minoritas, pengendalian populasi, penaklukan, dan pemusnahan atau penjinakan. Kebijakan asimilasi dilakukan baik melalui paksaan ataupun sebagai suatu anjuran. Etnis Cina misalnya, melakukan asimilasi terhadap etnis lain di Indonesia melalui anjuran dan pemaksaan sekaligus. Anjuran pengubahan nama cina ke dalam nama Indonesia, penghapusan berbagai sekolah berbahasa cina, pelarangan media massa berbahasa cina dan lainnya dilakukan pemerintah orde baru dalam upaya memaksakan terjadinya asimilasi. Etnik terasing seperti etnik Anak Dalam, etnik Kubu, beberapa etnik di Papua, dan lainnya diupayakan untuk melakukan asimilasi dengan kehidupan yang lebih modern. Upaya yang dilakukan diantaranya dengan memukimkan mereka di dekat penduduk yang telah terbuka dengan dunia luar. Istilah yang sering dialamatkan untuk itu adalah transmigrasi lokal.

Setelah tahun 1998 baru disadari bahwa kebijakan asimilasi ternyata kurang berhasil. Karenanya saat ini di Indonesia kebijakan yang dilakukan adalah kebijakan pluralis, dimana semua etnik minoritas dibiarkan untuk meneruskan tradisinya dan mempertahankan identitasnya. Semua etnik dibiarkan untuk menunjukkan eksistensinya dalam kehidupan sosial. Akibat perubahan kebijakan ini cukup nyata. Pemaksaan pemukiman suku terasing tidak lagi dilakukan. Sekolah-sekolah dan media berbahasa Cina diijinkan untuk beroperasi, dan berbagai ritual tradisi Cina bisa diselenggarakan. Bila akhir-akhir ini kita sering melihat adanya barongsai, tidak lain itu merupakan akibat dari kebijakan pluralis yang diambil pemerintah Indonesia.


Kebijakan perlindungan legal terhadap kelompok etnik minoritas dimunculkan sebagai bagian dari kebijakan pluralis yang diambil pemerintah Indonesia. Bentuknya beragam, diantaranya mengakui adanya tanah adat yang tidak boleh digunakan pemerintah untuk tujuan apapun dan kebebasan untuk menjalankan tradisi budaya. Hanya memang aplikasi dilapangan masih sangat rendah. Terbukti berbagai sengketa tanah adat jarang yang diselesaikan dengan tuntas. Bahkan masih saja terjadi pengalihan tanah adat untuk kegunaan industri, pertambangan, perkebunan, dan lainnya. Tercatat, etnik yang telah menikmati perlindungan legal adalah etnis Badui di Jawa Barat yang memperoleh hak istimewa atas tanah adat.

Program transmigrasi yang dilakukan pemerintah secara tidak langsung juga merupakan kebijakan terhadap kelompok minoritas. Pengalihan penduduk dari pulau jawa ke pulau-pulau lain dilakukan dalam upaya mengikatkan wilayah-wilayah itu kedalam negara kesatuan Indonesia. Akan tetapi seringkali proses migrasi itu tidak berjalan lancar sehingga menimbulkan permasalahan yang parah. Perselisihan yang paling kerap muncul adalah sengketa tanah, dimana pemerintah ternyata memukimkan para warga transmigran diatas tanah yang bersengketa, atau meyerobot tanah ulayat warga etnik masyarakat setempat.

Kebijakan penaklukan dan pemusnahan atau penjinakan tidak dilakukan pemerintah Indonesia. Namun agaknya kebijakan terhadap etnik Aceh sedikit banyak mengandung upaya penaklukan. Dalam upaya mempertahankan wilayah Aceh ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia maka dilakukan penaklukan politis terhadap etnis Aceh. Kebijakan penaklukan akan menyebabkan tumbuhnya prasangka terhadap kelompok dominan, atau yang dianggap menaklukkan. Sampai saat ini sangat sulit etnis Jawa masuk ke tanah Aceh karena dianggap sebagai penjajah. Etnis jawa yang datang ke aceh akan diprasangkai. Meskipun kita bernaung di bawah bendera PBB, LSM atau lainnya yang bertujuan untuk membantu rakyat Aceh, tetapi apabila kita memiliki nama jawa maka akan sangat sulit kita diterima di daerah bergolak di Aceh. “Bila nama akhiranmu ‘To’, sudahlah lupakan keinginan untuk bekerja di LSM di Aceh, susah diterima masyarakat” demikian ucap seorang kawan asal Aceh kepada saya suatu kali ketika saya menanyakan peluang untuk bekerja di LSM di Aceh.

Masyarakat yang memiliki entitas etnik yang berposisi mayoritas-minoritas memiliki keragaman persoalan yang lebih besar daripada masyarakat monoetnik. Mereka menghadapi kemungkinan konflik dan disintegrasi yang lebih besar. Pola hubungan antar entitas juga beragam. Setidaknya ada empat hal yang biasa dilakukan kelompok minoritas dalam kaitannya dengan kehidupan sosial bersama kelompok mayoritas, yaitu:

 Pluralistik

Minoritas berdamai dengan mayoritas dan minoritas yang lain. Hal ini sering sebagai prekondisi peradaban yang dinamis. Dalam kondisi ini, setiap kelompok etnik minoritas tidak menyatu diri dengan kelompok mayoritas. Mereka tetap mempertahankan identitasnya namun dapat hidup berbaur dengan kelompok lain dengan baik. Kondisi seperti ini merupakan kondisi yang ingin dicapai dalam kebijakan terhadap etnisitas oleh pemerintah Indonesia. Semua etnik diharapkan tetap menunjukkan jati dirinya dengan tetap mempertahankan identitas etniknya namun bisa dan mampu bergaul secara baik dengan etnik mayoritas.

 Assimilationist

Kaum minoritas larut dan meleburkan diri ke dalam kaum mayoritas. Dalam kondisi ini minoritas etnik melepaskan identitas etniknya dan mengadopsi nilai-nilai dan cara hidup kelompok mayoritas. Misalnya Etnis Jawa yang ada Jambi, tidak lagi mengakui identitas etnis jawanya, tetapi memakai identitas Jambi. Demikian juga cara-cara hidup dan tata nilai yang dianut tidak lagi tata nilai Jawa tetapi tata nilai melayu.

 Secessionist

Kaum minoritas mencari kemerdekaan politik dan kultural dengan menarik diri dari kehidupan bersama kaum mayoritas dan minoritas yang lain. Gerakan ini jarang terjadi di Indonesia, tapi contoh yang bagus adalah etnik Badui di Jawa Barat. Mereka dengan sengaja memisahkan diri dari kehidupan sosial bersama kaum mayoritas dan minoritas lainnya. Mereka tetap memilih untuk tinggal di wilayah yang terisolasi agar tetap dapat melanjutkan tradisi leluhur yang dimilikinya. Dengan jelas mereka mencari kemerdekaan kultural. Adapun kemerdekaan politis agaknya sedikit banyak telah mereka dapatkan pula dimana tidak ada tangan-tangan birokrat sampai di kampung mereka. Keputusan mereka untuk tidak memilih pada pemilu 2004 juga merupakan salah satu bentuk kemerdekaan politis.

 Militant

Kaum minoritas melakukan perlawanan terhadap kaum mayoritas dan minoritas lainnya. Hal ini masih sering kita dengar di Indonesia sampai sekarang. Berbagai pemberontakan atas nama etnis terus berlangsung dari dulu sampai sekarang. Misalnya saja Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM), dan Republik Maluku Selatan (RMS) dimana masing-masing mengatasnamakan etnis sebagai landasan perjuangan.