Sebab munculnya prasangka

Oleh : Achmanto Mendatu

Prasangka merupakan salah satu fenomena yang hanya bisa ditemui dalam kehidupan sosial. Munculnya prasangka merupakan akibat dari adanya kontak-kontak sosial antara berbagai individu di dalam masyarakat. Seseorang tidak mungkin berprasangka bila tidak pernah mengalami kontak sosial dengan individu lain. Akan tetapi prasangka tidak semata-mata dimunculkan oleh faktor sosial. Faktor kepribadian turut berperan dalam menciptakan apakah seseorang mudah berprasangka atau tidak. Walaupun faktor sosial sangat menunjang untuk menciptakan prasangka, belum tentu seseorang akan berprasangka karena masih tergantung pada tipe kepribadian yang dimiliki, apakah ia memiliki tipe kepribadian berkecenderungan berprasangka atau tidak. Lalu manakah yang lebih penting faktor sosial atau faktor kepribadian dalam menciptakan prasangka? Jawabannya bisa keduanya sama penting atau bisa salah satu lebih penting. Apabila tekanan dalam melihat prasangka adalah konteks sosialnya, tentu saja faktor sosial merupakan faktor terpenting. Sedangkan bila konteks individu yang ditekankan, maka faktor individual bisa jadi dinilai lebih penting.

1. Faktor Sosial Penyebab Prasangka

Prasangka merupakan hasil dari adanya interaksi sosial, maka cukup mudah menemukan sebab-sebab prasangka dalam kehidupan sosial. Faktor sosial yang menciptakan prasangka antar kelompok setidaknya bisa dikategorikan ke dalam enam hal, yakni: akibat konflik sosial antar individu dan antar kelompok, akibat perubahan sosial, akibat struktur sosial yang kaku, akibat keadaan sosial yang tidak adil, akibat terbatasnya sumber daya, dan adanya politisasi pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari adanya prasangka.

Bagaimana faktor sosial di atas bisa menyebabkan munculnya prasangka dan mengapa prasangka muncul dalam interaksi sosial? Berikut adalah beberapa teori dalam ilmu psikologi yang bisa menjelaskan ;
1. Teori Kategorisasi Sosial
2. Teori Perbandingan Sosial
3. Teori Identitas Sosial
4. Teori Deprivasi Relatif
5. Teori Konflik-realistis
6. Teori Frustrasi-Agresi
7. Teori Belajar Sosial

Teori Kategorisasi Sosial

Dunia merupakan kekomplekan yang tiada batas. Melalui kategorisasi kita membuatnya menjadi sederhana dan bisa kita mengerti. Melalui kategorisasi kita membedakan diri kita dengan orang lain, keluarga kita dengan keluarga lain, kelompok kita dengan kelompok lain, etnik kita dengan etnik lain. Pembedaan kategori ini bisa berdasarkan persamaan atau perbedaan. Misalnya persamaan tempat tinggal, garis keturunan, warna kulit, pekerjaan, kekayaan yang relatif sama dan sebagainya akan dikategorikan dalam kelompok yang sama. Sedangkan perbedaan dalam warna kulit, usia, jenis kelamin, tempat tinggal, pekerjaan, tingkat pendidikan dan lainnya maka dikategorikan dalam kelompok yang berbeda.

Mereka yang memiliki kesamaan dengan diri kita akan dinilai satu kelompok dengan kita atau ingroup. Sedangkan mereka yang berbeda dengan kita akan dikategorikan sebagai outgroup. Seseorang pada saat yang sama bisa dikategorikan dalam ingroup ataupun outgroup sekaligus. Misalnya Sandi adalah tetangga kita, jadi sama-sama sebagai anggota kelompok pertetanggaan lingkungan RT. Pada saat yang sama ia merupakan lawan kita karena ia bekerja pada perusahaan saingan kita. Jadi, Sandi termasuk satu kelompok dengan kita (ingroup) sekaligus bukan sekelompok dengan kita (outgroup)

Kategorisasi memiliki dua efek fundamental yakni melebih-lebihkan perbedaan antar kelompok dan meningkatkan kesamaan kelompok sendiri. Perbedaan antar kelompok yang ada cenderung dibesar-besarkan dan itu yang sering di ekspos sementara kesamaan yang ada cenderung untuk diabaikan. Disisi lain kesamaan yang dimiliki oleh kelompok cenderung sangat dilebih-lebihkan dan itu pula yang selalu diungkapkan. Sementara itu perbedaan yang ada cenderung diabaikan. Sebagai contoh perbedaan antara etnik jawa dan etnik batak akan cenderung di lebih-lebihkan, misalnya dalam bertutur kata dimana etnis jawa lembut dan etnis Batak kasar. Lalu, orang-orang seetnis cenderung untuk merasa sangat identik satu sama lain padahal sebenarnya diantara mereka relatif cukup berbeda.

Ukuran kelompok adalah faktor penting dalam menilai apakah diantara anggota-anggotanya relatif sama ataukah plural. Kelompok minoritas menilai dirinya lebih similar dalam kelompok, sementara kelompok mayoritas menilai dirinya kurang similar. Anggota kelompok minoritas juga mengidentifikasikan diri lebih kuat ke dalam kelompok ketimbang anggota kelompok yang lebih besar. Kelompok yang minoritas juga menilai dirinya lebih berada didalam ancaman dibanding kelompok yang lebih besar. Keadaan ini menyebabkan kelompok minoritas tidak mudah percaya, sangat berhati-hati dan lebih mudah berprasangka terhadap kelompok mayoritas. Kecemasan berlebih itu tidak kondusif dalam harmonisasi hubungan sosial. Karena sebagaimana yang dikatakan oleh Islam dan Hewstone (1993) hubungan yang cenderung meningkatkan kecemasan akan mengurangi sikap yang baik terhadap kelompok lain.

Pengkategorian cenderung mengkontraskan antara dua pihak yang berbeda. Jika yang satu dinilai baik maka kelompok lain cenderung dinilai buruk. Kelompok sendiri biasanya akan dinilai baik, superior, dan layak dibanggakan untuk meningkatkan harga diri. Sementara itu disaat yang sama, kelompok lain cenderung dianggap buruk, inferior, dan memalukan. Keadaan ini bisa menimbulkan konflik karena masing-masing kelompok merasa paling baik. Keadaan konflik ini baik terbuka ataupun tidak melahirkan prasangka.

Oakes, Haslam & Turner (1994) menyatakan bahwa kategorisasi sosial juga akan melahirkan diskriminasi antar kelompok jika memenuhi kondisi berikut :
Derajat subjek mengidentifikasi dengan kelompoknya. Semakin tinggi derajat identifikasi terhadap kelompok semakin tinggi kemungkinan melakukan diskriminasi.
Menonjol tidaknya kelompok lain yang relevan. Bila kelompok yang relevan cukup menonjol maka kecenderungan untuk terjadi diskriminasi juga besar.
Derajat dimana kelompok dibandingkan pada dimensi-dimensi itu (kesamaan, kedekatan, perbedaan yang ambigu). Semakin sama, semakin dekat, dan semakin ambigu yang dibandingkan maka kemungkinan diskriminasi akan mengecil.
Penting dan relevankah membandingkan dimensi-dimensi dengan identitas kelompok. Semakin penting dan relevan dimensi yang dibandingkan dengan identitas kelompok maka kemungkinan diskriminasi juga semakin besar.
Status relatif ingroup dan karakter perbedaan status antar kelompok yang dirasakan. Semakin besar perbedaan yang dirasakan maka diskriminasi juga semakin mungkin terjadi.

Teori Identitas Sosial

Identitas sosial merupakan keseluruhan aspek konsep diri seseorang yang berasal dari kelompok sosial mereka atau kategori keanggotaan bersama secara emosional dan hasil evaluasi yang bermakna. Artinya, seseorang memiliki kelekatan emosional terhadap kelompok sosialnya. Kelekatan itu sendiri muncul setelah menyadari keberadaannya sebagai anggota suatu kelompok tertentu.

Orang memakai identitas sosialnya sebagai sumber dari kebanggaan diri dan harga diri. Semakin positif kelompok dinilai maka semakin kuat identitas kelompok yang dimiliki dan akan memperkuat harga diri. Sebaliknya jika kelompok yang dimiliki dinilai memiliki prestise yang rendah maka hal itu juga akan menimbulkan identifikasi yang rendah terhadap kelompok. Dan apabila terjadi sesuatu yang mengancam harga diri maka kelekatan terhadap kelompok akan meningkat dan perasaan tidak suka terhadap kelompok lain juga meningkat. Demikan pula akhirnya prasangka diperkuat.

Sebagai upaya meningkatkan harga diri, seseorang akan selalu berusaha untuk memperoleh identitas sosial yang positif. Upaya meningkatkan identitas sosial yang positif itu diantaranya dengan membesar-besarkan kualitas kelompok sendiri sementara kelompok lain dianggap kelompok yang inferior. Secara alamiah memang selalu terjadi ingroup bias yakni kecenderungan untuk menganggap kelompok lain lebih memiliki sifat-sifat negatif atau kurang baik dibandingkan kelompok sendiri.

Tidak setiap orang memiliki derajat identifikasi yang sama terhadap kelompok. Ada yang kuat identifikasinya dan ada pula yang kurang kuat. Orang dengan identifikasi sosial yang kuat terhadap kelompok cenderung untuk lebih berprasangka daripada orang yang identifikasinya terhadap kelompok rendah. Secara umum derajat identifikasi seseorang terhadap kelompok dibedakan menjadi dua yakni high identifiers dan low identifiers. High identifiers mengidentifikasikan diri sangat kuat, bangga, dan rela berkorban demi kelompok. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan melindungi dan membela kelompok kala mendapatkan imej yang buruk. Dalam situasi yang mengancam kelompok, orang dengan high identifiers akan menyusun strategi kolektif untuk menghadapi ancaman tersebut. Sebaliknya Low identifiers kurang kuat mengidentifikasikan ke dalam kelompok. Orang dengan identifikasi rendah terhadap kelompok ini akan membiarkan kelompok terpecah-pecah dan melepaskan diri mereka dari kelompok ketika berada dibawah ancaman. Mereka juga merasa bahwa anggota-anggota kelompok kurang homogen.

Teori Perbandingan Sosial

Kita selalu membandingkan diri kita dengan orang lain dan kelompok kita dengan kelompok lain. Hal-hal yang dibandingkan hampir semua yang kita miliki, mulai dari status sosial, status ekonomi, kecantikan, karakter kepribadian dan sebagainya. Konsekuensi dari pembandingan adalah adanya penilaian sesuatu lebih baik atau lebih buruk dari yang lain. Melalui perbandingan sosial kita juga menyadari posisi kita di mata orang lain dan masyarakat. Kesadaran akan posisi ini tidak akan melahirkan prasangka bila kita menilai orang lain relatif memiliki posisi yang sama dengan kita. Prasangka terlahir ketika orang menilai adanya perbedaan yang mencolok. Artinya keadaan status yang tidak seimbanglah yang akan melahirkan prasangka (Myers, 1999). Dalam masyarakat yang perbedaan kekayaan anggotanya begitu tajam prasangka cenderung sangat kuat. Sebaliknya bila status sosial ekonomi relatif setara prasangka yang ada kurang kuat.

Para sosiolog menyebutkan bahwa prasangka dan diskriminasi adalah hasil dari stratifikasi sosial yang didasarkan distribusi kekuasaan, status, dan kekayaan yang tidak seimbang diantara kelompok-kelompok yang bertentangan (Manger, 1991). Dalam masyarakat yang terstruktur dalam stratifikasi yang ketat, kelompok dominan dapat menggunakan kekuasaan mereka untuk memaksakan ideologi yang menjustifikasi praktek diskriminasi untuk mempertahankan posisi menguntungkan mereka dalam kelompok sosial. Hal ini membuat kelompok dominan berprasangka terhadap pihak-pihak yang dinilai bisa menggoyahkan hegemoni mereka. Sementara itu kelompok yang didominasipun berprasangka terhadap kelompok dominan karena kecemasan akan dieksploitasi.

Deprivasi Relatif

Deprivasi relatif adalah keadaan psikologis dimana seseorang merasakan ketidakpuasan atas kesenjangan/kekurangan subjektif yang dirasakannya pada saat keadaan diri dan kelompoknya dibandingkan dengan orang atau kelompok lain. Keadaan deprivasi bisa menimbulkan persepsi adanya suatu ketidakadilan. Sedangkan perasaan mengalami ketidakadilan yang muncul karena deprivasi akan mendorong adanya prasangka (Brown, 1995). Misalnya di suatu wilayah, sekelompok etnis A bermata pencaharian sebagai petani padi sawah. Masing-masing keluarga etnik tersebut mengerjakan sawah seluas 2 ha. Rata-rata hasil panenan yang didapatkan setiap kali panen (1 kali setahun) adalah 8 ton padi. Mereka sangat puas dengan hasil tersebut dan merasa beruntung. Kemudian datanglah sekelompok etnis B yang juga mengerjakan sawah di wilayah itu dengan luas 2 ha per keluarga. Ternyata, hasil panenan kelompok etnis B jauh lebih banyak (14 ton sekali panen). Sejak itu muncullah ketidakpuasan etnis A terhadap hasil panenannya karena mengetahui bahwa etnis B bisa panen lebih banyak. Ketidakpuasan yang dialami etnis A itu merupakan deprivasi relatif.

Pada awal kedatangan etnis B, mereka disambut baik oleh etnis A. Akan tetapi setelah etnis B berhasil memanen padi di sawah barunya, mulailah timbul ketidaksukaan etnis A terhadap etnis B. Etnis A menuduh etnis B berkolusi dengan petugas pengairan sehingga mendapatkan pengairan yang lebih baik karenanya hasil panenannya lebih baik. Etnis A mulai merasakan adanya perlakuan yang tidak adil dari petugas pengairan terhadap mereka, meski sebenarnya tidak ada pembedaan perlakuan dari petugas tesebut. Tidak hanya itu, dalam berbagai hal etnis A pun jadi berprasangka terhadap etnis B, dan mulai tidak menerima kehadiran etnis B.

Contoh diatas menggambarkan timbulnya prasangka akibat dari deprivasi relatif. Hal demikian seringkali terjadi terutama di daerah-daerah dimana terdapat penduduk asli dan penduduk pendatang yang cukup besar. Contoh paling bagus adalah daerah transmigrasi dimana penduduk asli tinggal tidak jauh dari sana. Sepanjang kondisi ekonomi penduduk asli masih lebih baik daripada transmigran, penerimaan penduduk asli terhadap transmigran akan berjalan baik. Akan tetapi begitu kondisi ekonomi pendatang menjadi lebih baik daripada penduduk asli maka mulai timbullah deprivasi relatif dari penduduk asli, halmana mulai menimbulkan prasangka dan berbagai gejolak lainnya.

Teori Konflik-Realistis

Menurut teori konflik-realistik (Realistic Conflict Theory), prasangka timbul karena kompetisi yang terjadi antara berbagai kelompok sosial yang berbeda untuk meraih kesempatan atau sumber daya yang terbatas (Baron & Byrne, 1991). Prasangka bisa muncul dan berkembang sebagai efek samping perjuangan berbagai kelompok memperebutkan pekerjaan, perumahan yang memadai, sekolah yang baik, lahan pertanian, dan lainnya. Apabila kesempatan dan sumber daya melimpah, umumnya prasangka antar kelompok rendah karena orang-orang tidak perlu bersaing keras mendapatkannya. Sedangkan apabila kesempatan dan sumber daya yang tersedia sangat terbatas jumlahnya, biasanya prasangka di daerah tersebut cukup tinggi. Terjadinya prasangka di daerah-daerah pertambangan rakyat, seperti pertambangan emas di Kalimantan, di Rejang Lebong, dan di beberapa tempat lain umumnya didorong oleh adanya konflik kepentingan untuk berebut sumberdaya tambang yang ada. Demikian juga prasangka antara warga asli dengan warga pendatang di daerah-daerah yang dijadikan pemukiman transmigrasi umumnya karena adanya perebutan sumberdaya ekonomi yang terbatas.

Persaingan memperebutkan sumberdaya yang terbatas seringkali berujung pada timbulnya konflik antara pihak-pihak yang berkompetisi. Konflik-konflik yang terjadi yang sering berupa kerusuhan dan kekerasan antar kelompok seringkali dipicu oleh prasangka. Sebaliknya, konflik antar kelompok yang membesar akan menyebarkan prasangka dan diskriminasi (Simpson & Yinger, 1965). Jadi, prasangka merupakan pemicu konflik sekaligus sebagai hasil dari konflik. Prasangka memicu konflik karena prasangka menciptakan kondisi hubungan sosial yang penuh ketegangan. Prasangka sebagai hasil konflik karena konsekuensi munculnya sikap permusuhan terhadap kelompok lain.

Pada saat kerusuhan dan kekerasan antarkelompok, prasangka antara kelompok bertikai menguat. Semakin besar skala kerusuhan yang terjadi, prasangka yang timbul cenderung semakin besar. Sebagai contoh, kekerasan antara etnis Dayak dan etnis Madura di Kalimantan, seperti tragedi Sampit dan tragedi Sambas, telah menyebarkan prasangka diantara etnis Dayak terhadap etnis Madura dan sebaliknya diantara etnis Madura terhadap etnis Dayak. Padahal mungkin saja sebelum kerusuhan banyak diantara mereka memiliki hubungan yang sangat baik.

Prasangka tidak selalu melahirkan diskriminasi. Apabila prasangka yang ada pada masyarakat dibiarkan saja tanpa adanya kontrol dari pihak-pihak eksternal seperti institusi pemerintah, maka prasangka akan melahirkan diskriminasi. Dan bila diskriminasi dibiarkan berlanjut tanpa adanya kontrol maka bisa memunculkan terjadinya ketegangan sosial yang bisa berujung pada terjadinya kerusuhan dan kekerasan sosial. Namun apabila ada kontrol dari pihak eksternal yang cukup kuat, misalnya adanya tekanan dari pemerintah, dari negara-negara lain dan sebagainya maka prasangka tidak akan melahirkan diskriminasi. Akan tetapi pada kondisi tidak melahirkan diskriminasi, prasangka tetap bisa memicu adanya ketegangan sosial yang berujung pada kerusuhan sosial.

Teori Frustrasi-Agresi

Prasangka bisa muncul sebagai hasil dari adanya frustrasi (frustration-agression hypothesis), dimana pencapaian tujuan mungkin dihalangi pihak lain. Seseorang yang dalam mencapai tujuan dihalangi pihak lain ini akan cenderung berprasangka terhadap pihak-pihak yang dianggap menghalangi itu. Dalam hal ini prasangka mungkin merupakan mekanisme mempertinggi harga diri atau untuk mengalahkan dan mengalihkan ancaman terhadap harga diri (Simpson & Yinger, 1965). Jadi, ketika seseorang merasa tidak akan mencapai sesuatu, ia tidak ingin tampak sebagai orang gagal karena kegagalan membuat harga dirinya terancam. Maka ia akan berprasangka pada orang-orang atau kelompok lain agar harga dirinya tidak terancam.

Frustrasi seringkali menimbulkan agresi meski tidak selalu berbentuk agresi terbuka (Berkowitz, 1995). Namun kadangkala karena sumber frustrasi tidak mungkin menjadi sasaran agresi maka agresinya dialihkan kepada pihak lain. Pengalihan agresi ini biasa dikenal sebagai pengkambinghitaman yang merupakan bentuk dari prasangka. Biasanya sasaran pengkambinghitaman adalah kelompok-kelompok yang subordinat dan lemah, atau kelompok minoritas. Sebagai contoh pada tahun 1997/1998 di saat negara kita mengalami krisis ekonomi, etnis Cina dituding sebagai biang keladinya. Pada saat itu prasangka terhadap etnis Cina meningkat dan sebaliknya etnis Cina juga menjadi lebih berprasangka terhadap etnis lainnya.

Struktur sosial yang kaku merupakan salah satu penyebab frustrasi karena mobilitas sosial vertikal yang terhambat. Dalam banyak negara yang menerapkan sistem pemerintahan otoriter dan tertutup dimana mobilitas sosial masyarakatnya sangat terbatas, hal mana aspirasi untuk maju dan berkembang warganya sangat sulit diwujudkan, prasangka yang ada diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat cukup tinggi. Berdasarkan teori frustrasi-agresi, prasangka yang muncul merupakan akibat dari timbulnya frustrasi atas keadaan sosial yang tidak menfasilitasi keinginan individu ataupun kelompok untuk maju dan berkembang.

Teori Belajar Sosial

Menurut teori ini prasangka dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui proses sosialisasi. Apabila suatu keluarga memiliki prasangka yang tinggi terhadap kelompok lain, maka itulah yang cenderung ditanamkan pada anak-anak dalam keluarga itu melalui idiom-idiom bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Apalagi, stereotip dan juga prasangka dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa tanpa pernah ada kontak dengan tujuan/objek stereotip dan prasangka (Brisslin, 1993). Keadaan ini membuat kecenderungan kuat bahwa orangtua yang berprasangka akan melahirkan anak-anak berprasangka.

Anak-anak belajar melalui identifikasi atau imitasi, atau melalui pembiasaan. Apa yang dilakukan orangtua, anggota keluarga lain dan semua yang dilihat anak-anak akan ditiru. Misalnya bila orang tua sering mengata-ngatai tetangganya yang beretnis batak dengan kata-kata “dasar batak”, maka sang anak juga akan meniru dan mengembangkan perasaan tidak suka terhadap etnik batak secara keseluruhan.

Ada bukti bahwa anak pada usia 3 tahun sudah sadar akan kategorisasi sosial utama yakni gender dan etnik. Anak-anak sudah mengenal kategori-kategori dan bersikap serta bertindak berdasarkan kategori-kategori itu (Brown, 1995). Pengkategorian itu mendasarkan pada berbagai informasi yang telah diterima anak-anak dari keluarganya. Informasi yang penuh dengan stereotip negatif dan berprasangka akan membuat anak-anak bertindak sesuai dengan stereotip dan prasangka yang dimiliki terhadap kelompok lain.

Media massa juga merupakan alat dalam belajar sosial yang penting. Banyak pengetahuan mengenai kelompok lain diperoleh melalui berita-berita di media massa. Akibatnya opini yang terbentuk mengenai kelompok lain tegantung pada isi pemberitaan media massa. Misalnya bila kelompok tertentu dalam berita diposisikan sebagai ekstremis, suka kekerasan, dan teroris maka prasangka terhadap kelompok itu di masyarakat akan menguat.


2. Faktor Individual Pemicu Prasangka

Sangat sering kita temui ada seseorang yang begitu mudah berprasangka tetapi ada juga yang rendah tingkat prasangkanya meskipun mereka sama-sama berada dalam satu situasi yang serupa. Seolah ada kecenderungan individu tertentu lebih berprasangka daripada individu yang lain. Mengapa hal itu terjadi? Disinilah faktor individual berperan dalam memicu prasangka.

Kepribadian Otoritarian dan Dogmatik

Dalam tataran individu, faktor kepribadian otoritarian merupakan faktor pemicu prasangka yang terpenting. Seseorang yang memiliki kepribadian otoritarian dipastikan mudah berprasangka (Adorno, dalam Brown, 1995). Adapun ciri-ciri dari kepribadian otoritarian adalah;
Mempersepsi dunia secara bipolar, yakni selalu mengkontraskan segala sesuatu dalam dua kutub yang berlawanan; jika tidak hitam pasti putih, jika tidak benar pasti salah, jika tidak baik pasti buruk, jika tidak indah pasti jelek dan semacamnya.
Tidak mampu toleran terhadap perbedaan, yakni tidak bisa menerima adanya orang-orang yang berbeda dari dirinya. Perbedaan yang ditemui akan menimbulkan kecemasan. Karenanya orang bertipe ini menuntut kesamaan sebesar-besarnya dari orang lain. Orang dengan ciri ini cenderung untuk selalu bersikap negatif terhadap orang-orang yang berbeda dengan dirinya.
Permusuhan berlebihan terhadap seseorang yang belum nyata anggota sebuah kelompok. Seseorang yang memiliki ciri ini memiliki kecurigaan tinggi tehadap orang-orang asing dan orang-orang yang belum jelas dikategorikan masuk kelompok mana.
Hormat berlebihan dan memiliki kebutuhan kuat untuk mengidentifikasikan diri pada figur otoritarian. Orang dengan ciri ini akan sangat patuh dan merasa cemas jika pimpinan mengabaikannya. Para penjilat masuk dalam kategori ini. Mereka berupaya agar pimpinan selalu menyadari kehadirannya, dan berharap agar pimpinan lebih memperhatikannya ketimbang kepada orang lain.
Stewart & Hoult, dalam Simpson & Yinger (1965) mengidentifikasikan delapan kondisi yang umumnya memunculkan seseorang yang memiliki kepribadian otoritarian, yaitu:
Kurang berpendidikan
Kaum tua
Kaum pedesaan
Anggota kelompok yang tidak menguntungkan, misalnya anggota kelompok minoritas
Lebih dogmatik terhadap organisasi religius, misalnya sangat mengagungkan NU-nya, Muhamadiyah-nya, Gereja-nya, dan lain-lain dan bukan pada ajaran agamanya.
Status sosial ekonomi rendah
Secara sosial terisolasi
Tumbuh dalam keluarga otoritarian
Kepribadian dogmatik juga merupakan salah satu tipe kepribadian yang memiliki kecenderungan kuat untuk berprasangka. Orang-orang dengan kepribadian dogmatik memiliki pola pemikiran yang sempit (closed-mind). Mereka sangat mempercayai sistem yang anti terhadap perubahan informasi dan ditandai penggunaan daya tarik atau kekuatan wewenang untuk menjustifikasi apa yang mereka kira benar (Rokeach, dalam Brown, 1995). Dogmatisme memproposisikan bahwa orang yang dogmatik lebih banyak melakukan penolakan terhadap orang lain yang tidak sepaham dengan dirinya daripada ia menolak orang lain karena identitas kelompok (ras,etnik) mereka. Secara umum orang dengan kepribadian dogmatik ini sangat konvensional. Mereka menentang setiap upaya perubahan yang terjadi jika mengakibatkan perubahan mendasar terhadap apa yang telah lama diyakininya. Mereka tidak segan menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk membenarkan apa yang diyakininya. Pada titik ekstrim, orang dengan kepribadian dogmatik ini menganggap hanya yang diyakinilah yang benar. Dogmatisme menurut Rockeach (dalam Simpson & Yinger, 1965) adalah mereka yang:
Memiliki keteguhan yang relatif tidak bisa dirubah mengenai keyakinan dan ketidakyakinan terhadap realitas.
Serangkaian kepercayaan yang dimiliki diorganisasikan oleh kekuasaan absolut sebagai pemilik otoritas dalam kepercayaan itu.
Memiliki kerangka berpikir yang terpola terhadap intoleransi dan toleransi kepada orang lain.
Jenis kepribadian lain yang mudah menderita prasangka adalah orang yang memiliki kepribadian yang keras hati atau cenderung kaku. Mereka yang keras hati ini lebih mampu memahami adanya ekstremitas, misalnya membenarkan terorisme. Mereka kurang terpengaruh keluarga dan lingkungan sosial dalam menentukan pilihan politik. Karakteristik orang berprasangka secara umum bermental kaku (rigidity), dan memiliki infleksibilitas pikiran.

Tipe kepribadian dogmatik dan otoritarian dapat dibentuk melalui keluarga. Kepribadian dogmatik misalnya, berasal dari sosialisasi dalam keluarga dan hubungan orangtua dan anak yang kurang harmonis. Orang tua otoritarian berkemungkinan besar sering mengalami konflik dengan anak-anak karena kaku, sangat asertif, dan tidak responsif terhadap kebutuhan anak hal mana membuat anak memiliki kecenderungan otoritarian, menjadi dogmatik, berpikir secara kaku, dan adanya sikap permusuhan terhadap kelompok minoritas (Darke & Boriel, 1996)

Kepribadian otoritarian, kepribadan dogmatik, dan kepribadian yang kaku atau keras hati memberikan kecenderungan pada seseorang untuk lebih mudah berprasangka. Namun masih ada teori lain yang menganalisis prasangka dari sisi individual, yakni teori biologis dan teori psikodinamika.

Teori Biologis

Menurut pendekatan ini prasangka memiliki dasar biologis. Hipotesisnya adalah bahwa kecenderungan untuk tidak menyukai kelompok lain dan hal-hal lain yang bukan milik kita merupakan warisan yang telah terpetakan dalam gen kita. Pendekatan biologis ini berasal dari sosiobiologi. Rushton dalam Baron dan Byrne (1991) mengistilahkan pendekatan ini sebagai genetic similarity theory. Asumsi dari teori ini adalah bahwa gen akan memastikan kelestariannya dengan mendorong reproduksi gen yang paling baik yang memiliki kesamaan. Bukti dari hal ini adalah bisa dilacaknya nenek moyang kita melalui DNA karena kita dengan nenek moyang kita memiliki kesamaan gen. Maka, menurut teori ini orang-orang yang memiliki kemiripan satu sama lain atau yang menunjukkan pola sifat yang mirip sangat mungkin memiliki gen-gen yang lebih serupa dibandingkan dengan yang tidak memiliki kemiripan satu sama lain. Misalnya orang-orang yang berasal dari etnik yang sama memiliki gen yang relatif lebih mirip daripada dengan orang dari etnik yang berbeda.

Menurut teori kesamaan gen, faktor kesamaaan gen dalam satu etnik dimungkinkan sebagai faktor yang menyebabkan individu berperilaku lebih murah hati terhadap anggota etniknya daripada kepada etnis yang berbeda. Rushton juga menyebutkan bahwa ketakutan dan kekurangpercayaan terhadap orang asing telah terpola dalam gen, sebab meskipun orang asing tidak membahayakan sama sekali, kecenderungan curiga dan tidak percaya tetap ada. Hal ini memberikan kontribusi nyata terhadap munculnya prasangka.

Banyak ilmuwan menolak teori sosiobiologis. Teori ini dinilai tidak bisa dipertanggungjawabkan. Mereka yang menolak berpendapat bahwasanya prasangka semata-mata merupakan produk dari adanya interaksi sosial dan kecenderungan kepribadian tertentu.

Teori Psikodinamika

Teori psikodinamika menganalisis prasangka sebagai hasil perkembangan dari ketegangan motivasional dari dalam diri individu. Prasangka menguntungkan secara psikologis karena meningkatkan perasaan superioritas (Myers, 1999). Sebagaimana yang sering kita rasakan tapi jarang atau malah tidak pernah kita ungkapkan, kita sering merasakan kepuasan bila mengetahui ada orang lain mengalami kegagalan. Hal ini merupakan cermin dari adanya tuntutan untuk merasakan superioritas atas orang lain. Dan prasangka berfungsi membantu memenuhi kebutuhan itu. Maka menjadi mudah dimengerti mengapa prasangka tumbuh lebih subur pada masyarakat yang kondisi sosial ekonominya rendah serta berada dibawah ancaman seperti kelompok minoritas, hal itu karena mereka memiliki kebutuhan untuk menjadi superior yang lebih tinggi sebagai kompensasi atas keadaan mereka yang inferior.

Teori psikodinamika mencakup teori frustrasi-agresi yang menyebutkan prasangka sebagai hasil dari agresi yang dialihkan (displacement). Displacement adalah kecenderungan untuk mengarahkan kekejaman secara langsung kepada target yang tidak dapat secara nyata ditunjukkan sebagai sumber kesulitan. Artinya seseorang tidak dapat membuktikan bahwa seseorang atau sekelompok orang merupakan sumber dari kesulitan yang dideritanya. Akan tetapi ia merasa bahwa merekalah sumber kesulitan yang dideritanya. Sebagai kompensasi karena ia tidak bisa melakukan tindakan apa-apa terhadap sumber kesulitan maka ia memunculkan prasangka.

Dalam diri indidividu ada kecenderungan untuk memproyeksikan karakteristik internal kepada orang atau objek lain. Misalnya sifat-sifat kasar yang dimiliki diproyeksikan kepada anggota kelompok lain. Dianggapnya kelompok lainlah yang memiliki sifat kasar padahal sesungguhnya merupakan sifat-sifat kasar kelompok sendiri. Proyeksi umumnya hanya ada pada kelompok mayoritas. Kekejaman tehadap ingroup biasanya di projeksikan terhadap outgroup. Misalnya etnis Jawa membenci dan kejam terhadap etnis Cina, dalam perspektif teori dinamika hal ini karena etnis jawa memproyeksikan sifat-sifat impuls buasnya, dan etnis Cina mungkin tidak menyukai etnis jawa karena etnis jawa memproyeksikan impuls buasnya pada mereka Penggunaan proyeksi terhadap target etnik minoritas dan juga displacement sering ditunjukkan dalam bentuk-bentuk ekstrim oleh orang-orang yang menderita sakit mental, sadis dan paranoid. Mereka menggunakan prasangka untuk merasionalisasi dan menerangkan perilaku menyimpang mereka. Misalnya prasangka yang dimiliki dijadikan alasan untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok yang diprasangkai.