Kehidupan sosial ekonomi Orang Rimba

Oleh Achmanto Mendatu

Bagaimana Orang Rimba atau Suku Anak Dalam di pedalaman hutan Jambi mengatur kehidupan mereka? Inilah pertanyaan mendasar mengenai kehidupan mereka. Tidak berbeda dengan masyarakat lainnya, Orang Rimba juga mengorganisasikan dirinya. Mereka memiliki struktur kekuasaan dalam kelompok. Mereka memiliki aturan-aturan perilaku yang mengatur bagaimana seseorang harus berperilaku. Mereka memiliki norma hukum yang mengatur hukuman bagi pelanggaran. Mereka juga memiliki mekanisme untuk menyelesaikan suatu masalah yang timbul. Adat istiadat dan berbagai aturan yang melandasi semua pengaturan sosial itu dilaksanakan secara ketat. Dalam keyakinan mereka, merubah adat dan aturan adalah sesuatu yang tabu, oleh karena itu adat dan aturan yang berlaku sekarang relatif tidak jauh berbeda dengan yang berlaku ratusan tahun silam.

Organisasi Sosial

Serupa dengan negara yang memiliki kabinet yang bertugas mengatur kehidupan rakyat dalam negara, Orang Rimba pun memiliki institusi serupa. Pengulu adalah institusi sosial yang bertugas mengurus dan memimpin kehidupan Orang Rimba. Institusi pengulu terdiri dari Temenggung, Wakil Temenggung, Depati, Mangku, Debalang, dan Manti. Namun meskipun berposisi pemimpin, mereka tidak bisa dianggap menduduki lapisan sosial tertinggi. Posisi mereka secara sosial relatif setara saja dengan yang lainnya. Tidak banyak keistimewaan yang mereka miliki. Paling-paling mereka berhak untuk mendapat bagian bila suatu denda dijatuhkan kepada pelanggar adat. Mereka bahkan akan didenda dua kali lipat bila melakukan pelanggaran karena dianggap lebih faham dengan aturan adat. Di luar institusi pengulu terdapat tengganai dan malim yang memiliki posisi relatif sama kuat dengan temenggung tetapi mengurusi urusan khusus.

Temenggung adalah pemimpin tertinggi kelompok Orang Rimba. Masing-masing kelompok memiliki temenggung sendiri yang satu sama lain tidak saling tergantung. Seorang temenggung adalah seorang raja bagi kelompoknya. Tidak ada kekuasaan diatasnya. Kekuasaannya meliputi penyelesaian perselisihan sesama Orang Rimba maupun antara Orang Rimba dengan orang luar dan mewakili Orang Rimba kelompoknya dalam setiap forum. Temenggung adalah yang berwenang memberikan izin bagi siapapun yang mau masuk dan berinteraksi dengan Orang Rimba. Ia juga berwenang membuat keputusan yang menyangkut kepentingan Orang Rimba.

Jabatan lain yang termasuk dalam institusi pengulu tidak banyak dikenal masyarakat luas. Seorang wakil temenggung bertugas menggantikan seluruh tugas-tugas temenggung apabila berhalangan. Depati bertugas menyelesaikan hal-hal yang terkait dengan hukum dan keadilan. Perannya mirip dengan pihak kejaksaan dan kehakiman. Debalang bertugas menjaga stabilitas keamanan masyarakat, atau semacam polisi Orang Rimba. Manti bertugas meyampaikan informasi kepada seluruh anggota kelompok, misalnya informasi untuk berkumpul pada waktu tertentu. Peran manti semacam humas tapi khusus untuk urusan ke dalam. Tugas manti cukup berat. Ia harus berjalan menemui semua Orang Rimba kelompoknya yang tinggal tersebar dalam area yang luas.

Tengganai cukup unik. Seorang tengganai berperan dalam memberikan nasehat adat, meredakan perselisihan di dalam keluarga (semacam penasehat perkawinan) dan berbagai persoalan keluarga lainnya. Menurut sebagian orang, tengganai sebenarnya memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada kekuasaan temenggung. Apabila temenggung mengurusi urusan keluar, maka tengganai menangani urusan-urusan dalam kelompok. Peran tengganai dianggap sesuatu yang vital oleh karena itu kedudukannya sering dianggap lebih tinggi daripada temenggung, meskipun tentu saja temenggung tidak berada dibawah tengganai.

Kelompok Orang Rimba Makekal Hulu memiliki Temenggung bernama Segrip. Kadang ia disebut berbeda-beda. Ada yang memanggilnya sagrip, nggrip, ngagrip, dan ngarap. Ia adalah anak dari temenggung terdahulu. Jadi, anak menggantikan kedudukan bapak. Sang bapak masih hidup dan saat ini menjabat sebagai tengganai. Mungkin fenomena mantan temenggung menjadi tengganai dan anaknya menjadi temenggung memperkuat pendapat bahwa tengganai adalah jabatan yang lebih bergengsi. Lagipula seorang tengganai memang dituntut untuk faham betul persoalan adat.

Malim atau Alim adalah pemimpin spiritual Orang Rimba. Peran dan pengaruhnya cukup besar. Malim adalah pemimpin dalam upacara sale dalam perkawinan, kelahiran maupun kematian. Ia dipercaya sebagai orang yang sanggup berhubungan dengan roh nenek moyang. Oleh karena itu malim sangat dihormati.

Ada satu posisi unik yang dimiliki oleh masyarakat Orang Rimba yakni jenang. Jabatan ini tidak dipegang oleh Orang Rimba, tetapi dipegang oleh orang Melayu. Pada masa lalu perannya adalah sebagai penghubung Orang Rimba dengan orang luar. Ia menjadi jalur perdagangan dan komunikasi. Semua barang dagangan melewatinya. Saat ini jenang kurang jelas perannya karena Orang Rimba sudah biasa melakukan hubungan langsung dengan orang luar.

Hubungan Kekuasaan

Tercermin dalam bahasanya yang egaliter, Orang Rimba tidak memiliki jarak kekuasaan yang jauh. Antara satu orang dengan yang lainnya relatif memiliki posisi yang setara. Antara yang memimpin dan yang dipimpin tidak terdapat gap kekuasaan. Dalam terminologi saat ini, mereka adalah masyarakat demokratis. Setiap orang memiliki suara yang relatif sama dalam kehidupan bersama.

Anak-anak rimba sejak kecil telah diajarkan untuk hidup di alam demokratis. Apabila tidak setuju melakukan sesuatu mereka akan berterus terang mengatakannya. Jika memiliki pendapat yang berbeda, mereka akan mengungkapkannya. Orangtua berkewajiban mendengarkan pendapat anak-anak. Hal ini menyebabkan ketika besar mereka berani untuk menyatakan pendapat dan menjadi penerus tradisi demokrasi yang handal.

Prinsip dasar pengaturan sosial Orang Rimba adalah; ‘Alam sekato Tuhan, rakyat sekato pengulu, rumah sekato tengganai, bini sekato laki, adik sekato kakak” Artinya alam seperti apapun kondisinya adalah atas kehendak Tuhan, rakyat patuh terhadap penguasanya, urusan rumah harus mematuhi tengganai, istri harus patuh terhadap suami, dan adik harus patuh terhadap kakak. Apabila tanpa alasan jelas tidak mematuhi yang harus dipatuhi maka denda dijatuhkan. Artinya kepatuhan yang dituntut tidaklah mutlak. Namun apabila alasan tidak mematuhi bisa diterima maka pembangkangan dibiarkan dan malahan dianggap sebagai sesuatu yang positif.

Kepatuhan kepada pengulu, terutama temenggung adalah sesuatu yang bersifat relatif. Apabila baik, maka apapun keputusannya harus dipatuhi secara mutlak. Akan tetapi apabila tidak baik maka boleh tidak dipatuhi. Aturannya tepat seperti pepatah ‘rajo adil rajo disembah, rajo lalim rajo disanggah.’ Sanggahan terhadap temenggung bisa lebih dari sekedar protes. Dalam beberapa kasus, temenggung juga bisa diberhentikan. Untuk memilih temenggung baru diadakanlah pemilu dimana suara yang berhak mencoblos benar- benar berdasarkan asas ‘one voter one vote’ alias satu orang satu suara. Menurut cerita, di TNBD pernah terjadi beberapa pergantian temenggung karena dianggap tidak mampu. Sebenarnya jabatan temenggung adalah jabatan turun temurun. Hanya keturunan temenggung yang dianggap paling layak untuk menduduki jabatan tersebut. Akan tetapi bila keturunannya dianggap tidak mampu maka akan dipilih dari yang lain. Asas kemampuan tampaknya lebih dihargai daripada nilai keturunan.

Orang Rimba mengakui kekuasaan negara secara mutlak. Mereka sangat patuh dengan para pejabat pemerintah. Menurut mereka presiden adalah rajo tertinggi. Dibawah presiden ada gubernur, bupati, dan camat sebagai raja mereka. Pertemuan dengan pejabat negara adalah sesuatu yang membanggakan. Tidak jarang mereka menunjukkan foto mereka dengan pejabat tertentu kepada orang luar. Beberapa Orang Rimba memang pernah secara langsung bertemu dengan Presiden Megawati di Istana Negara pada tahun 2000.

Hukum

Tidak berbeda dengan masyarakat lainya, masyarakat rimba juga memiliki norma hukum. Hukum mereka adalah hukum adat. Namun jangan dibayangkan bahwa hukum Orang Rimba sama seperti hukum yang berlaku di negara kita. Tata aturan hukumnya tidak tertulis. Tidak ada kitab undang-undang hukum Orang Rimba. Mereka hanya mengingatnya dengan baik dan diturunkan dari generasi ke generasi.

Orang Rimba adalah orang-orang yang melek hukum. Mereka sangat paham dengan hukum mereka sendiri. Mereka paham apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang, apa yang tabu dan apa yang tidak. Mereka tahu konsekuensi yang terjadi apabila melakukan suatu pelanggaran. Tidak hanya orang dewasa yang paham hukum, anak-anak kecil pun sudah tahu berbagai aturan kehidupan mereka. Rupa-rupanya sosialisasi aturan kehidupan atau hukum mereka berjalan dengan amat sukses. Apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan telah disosialisasikan sejak usia dini.

Hukum adat Orang Rimba mencakup prosedur, tata aturan perilaku dan hukuman bagi pelanggaran. Prosedur perilaku terutama berkaitan dengan cara suatu tindakan dijalankan. Misalnya cara untuk protes pada pengulu dan tata cara perkawinan. Tata aturan perilaku mencakup apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Apa yang tidak boleh dilakukan tercakup dalam tabu-tabu yang merupakan rambu-rambu perilaku bagi Orang Rimba. Hukuman bagi pelanggaran mencakup kategori pelanggaran yang dikenai denda atau dikenai hukuman lainnya.

Pelanggaran atas adat dan tata aturan perilaku dikenai hukuman berupa denda, hukuman fisik, pengusiran, atau bahkan dibunuh. Penjatuhan hukuman yang diputuskan oleh pengulu tidak begitu saja terjadi. Sebelum putusan dibuat harus ada musyawarah, atau lebih tepatnya persidangan. Apabila sang terdakwa dipastikan positif melanggar barulah putusan hukuman dibuat. Oleh karena itu putusan hukuman bisa saja baru dibuat setelah berkali-kali sidang karena terjadinya perdebatan. Tidak ada kesewenang-wenangan dalam penetapan hukuman. Pengulu tidak berhak menjatuhkan hukuman tanpa bukti. Apabila terjadi, maka pengulu dianggap melakukan pelanggaran. Hal ini menunjukkan bahwa Orang Rimba benar-benar masyarakat yang demokratis. Selain itu siapapun yang melanggar aturan juga akan dikenai hukuman yang kurang lebih sama. Artinya semua orang sama didepan hukum.

Denda merupakan hukuman bagi pelanggaran yang tidak sangat berat. Biasanya denda yang dijatuhkan berupa kain karena kain adalah barang berharga yang memiliki kemanfaatan luas. Peran denda sangat besar. Ia menjaga berbagai aturan adat terus dijalankan. Banyak Orang Rimba tidak mau melakukan sesuatu yang terlarang semata-mata karena alasan takut terkena denda.

Salah seorang Orang Rimba menceritakan bahwa ada seseorang yang menembak Orang Rimba lainnya tanpa sengaja. Menurutnya, hukuman bagi si penembak seharusnya hukuman mati. Hal yang sama bagi yang melakukan hubungan seksual incest. Misalnya kakak mengawini adik. Namun kebijakan pengulu lain. Pengulu memutuskan si penembak untuk membayar denda yang cukup besar yang nilainya lebih dari 5 juta rupiah (jumlah yang besar untuk ukuran Orang Rimba), selain itu, yang terpenting si penembak harus membiayai anak orang yang ditembaknya sampai dewasa. Apabila sampai anak tersebut terlantar maka hukuman adat yang lain menanti. Putusan ini dianggap putusan yang adil sebab bila dihukum bunuh maka anak orang yang ditembak akan terlantar. Pengulu mendapat pujian untuk putusannya.

Aturan Perilaku

Aturan perilaku mencakup tabu-tabu dan tata cara melakukan sesuatu menurut kebiasaan (habit dalam bahasa inggris). Tabu-tabu yang berlaku dimaknai sebagai segala bentuk larangan yang dasar dari pelarangan itu adalah adat. Sedangkan kebiasaan adalah perilaku yang biasa dilakukan oleh Orang Rimba yang didasarkan atas kebiasaan turun temurun. Kebiasaan bersifat fleksibel dan bisa berubah sesuai kondisi. Keduanya dipatuhi Orang Rimba dengan ketat. Pelanggaran yang terjadi lazim dikenai hukuman tergantung pelanggarannya. Pelaksanaan aturan dijalankan cukup ketat. Sebab rupanya mereka menyadari bila dilaksanakan secara longgar maka adat akan berubah. Padahal dalam kepercayaan mereka, adat semestinya tidak boleh berubah.

“Hati-hati kalau masuk ke kelompok Orang Rimba. Jangan sembarangan meludah di depan mereka. Meludah didepan muka dianggap penghinaan”, demikian kata bapak Alisman salah seorang yang sangat erat berhubungan dengan Orang Rimba. “Selain itu, kalau hendak batuk atau bersin, berdehem dahulu. Itu pertanda kesopanan”, tambahnya.

Itulah peraturan pertama yang saya dapatkan untuk berhubungan dengan Orang Rimba. Saat itu saya berpikir tentu masih banyak peraturan lain yang harus dipatuhi. Ternyata menurut Pak Alisman, hanya itulah yang perlu diperhatikan. Beberapa waktu kemudian, Wahab, salah seorang penghubung Orang Rimba mengatakan bahwa kalau datang ke pemukiman Orang Rimba harus hati-hati. Tidak boleh sembarangan masuk. Semuanya harus meminta izin dahulu daripada terkena ancaman denda. Masuk ke rumah Orang Rimba tanpa permisi bisa berbahaya. Kalau sampai menginjakkan kaki di tempat tidur gadis, dendanya cukup berat.

Memasuki wilayah Orang Rimba dan berinteraksi dengan mereka memang harus hati-hati. Salah-salah kehadiran kita tidak diterima. Banyak aturan yang harus dipahami dan dijalankan agar kita dipandang sebagai orang yang baik oleh mereka. Bila sudah dianggap sebagai orang baik, maka interaksi selanjutnya akan lebih mudah. Apabila sudah benar-benar dekat, aturan yang dikenakan pada orang asing bisa tidak berlaku untuk kita.

Tabu-tabu yang ada bisa digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu tabu-tabu mengenai makanan, tabu-tabu mengenai hubungan dengan sesama manusia, tabu-tabu mengenai hubungan antara manusia dan alam, dan tabu-tabu mengenai hubungan antara manusia dan alam supranatural. Empat kategori itu menunjukkan bahwa Orang Rimba telah mengatur seluruh kehidupannya agar sesuai dengan kepercayaan mereka.

Beberapa tabu-tabu yang terkait dengan makanan, adalah tabu memakan dan membunuh binatang tertentu. Orang Rimba tabu membunuh jenis-jenis kera, merego (harimau) dan burung gading. Mereka juga ditabukan memakan ketiga jenis binatang tersebut. Selain itu mereka tabu memakan daging ternak yang dipelihara oleh orang melayu, seperti ayam, itik, angsa, bebek, kambing, sapi, kerbau dan kuda. Susu dan telor yang merupakan hasil dari ternak tersebut juga dilarang.

Tabu-tabu mengenai hubungan sesama manusia mencakup tabu yang terkait dengan hubungan sesama Orang Rimba dan hubungan Orang Rimba dengan orang luar. Tabu terkait hubungan sesama Orang Rimba misalnya larangan anak untuk menyebut nama bapak ibu, larangan mengambil milik orang lain tanpa izin, larangan menikah dengan saudara kandung, tabu bila mendapat hasil buruan tidak dibagi-bagi, tabu memasuki rumah orang yang tidak ada laki-lakinya, tabu memasuki tano peranakan dan lainnya. Tabu terkait hubungan Orang Rimba dan orang luar misalnya larangan perempuan rimba kawin dengan orang luar, larangan memotret perempuan rimba dan larangan menawarkan daging yang haram menurut orang Islam kepada umat Islam.

Tabu yang terkait dengan hubungan manusia dan alam mencakup semua larangan yang berlaku dalam memperlakukan alam seisinya. Beberapa tabu itu misalnya tabu buang air besar di sungai, tabu menebang pohon tenggeris dan mentubung, tabu menebang pohon jernang, tabu membuat ladang didaerah dimana ada pohon tenggeris digunakan untuk ramuan tali pusar bayi, tabu membuat rumah memakai seng dan papan gergajian dan tabu memotret rumah dan ladang.

Tabu yang terkait dengan hubungan manusia dan alam supranatural sebenarnya mencakup seluruh tabu-tabu yang ada karena alasan penabuan umumnya demi kepercayaan yang diyakini. Namun demikian ada tabu-tabu khas yang terkait dengan alam supranatural. Beberapa tabu itu misalnya mendirikan rumah ditempat yang banyak hantunya, memberi keterangan mengenai kepercayaan mereka kepada orang luar, menceritakan upacara sale kepada orang luar, membunuh hewan buruan yang sedang minum, dan tabu memelihara hewan ternak sebagaimana orang luar.

Tabu-tabu yang ada dan berlaku dalam kehidupan Orang Rimba juga berlaku bagi orang luar yang masuk ke dalam komunitas Orang Rimba. Menurut sebuah sumber sering terjadi pendendaan terhadap orang luar karena sembrono bertindak di dalam rimba. Oleh karena itu bila ingin masuk ke dalam komunitas Orang Rimba sebaiknya bertanya dahulu tentang tabu-tabu mereka. Sebuah pelanggaran akan berarti denda, dan didenda pasti pengalaman yang tidak menyenangkan. Oleh sebab itu lebih baik dihindari.

Perkawinan

Tradisi Orang Rimba tidak menyediakan suatu mekanisme mengenal calon pasangan secara intim sebelum menikah. Mereka dilarang untuk berpacaran. Satu-satunya kesempatan bagi mereka untuk bertemu muka dan bercakap-cakap bebas adalah saat ada pesta pernikahan digelar. Bujang dan gadis diam-diam mojok dibalik pepohonan menyaksikan pesta pernikahan yang diadakan. Biasanya orangtua memaklumi hal itu.

Orang Rimba memiliki aturan mengenai incest. Mereka melarang pernikahan antara sesama saudara sedarah, baik saudara kandung maupun saudara tiri. Demikian juga dilarang menikah dengan orangtuanya, dengan kakek neneknya dan dengan puyangnya. Hal itu berarti mereka dilarang menikah dengan anak, cucu, dan cicit. Mereka dianjurkan untuk menikah dengan bujang atau gadis yang berasal dari kerabat agak jauh. Tujuannya agar tali kekerabatan terus terjalin.
Bujang dan gadis bisa menikah setidaknya melalui dua cara. Pertama dengan maskawin. Sang bujang mengumpulkan kain atau harta lainnya berdasarkan hasil usahanya sendiri yang akan dipergunakan untuk maskawin. Mas kawin diserahkan pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Cara ini sangat mirip dengan umumnya tata cara perkawinan masyarakat umum yang menggunakan maskawin. Kedua dengan prinsip pencurahan. Artinya calon menantu harus mengabdi dulu kepada calon mertua selama rentang waktu tertentu. Bila calon mertua sreg dengan calon menantu maka pernikahan bisa dilangsungkan. Jika tidak sreg, maka pernikahan bisa dibatalkan. Pengabdian kepada calon mertua diantaranya membantu segala pekerjaan calon mertua, menyerahkan sebagian hasil kerja, dan membujat ladang yang hasilnya sebagian besar untuk calon mertua. Menurut sebuah sumber, calon menantu yang mengabdi membuat rumah sendiri didekat calon mertua dan memasak makanan sendiri. Pada saat pernikahan calon menantu tetap harus membayar maskawin dalam jumlah yang cukup besar.

Pesta pekawinan dikenal sebagai upacara sale. Pemimpin upacara adalah malim. Roh nenek moyang diundang untuk datang dan memberkati mempelai. Setelah menikah, pasangan baru tinggal di dekat orangtua istri. Mereka membangun rumah (bubungan) sendiri. Prinsip ini sesuai pepatah mereka, yakni ‘laki ngikut bini’ Artinya suami mengikuti keluarga istri.

Poligami adalah hal biasa di kalangan Orang Rimba. Ada Orang Rimba yang istrinya sampai empat orang. Masing-masing istri dibuatkan rumah sendiri yang jaraknya berdekatan. Mereka semua harus dipenuhi nafkahnya oleh suami. Oleh karena itu mereka yang beristri lebih dari satu dianggap hebat karena kemampuannya mencari nafkah tentunya lebih dari rata-rata. Pada waktu makan, masing-masing isri memasak sendiri di rumahnya masing-masing. Sang suami akan makan disetiap rumah istri, dimulai dari yang tua kemudian berturut-turut sampai yang paling muda.

Ada sebuah cerita menarik mengenai perkawinan Orang Rimba. Salah seorang Orang Rimba yang masih muda, baru berusia sekitar 20-an tahun menikah untuk kedua kalinya. Istri keduanya masih dalam keadaan gadis ketika dinikahi. Dalam prosesinya, sang laki-laki dihadapkan pada keluarga calon istri muda. Laki-laki yang akan menikah itu dipukul beramai-ramai oleh pihak keluarga istri. Sebaliknya pihak laki-laki juga dibantu keluarganya. Akibatnya terjadilah semacam perkelahian massal. Pihak keluarga calon istri sejumlah 10 orang sedangkan pihak keluarga laki-laki 12 orang. Menurut mereka, perkelahian itu adalah bagian dari proses adat. Semua yang akan menikah mengalaminya. Akibatnya cukup mengerikan, laki-laki yang akan menikah sampai kehilangan beberapa giginya.

Jarang terjadi adanya perceraian dikalangan Orang Rimba. Namun meski demikian mereka memiliki mekanisme untuk bercerai. Apabila seorang laki-laki dalam 7 hari 7 malam berturut-turut pergi tanpa minta izin istri dan tidak diketahui kemana perginya, maka berarti sang istri dianggap secara otomatis telah menceraikan suami. Apabila istri pergi lewat dari janji maka sang suami dianggap telah menceraikan istri. Mematahkan rotan adalah simbol bahwa sebuah pasangan dinyatakan bercerai.

Seks

Hubungan seks diluar nikah dianggap tabu yang sangat berat. Pelakunya bisa diancam dibunuh. Seorang anak muda rimba menceritakan bahwa dirinya tidak mau melakukan hubungan seksual dengan siapapun sebelum menikah sebab jika ketahuan akan dibunuh. Tampaknya aturan yang tidak membolehkan seorang bujang dan gadis akrab sebelum menikah dilaksanakan sangat ketat. Buktinya tidak ada seorang bujang pun yang berani mendekati gadis. ‘Takut didenda’ ungkap mereka. Ketatnya aturan ini menghindari perselisihan antar bujang. Sebab jumlah perempuan yang lebih sedikit merupakan potensi besar terjadinya konflik antar bujang dalam ajang memperebutkannya.

Suami istri tidak tidur sekamar. Mereka bahkan tidak memiliki kamar sesungguhnya karena ruang dalam rumah mereka tidak berdinding. Suami memiliki tempat tidurnya sendiri dan istripun demikian. Biasanya istri tidur dengan anak yang masih kecil. Orang Rimba yang telah menikah bercerita bahwa untuk bejuluk (melakukan hubungan seksual), mereka akan diam-diam menyelinap keluar dari dalam rumah dan melakukannya di luar, mungkin dibalik semak. Tampaknya mereka memang sangat romantis, bejuluk dibawah sinar rembulan beratap langit adalah hal yang biasa mereka lakukan.

Tidak berbeda dengan masyarakat kita yang memiliki berbagai ramuan obat kuat, Orang Rimba juga memiliki ramuan serupa. Salah seorang dari mereka menceritakan bahwa ramuan kuat itu menyebabkan mereka lebih tahan lama. Namun mereka malu kalau harus mengakui menggunakan obat kuat. Jenis tumbuhan yang digunakan untuk obat kuat adalah akar penyegar.

Pendidikan seksual agaknya tidak mengalami masalah sebagaimana yang dialami oleh kebanyakan masyarakat kita. Sejak sangat kecil anak-anak sudah dibiasakan untuk mengenal organ seksualnya sendiri. Adalah hal biasa seorang anak mengatakan nama-nama organ dan kegiatan seksual sementara disekitarnya ada orangtua dan kakek neneknya. Misalnya mereka biasa menyebut bejuluk (hubungan seksual), ciceh (penis), conggoh (ereksi), bilak (vagina), genoh (air mani) dan lainnya. Kata-kata itu bahkan menjadi kata-kata pisuhan (kata yang diucapkan sebagai pernyataan bahwa sesuatu itu lucu, luar biasa, tidak biasa, menjengkelkan, mengherankan, dan semacamnya) dalam masyarakat Orang Rimba. Anak-anak pun lumrah misuh dengan kata-kata itu. Ngisel (masturbasi) dan nyebak (onani) adalah sesuatu yang dimaklumi. Apabila seorang bujang ketahuan sedang nyebak oleh orangtua, paling-paling hanya akan digoda. Tidak ada hukuman untuk itu. Baik ngisel maupun nyebak diperbolehkan. Bahkan ketika seorang anak muda rimba bertanya apakah saya sering nyebak, dan saya jawab tidak, ia tidak percaya. Ia yakin betul saya berbohong. Artinya nyebak adalah hal yang sangat lumrah bagi mereka. Ia bahkan tidak percaya kalau ada orang yang berumur diatas 20 tahun yang belum bejuluk.

Bergaul dengan Orang Rimba merupakan pengalaman yang mengasyikkan. Mereka secara vulgar membicarakan persoalan seksual. Suatu kali saya pernah berjalan bersama seorang anak yang berumur sekitar 7 tahunan, ketika melihat bokong seekor sapi dengan vulgar dia berkata, ‘kakok, mirip bilak induk.” (vagina sapi dianggap mirip vagina ibunya). Lain waktu saya diajak bercerita tentang seluk beluk bejuluk oleh orang yang sudah menikah. Diceritakan olehnya warna bilak, apa yang ada didalamnya, dan bagaimana rasanya bejuluk. Pada kesempatan lain, anak rimba menunjukkan cicehnya yang ereksi pada saya.

Pendidikan seks yang baik membuat mereka memiliki pengetahuan memadai mengenai seks. Secara mental mereka juga sangat siap mengahadapi persoalan seksual ketika menikah. Diiringi dengan pengaturan yang ketat mengenai tata pergaulan tidak pernah terjadi hubungan seksual pranikah apalagi kehamilan diluar nikah. Mereka bahkan takut untuk sekedar ngobrol dengan lawan jenis tanpa ada orangtua karena bisa didenda. Mungkin model pendidikan seks dan pengaturan seks mereka bisa dijadikan salah satu acuan bagi pendidikan seks masyarakat.

Relasi Gender

Relasi antara laki-laki dan perempuan tercermin dalam pepatah ‘bini sekato laki’ Artinya seorang istri harus patuh terhadap suami. Perintah suami asalkan tidak mencelakakan harus dipatuhi oleh istri. Apabila tidak dipatuhi maka sang suami bisa mengadu kepada tengganai. Menurut cerita, tengganai bisa mendenda sang istri yang tidak patuh. Denda dibayar oleh orangtua atau saudara laki-lakinya. Namun sebaliknya untuk hal tertentu seperti misalnya berburu, berladang, mencari jernang dan cara mencari nafkah lainnya yang diperintahkan istri kepada suami, maka sang suami harus menurut. Apabila tidak maka suami bisa diadukan kepada tengganai dan bisa kena denda. Artinya hubungan suami istri relatif tidak terlalu timpang.

Dalam lingkup yang lebih luas, kedudukan antara laki-laki dan perempuan relatif timpang. Tidak ada perempuan yang diijinkan untuk menduduki salah satu jabatan pengulu. Demikian juga tidak ada yang menjadi tengganai maupun malim. Bahkan dalam berinteraksi dengan orang luar, terdapat pengaturan yang ketat. Berbicara dengan orang asing tanpa ada suami adalah sesuatu yang terlarang. Berfoto maupun merekam suara kadangkala dilarang juga meski sebenarnya tidak ada aturan tegas mengenai hal itu. Pelarangan berbicara dengan perempuan Orang Rimba, menfoto ataupun merekam suara mereka sifatnya relatif. Orang-orang yang sudah dianggap dekat diijinkan untuk melakukan hal-hal itu.

Pelarangan hal-hal tertentu bagi perempuan mencerminkan relasi gender yang terjadi. Perempuan nyaris tidak memiliki suara. Kekuasaannya dalam mendenda laki-laki hanya terbatas bila suami enggan mencari nafkah. Sementara itu hampir seluruh dimensi kehidupan yang lain dikuasai laki-laki, baik oleh suami, orangtua, maupun saudara laki-lakinya. Pada umumnya alasan pelarangan yang diakui adalah karena tabu. Namun tampaknya pelarangan lebih untuk melindungi kekuasaan laki-laki terhadap perempuan terbukti dari adanya ijin yang diberikan bagi orang-orang yang dianggap dekat. Hal ini wajar mengingat jumlah perempuan rimba lebih sedikit dibandingkan laki-laki.

Orang Rimba memiliki pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Pekerjaan laki-laki biasanya terkait dengan pencarian nafkah, misalnya mencari rotan, damar, jernang, mengambil umbi dan semacamnya. Perempuan biasanya mengerjakan pekerjaan yang bersifat rumah tangga, misalnya memasak, mengasuh anak, menganyam kerajinan, dan lainnya. Namun demikian, tidak ada tabu bagi laki-laki untuk melakukan pekerjaan perempuan dan sebaliknya.

Pengasuhan Anak

Jika kita mendasarkan pola pengasuhan anak berdasarkan tipologi demokratis, otoritarian, dan bebas, maka pengasuhan anak Orang Rimba cenderung ke tipe bebas. Sedikit sekali aturan-aturan yang diterapkan kepada anak-anak secara ketat. Seringkali saya melihat orangtua yang menyuruh seorang anak melakukan sesuatu. Namun ketika sang anak menolak, tidak ada paksaan yang dilakukan. Anak-anak nyaris bebas melakukan apapun yang mereka inginkan. Aturan-aturan yang ada paling-paling aturan adat yang berupa tabu-tabu. Namun toh bila anak-anak melanggar tabu-tabu biasanya dimaklumi mereka masih anak-anak.
Anak-anak yang masih kecil atau balita selalu mengikuti kemanapun ibu (induk dalam bahasa rimba) pergi. Demikian juga tidurnya didalam rumah bersama ibu, tidak bersama ayah. Anak-anak disusui oleh ibunya sampai berumur kira-kira 2 tahun. Apabila melakukan perjalanan, anak yang masih disusui hampir selalu digendong meskipun sudah bisa berjalan. Mereka biasanya tetap telanjang. Bahkan ada anak yang sudah berumur sekitar 3 tahun yang masih tetap telanjang. Leher mereka biasanya dikalungi jimat. Tujuannya agar sang anak terhindar dari gangguan hantu.

Orang Rimba sangat malu kalau anaknya menangis, apalagi sampai menangis menghiba. Oleh karena itu biasanya berbagai macam permintaan anak selalu dituruti. Mereka khawatir bila tidak dituruti maka sang anak akan menangis dan itu membuat malu mereka. Pernah seorang ibu rela berjalan kurang lebih 2 km untukn membelikan jajan bagi anaknya yang menangis. Anak-anak rimba adalah anak-anak yang dimanjakan oleh orangtuanya. Akibatnya perilaku malas-malasan kerap dijumpai.

Anak laki-laki yang sudah agak besar mengidentifikasikan diri sebagai laki-laki rimba yang sesungguhnya melalui sebuah pembelajaran yang panjang. Mereka mengikuti sang ayah kemanapun sang ayah pergi. Jadi seorang anak laki-laki belajar menjadi laki-laki rimba dengan cara mencontoh langsung dari sang ayah. Mereka belajar melakukan aktivitas laki-laki seperti berburu, memancing, mencari rotan dan lainnya dengan cara belajar pada sang ayah. Pada umur 8 tahunan, mereka sudah bisa melakukan semua itu sendirian. Sedangkan anak-anak perempuan yang sudah agak besar akan mengikuti kemanapun ibu pergi. Sang anak gadis akan belajar menjadi perempuan rimba dengan mencontoh langsung semua perilaku dan tindak tanduk ibunya. Mereka belajar menganyam dan memasak. Anak umur 6 tahunan sudah pandai melakukan semua kegiatan perempuan.

Sejak kecil anak-anak sudah belajar untuk mencari nafkah dan bertanggung jawab terhadap kehidupannya sendiri. Anak-anak umur 8 tahunan sudah mencari rotan dan menjualnya sendiri. Hasil penjualannya diambil sendiri. Ia juga boleh berhutang kepada toke atas nama dirinya sendiri. Implikasinya ia sendiri yang harus membayar hutangnya, tidak boleh meminta bantuan pada orangtua. Namun demikian kadang orangtua turun membantu.

Hubungan antara kakak adik sangat ditekankan. Seorang kakak berkewajiban melindungi adiknya meskipun dengan nyawa. Kakak, terutama kakak laki-laki adalah pengganti orangtua. Posisinya pun disetarakan dengan posisi orangtua. Apabila kakak memberikan perintah kepada adik, maka sang adik harus menurut. Hanya jika perintah itu berlebihan maka boleh tidak diturut. Namun demikian, sepanjang yang saya saksikan, jarang sekali seorang kakak menyuruh adiknya bila tanpa alasan kuat.


Kehidupan Ekonomi Orang Rimba

“Cultural man has been on earth for some 2.000.000 years; for over 99 per cent of this period he has lived as a hunter gatherer... Of the estimated 80 Bilion men who have ever lived out a lifespan on earth over 90 percent have lived as hunter gathers” (Lee and DeVore, 1968)

Manusia berbudaya telah hidup di bumi selama 2 juta tahun. Lebih dari 99 % selama rentang waktu itu, manusia hidup sebagai pemburu dan peramu.... Diperkirakan dari 80 milyar manusia yang pernah hidup di muka bumi, 90 % diantaranya hidup sebagai pemburu dan peramu

Orang Rimba saat ini masih layak untuk disebut bangsa pemburu dan peramu. Mereka mengandalkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Binatang hutan diburu untuk dimakan sebagai lauk serta dijual. Berbagai hasil hutan yang berupa makanan di kumpulkan untuk dimakan. Hasil hutan yang bernilai ekonomis serta diperlukan orang luar diambil untuk diperdagangkan.

Apa yang dilakukan Orang Rimba pada masa lalu dan pada masa sekarang untuk penghidupan sudah berbeda. Pada waktu lalu tidak ada tradisi menanam. Oleh karena itu seluruh penghidupannya tergantung pada kegiatan berburu dan meramu. Kebutuhan yang berupa barang-barang dari luar dipenuhi dengan menukar hasil buruan dan hasil meramu mereka. Saat ini kegiatan berladang sudah mulai dilakukan. Orang Rimba mulai mau menanam berbagai jenis tanaman yang menghasilkan. Menurut cerita, kegiatan berladang atau betalang pada Orang Rimba baru dimulai pada tahun 80-an.

Dari perspektif masyarakat luar, Orang Rimba adalah masyarakat unik dan sering pula dianggap primitif. Hal itu dikarenakan saat ini sebagian besar manusia tidak lagi hidup dengan mengandalkan gaya hidup berburu dan meramu hasil hutan. Namun sebenarnya, meskipun unik pada zaman sekarang ini, penghidupan Orang Rimba tidaklah banyak berbeda dengan manusia lain di muka bumi. Mereka hanya masih hidup seperti rentang waktu 99 % kehidupan manusia berbudaya. Penghidupan mereka sama dengan 90 % manusia yang pernah hidup di muka bumi. Jadi sama saja dengan manusia umumnya.

Menjual hasil hutan

Sejak ratusan tahun yang lalu, Orang Rimba telah melakukan perdagangan dengan orang luar. Sekitar tahun 1500-an terdapat tulisan-tulisan yang dibuat pedagang eropa mengenai Jambi. Diberitakan bahwa pada saat itu Orang Kubu (Orang Rimba) telah melakukan perdagangan. Mereka bertukar hasil hutan. Barang yang diniagakan yaitu gading gajah dan cula badak, paruh burung enggang (rangkok), madu lebah, lilin, getah jelutung, damar, bahan warna jernang yang didapat dari sejenis rotan, beberapa obat, kulit ular, kemenyan, kayu besi, kerajinan tangan dan lainnya. Berbagai barang niaga dan kerajinan tangan juga diserahkan kepada pihak kerajaan di Jambi sebagai upeti agar keberadaan Orang Rimba tidak diusik. Upeti yang diserahkan kepada raja disebut jajah. Adapun imbal baliknya, Orang Rimba menerima serah yang terdiri dari kain dan pisau seperti parang, tembilang atau beliung dari kerajaan. Serah merupakan bukti pengakuan kerajaan terhadap Orang Rimba.

Proses pertukaran barang pada masa lalu sangat unik. Konon antara Orang Rimba dan pedagang tidak pernah bertemu secara langsung. Orang Rimba membawa barang yang ingin ditukarkan ke pinggir sungai dimana para pedagang biasa melintas memakai perahu. Disana barang ditinggalkan begitu saja. Apabila ada pedagang lewat, maka sang pedagang akan meletakkan barang-barang miliknya di dekat barang milik Orang Rimba. Setelah itu sang pedagang melanjutkan perjalanan. Apabila sang pedagang sudah berlalu, Orang Rimba akan datang untuk memilih barang-barang milik pedagang yang diperkirakan sesuai dengan barang miliknya. Barang milik pedagang yang dipilih akan diletakkan di dekat barang milik Orang Rimba. Setelah itu Orang Rimba pergi. Sang pedagang kemudian datang lagi untuk melihat apa yang diinginkan Orang Rimba. Apabila ia setuju maka diangkutlah barang milik Orang Rimba. Akan tetapi bila ia tidak setuju maka dirubah atau ditukarlah apa yang telah dipilih oleh Orang Rimba. Selanjutnya ia kembali berlalu dan Orang Rimba akan datang untuk melihat apa yang ditawarkan pedagang. Apabila Orang Rimba setuju dengan yang ditawarkan pedagang, maka barang dari pedagang diambilnya. Hal itu berarti pertukaran telah sah dilakukan. Apabila Orang Rimba tidak setuju maka Orang Rimba menukar dan merubah apa yang ditawarkan pada pedagang. Hal semacam akan diulang lagi sampai terjadi kesepakatan dan kedua belah pihak merasa puas dimana pedagang akan membawa barang milik Orang Rimba dan Orang Rimba mengambil barang sang pedagang.

Proses pertukaran seperti apa yang dilakukan Orang Rimba memang memerlukan waktu yang lama dan tidak efisien. Namun menurut para etnographer Eropa pada abad 19, itulah yang terjadi. Hal demikian juga umum terjadi pada bangsa-bangsa lain di pedalaman yang melakukan perdagangan barang dengan masyarakat yang lebih maju.

Pada perkembangan berikutnya muncullah peran jenang, yakni orang luar yang dipercaya dan ditunjuk secara resmi oleh Orang Rimba sebagai perantara perdagangan. Orang Rimba akan membawa barangnya kepada jenang, lalu jenang menaksir nilainya. Orang Rimba kemudian menukarnya dengan barang yang nilainya setara. Ketika uang mulai masuk dalam kehidupan Orang Rimba, volume pertukaran barang secara langsung sangat menurun. Orang Rimba biasanya meminta bayaran berupa uang. Pada saat ini peran jenang tidak banyak dipakai lagi. Orang Rimba umumnya secara langsung menjual hasil hutan kepada toke atau penduduk desa. Mereka membawa sendiri barang yang hendak dijual ke tempat dimana toke menunggu dengan mobil pengangkut.

Barang-barang hasil hutan yang dijual pada masa sekarang diantaranya getah damar, getah jelutung, jernang, rotan, madu, dan buah-buahan hutan seperti durian dan petai (potoy dalam bahasa Orang Rimba). Mereka juga menjual hasil ladang serta binatang buruan seperti kijang, babi, kancil dan berbagai jenis burung. Berbagai binatang air seperti kura-kura dan labi-labi yang kadang-kadang diperoleh juga turut dijual. Belakangan ketika kebun karet milik Orang Rimba sudah mulai bisa disadap, mereka juga menjual getah karet.

Pada masa lalu perdagangan dengan orang luar adalah untuk memperoleh alat-alat serta keperluan Orang Rimba yang tidak bisa dibuat di dalam hutan. Alat-alat yang dibeli dari luar misalnya alat-alat dari besi, seperti parang, tembilang, tombak, pisau, kuali dan periuk. Selain itu mereka juga memperoleh kain yang digunakan sebagai pakaian, mas kawin, pembayar denda dan sebagai simpanan. Saat ini keadaan itu mulai berubah. Barang-barang diatas masih tetap didapatkan dari luar. Akan tetapi saat ini semakin banyak barang konsumsi yang dibeli dari luar meskipun tidak urgen. Barang yang dibeli misalnya, minyak wangi, senapan, dan berbagai jenis jajanan pabrik.

Berburu

Orang Rimba adalah pemburu handal. Keahlian berburu adalah keahlian dasar yang harus dimiliki oleh Orang Rimba. Sejak kecil mereka sudah belajar untuk berburu. Postur dan bentuk tubuh mereka sangat menunjang peran sebagai pemburu. Badan yang tegap, langsing, dan kekar memudahkan pergerakan Orang Rimba ketika berburu.

Pada masa lalu perburuan Orang Rimba hanya mengandalkan tombak dan parang. Saat ini tombak mulai tidak populer lagi. Kebanyakan Orang Rimba berburu menggunakan senapan yang dikenal sebagai kecepek. Hampir semua Orang Rimba dewasa memiliki kecepek, baik yang sudah menikah atau belum. Harga kecepek sekitar 300 ribu rupiah di desa-desa. Namun kebanyakan Orang Rimba bisa membuat kecepek sendiri. Menurut mereka membuat kecepek sendiri lebih murah daripada membeli sudah jadi. Sebagai bahan kecepek, mereka hanya perlu membeli besi untuk laras dan untuk pemantik. Popor bisa mereka buat sendiri.

Kecepek adalah senapan mesiu. Model kecepek sangat mirip dengan senapan-senapan kuno yang digunakan zaman belanda. Mesiu yang dicampur dengan bubuk arang halus dimasukkan ke dalam laras kecepek. Lalu dari moncong kecepek dimasukkan sumbat dari sabut kelapa sampai sepadat mungkin. Seterusnya, dimasukkanlah peluru bulat yang dibuat dari timah. Untuk menembak, pemantik api diperlukan sebagai pembakar mesiu. Caranya diatas lubang kecil yang terletak persis diatas bubuk mesiu di dalam laras, dipasang pematik api yang akan memercikkan api ketika pelatuk ditarik. Percikan api akan membakar mesiu di dalam laras. Tenaga dorong mesiu yang terbakar di dalam laras akan mendorong sumbat dan peluru keluar. Suara yang ditimbulkan sangat keras menggelegar. Akan tetapi tenaga yang dihasilkan sebanding. Jarak 100 meter peluru masih melaju dengan lurus.

Pernah suatu kali, Sergi, Orang Rimba Makekal, menembak tupai. Jarak tembaknya sekitar 20 meter. Hasilnya sangat mengejutkan. Sang tupai yang malang terlempar sampai jarak kira-kira 10-an meter menghantam kayu besar. Sebagian dagingnya telah lenyap. Mungkin kalau tidak ada batang kayu besar yang menahan, sang tupai terlempar lebih jauh. Peluru yang ditembakkan melesak jauh ke dalam batang kayu.

Orang Rimba biasa memburu babi (bebi atau jukut dalam bahasa Orang Rimba). Selain untuk dimakan sendiri ada juga daging yang dijual. Mereka biasanya menjual daging hasil buruan kepada orang desa nonmuslim yang ada di desa Bukit Suban. Pada waktu lalu daging babi yang diperoleh tidak pernah dijual. Biasanya hasil yang diperoleh hanya dibagi-bagikan kepada Orang Rimba lainnya. Perubahan itu mungkin disebabkan oleh semakin derasnya budaya penggunaan uang dan karena semakin banyaknya barang-barang yang harus diperoleh di luar.

Rusa dan kijang merupakan binatang buruan favorit Orang Rimba. Mereka sangat senang bila bisa menjumpai rusa atau kijang dalam berburu. Menurut mereka rasanya lebih enak dibandingkan babi. Sudah begitu, banyak warga desa yang mau membeli dagingnya. Di pasar desa Bukit Suban pernah dijumpai seorang penduduk menjualkan daging rusa hasil buruan Orang Rimba. Meskipun banyak yang berkomentar daging itu haram menurut agama Islam karena tidak dibunuh dengan menyebut asma Allah, namun dalam waktu tidak terlalu lama daging rusa itu habis dibeli penduduk.

Satu kelompok berburu biasanya tidak lebih dari empat orang. Dalam perburuan babi atau rusa, Orang Rimba mengandalkan anjing untuk mencari jejak dan mengejarnya. Orang Rimba biasanya akan berlari mengikuti gerak anjing sebab anjinglah yang tahu arah lari binatang. Apabila babi atau rusa sudah terpepet pohon barulah Orang Rimba menombak atau menembaknya. Sedangkan bila berburu tanpa anjing, maka mereka mengendap-ngendap menuju binatang yang menjadi target. Bila sudah dekat ditembaklah binatang tersebut.

Orang Rimba tidak hanya berburu binatang dengan cara mengejar-ngejar binatang buruan. Mereka juga berburu dengan cara menyuluh. Bahkan menyuluh lebih sering dilakukan. Menyuluh adalah mengintai binatang di malam hari. Apabila ada binatang seperti rusa atau kancil, disorotlah matanya memakai senter yang dipasang di kepala seperti pekerja tambang. Saat mata binatang terkena cahaya, binatang itu tidak akan lari dan akan tetap diam karena silau. Lalu ditembaklah binatang itu menggunakan kecepek. Kemungkinan tembakan meleset sangat kecil karena Orang Rimba merupakan penembak-penembak hebat. Sayangnya, binatang yang berhasil ditemui sangatlah jarang. Belum tentu seminggu sekali mereka bertemu binatang besar.

Selain memburu binatang besar seperti babi, rusa dan kijang, Orang Rimba juga memburu berbagai jenis binatang kecil. Selain kancil, mereka menangkap tupai, landak, ular, musang dan berbagai jenis burung. Pada umumnya binatang-binatang kecil itu hanya habis untuk konsumsi sendiri. Ada juga beberapa jenis burung yang ditangkap khusus untuk dijual misalnya burung enggang atau rangkok. Anak-anak rimba biasanya berburu binatang-binatang kecil seperti kelelawar.

Menurut cerita salah seorang Orang Rimba, dulu kancil sangat banyak di lokasi sekitar tempat tinggal mereka. Akan tetapi saat ini sudah sangat jarang ditemui kancil ketika pergi menyuluh. “Dulu benyok, kini kancil sodah habiy” katanya (dulu banyak, kini kancil sudah habis). Menurutnya kalau daerah itu ditinggal paling kurang 2 tahun, maka kancil akan banyak lagi. Sebab kancil akan mempunyai kesempatan untuk berkembang biak lagi. Dia juga mengatakan bahwa rusa dan kijang juga sudah sangat berkurang jumlahnya. Hanya babi yang masih sangat banyak terdapat di dalam hutan.

Memasang Jerat.

Orang Rimba merupakan pemasang jerat yang lihai. Jerat yang digunakan untuk menjerat binatang besar berbeda dengan jerat untuk binatang kecil. Jerat untuk binatang besar sering disebut jerat jukut (jukut adalah nama lain untuk babi). Jeratnya dibuat dari tali plastik berukuran agak besar, kira-kira seukuran jari tangan orang dewasa. Tali yang telah disimpul jerat ujungnya diikat pada batang kayu yang dilenturkan sekuat-kuatnya. Lalu ujung yang bersimpul di letakkan diatas perangkap di tanah. Apabila kaki binatang menginjak perangkap, maka kakinya akan terikat tali jerat karena jerat terangkat (njepat dalam istilah jawa)

Pada umumnya binatang yang dijerat adalah babi, meski kadang-kadang yang diperoleh justru lebih besar, yakni rusa. Beberapa binatang yang berukuran lebih kecil biasanya juga dijerat. Saya pernah beberapa kali melihat jerat yang dipasang. Namun dari ke hari jerat itu tetap diam ditempat. Tidak ada satupun binatang yang tergantung di tali jerat. Selama berhubungan dengan Orang Rimba belum pernah sekalipun menyaksikan jerat yang mendapatkan mangsa masih tergantung. Pernah juga melihat babi hasil dari jerat. Sayangnya bukan ketika masih tergantung di jerat.

Saat melihat babi hasil jerat, saya diminta salah seorang anak rimba yang ada disana untuk memotret babi tersebut. Namun oleh ibunya tidak diperbolehkan karena menurutnya hal itu tabu. Babi yang diperoleh itu sangat besar. Menurut mereka berat dagingnya saja mungkin ada 30 kilogram. Daging babi itu dibagi-bagi kepada Orang Rimba lainnya. Saya sempat ikut memotong-motong daging babi tersebut. Sebagian daging babi akan dimakan setelah dibakar. Akan tetapi sebagian besar daging yang lain akan diasapi dahulu untuk membuatnya bertahan lebih lama. Cara pengasapan (diselai menurut bahasa Orang Rimba) sangat mudah. Daging diikat diatas perapian yang dihidupkan terus menerus. Asap dari perapian yang akan mengawetkan daging itu.

Sebenarnya babi yang diperoleh itu adalah hasil dari jerat yang diperuntukkan untuk rusa atau kijang. Oleh karena itu jerat tidak dipasang di jalur babi. Untuk babi, meski caranya sama, jerat dipasang di jalur babi. Tidak seperti binatang lainnya, babi memiliki jalan-jalan khusus di dalam hutan dan belukar untuk lewat. Di daerah yang banyak jurangnya, mengenali jalan babi sangat berguna untuk menghindari terperosok ke dalam jurang. Mengikuti jalan babi merupakan jaminan tidak akan mengarah langsung ke dalam jurang. Berbeda dengan jalan air yang biasanya langsung menuju jurang.

Jerat untuk binatang kecil seperti tikus, tupai dan lainnya disebut pelaboh. Perangkapnya dibuat ditanah berupa umpan yang dikaitkan dengan kayu besar diatasnya. Apabila binatang memakan umpan itu maka perangkap akan menarik kayu besar diatasnya jatuh ke bawah. Jadi binatang yang memakan umpan akan kejatuhan kayu besar. Pemasang jerat tinggal mengangkat kayunya dan mengambil hasil jeratannya yang berrkemungkinan besar dalam kondisi mati.

Mencari Umbi dan Buah.

Pada masa lalu ketika makanan pokok hanya diperoleh dari umbi-umbian yang tumbuh di hutan, mencari umbi hutan merupakan kegiatan yang sangat penting. Saat ini situasinya agak berbeda. Mencari umbi-umbian hutan tetap dilakukan tetapi bukan lagi menjadi kegiatan utama. Umbi-umbian hutan yang dulu menjadi makanan pokok telah digantikan dengan umbi-umbian yang ditanam seperti berbagai jenis ubi dan keladi. Penanaman padi juga membuat umbi-umbian hutan kurang berperan penting lagi.

Salah satu jenis umbi liar yang menurut banyak orang hanya hidup di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas adalah bonor. Menurut banyak orang rasanya enak sekali. Ketika saya mencoba bonor yang dibakar, saya setuju dengan pendapat mereka tentang kelezatan bonor. Bonor boleh jadi merupakan jenis umbi yang paling enak. Jenis bonor ada bermacam-macam. Bonor licin ukurannya tidak besar. Ukurannya hanya sebesar tube pasta gigi ukuran sedang, namun biasanya jauh lebih panjang. Bonor yang berukuran besar dikenal dengan nama bonor bobulu. Akan tetapi menurut cerita rasanya tidak seenak bonor licin. Menurut cerita pula, beratnya bisa mencapai 30 kg. Untuk mendapatkannya, Orang Rimba harus menggali tanah yang bisa sampai sedalam satu meter. Batang tumbuhan bonor seperti tumbuhan uwi di jawa. Besarnya hanya sebesar kabel atau sumpit. Warnanya hijau dan tumbuh merambat. Hanya mereka yang jeli yang bisa menemukan tumbuhan bonor.

Di dalam rimba terdapat tumbuhan yang memiliki batang tumbuhan mirip bonor akan tetapi umbinya beracun. Orang Rimba sangat jeli membedakannya. Sedangkan saya berkali-kali salah membedakan, mana yang bonor dan mana yang bukan. Dari rupa batangnya mereka langsung bisa mengetahui apakah umbinya beracun atau tidak. Namun meskipun beracun, Orang Rimba bukan tidak bisa memanfaatkannya. Mereka memiliki teknik untuk menghilangkan racun dalam umbi. Mula-mula umbi diiris tipis-tipis lalu dimasukkan ke dalam air yang mengalir selama beberapa hari. Kemudian irisan umbi itu dijemur dibawah sinar matahari langsung selama beberapa hari. Dengan teknik tersebut, racun didalam umbi bisa hilang. Menurut salah seorang Orang Rimba, umbi beracun tetap bermanfaat pada saat paceklik. Boleh dibilang umbi beracun adalah cadangan makanan mereka.

Buah-buahan hutan yang umum terdapat di kawasan rimba tempat hidup Orang Rimba Makekal Hulu diantaranya adalah durian, cempedak, tampui, embacang, manggis, puar, petai, duku, dan air-air. Hampir semuanya merupakan tanaman musiman. Keadaan itu tidak banayak berbeda dengan hutan rimba sumatera lainnya. Durian, cempedak, manggis, petai dan duku adalah buah yang tersebar dan ada hampir di seluruh pulau sumatera. Sedangkan tampui agaknya khas buah dalam rimba jambi. Tampui adalah buah tahunan yang berasal dari pohon tampui yang sangat keras. Menurut cerita Orang Rimba, rasa tampui paling lezat diantara jenis buah yang lain.

Pohon buah-buahan di dalam hutan memiliki penampakan fisik yang berbeda dengan pohon buah-buahan yang hidup di luar hutan. Di dalam hutan, pohon buah cenderung tinggi dengan ranting dan daun yang tidak banyak, Oleh karena itu buah-buahan di hutan umumnya tidak sebanyak buah yang dihasilkan jenis pohon buah yang sama dengan umur yang sama diluar hutan. Keadaan itu disebabkan karena langkanya sinar matahari yang didapatkan pepohonan di dalam hutan karena tertutup vegetasi pohon yang lebih tinggi.

Rambutan merupakan salah satu buah yang sangat digemari oleh Orang Rimba. Sayangnya sangat jarang pohon rambutan tumbuh di hutan. Pada saat musim rambutan di desa-desa di luar kawasan taman, banyak Orang Rimba keluar hutan hanya untuk mencari rambutan. Mereka meminta rambutan pada penduduk desa. Namun mereka tidak meminta rambutan pada sembarang orang. Di desa Bukit Suban, Orang Rimba biasa meminta rambutan pada Pak Bronto, Pak Wahab, Pak Sungkono.dan beberapa lainnya. Mereka enggan meminta pada orang lain. Hanya dalam keadaan khusus saja mereka mau meminta pada orang lain, misalnya rambutan milik orang-orang yang biasa dimintai sudah habis. Agaknya faktor kedekatanlah yang membuat Orang Rimba hanya berani meminta pada orang-orang tertentu saja. Di rumah Pak Sungkono, Pak Bronto dan Pak Wahab, Orang Rimba bahkan berani menginap.

Memancing Ikan

Memancing ikan adalah aktivitas keseharian Orang Rimba. Pancing dan senar mereka peroleh dari warung di desa Bukit Suban. Herannya, meskipun di dalam hutan banyak aliran sungai, sebagian dari mereka lebih suka memancing ikan di luar hutan. Menurut mereka sungai yang berada di kebun-kebun sawit lebih banyak ikannya. Ada banyak jenis ikan yang biasa dipancing oleh Orang Rimba. Ikan yang berukuran besar adalah limbat (lele menurut orang desa) dan huloton (gabus menurut orang desa). Untuk memancing limbat, Orang Rimba melakukannya di malam hari. Menurut mereka itulah saat dimana limbat keluar dari lubangnya untuk mencari makan sehingga hanya saat itulah bisa dipacing. Pernah selama hampir 6 jam memancing di malam hari, mereka hanya mendapatkan dua ekor limbat.. Selain limbat dan huloton, ikan yang lain misalnya ikan tano (sejenis tawes) dan belut.

Memancing bersama anak-anak rimba merupakan pengalaman luar biasa. Rasanya jauh berbeda bila dibandingkan dengan memancing di kolam pemancingan. Kami menyusuri aliran sungai sampai jauh, menyibak rerumputan, ilalang dan belukar untuk mencari lubuk-lubuk sungai. Menurut mereka, hanya di lubuk-lubuk sungai banyak terdapat ikan. Namun sayang, ikan yang didapat kecil-kecil. Mungkin karena sungai tersebut sering diracun.

Dari dalam air biasa diperoleh binatang air lainnya yakni labi-labi dan kura-kura air. Labi-labi adalah sejenis bulus yang memiliki leher panjang dan bermoncong seperti moncong babi. Labi-labi seberat 1 kg, bisa memiliki leher sepanjang satu jengkal. Labi-labi dipancing menggunakan daging segar. Hebatnya, menurut Orang Rimba, setelah beberapa hari labi-labi bisa melepas sendiri pancing yang mengenainya. Gigi labi-labi sangat tajam. Ada kejadian dimana labi-labi menggigit jari tangan sampai putus. Menurut Orang Rimba, saat ini sangat sulit mencari labi-labi. Jarang sekali mereka mendapatkan labi-labi. Mungkin karena jarang harga labi-labi terhitung mahal. Satu ekor labi-labi seberat 1 kg dihargai sekitar 30 ribu rupiah. Untuk labi-labi dengan berat 3 kg ke atas, per kilogram dihargai sampai 50 ribu rupiah. Itu artinya sekitar 150 ribu rupiah per ekor. Di luaran kawasan harganya tentu jauh lebih mahal lagi.

Menuba ikan

Menurut cerita dari salah seorang Orang Rimba dan beberapa warga desa Bukit Suban, meracun atau menuba ikan di dalam rimba merupakan pantangan. Apabila melakukannya maka denda yang dijatuhkan oleh Orang Rimba sangat berat. Konon denda bagi yang ketahuan bisa mencapai jutaan rupiah. Mendengar cerita itu, saya langsung berpikir bahwa itulah salah satu kearifan lokal dalam upaya menjaga kelestarian hutan dan kesinambungan kehidupan. Adanya pantangan tersebut membuat kecil nyali orang untuk meracun ikan di sungai dalam hutan. Artinya, kelestarian ekosistem sungai akan terus terjaga dan Orang Rimba bisa terus mengambil ikan di sungai tanpa adanya ancaman kehabisan ikan.

Namun beberapa waktu kemudian saya kaget atas pernyataan salah seorang Rimba yang lain yang mengatakan bahwa menuba ikan di sungai dalam hutan tidak menjadi soal. Akan tetapi untuk itu ada syaratnya, yakni harus mengajak Orang Rimba untuk ikut mencari ikan. Bila tidak ada Orang Rimba yang diajak maka tentu saja denda akan dijatuhkan.

Pernyataan Orang Rimba itu mengandung banyak arti. Menuba berarti bukanlah pantangan yang sesungguhnya. Sebenarnya yang menjadi pantangan adalah menuba tanpa izin Orang Rimba yang notabene sebagai pemilik kawasan. Hal itu sama dengan mencuri ikan di kolam milik orang. Halmana tentu saja sah apabila sang pemilik kolam mendenda pencuri. Selain itu, menjadi jelas bahwasanya pantangan menuba ikan oleh orang luar tidak dimaksudkan sebagai perlindungan kelestarian alam tetapi sebagai perlindungan terhadap kepentingan Orang Rimba. Intinya, keberadaan Orang Rimba sebagai pemilik kawasan harus diakui. Adapun sebagai pemilik, maka Orang Rimba merasa absah untuk melakukan apapun di dalam kawasan itu termasuk menuba ikan.

Izin menuba untuk orang luar diberikan melalui persetujuan dan keterlibatan Orang Rimba ikut dalam proses menuba. Apabila Orang Rimba yang dimintai izin hanya membolehkan secara verbal namun tidak ikut serempak dalam penubaan ikan, maka itu berarti izin sebenarnya tidak pernah diberikan. Apabila demikian, ancaman denda siap menanti bagi penuba.

Saya pernah ikut terlibat langsung menuba ikan bersama Orang Rimba. Suatu sore saya dipanggil oleh Orang Rimba untuk datang ke sebuah sungai kecil yang mengalir keluar hutan. Ternyata saya diajak ikut mencari ikan yang dituba menggunakan potas, yakni sejenis racun yang bisa digunakan sebagai tuba ikan. Potas sebanyak 2 ons yang digunakan sebagai tuba diperoleh di salah satu warung di desa Bukit Suban.

Mula-mula potas yang berwarna putih dan berbentuk bulatan seperti kapur barus dipecahkan dan dilarutkan dalam air. Kemudian air sungai di obok-obok sampai keruh sehingga potas menyebar. Air yang keruh ditambah dengan tuba potas akan membuat ikan mabuk dan keluar dari lubangnya. Kalau sudah begitu, kita tinggal mengambil ikan-ikan yang mabuk tersebut.

Kami bersama-sama mengobok-obok air dan mengambil ikan. Saya ikut menyisir sungai ke hilir bercampur bersama bapak-bapak, anak-anak dan perempuan rimba dewasa. Ternyata mereka sangat antusias dan tidak terganggu dengan kehadiran saya. Saat itu saya ikut memakai cawot dan bertelanjang dada. Salah seorang ibu malah berkata sambil tertawa kalau saya mirip Orang Rimba betulan.

Tidak banyak yang didapat dari menuba ikan. Saat itu sangat sedikit ikan yang didapat. Saya sendiri hanya bisa menangkap ikan tidak lebih dari 10 ekor sebesar dua jari. Orang Rimba yang lain juga memperoleh hasil yang kurang lebih sama. Kata mereka karena memang ikannya sudah tidak banyak lagi.

Pada waktu lalu mereka menuba ikan dengan sejenis tumbuhan tuba. Bagian tumbuhan yang digunakan ada yang berupa akar dan ada yang menggunakan batangnya. Cara penggunaannya sama saja. Akar atau batang pohon tuba diremukkan dan dihaluskan langsung diatas air sungai. Dengan cara itu zat yang terhadap dalam akar dan batang akan masuk ke air dan berperan menjadi tuba. Selanjutnya air diobok-obok hingga keruh. Orang Rimba tinggal menunggu ikan menjadi mabuk dan mengambilnya.

Sewaktu saya tanya mengapa tidak menggunakan akar dan batang tuba, mereka menjawab bahwa memakai potas jauh lebih cepat dan lebih hebat efeknya. Menggunakan akar, kulit, biji dan batang tuba memerlukan kerja lebih keras. Konon satu batang belum tentu bisa membuat ikan mabuk. Sudah begitu mereka juga harus menghancurkan akar, kulit, biiji dan batang tuba terlebih dahulu sehingga makan waktu lama. Berbeda dengan potas, mereka cukup mengeluarkan uang beberapa ribu rupiah maka ikan dipastikan akan mabuk. Tingkat kegagalan pemakaian potas nyaris nol. Kalau sampai tidak dapat ikan, dipastikan bukan potas tidak bekerja tetapi sangat mungkin karena tidak ada ikan di dalam sungai yang dituba. Pada masa lalu tuba yang digunakan oleh Orang Rimba diantaranya tuba berisil, tuba caroko, tuba akar, dan tuba kayu.

Mencari Rotan

Rotan adalah hasil hutan yang sejak dahulu sudah dijual oleh Orang Rimba. Di dalam kawasan hutan Taman Nasiona Bukit Duabelas ada banyak jenis rotan yang bernilai jual, misalnya rotan manau, rotan cacing, dan rotan tebu. Mereka menjual dalam bentuk batangan maupun kiloan. Rotan yang dijual dalam bentuk batangan dipotong minimal sepanjang 4 meter. Ukuran itu merupakan ukuran standar bagi rotan.

Rotan terbaik dan berharga paling mahal adalah jenis rotan manau. Besarnya kira-kira sama dengan lengan anak kecil. Batas buku-bukunya halus. Untuk panjang 4 meter, perbatang dihargai 5 ribu rupiah. Rotan manau yang berukuran lebih kecil dihargai 2 ribu rupiah perbatang. Ada juga rotan yang mirip rotan manau, namanya rotan tebu. Besarnya sama dengan rotan manau tetapi buku-bukunya terlihat jelas dan dalam. Harga rotan tebu perbatang hanya 2 ribu rupiah. Rotan kecil-kecil yang biasa digunakan untuk mengikat sehingga sering disebut rotan tali dihitung secara kiloan. Satu kilogram dihargai 500 rupiah.

Orang Rimba mencari rotan sampai jauh di dalam hutan. Secara sendiri-sendiri maupun berkelompok Orang Rimba bekerja mencari rotan. Orang dewasa maupun anak-anak sama saja. Kaum perempuan kadang juga ikut mencari rotan bersama. Mereka turut mengangkuti rotan yang mereka ambil. Kadang-kadang diperlukan waktu berhari-hari untuk mengangkutnya sampai di tempat toke rotan menunggu.

Hasil rotan yang diperoleh anak-anak maupun orang dewasa tidak jauh berbeda. Bahkan kadangkala lebih banyak anak-anak. Dalam salah satu periode pencarian rotan, salah seorang anak rimba yang mencari rotan yakni Mulau, berumur sekitar 9 tahun, memperoleh rotan lebih banyak dibanding orang dewasa di dalam kelompoknya. Hasil penjualan rotan itu menjadi milik pribadi. Orang tua mereka tidak berhak atas uang itu. Salah seorang orang tua pernah berkata bahwa uang itu adalah hasil kerja anak-anak, jadi mereka berhak menggunakan uang itu untuk apapun.

Sebelum pergi mencari rotan Orang Rimba biasanya berhutang dahulu pada toke. Bagi toke, menghutangkan uang kepada Orang Rimba merupakan suatu keuntungan karena mereka pasti akan menjual rotan kepadanya. Bagi Orang Rimba berhutang berarti menetapkan target rotan yang harus dicari karena untuk melunasi hutang tersebut. Biasanya hanya sebagian uang hasil dari berhutang yang digunakan untuk bekal mencari rotan. Selebihnya lebih banyak untuk keperluan yang lain.

Anak-anak Orang Rimba tidak ditabukan untuk berhutang. Mereka juga berhutang kepada toke rotan sebelum pergi mencari rotan. Mereka belajar menentukan target hasil yang mereka inginkan. Mereka sendiri yang harus membayar hutang yang telah berani mereka ambil. Mereka belajar bertanggung jawab terhadap tindakannya sendiri. Sejak masih sangat kecil, anak-anak rimba sudah diajari untuk mencari uang sendiri. Salah satunya dengan mencari rotan. Mereka belajar untuk survival di dalam hutan dengan memanfaatkan berbagai hasil hutan yang ada.

Ada hal yang menarik perihal hutang-menghutang yang dilakukan oleh Orang Rimba. Apabila hasil rotan yang didapatkan tidak dapat menutupi hutang kepada toke, maka hutang itu akan dibayar pada pencarian rotan berikutnya. Oleh karena itu mereka sulit lepas dari hutang karena hutang lama akan ditambah dengan hutang baru. Selain itu mereka pada akhirnya hanya terikat pada satu toke saja. Menurut cerita salah seorang Orang Rimba, mereka baru dapat melunasi hutang bila memperoleh getah jernang cukup banyak.

Mencari getah damar dan jernang

Getah damar adalah salah satu hasil hutan yang telah dijual Orang Rimba sejak jaman dahulu. Getah damar berasal dari pohon damar. Mereka sendiri memanfaatkan getah damar sebagai penerangan, baik untuk penerangan di malam hari maupun untuk penerangan di rumah. Caranya getah damar diikat di dalam gulungan kulit pohon meranti lalu disulut api. Maka jadilah obor ala Orang Rimba. Mereka menyebutnya sebagai suluh. Saat ini peran damar untuk penerangan tidak begitu penting lagi karena telah digantikan oleh senter. Padahal senter hanya bisa diperoleh di luar hutan. Demikian juga baterenya harus membeli dan hanya sekali pakai. Untuk penerangan di dalam rumah mereka juga mulai mengganti dengan lampu minyak.

Orang Rimba hanya bisa mengumpulkan getah damar sedikit demi sedikit karena tergantung tetesan getah dari pohon damar. Setelah beberapa waktu dan telah terkumpul cukup banyak barulah getah damar dibawa ke toke untuk dijual. Saat ini harga getah damar sekitar 700 rupiah sekilo. Para toke penampung getah damar akan menerima berapapun getah damar yang diperoleh Orang Rimba. Apabila telah terkumpul cukup banyak, barulah sang pengumpul menjual ke kota.

Jernang adalah sejenis tumbuhan mirip rotan yang tumbuh liar di dalam hutan. Nama latin dari tumbuhan jernang adalah Daemonorops hyigrophilus. Jernang digolongkan ke dalam jenis rotan. Batangnya berwarna hijau dan buahnya sama dengan buah rotan umumnya, yakni berbentuk seperti buah kelengkeng. Getah jernang diperoleh dari buah jernang. Getah jernang bernilai tinggi. Harga getah jernang di pasaran bisa mencapai 800 ribu rupiah per kilogram. Boleh dibilang, jernang adalah tumbuhan yang memiliki nilai ekonomis paling tinggi di kawasan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas. Kegunaan getah jernang adalah untuk bahan pewarna. Selain dijual, getah jernang digunakan untuk melukis kerajinan tangan yang mereka buat.

Pohon rotan jernang dianggap sebagai milik bersama. Siapapun asalkan Orang Rimba berhak untuk mengambil buah jernang. Apabila ada yang mengganggu atau memotong batang jernang maka akan di denda sangat banyak. Konon denda yang dijatuhkan mencapai 120 kain. Apabila satu kain seharga 20 ribu, maka denda yang harus dibayar senilai kira-kira 2,4 juta. Hal itu wajar mengingat harga jernang yang sangat mahal. Pak Sungkono, salah seorang warga desa Bukit Suban yang ikut dalam pemasangan patok Taman Nasional Bukit Duabelas mengatakan bahwa ia pernah menyaksikan langsung bagaimana marahnya Orang Rimba mengetahui pohon jernang ditebas oleh para pemasang patok. Semula Orang Rimba menuntut denda ratusan ribu rupiah. Namun pada akhirnya denda tidak jadi dijatuhkan setelah diberi penjelasan bahwa pemasangan patok adalah demi Orang Rimba juga.

Bejernang adalah istilah Orang Rimba untuk mencari getah jernang. Kegiatan bejernang hanya dilakukan sekali dalam setahun karena buah jernang adalah buah musiman. Musim jernang berkisar dari bulan April sampai Juni. Buah jernang diambil dengan kait. Kadangkala Orang Rimba harus naik ke pohon lain yang tinggi untuk mengambil buah jernang, sebab biasanya buah jernang terletak tinggi diatas tanah. Getah jernang diperoleh dengan cara menumbuk buah jernang yang telah diperam selama tiga hari. Menurut Bekinya, salah seorang anak muda Orang Rimba, apabila sedang musim jernang, satu orang bisa mendapat minimal setengah kilogram getah jernang. Itu artinya uang senilai paling kurang 400 ribu rupiah.

Pada saat musim jernang, Orang Rimba akan bersama-sama menuju ke daerah dimana terdapat banyak pohon jernang. Biasanya, mereka bejernang bersama seluruh anggota keluarga. Sebagai bekal mereka kadang mengambil hutang pada toke yang nantinya akan membeli getah jernang yang mereka dapatkan. Namun tidak ada keharusan menjual getah jernang pada toke yang dihutangi. Terpenting hutang dilunasi.

Menurut cerita Laman, salah seorang Orang Rimba, dalam sekali musim jernang paling tidak terkumpul setengah ton getah jernang. Apabila dikalkulasi dengan uang, maka itu artinya uang senilai lebih dari 400 juta rupiah. Hampir semua getah tersebut dijual melalui jenang yang ada di desa Tanah Garo. Apabila ada yang menjual pada orang lain selain jenang maka hal itu bisa dianggap sebagai penjualan ilegal.

Mengambil Madu

Madu adalah hasil hutan yang sangat dibanggakan oleh Orang Rimba. Mereka sangat senang mengkonsumsi madu. Menurut mereka rasanya sangat enak dan menambah tenaga. Tidak hanya madunya yang mereka konsumsi, sarangnya yang berisi calon lebah, yakni rapa, juga mereka makan. Saya pernah dimasakkan rapa oleh mereka, rasanya memang luar biasa. Selain untuk konsumsi, madu yang diperoleh kadang juga dijual kepada penduduk desa sekitar. Menurut penduduk desa, madunya sangat enak. Bahkan ada yang menyebutkan kalau madu dari hutan Orang Rimba, adalah terbaik kedua se Indonesia. Itu artinya, kelezatan madu Orang Rimba sangat diakui.

Madu didalam rimba berasal dari sarang madu yang tergantung di dahan pohon sialang. Dalam satu pohon sialang bisa tergantung beberapa sarang madu sekaligus. Pohon sialang adalah istilah untuk jenis-jenis pohon yang biasa dihinggapi lebah madu untuk bersarang. Setidaknya ada lima jenis pohon yang dikategorikan pohon sialang, yakni pohon kedondong, kruing, pulai, pari dan kayu kawon. Jenis-jenis pohon tersebut dilarang ditebang. Bila ditebang dikenai denda yang cukup besar. Menurut Orang Rimba, madu yang paling enak adalah madu dari lebah yang bersarang di pohon kedondong.

Biasanya sarang lebah akan bergantungan di pohon sialang apabila bunga-bunga di hutan telah mulai bermekaran. Lebah akan mengambil sari makanan dari bunga-bunga itu. Oleh karena itu selain sebagai penghasil madu, lebah juga berfungsi sebagai pembantu penyerbukan bunga-bunga di hutan. Tanpa keberadaan lebah madu, penyerbukan bunga-bunga di hutan tidak akan berjalan baik. Hal itu bisa menyebabkan musim buah di hutan terganggu.

Orang Rimba mengambil madu dengan cara memanjat pohon sialang. Di batang pohon ditancapkan batang kayu kecil yang digunakan sebagai pijakan untuk naik ke atas. Batang kayu itu disebut lantak. Semakin tinggi batang sialang maka semakin banyak lantak yang dibuat. Sampai diatas, bambing, yakni sarang lebah ditusuk menggunakan rotan yang panjang sampai ke bawah. Dibawah, ujung rotan dimasukkan ke dalam wadah. Maka madu pun akan mengalir melalui rotan ke dalam wadah.

Tidak sembarang orang diperbolehkan mengambil madu. Hanya mereka yang telah benar-benar ahli yang diperbolehkan. Hal itu karena proses pengambilan madu cukup berbahaya. Apabila jatuh atau tersengat lebah, akibatnya bisa berupa kematian. Selain itu ada juga ritual tata cara pengambilan lebah yang harus dipatuhi. Ada mantera-mantera atau tombo yang harus dihafalkan dan dilafalkan selama proses pengambilan madu. Ketika hendak mulai memanjat, ritual pertama adalah menghilangkan hantu biyuto, yakni hantu kayu. Apabila tidak dicabut dan dibuang, hantu biyuto bisa mengganggu pemanjat. Kemudian si pemanjat meminta izin untuk melakukan pengambilan madu. Selama memanjat harus melafalkan mantera-mantera agar madu yang ada didalam sarang bisa diambil semua. Demikian juga ketika selesai mantera harus dinyanyikan.

Sedemikian berharganya madu bagi Orang Rimba, sehingga mereka menyimbolkan pengambilan madu dengan melamar gadis. Madu diibaratkan susu gadis yang dilamar dan ingin diambil. Mantera mengambil madu dilagukan layaknya melamar gadis. Apabila ternyata sarang madu yang akan diambil madunya sudah berubah menjadi lilin, maka sang pemanjat akan berlagu “.....mimpia apo aku semalam, aku memeras susu jando.. adik oiiii...”

Ada banyak mantera yang harus dihafalkan oleh pemanjat. Oleh karena itu tidak banyak anak muda yang sanggup jadi pemanjat madu. Alasannya karena belum hafal manteranya. Berikut adalah contoh mantera mengambil madu. Mantera ini diperoleh dari anak-anak muda rimba yang sedang belajar menghafalkan mantera tersebut.

Mandi dimano idak ingin, mandi diulak lesung batu
Hati siapo indak ingin, susu nulak dalam baju...
adik ooiiii.............
Pancung ngikuk pancung kepalo, anak sawo mati berendan
Turunlah sikuk turun segalo, ughang mendalo rindu dendan
adik...ooiiii.........

betalang

Betalang adalah istilah Melayu Jambi untuk berladang. Betalang biasa diartikan membuka hutan lalu menanaminya dengan berbagai tanaman produktif yang menghasilkan. Tanaman yang ditanam adalah tanaman pangan dan perkebunan, yakni karet dan sawit. Saat ini Orang Rimba melakukan hal yang sama. Orang Rimba juga telah menanam berbagai jenis tanaman untuk makanan seperti misalnya ubi kayu, keladi, ubi jalar dan padi. Selain itu mereka juga menanami hutan yang dibuka dengan tanaman karet.

Orang Rimba betalang di dalam hutan di kawasan taman nasional. Mereka betalang di kawasan hutan yang mereka sebut benuaron dan humo. Tidak seperti ladang atau sawah milik penduduk desa yang membentuk komplek perladangan atau persawahan. Ladang Orang Rimba tersebar dalam kawasan taman nasional. Antara ladang yang satu dengan ladang yang lain terpisah jauh oleh hutan belantara. Apabila sering melihat film tentang ladang-ladang ganja di Amerika Selatan yang berada di tengah rimba, kondisi ladang Orang Rimba sangat mirip. Bila dilihat dari udara mungkin akan jelas terlihat adanya lubang-lubang diantara pepohonan tinggi. Lubang-lubang tersebut adalah ladang Orang Rimba. Luasnya tidak lebih dari satu hektar, pada umumnya sekitar setengah hektar saja.

Betalang memerlukan proses yang panjang. Mula-mula pohon-pohon ditumbang memakai kampak atau parang. Bahkan saat ini ada juga Orang Rimba yang meminta tolong warga desa untuk menumbang pohon memakai gergaji mesin. Menurut mereka cara itu lebih cepat. Dengan bayaran tertentu, dalam waktu singkat pohon-pohon untuk talang (ladang) tumbang. Berbeda bila menggunakan kampak dan parang yang memerlukan waktu lama dalam penumbangan. Namun begitu, sekalipun memakai gergaji mesin, tetap diperlukan kampak atau parang. Gergaji mesin hanya untuk menumbangkan kayu-kayu yang berukuran cukup besar. Untuk merobohkan kayu-kayu yang berukuran kecil-kecil sebesar lengan tetap digunakan kampak dan parang.

Sesudah pohon ditumbang, selanjutnya adalah menunggu semuanya kering dan siap dibakar. Lama menunggu sangat tergantung musim. Bila musim hujan bisa berminggu-minggu menunggu. Namun bila musim kemarau akan jauh lebih cepat. Setelah semuanya benar-benar kering barulah pembakaran dilakukan. Mula-mula kayu-kayu kering dibakar begitu saja. Api dijaga agar tidak merembet ke dalam hutan yang masih utuh. Setelah api padam, kayu dan ranting yang tersisa yang berserakan dikumpulkan jadi satu lalu dibakar lagi sampai habis. Hal irtu dilakukan berulang sampai tanah benar-benar bersih. Sesudah tanah bersih barulah penanaman bisa dimulai.

Dalam pengerjaan ladang, apa yang dilakukan laki-laki dan perempuan tidak terlalu banyak berbeda. Mereka secara bersama-sama ikut menumbang pohon. Hanya saja perempuan biasanya menumbang pohon yang berukuran kecil sedangkan laki-laki menumbang pohon yang berukuran besar. Selanjutnya dalam proses membakar maupun mencari bibit tanaman, semua pihak berperan sama besar.

Saya pernah menyaksikan Orang Rimba, baik laki-laki, perempuan maupun anak laki-laki dan perempuan mengambil bibit tanaman ubi kayu, ubi jalar dan keladi dari suatu ladang Orang Rimba lainnya. Mereka mengangkut bibit itu dengan cara dimasukkan ambung. Jarak yang mereka tempuh untuk mengambil bibit memerlukan waktu berjalan sekitar satu jam perjalanan. Mereka benar-benar tangguh. Bibit ubi kayu yang dibawa seorang anak perempuan rimba pernah coba saya angkat. Hasilnya baru beberapa meter sudah tidak sanggup meneruskan karena sangat berat.

Tanaman yang ditanam oleh Orang Rimba adalah tanaman-tanaman yang menghasilkan umbi atau buah. Beberapa jenis umbi yang ditanam adalah ubi kayu, ubi jalar (kepar dalam bahasa Orang Rimba), keladi (sejenis talas) dan ubi maniy (sejenis uwi di jawa). Hasil tanaman itu merupakan sumber karbohidrat penting. Orang Rimba juga menanam padi. Jenis padi yang ditanam adalah padi darat yang berumur panen 6 bulan. Orang desa menyebutnya jenis padi gogo. Rasanya jauh lebih enak daripada padi 3 bulanan.yang dibudidayakan di sawah-sawah. Bulir padinya besar-besar dan cenderung bulat. Mereka juga menanam pisang, tebu dan pepaya, serta kadang-kadang waluh. Cabai juga ditanam. Biasanya jenis cabai yang ditanam adalah jenis cabai rawit.

Orang Rimba menanam tanaman secara serempak. Pada saat menanam padi, juga ditanam ubi kayu, ubi jalar, pisang dan lainnya. Dalam istilah pertanian modern mereka melakukan sistem tanam tumpang sari. Di dalam ladang Orang Rimba bisa ditemui bermacam-macam jenis tanaman yang tumbuh bersama. Mereka tidak pernah menanami ladang hanya dengan satu jenis tanaman tertentu saja. Mungkin bertanam ala tumpangsari membuat tanaman lebih aman dari serangan hama.

Apabila panen padi, Orang Rimba yang lain akan datang membantu. Sebagai oleh-oleh mereka akan mendapat bagian hasil panen. Tangkai padi dipotong menggunakan ani-ani. Banyak juga yang memotong tangkai padi dengan tangan karena tangkai padi darat mudah patah. Tangkai padi yang sudah dipotong dimasukkan ambung yang dibawa di punggung. Setelah itu padi dimasukkan ke dalam lumbung. Batang padi yang ada dibiarkan saja tidak dibabat.

Ikut acara panen padi Orang Rimba sangat mengasyikkan. Meski tidak ada upacara adat panen padi yang sempat dilihat, namun makan nasi baru sudah cukup memuaskan. Ketika sebagian orang mengambil padi, ada perempuan rimba yang menumbuk padi dalam lengsung. Beras tumbukan itu lalu dibungkus daun-daun layaknya ketupat lantas dibakar. Orang Rimba menyebut cara menanak nasi semacam itu sebagai nasi kebat. Rasanya enak sekali.

Menurut cerita Sergi, yakni sang pemilik ladang padi yang dipanen, luas lahan padi miliknya hampir satu hektar. Akan tetapi tampaknya luas sebenarnya tidak sampai seperempat hektar. Mungkin Sergi melebih-lebihkan besarnya ukuran untuk menunjukkan bahwa dia memiliki banyak padi. Hal itu wajar sebab memiliki banyak padi adalah kebanggaan. Ia juga mengatakan bahwa padinya akan cukup untuk makan satu tahun. Pada saat itu Sergi memiliki satu istri dan satu orang anak. Tatkala Sergi menikah lagi dengan seorang gadis 1 bulan kemudian, seluruh padi hasil panen miliknya diambil oleh saudara sang gadis. Mungkin padi itu dianggap sebagai mahar.
Ubi kayu, ubi jalar dan keladi yang ditanam Orang Rimba bisa berukuran raksasa. Saya pernah dibawakan ubi jalar yang dibakar utuh satu buah. Ternyata panjangnya hampir 2 jengkal. Diameternya sekitar 15 cm. Tentu saja saya tidak kuat menghabiskan semuanya. Akhirnya, ubi bakar tersebut dimakan beramai-ramai. Hal tersebut sebenarnya tidak mengherankan. Sangat mungkin ukuran raksasa itu diakibatkan karena suburnya tanah ladang Orang Rimba sebab baru pertama kali dibuka.

Kelezatan keladi, ubi jalar dan ubi kayu yang ditanam Orang Rimba seolah jadi legenda di desa Bukit Suban. Banyak orang yang memesan ketiga jenis umbi tanaman itu pada Orang Rimba karena rasanya yang enak luar biasa, meskipun hanya direbus. Prabung, salah seorang Orang Rimba yang betalang tidak jauh di dalam taman nasional sering menerima pesanan dari mereka. Saya sendiri beberapa kali dibakarkan umbi-umbi itu oleh ank-anak Prabung. Rasanya memang luar biasa. Makan satu buah ubi jalar bakar (ubi maniy dalam bahasa Orang Rimba) sudah cukup membuat kenyang, sangat kenyang malahan.

Tanaman karet (para dalam bahasa Orang Rimba) yang merupakan tanaman perkebunan juga ditanam pada saat ladang baru dibuka. Orang Rimba mencari bibit yang berupa anakan pohon karet di kebun-kebun karet milik penduduk desa. Biasanya mereka mencari anakan karet sebelum ladang dibuka. Anakan karet tersebut akan direndam dulu di dalam aliran air selama beberapa waktu sampai tumbuh tunas-tunas baru. Anakan karet yang sudah bertunas itulah yang ditanam di ladang sebab kemungkinannya untuk tumbuh cukup besar.

Orang Rimba membiarkan saja tanaman karet yang ditanam tanpa perawatan. Ketika tanaman lain sudah habis dan tinggal tanaman karet yang tersisa, maka tanaman karet tersebut yang menjadi penanda bahwa ladang tersebut adalah milik sang penanamnya. Jadi sekali membuka ladang maka mereka akan seterusnya diakui menjadi pemilik ladang tersebut. Biasanya sebelum karet bisa disadap Orang Rimba akan pindah membuka ladang di tempat lain. Setelah beberapa tahun pohon karet akan bisa disadap dan pemiliknya akan menyadap karet.

Menjual hasil ladang

Kecuali padi, tumbuhan yang ditanam Orang Rimba tidak memiliki waktu panen serempak. Mereka bisa mengambil hasil tanaman kapan saja asalkan sudah cukup umur untuk dipanen. Umbi keladi misalnya, apabila tidak diambil maka dari umbi itu akan keluar tunas-tunas baru yang tumbuh menjadi tanaman. Jadi sekali menanam untuk selamanya akan ada stok keladi. Anakan-anakan keladi yang ada akan disebarkan lagi sehingga semakin banyaklah stok keladi.

Orang Rimba hanya mengambil umbi-umbian sejumlah yang diperlukan saja. Satu pokok ubi kayu biasanya memiliki umbi yang sudah cukup untuk makan sehari. Oleh karenanya mereka hanya mengambil satu pokok ubi kayu sehari. Demikian juga umbi-umbian lain hanya diambil sebanyak yang diperlukan saja. Mereka jarang menggoreng umbi-umbi itu. Biasanya hanya direbus atau dibakar. Mereka sangat pandai membakar umbi-umbian. Jarang terjadi kulit umbi menjadi gosong saat pembakaran. Sudah begitu mereka tahu persis kapan umbi yang dibakar telah matang seluruhnya. Memakan umbi bakar di dalam hutan bersama Orang Rimba adalah pengalaman berharga yang tidak akan terlupakan.

Hasil ladang Orang Rimba tidak melulu untuk dikonsumsi sendiri. Mereka juga menjual hasil ladang kepada warga desa. Biasanya yang mereka jual adalah daun pucuk ubi dan cabai. Satu ikat besar pucuk ubi oleh warga desa dihargai 500 rupiah. Untuk cabai, harganya tergantung harga cabai di pasaran desa sekitar. Namun biasanya cabai Orang Rimba dihargai sedikit lebih rendah. Umbi-umbian juga mereka jual. Namun karena berat, mereka hanya membawa umbi keluar hutan bila ada yang memesan. Pak Puji, Kepala desa Bukit Suban adalah salah satu pemesan ubi Orang Rimba. Satu ambung yang dibawa dihargai beberapa ribu rupiah. Menurut beliau seperti juga kebanyakan orang desa lainnya, rasa ubi Orang Rimba jauh lebih enak daripada ubi yang ditanam di desa. Khusus untuk umbi-umbian mereka tidak mau menjual dalam jumlah besar dengan tujuan untuk dijual lagi oleh pembeli. Mereka mau menjual apabila hanya untuk dimakan. Mungkin mereka berpikir bahwa kalau dijual dalam jumlah besar, mereka akan kehilangan bahan makanan.
Biasanya yang menjual pucuk ubi maupun cabai adalah anak-anak. Tidak banyak yang mereka bawa, paling-paling beberapa ikat pucuk ubi dan satu atau dua kilogram cabai. Bahan yang dijual itu dimasukkan ambung. Mereka menawarkannya dari pintu ke pintu. “Endok beli daun ubi?”, kata mereka menawarkan.

Pada umumnya mereka sudah memiliki langganan sendiri. Mereka enggan menawarkan pada orang yang bukan langganan. Namun begitu mereka tidak menolak apabila ada orang lain yang mau membeli. Nuju, salah seorang anak perempuan rimba, bersama saudara-saudaranya paling sering terlihat menjual hasil ladang di desa Bukit Suban. Dia adalah anak dari Prabung, seorang warga Orang Rimba yang betalang tidak jauh di dalam hutan. Jaraknya paling-paling sekitar 2 km dari pemukiman penduduk. Dari pinggir hutan jaraknya tidak sampai 1 km masuk ke dalam rimba. Biasanya mereka akan mendapat bagian dari hasil penjualan. Bahkan seringkali atas inisiatif sendiri mereka menjual hasil ladang bila mereka menginginkan suatu barang. Sayangnya dari beberapa kali menjual hasil ladang, uang bagian mereka hanya dihabiskan untuk membeli jajanan. Uang bagian ibu mereka biasanya dibelikan bumbu masak, seperti masako dan sejenisnya.

Memotong Para

Orang Rimba merupakan indigenous people di dalam kawasan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas yang memanfaatkan hampir seluruh ruang di dalam kawasan. Di masa depan, menurut program Badan Konservasi Sumber Daya Alam, Orang Rimba diharapkan akan berubah menjadi masyarakat desa seperti umumnya yang bertani dan berladang di luar kawasan taman nasional sehingga peruntukan taman nasional benar-benar untuk konservasi. Proses ke arah itu akan sangat panjang serta memerlukan keterlibatan banyak pihak. Dinas BKSDA dan terutama LSM Warsi telah mendorong Orang Rimba untuk memiliki kebun-kebun karet di pinggiran taman. Kebun karet akan berperan sebagai pagar bagi intrusi orang desa ke dalam taman. Sebab aturan yang disepakati antara orang desa dan Orang Rimba adalah melarang dibukanya lahan oleh orang desa di seberang lahan yang telah dibuka oleh Orang Rimba. Adanya kebun karet Orang Rimba di pinggir taman otomatis menjadi batas alam peluasan ladang orang desa ke dalam hutan.

Meskipun menanam karet sudah dilakukan puluhan tahun lamanya, namun baru saat ini menanam pohon karet sepertinya menjadi keharusan. Sebagian dari mereka merasa bahwa hanya dengan bertanam pohon karet maka masa depan akan terjamin. Habisnya berbagai sumberdaya hutan yang biasanya mereka manfaatkan membuat mereka pada akhirnya tidak memiliki pilihan selain betalang dan menanam pohon karet. Dorongan bertanam karet datang dari pihak kehutanan dan hasil pendekatan yang berhasil dari LSM Warsi. Nijo, salah seorang warga rimba mengatakan ia harus menanami ladang yang dibuka dengan karet. Kalau tidak, ia akan (baca : merasa) dimarahi oleh pihak kehutanan karena membiarkan ladang terbuka tanpa tanaman keras.

Beberapa Orang Rimba Makekal Hulu telah memiliki kebun karet yang berumur cukup untuk disadap. Temenggung Segrip, Prabung, Bebayang, Nijo dan lainnya adalah beberapa Orang Rimba yang telah memilikinya. Di luar Orang Rimba Makekal Hulu, tanaman karet juga telah banyak dimiliki oleh Orang Rimba. Temenggung Tarib, pemimpin kelompok Orang Rimba Air Hitam, memiliki lahan karet yang sangat luas. Ia bahkan memiliki kebun sawit.

Hasil dari menyadap (motong dalam istilah bahasa Orang Rimba) getah karet cukup lumayan. Satu kilo getah karet dihargai sekitar 4-5 ribu rupiah. Apabila ada 500 batang karet dan tiap hari disadap, dalam sebulan bisa menghasilkan sekitar 1 sampai 2 pikul (1 pikul sama dengan 100 kg). Itu artinya uang sebanyak kira-kira 400-800 ribu rupiah. Prabung yang memiliki kebun karet sekitar 500 meter dari pinggir hutan berpenghasilan sekitar itu dari kebun karetnya. Untuk mengeluarkan getah karet yang dimiliki juga cukup mudah karena ia tinggal menghilirkan getah karetnya melalui sungai. Di pinggir sungai dekat jalan di desa Bukit Suban, toke karet menunggu dengan mobil untuk membeli getah tersebut.

Prabung mengakui bahwa dirinya baru belajar menyadap karet. Sebagaimana banyak Orang Rimba lainnya yang memiliki karet, mereka pada umumnya juga belum bisa menyadap karet. Namun sebenarnya pekerjaan menyadap adalah pekerjaan mudah. Apabila mereka enggan menyadap, sangat mungkin hal itu lebih dikarenakan perubahan pola kebiasaan kerja yang tidak biasa mereka lakukan.

Bebayang memiliki kebun karet yang cukup luas di dalam hutan. Menurutnya batang karet yang dimilikinya berjumlah lebih dari 2000 batang. Sayang jaraknya jauh. Perjalanan santai ke sana akan memakan waktu tidak kurang dari 3 jam. Ia tidak menyadap sendiri batang karet tersebut. Ada orang desa yang diminta untuk menyadap getah karet miliknya. Sistem pembagiannya adalah 1/3 untuk pemilik, yakni Bebayang, dan 2/3 untuk penyadap. Untuk mengeluarkan getah karet ke desa dimana toke karet mau membeli merupakan pekerjaan berat. Menurut si penyadap karet milik Bebayang, 25 keping getah karet yang dikeluarkan membutuhkan waktu tidak kurang dari 2 hari untuk sampai ke desa.

Si penyadap karet milik Bebayang membawa serta istri dan anaknya tinggal di dalam hutan sebagaimana Orang Rimba lainnya. Mereka membawa bekal yang merupakan utang dari toke karet. Jadi sebelum bekerja mereka berutang dulu sebagai modal kerja. Orang Rimba juga biasa berhutang dulu. Prabung, Bebayang, dan lainnya biasa berhutang. Ketika karetnya telah siap ditimbang tinggal diperhitungkan besarnya harga karet yang dimiliki dengan hutang pada sang toke. Para toke sendiri tidak pernah keberatan bila Orang Rimba berhutang karena mereka sangat percaya dengan kejujuran Orang Rimba. Mereka yakin Orang Rimba tidak akan menipu. Pada kenyataannya, Orang Rimba memang orang-orang yang sangat jujur. Namun sekali dibohongi mereka juga akan kehilangan kepercayaan untuk selamanya.

Menanam sawit.

Daerah-daerah di sekitar kawasan ruang hidup Orang Rimba, terutama daerah eks pemukiman transmigrasi merupakan daerah makmur berkat adanya perkebunan sawit. Antara pihak perusahaan perkebunan dan petani tertjadi kerjasama dalam penanaman sawit. Petani menyerahkan ladangnya untuk ditanami sawit oleh pihak perusahaan. Seluruh biaya bibit dan biaya perawatan diperoleh dari kredit kepada bank dengan agunan tanah itu dan sepenuhnya dikelola oleh pihak perusahaan. Ketika panen maka petani mendapatkan 70% hasil penjualan, sedangkan perusahaan mendapatkan 30% sisanya untuk mengangsur kredit. Hal itu berlangsung sampai kredit terhadap bank lunas. Sistem plasma yang dijalankan tersebut membuat penduduk desa menjadi penduduk yang makmur. Penghasilan yang diperoleh dari kebun sawit sudah cukup memadai untuk kehidupan yang layak.

Saat ini banyak Orang Rimba sedang diupayakan untuk memiliki kebun sawit juga. Dinas Sosial melalui program PKMT (Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Terasing) menyediakan perumahan bagi Orang Rimba dipinggir taman nasional, sekaligus bibit sawit. Meski kebanyakan rumah tidak ditinggali, beberapa orang rimba sudah mulai menanam bibit sawit tersebut di ladang mereka. Temenggung, Prabung, Srine, Laman dan lainnya sudah memiliki kebun sawit yang dalam beberapa tahun akan menghasilkan.

Sekitar tahun 2001 program serupa dari Dinas Sosial pernah dijalankan bagi Orang Rimba kelompok Air Panas. Namun karena pola pikir dan kebiasaan Orang Rimba tidak mendapatkan perhatian, akibatnya program itu gagal. Hasilnya kebun sawit 2 hektar yang dimiliki setiap kepala keluarga habis dijual oleh Orang Rimba. Demikian juga rumah-rumah yang disediakan bagi mereka kebanyakan sudah berganti pemilik. Orang Rimba kembali lagi tinggal di dalam tenda-tenda di dalam hutan.

Mencari Brondolan Sawit

Ada cerita memilukan yang menimpa Orang Rimba dalam mencari penghidupan, yakni tentang para pencari brondolan sawit. Mereka adalah Orang Rimba yang tidak memiliki ladang dan tidak lagi tinggal di dalam hutan. Mereka tinggal di kebun-kebun karet dan sawit milik penduduk yang notabene dulunya adalah ruang hidup mereka saat masih berupa hutan. Mereka sangat kesulitan mencari makan. Oleh karenanya mereka mencari uang untuk membeli kebutuhan pokok dengan mencari brondol sawit di kebun-kebun sawit milik penduduk desa. Brondol sawit adalah butir-butir sawit yang lepas dari tangkainya (tangkai buah sawit disebut janjangan) saat di panen. Oleh penduduk desa, brondol sawit itu biasanya tidak diambil karena memang berjumlah tidak banyak. Oleh Orang Rimba, brondol sawit itu dikumpulkan dan dijual kepada orang yang bersedia menampungnya. Mereka memunguti brondolan sawit di kebun sawit yang baru saja dipanen karena buah sawit hanya bertahan sekitar 3 hari sebelum busuk. Satu per satu brondolan sawit yang terasa berminyak bila dipegang, dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam karung. Dengan dipanggul atau digendong mereka membawa karung-karung berisi brondol ke tempat orang yang mau membeli.

Pak Alisman di desa Pematang Kabau adalah salah satu orang yang biasa membeli brondol sawit dari Orang Rimba. Beliau orang minang yang telah lama tinggal di daerah itu. Oleh Temenggung Tarib, pemimpin kelompok Orang Rimba Air Hitam yang pernah bertemu presiden Megawati di istana negara, ia diangkat anak. Biasanya, orang-orang yang hendak berkunjung ke kelompok Orang Rimba Air Hitam melalui beliau. Saya pernah berjumpa orang dari Inggris yang datang ke kelompok Temenggung Tarib. Ia makan dan menginap di rumah Pak Alisman. Beliau merupakan perintis pendidikan Orang Rimba Air Hitam.

Sayangnya, penduduk desa tidak semua setuju dengan apa yang dilakukan Pak Alisman. Bahkan ada yang mengancam agar tidak membeli brondolan sawit dari Orang Rimba. Pernah ancaman yang datang sangat keras yakni ancaman pembakaran. Menurut mereka, bila Orang Rimba dibiarkan mengambil brondolan maka bisa saja mencuri sawit yang masih dalam janjangan. Namun Pak Alisman menolak berhenti membeli brondolan karena bila ia berhenti maka tidak ada yang mau membeli. Itu artinya penghasilan Orang Rimba pencari brondol terhenti karena satu-satunya sumber pendapatan adalah mencari brondol sawit.

Pak Alisman juga pernah diancam mau dihukum oleh pihak perusahaan perkebunan sawit. Hal itu dikarenakan ia membeli brondolan sawit dari Orang Rimba yang mengambil brondol di kebun milik perusahaan. Menurut peraturan perusahaan, brondol tidak boleh diambil dan harus dibakar. Namun pak Alisman tetap kukuh, karena kalau tidak dibeli, Orang Rimba terancam tidak mendapat makanan. Lagi pula menurutnya mengambil brondol tidak merugikan siapa-siapa. Beliau mengibaratkan Orang Rimba sebagai ayam yang mengambil sisa-sisa makanan yang tumpah ketika hendak dimakan orang. Toh, sisa makanan yang tumpah itu tidak akan diambil lagi. Sehingga sesungguhnya tidak ada yang dirugikan.

Harga brondolan sawit dihargai lebih rendah daripada sawit yang masih utuh dalam tandan. Harganya berkisar 60% dari harga buah sawit utuh. Saat harga sawit di tangan petani berkisar 500 rupiah per kilogram, brondolan sawit dihargai 300 rupiah per kilogram. Hasilnya kadangkala lumayan. Dalam satu hari mencari, mereka bisa mendapatkan uang sampai 20 ribu rupiah. Namun lebih sering mereka hanya mendapat beberapa ribu rupiah saja.

Tidak hanya Orang Rimba dewasa yang mencari brondol sawit. Anak-anak juga mencari brondolan sawit. Biasanya anak-anak tidak mau menggabungkan hasil mereka dengan hasil milik orang tua. Mereka mencari brondol sawit untuk diri mereka sendiri. Sebagian besar uangnya hanya habis untuk membeli makanan jajan, seperti roti, kerupuk, permen dan sejenisnya.