Korupsi, apa sih?

Oleh Achmanto Mendatu

Korupsi adalah sebuah tindakan aksi atau perilaku. Sebagaimana perilaku lainnya, ia dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor sosial maupun faktor individual. Faktor sosial penyebab perilaku korup bermacam-macam, karenanya pendekatan yang digunakan untuk melihat fenomena korupsi juga beraneka ragam, misalnya pendekatan sosial budaya, pendekatan agama, pendekatan hukum, dan pendekatan politik. Namun agaknya pendekatan individual terhadap korupsi kurang mendapat perhatian. Padahal sebagai sebuah perilaku manusia, korupsi lahir pula dari faktor psikologis manusianya. Tulisan ini mencoba melihat korupsi dari sisi psikologis dan upaya menguranginya melalui pendekatan psikologi.

Perilaku Korup

Sebagai perilaku, korupsi memiliki aspek-aspek yang serupa dengan perilaku lainnya. Pertama adalah sikap yang dimiliki. Bila seseorang memiliki sikap yang positif terhadap korupsi maka kecenderungan seseorang untuk melakukan korupsi cenderung besar. Namun hal ini tidak berarti bila sikap seseorang negatif terhadap korupsi akan membuat seseorang tidak berkorupsi. Contoh dari fenomena ini banyak sekali. Pejabat-pejabat dari berbagai tingkatan sering mengecam dan mengutuk korupsi. Namun toh, mereka melakukan korupsi juga. Bila pelaku korupsi ditanya sikapnya tentang korupsi, hampir bisa dipastikan akan menilai korupsi sebagai keburukan. Antara sikap dan perilaku kadangkala tidak sejalan, dan untuk korupsi ‘seringkali’ tidak sejalan. Jadi, sikap positif atau negatif terhadap korupsi belum bisa dijadikan prediksi yang kuat atas timbulnya perilaku korup.

Kedua adalah intensi atau niat untuk melakukan korupsi. Baik sikap positif maupun negatif terhadap korupsi bisa melahirkan niat untuk berkorupsi. Seseorang yang bersikap positif mungkin berniat melakukan korupsi mungkin juga tidak. Sebaliknya seseorang yang memiliki sikap negatif mungkin tidak berniat mungkin juga berniat. Hanya saja bila seseorang bersikap positif terhadap korupsi maka niat melakukan korupsi cenderung lebih besar daripada yang memiliki sikap negatif. Niat ini dipengaruhi oleh keadaan dan situasi. Misalnya saja adanya tuntutan akan taraf hidup yang lebih baik, tuntutan untuk melepaskan diri dari kesulitan dan lainnya. Daripada sikap, niat lebih dekat terhadap perilaku. Jadi, niat terhadap korupsi lebih bisa dijadikan prediksi terhadap kemungkinan timbulnya perilaku korup.

Ketiga adalah norma sosial masyarakat terhadap korupsi. Bila norma sosial tegas melarang korupsi dan bahkan menyediakan berbagai mekanisme sanksi sosial terhadap perilaku korup, maka kemungkinan timbulnya korupsi kecil. Seperti yang kita tahu, norma sosial cukup berpengaruh terhadap perilaku, apalagi di Indonesia yang memiliki budaya kolektif. Dalam kasus Indonesia, sesungguhnya norma sosial yang ada mengecam keberadaan korupsi. Akan tetapi semakin tampak belakangan ini masyarakat semakin permisif terhadap korupsi. Seolah-olah perilaku korup dimaklumi bersama sebagai bagian dari kehidupan sosial. Justru akan dinilai aneh bila seseorang tidak korupsi. Agaknya (belum diketahui ada penelitian mengenai hal ini) norma sosial di Indonesia saat ini ikut mendorong tumbuhnya korupsi.

Gejala semakin permisifnya masyarakat terhadap korupsi berawal dari luasnya korupsi di masyarakat itu sendiri. Ketidakberdayaan pemerintah menangani korupsi (memang sulit menyembuhkan diri sendiri) membuat masyarakat mau tidak mau harus menjadikan korupsi sebagai bagian dari kenyataan sosial. Akibatnya norma sosial yang merupakan konvensi bersama masyarakat turut pula berubah lebih akomodatif terhadap korupsi.

Keempat adalah norma subjektif yang diyakini individu. Norma subjektif ini dipengaruhi diantaranya oleh tingkat religiusitas. Bila seseorang memiliki tingkat keberagamaan yang lebih matang daripada umumnya masyarakat maka kecenderungan orang itu untuk melakukan korupsi juga kecil, karena adanya ancaman lebih tegas dalam agama mengenai korupsi. Norma subjektif yang mengutamakan aspirasi materi juga akan memprediksi kemungkinan seseorang melakukan tindakan korup.

Kelima adalah kesempatan yang tersedia untuk melakukan korupsi. Faktor kesempatan ini merupakan faktor yang paling dekat dengan perilaku korupsi. Jadi, faktor ini yang paling baik untuk memprediksi perilaku korupsi. Instansi yang memiliki pengawasan lemah akan memiliki kemungkinan lebih besar memunculkan perilaku korup. Adanya istilah ‘tempat basah’ dan ‘tempat kering’menunjukkan adanya tempat yang memiliki peluang lebih besar untuk korupsi daripada tempat yang lain.

Upaya Pemberantasan Korupsi

Sebagai sebuah tindakan merugikan sudah selayaknya korupsi diberantas. Berbagai pendekatan digunakan dalam upaya tersebut. Salah satu yang paling populer adalah pendekatan hukum. Dipercaya bahwa hukum yang kuat dan tegas akan efektif dalam menekan angka korupsi. Pendekatan hukum ini berkaitan pula dengan pendekatan politik karena adanya hukum yang kuat dan tegas dalam pemberantasan korupsi merupakan produk dari adanya political will dari pemerintah yang berkuasa. Anak dari pendekatan politik adalah pendekatan ekonomi yang didasari asumsi bahwa penghasilan rendah para pejabat negara yang telah menyebabkan terjadinya praktek korupsi. Karenanya upaya penanganan yang efektif adalah dengan meningkatkan gaji para pejabat negara. Tiga pendekatan inilah yang paling sering dimunculkan terutama pada era kepresidenan Abdurahman Wahid.

Pendekatan psikologi dalam pemberantasan korupsi, yang tentunya dintegrasikan dalam berbagai pendekatan lain, menekankan pada perubahan sikap, pereduksian niat dan kesempatan serta manipulasi norma sosial dan norma subjektif. Upaya melakukan hal-hal tersebut merupakan upaya integral yang satu sama lain tidak dapat dipisahpisahkan. Semuanya saling terkait secara erat.

Berbagai langkah yang bisa ditempuh diantaranya, pertama, adalah mengubah sikap agar seseorang memiliki sikap negatif terhadap korupsi. Proses perubahan sikap ini bisa dilakukan diantaranya dengan menginformasikan dampak dari korupsi secara luas yang berdasarkan data akurat. Diharapkan pengetahuan yang memadai akan dampak korupsi yang sangat buruk bisa menimbulkan disonansi atau kesenjangan kognitif, dimana pikiran individu tentang enaknya hasil korupsi akan bertentangan dengan pikiran akan dampak korupsi yang dilakukannya terhadap orang banyak. Darinya diharapkan terjadi perubahan sikap menjadi lebih negatif terhadap korupsi.

Kedua mereduksi niat untuk melakukan korupsi. Seperti yang telah kita lihat diatas, niat untuk berkorupsi bisa dimunculkan karena adanya tuntutan kebutuhan tertentu. Bila kebutuhan itu terpenuhi diharapkan niat korupsi juga berkurang. Kebijakan kenaikan gaji yang populer beberapa waktu lalu mendasarkan pada kerangka berpikir demikian.

Sementara itu upaya memanipulasi norma sosial bisa ditunjukkan dengan kesungguhan pemerintah melakukan penegakan hukum terhadap para pelaku korupsi, memberikan keteladanan, dan memperkuat sanksi sosial dimana individu akan merasa kurang mendapat dukungan sosial atas perilaku korupnya. Mewajibkan kerja sosial seperti menyapu jalan bagi para pejabat pelaku korupsi merupakan bentuk hukuman sosial yang efektif. Sedangkan manipulasi norma subjektif bisa dilakukan melalui pendidikan anti korupsi baik melalui pendekatan keagamaan maupun melalui pendekatan budaya.

Terakhir adalah mengurangi kesempatan seseorang untuk melakukan korupsi. Upaya mengurangi kesempatan korupsi ini bisa dilakukan dengan beragam cara seperti pengawasan yang ketat terhadap lembaga-lembaga publik oleh masyarakat umum dan terutama oleh masyarakat akademis, transparansi pengelolaan keuangan pemerintah, laporan kekayaan pejabat secara berkala kepada publik, dan lainnya.

Agaknya dimasa depan diperlukan suatu tes psikologi untuk screening calon pejabat negara, karena tipe kepribadian, sikap, niat, dan norma subjektif tertentu yang dimiliki individu menyumbang terhadap kecenderungan melakukan korupsi. Misalnya kepribadian yang manipulatif lebih berkecenderungan melakukan korupsi. Pada akhirnya pendekatan psikologi adalah pendekatan yang diaplikasikan pada pendekatan lain bukan suatu pendekatan yang bisa dilakukan sendiri.