Orang Rimba yang berubah

Oleh Achmanto Mendatu
-
(Artikel ini adalah bagian dari tulisan panjang tentang Orang Rimba atau lebih dikenal dengan sebutan Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Secara keseluruhan, artikel mengenai Orang Rimba bisa Anda temukan secara terpisah dalam rangkaian situs psikologi online)
-
Orang Rimba adalah masyarakat hutan sejati. Mereka memanfatkan seluruh ruang di dalam hutan. Kepercayaan, adat dan tradisi mereka berasal dari interaksinya dengan hutan. Sejak awal mula mereka menyadari bahwa perubahan lingkungan sedikit saja akan mengakibatkan perubahan kehidupan mereka menjadi lebih sulit. Seperti umumnya masyarakat kuno yang selalu membawa persoalan kehidupan keseharian ke dunia supranatural. Agaknya demikianlah yang dilakukan oleh Orang Rimba. Kerusakan hutan yang mengakibatkan hilangnya binatang buruan dan sumber daya hutan lainnya yang mempersulit kehidupan, diandaikan sebagai hukuman Tuhan. Akibatnya mereka mengembangkan sebuah kepercayaan yang statik dan tidak menghendaki adanya perubahan. Mereka mengkhawatirkan apabila merusak hutan, maka hukuman Tuhan akan jatuh berupa kehidupan yang sulit.

Kepercayaan bahwa merubah alam adalah melawan kehendak Tuhan bisa dilihat sebagai upaya pelestarian hutan. Berkat kepercayaan itu hutan Orang Rimba selalu terjaga. Namun kepercayaan itu hanya ampuh untuk menjaga hutan dari kerusakan yang mereka buat sendiri. Tidak banyak yang bisa mereka lakukan menghadapi orang luar yang merusak hutan mereka. Maka dikembangkan strategi menghindar dari perubahan agar kepercayaan mereka sejalan dengan apa yang terjadi dilingkungan. Mereka menghindar terus menerus dari desakan orang luar. Apabila orang luar membuka hutan untuk ladang maka mereka akan menjauh semakin masuk ke dalam hutan.

Pada masa lalu perilaku menjauhi orang luar yang merusak hutan masih bisa dilakukan Orang Rimba. Mereka tetap dapat mempertahankan kehidupan hutan karena ketersediaan hutan yang masih sangat luas. Pembukaan hutan hanya dilakukan oleh orang melayu untuk bertani, dan tidak terlalu berpengaruh bagi Orang Rimba. Selama ratusan tahun, kehidupan mereka relatif tetap tidak berubah. Antara Orang Rimba dan orang Melayu malah bisa mengembangkan kerjasama dalam memanfaatkan hutan. Interaksi dengan orang luar masih dapat terus dipertahankan secara minimal. Mereka berinteraksi hanya untuk melakukan perdagangan.

Akan tetapi perubahan cepat menghantam hutan jambi. Dalam beberapa dekade terakhir program besar-besaran pembukaan hutan untuk areal pemukiman transmigrasi, untuk hutan produksi, maupun untuk areal perkebunan telah menyusutkan luas hutan jambi secara drastis. Belum lagi para perambah hutan merangsek jauh ke dalam hutan menghabiskan kayu-kayu berharga didalamnya. Di Taman Nasional Bukit Duabelas, para perambah hutan telah mengambil kayu beberapa kilometer jauhnya ke dalam taman. Disekitar perladangan Orang Rimba sudah jarang ditemui kayu-kayu berukuran besar yang bernilai tinggi. “Diambil pebalok” ungkap mereka.

Saat ini Orang Rimba menghadapi perubahan lingkungan yang luar biasa cepat. Mereka menghadapi situasi perubahan yang tidak pernah dihadapi nenek moyang mereka. Sementara itu untuk menghindar sudah tidak mungkin lagi karena hutan telah sangat sempit. Akibatnya mereka harus berhadapan langsung dengan perubahan. Kini Orang Rimba juga harus berinteraksi lebih sering dengan masyarakat luar yang tidak lagi hanya orang melayu. Mereka secara tak terelakkan berinteraksi dengan penduduk dari etnis jawa, sunda, batak, minang dan lainnya.

Pernah suatu kali saya bersama seorang Orang Rimba berdiri di bukit dan memandang ke arah dataran yang telah berubah menjadi areal pemukiman transmigrasi. Pemandangannya luar biasa indah karena areal pemukimannya berupa dataran rendah seluruhnya tanpa ada satu bukitpun. Sudah begitu luasnya ratusan ribu hektar. Tanaman dominan adalah tanaman sawit. Seolah-olah yang kami lihat adalah lautan, akan tetapi berwarna hijau. Di kejauhan sekelompok hutan dataran rendah yang masih tersisa terlihat seperti pulau tengah laut. Orang Rimba tadi berkata, “sebelum ada trans, dulu kami biasa mencari rotan disana”

Ia menunjuk areal pemukiman. Rupanya ia ingin mengatakan bahwa Orang Rimba sangat dirugikan dengan adanya perubahan itu. Kehidupan hutan mereka menjadi teka-teki akankah dapat terus bertahan. Mereka, setidaknya ia, merasa sebagai orang-orang yang telah dikalahkan. “Orang Rimba adalah orang-orang kalah.” Itulah pesan yang saya tangkap.

Saat itu ia juga menceritakan mengenai perilaku sebagian Orang Rimba yang merentangkan tali di jalan mencegat kendaraan yang lewat untuk dimintai uang. Kejadian itu sangat sering terjadi. Sudah puluhan kali saya melewati cegatan tali Orang Rimba. Ia mengatakan bahwa Orang Rimba berbuat itu karena hutan rumah mereka sudah habis dan tidak ada lagi yang bisa di makan. Sangat jelas ia menyalahkan konversi hutan menjadi pemukiman maupun kebun sawit. Dampaknya adalah penderitaan Orang Rimba. Namun Ia bersumpah tidak akan melakukannya. Menurutnya itu adalah perbuatan hina.

Perubahan besar-besaran lingkungan hidup dan lingkungan sosial menimbulkan kegamangan hebat pada Orang Rimba. Di satu sisi, kepercayaan alam statik menghendaki lingkungan dan adat yang tidak berubah. Disisi lain, perubahan didepan mata harus mereka hadapi. Sementara itu menghindari perubahan sebagai strategi bertahan sudah tidak bisa digunakan lagi. Mereka menyadari bahwa strategi terbaik untuk bertahan adalah dengan berubah juga.

Orang Rimba saat ini adalah Orang Rimba yang sedang berubah. Mereka mulai merubah pola pikir mereka mengenai perubahan. Mereka sudah mulai menyesuaikan diri. Buat mereka, adalah lebih melawan Tuhan bila tidak bisa memberi makan anak keturunan. Padahal jika mengandalkan pada perburuan atau pengambilan hasil hutan lainnya sudah tidak memadai. Oleh karena itu saat ini mereka mulai menanam tanaman keras seperti karet yang bisa menjamin kehidupan mereka dimasa mendatang. Beberapa Orang Rimba malah telah menanam sawit. Sementara itu berburu, mengambil dan memungut hasil hutan serta berladang tanaman pangan terus mereka lakukan.

Kemauan Orang Rimba menanam karet atau sawit akan membawa implikasi serius dimasa depan. Mereka pada akhirnya tidak akan lagi menjadi kelompok yang sering berpindah-indah karena kedua jenis tanaman itu harus dipelihara. Tanaman karet bahkan harus disadap setiap hari. Bila tidak, mereka tidak akan memiliki penghasilan. Kecenderungan ini menggembirakan karena bagaimanapun mengandalkan hasil hutan pada akhirnya tidak akan lagi memadai bagi kehidupan seluruh kelompok. Apabila tidak ada perubahan pola penghidupan ekonomi, hutan akan menjadi terlalu sempit buat mereka. Hukum alam akan berlaku, pertentangan antar kelompok akan terjadi. Akibatnya eksistensi Orang Rimba terancam punah karena perebutan sumber daya.

Sayang beribu sayang, beberapa Orang Rimba kemudian berpikir mundur. Alur berpikir mereka menjadi kacau. Setelah tanaman karet atau sawit agak besar, banyak yang berkeinginan menjualnya. Mereka rela menjual kebun karet dan sawit demi motor. Buat mereka, membeli motor justru merupakan simbol dari perubahan. Motor adalah benda yang melambangkan bahwa mereka bukanlah orang-orang yang tertinggal. Mereka sangat bangga memiliki motor. Akhirnya mereka berpikir bahwa kebun karet atau sawit adalah harta yang cepat diuangkan ketimbang untuk jaminan penghidupan dimasa depan. Lalu bagaimana kehidupan ekonomi mereka dimasa depan? Inilah tugas bersama yang harus diemban oleh mereka yang bertanggung jawab dan perduli dengan Orang Rimba, yakni membetulkan alur berpikir mereka yang kacau.

Selain penanaman karet dan sawit, bukti lain dari kemauan berubah adalah antusiasme Orang Rimba mengikuti sekolah. Mereka menyadari bahwa tanpa kemampuan yang memadai, minimal membaca, menulis dan berhitung, mereka akan terus sebagai orang-orang kalah. Dahulu kebodohan dianggap sebagai kehendak Tuhan. Mereka beranggapan bahwa mereka bodoh dan orang luar pintar karena Tuhan sudah memutuskan demikian untuk mereka. Saat ini banyak diantara mereka yang menginginkan bersekolah secara formal.

Pada akhir tahun 2004, Dinas Sosial memprogramkan pembangunan perumahan untuk Orang Rimba kelompok Makekal Hulu. Sebanyak 20 rumah di dua tempat berbeda telah dibuat. Rumah-rumah itu mengelompok dipinggir taman nasional dan jauh dari pemukiman penduduk desa. Rumahnya beratap seng dan berdinding papan. Program itu diharapkan sebagai akselerator bagi perubahan Orang Rimba untuk menjadi warga desa. Mereka diberi jatah hidup, dan berbagai peralatan pertanian. Beberapa orang, termasuk temenggung dan tengganai secara sah menerima rumah tersebut. Namun sampai sekarang tidak ada separuh rumah yang ditempati. Sebagian rumah tetap kosong dan sebagian besar pemilik tidak berminat untuk tinggal di rumah itu. Alasan yang disampaikan sangat masuk akal yakni karena tidak adanya ladang yang dapat mereka andalkan untuk makan. Pembangunan rumah-rumah itu memang tidak diiringi penyediaan lahan yang siap tanam. Padahal mereka juga diberi bibit sawit. Namun agaknya ketidaksiapan untuk berubah secara total menjadi warga desa adalah alasan yang mendasari rumah-rumah itu tetap kosong.

Mereka yang mau tinggal didalam rumah dari Dinas Sosial, jelas telah memiliki pemikiran yang positif terhadap perubahan. Bilamana tidak, mereka tentu akan menolak. Mereka secara sadar mulai mengintegrasikan diri ke dalam kehidupan berkampung. Kesadaran itu nampaknya muncul akibat dari interaksi yang terus menerus dan kerap dengan orang luar dari berbagai etnis. Mereka menyaksikan sendiri perkembangan kehidupan warga transmigran yang boleh dikatakan sengsara pada awalnya kemudian berubah menjadi warga makmur dalam waktu tidak lebih dari 10 tahun. Artinya, kehidupan berkampung sebenarnya tidak pernah menyengsarakan. Hal itu memicu mereka untuk berubah.

Apakah Orang Rimba akan tetap eksis di masa mendatang? Menilik berbagai perubahan yang terjadi agaknya kehidupan hutan seperti yang dijalankan Orang Rimba sejak ribuan tahun lalu dan masih dijalankan oleh sebagian besar Orang Rimba saat ini tidak akan dapat bertahan. Hutan tidak akan lagi dapat memenuhi kebutuhan semua Orang Rimba bila kehidupan hutan terus dijalankan. Orientasi ekonomi mereka harus berubah menjadi petani dengan tanah tetap bila ingin terus eksis. Pertanyaannya, seberapa cepat perubahan akan terjadi? Tidak ada yang tahu, mungkin 5, 10, 20, atau 50 tahun lagi. Bila saat itu tiba, kita akan kehilangan salah satu eksotisme kehidupan bumi.

Hampir tiga dekade yang lalu, Claude Levi Strauss, salah seorang Antropolog paling terkemuka, mengungkapkan kesedihannya, “nasib masyarakat primitif itu, mereka semua akan hilang lenyap. Hal itu membuat saya sangat sedih.”