Strategi Meningkatkan Kompetensi Guru dalam Melaksanakan Pendidikan Multikultural
Oleh Achmanto Mendatu
-
Latar Belakang
Indonesia merupakan bangsa multietnik dan multikultur. Sampai saat ini tercatat ada lebih dari 500 etnik yang menggunakan lebih dari 250 bahasa (Suryadinata, 1999). Masing-masing etnik itu tidak berdiri sebagai entitas yang tertutup dan independen tetapi saling berinteraksi satu sama lain dan saling bergantung (Abdillah, 2001), serta saling mempengaruhi satu sama lain (Siahaan, 2003). Interaksi sosial yang terbentuk dengan keberagaman ini memerlukan suatu pemahaman lintas budaya (Matsumoto, 1996), dan rasa percaya pada setiap pihak yang terlibat dalam interaksi itu, yang merupakan modal sosial (Ancok, 2003) bagi terbentuknya suatu hubungan antar etnik-antar budaya yang sehat, sejahtera dan maju. Bilamana tidak, maka mustahil suatu Indonesia yang damai dan sejahtera bisa diwujudkan.
Menumbuhkan pemahaman lintas budaya mutlak diperlukan dalam masyarakat Indonesia yang multietnik dan multikultur. Adapun cara yang dilakukan bisa melalui pendidikan dalam keluarga, sosialisasi nilai-nilai dalam masyarakat baik melalui pergaulan sosial maupun media, dan melalui pendidikan multikultur, yaitu pendidikan yang dapat menfasilitasi siswa dalam memahami materi pembelajaran tanpa adanya kendala perbedaan latar belakang kultural (Bryant, 1996) dan pemahaman akan keberagaman dan penghargaan akan perbedaan, serta bagaimana bersikap dan bertindak dalam situasi multietnik-multikultur (Matsumoto, 1996). Dimensi yang terkandung dalam pendidikan multikultur ada lima, yaitu integrasi isi, konstruksi pengetahuan, pengurangan prasangka, keadilan pedagogik, dan empowering kultur sekolah (Banks, 1994). Salah satu bentuknya adalah pembelajaran agar siswa terikat dengan lingkungan budayanya dengan pengajaran ethnoscience, yakni topik pembelajaran yang membahas keterkaitan antara Ilmu Pengetahuan Alam dengan etnik atau budaya manusia (Lara-Alecio, 2001). Bentuk yang lain adalah manajemen kelas yang baik yang memungkinkan terciptanya kerjasama antara siswa dengan berbagai latar belakang kultural (Brown, 1995) dan meningkatkan hubungan antar siswa yang berbeda kultur dengan berbasis kurikulum (Santrock, 1999). Pendidikan multikultur terintegrasi kedalam berbagai mata pelajaran dan sistem yang diberlakukan dalam suatu institusi pendidikan.
Guru merupakan ujung tombak dari pendidikan multikultur. Peran guru sangat menentukan dalam keberhasilan mendorong pemahaman lintas budaya pada peserta didik. Apa yang disampaikan guru, cara guru mengajar, dan kepribadian guru sangat mempengaruhi keberhasilan pembelajaran (Syah, 2002), demikian juga latar belakang kultural guru akan turut membentuk persepsi murid terhadap kulturnya (Cabello & Burstein, 1995). Guru yang tidak memahami latar belakang budayanya sendiri dan tidak sensitif budaya atau tidak memiliki pemahaman lintas budaya tidak bisa diharapkan sukses dalam menerapkan pendidikan multikultur (Banks, 1994). Oleh karena itu sangatlah penting untuk menyiapkan guru memiliki pemahaman lintas budaya sehingga mampu menyelenggarakan suatu pendidikan multikultur.
Pendidikan tingggi yang bertugas menyiapkan calon guru, seperti misalnya IKIP maupun Fakultas Keguruan lainnya, sudah seharusnya memiliki strategi yang memadai dalam upaya meningkatkan kompetensi calon guru dalam menyelenggarakan pendidikan multikultur. Strategi dimaksud bisa secara nyata terdapat dalam kurikulum maupun melalui beragam cara lainnya yang diselenggarakan dalam proses pengajaran. Keberhasilan dari suatu pendidikan tinggi bahkan bisa dilihat dari kemampuannya menyiapkan kompetensi itu.
Makalah ini membahas beberapa strategi dalam meningkatkan kompetensi calon guru dalam melaksanakan pendidikan multikultural.
Analisis
Ada empat strategi yang bisa digunakan dalam meningkatkan kompetensi mahasiswa calon guru dalam menyelenggarakan pendidikan multikultur yang akan dibahas dalam makalah ini. Empat strategi dimaksud diambil dari Journal of Teacher Education, yaitu Issues Exchange Activity (Marshall, 1998)., ABC’s Model (Xu, 2000), The Cultural Immersion Project (Wiest, 1998), dan Service Learning (Barton, 1999). Semua strategi itu telah dilaksanakan sebagai bagian dari tugas kuliah mahasiswa calon guru dan telah diteliti efek-efeknya terhadap peningkatan pemahaman lintas budaya mahasiswa.
1. Issues Exchange Activity
Judul : Toward Developmental Multicultural Education : Case Study of the Issues Exchange Activity.Penulis : Patricia L. MarshallSumber: Journal of Teacher Education, 1998, 49 (1) : 57-65
Issues Exchange Activity adalah serangkaian dialog akan sebuah topik yang berhubungan dengan diversitas budaya di dalam sekolah dan masyarakat yang lebih luas. Kegiatan ini dilaksanakan selama 16 kali pertemuan atau 1 semester, oleh mahasiswa peserta mata kuliah pendidikan multikultural yang diampu oleh Prof. Patricia L. Marshall di North Carolina State University. Strategi dalam Issues Exchange Activity adalah menempatkan dua orang dalam posisi berlawanan untuk berdiskusi terhadap suatu permasalahan yang terkait dengan permasalahan diversitas kultural, yang satu pro dan yang lain anti. Kemudian mereka saling bertukar tempat, yang pro menjadi anti dan yang anti menjadi pihak yang pro. Mahasiswa dipersilahkan untuk mengungkapkan cultural aversion-nya dalam diskusi itu. Tugas dosen (Marshall), adalah menentukan tema yang provokatif dan menyediakan bahan-bahan referensi baik untuk yang pro maupun yang anti, yang harus dibaca oleh mahasiswa sebelum diskusi. Salah satu contoh dari tema diskusi, yaitu “apakah beberapa kelompok kultur subordinat menggunakan ketidakadilan terhadap mereka dimasa lalu sebagai alasan atas kekurangsuksesan mereka saat ini?”
Marshall kemudian melakukan survei melalui surat untuk melihat efek dari kegiatan itu pada peserta yang mengikuti kegiatan itu satu tahun (7 orang) dan dua tahun (8 orang) sebelumnya. Melalui laporan dari para peserta, Ia menemukan bahwa :
1. Hampir semua mahasiswa melaporkan bahwa sebelum mengikuti kegiatan itu mereka memiliki sikap yang kemudian mendapatkan tantangan setelah mengikuti kegiatan. Mereka mengakui memiliki personal bias (prasangka, berpikiran sempit, dll) yang dikonfrontir dalam kegiatan itu.. Mereka melaporkan menjadi lebih reseptif terhadap cara pandang orang lain.
2. Kegiatan itu membuat mereka lebih kritis terhadap perbedaan kultural diantara pelajar di dalam sekolah dan lebih mampu untuk memahami cara berpikir (perspectives-taking) orang-orang dalam kultur yang berbeda.
3. Mereka lebih terbuka terhadap isu-isu rasial/etnisitas dan membuat pikiran mereka lebih terbuka
4. Mereka melaporkan bahwa efek dari kegiatan itu ditransfer ke dalam kehidupan profesional mereka (termasuk didalamnya sebagai pengajar di sekolah).
2. ABC’s Model
Judul : Preservice Teachers Integrate Understandings of Diversity Into Literacy Intruction : An Adaptation of the ABC’s ModelPenulis : Hong XuSumber: Journal of Teacher Education, 2000, 51 (2) : 135-148.
Model ABC ini melandaskan premis bahwa seseorang harus memahami latar belakang kulturnya sendiri dan nilai-nilai didalamnya sebelum memahami latar belakang kultural orang lain. Belajar mengenai pengalaman hidup orang lain akan membawa seseorang ke budaya orang tersebut, dan analisis lintas budaya mengenai budaya sendiri dan budaya orang lain, pada gilirannya akan meningkatkan kesadaran akan kesamaan dan perbedaan diantara berbagai budaya.
Kegiatan peningkatan kompetensi multikultural model ABC ini merupakan proyek penelitian yang melibatkan 20 mahasiswa calon guru di Texas Tech University. Model ABC ini terdiri dari lima komponen, yaitu :
1. Otobiografi. Calon guru menulis otobiografi dengan memasukkan nilai-nilai budaya dan pengalaman hidup. Mereka juga menggambarkan tentang pengalaman belajar tulis menulis di rumah dan di sekolah.
2. Biografi. Calon guru membuat studi kasus dengan melakukan interview terhadap seorang murid mengenai latar belakang keluarga dan kulturnya, serta pengalaman belajar tulis menulis di rumah dan disekolah. Kemudian hasilnya ditulis dalam biografi.
3. Analisis lintas budaya. Calon guru mengidentifikasi persamaan dan perbedaan antara kisah tentang diri mereka dan studi kasus yang dilakukannya terhadap seorang murid tadi dengan menggunakan chart.
4. Analisis perbedaan budaya. Dikelas didiskusikan hasil dari analisis lintas budaya yang dan studi kasus yang dilakukan, serta ketidaknyamanan mereka terhadap perbedaan budaya.
5. Praktik di kelas. Calon guru berpraktik mengajar didepan kelas. Pertama ia harus mengetahui kemampuan menulis dan membaca murid-muridnya melalui mengeja dan membaca secara informal. Kemudian ia menerapkan pengetahuan mengenai strategi intruksional dan literatur anak-anak, terhadap murid-muridnya berdasarkan kebutuhan murid-murid tersebut. Mereka mendokumentasikan aplikasi setiap strategi dalam sebuah lembaran strategi dan mencatat literatur anak-anak di lembaran literatur. Di akhir tugas lapangan ini, mereka membuat laporan studi kasus dengan dilengkapi dengan pengalaman mengajar dan insight mereka dalam mengajar pelajar yang berbeda-beda.
Xu melakukan penelitian terhadap otobiografi, biografi, chart analisis lintas budaya, lembaran strategi dan literatur, serta melalui observasi langsung. Ia menemukan bahwa :
- Otobiografi membuat mereka lebih memahami latar belakang budaya sendiri.
- Mereka lebih memahami kultur dan keluarga murid dan kesulitan-kesulitan mereka dalam belajar tulis-menulis.
- Mereka menyadari adanya perbedaa-perbedaan antara diri mereka dengan murid-murid dan berpikir lebih positif mengenai perbedaan itu.
- Mereka mengeksplorasi dan mengintegrasikan perbedaan ke dalam intruksi pengajaran. Mereka melakukan dua pendekatan; 1) integrasi isi dari literatur multikultural, 2) mengaplikasikan strategi instruksional dalam membaca dan menulis yang sesuai dengan latar belakang murid.
3. The Cultural Immersion Project
Judul : Using Immersion Experiences to Shake Up Preservice Tachers’ Views About Cultural Diffrerences,Penulis : Lynda R. WiestSumber: Journal of Teacher Education, 1998, 49 (5) : 358-365.
"The cultural immersion Project” merupakan tugas wajib bagi mahasiswa calon guru di University of Nevada, yang tergabung dalam mata kuliah Aspek sosiokultural dalam pendidikan, yang juga sekaligus sebagai. penelitian yang dilakukan oleh Lynda R. Wiest. Proyek ini melibatkan tiga kelas, dengan total 86 subjek. Proyek ini bertujuan membantu mahasiswa mendapatkan pemahaman mengenai budaya lain dan mengerti bagaimana merasakan menjadi anggota kelompok minoritas, sebagai status yang subordinat di masyarakat. Proyek itu membuat mahasiswa calon guru berpartisipasi langsung ke dalam kultur yang tidak begitu dikenalnya selama minimum satu jam dan kemudian mempertimbangkan kemungkinan bagaimana penerapan pengajaran didepan kelas mengenai apa yang telah dipelajari.
1. Mereka harus memilih sebuah pengalaman dalam budaya yang berbeda dengan budayanya sendiri, dan itu harus minimal selama 1 jam.
2. Mereka tidak boleh hanya mengobservasi tetapi harus turut berpartisipasi dan berinteraksi dengan anggota kelompok budaya lainnya, jikalau mungkin.
3. Interaksi dengan anggota kelompok budaya lain tidak boleh hierarkis, interaksi itu harus terdapat adanya power yang seimbang.
4. Jika mungkin mereka memilih sebuah pengalaman budaya lain dalam situasi berbeda-beda.
5. Melakukannya sendiri, dan harus terpisah dengan rekan lain apabila mengambil suatu topik yang sama.
6. Mahasiswa harus menulis paper 4-5 halaman, sebagai laporan kegiatan itu. Laporan terdiri atas 3 bagian, yaitu : 1) Latar belakang, 2) Respon personal yang berisi, dan 3) Implikasi untuk pendidikan.,
Berdasarkan hasil penelitian melalui teknik komparatif dari 86 hasil paper yang dikumpulkan oleh mahasiswa, Wiest mengidentifikasi beberapa keuntungan dari program tersebut:
1. Informasi baru mengenai budaya khusus yang berbeda. Mahasiswa memperoleh informasi baru mengenai tradisi, adat, dan sikap yang berbeda dengan yang dimiliki.
2. Tantangan terhadap keyakinan dan pengertian yang dimiliki. Beberapa mahasiswa mengakui mendapatkan pengetahuan kultural yang melenyapkan stereotip, miskonsepsi, dan ketakutan-ketakutan terhadap kelompok yang dikunjungi.
3. Meningkatkan skil personal dan profesional. Mahasiswa mengalami peningkatan kemampuan untuk melihat sebuah situasi melalui perspektif budaya yang berbeda dan meningkatkan empati pada perasaan orang saat berada di dalam budaya yang dominan atau familiar.
4. Mendapatkan insight bagaimana mengajar pelajar yang berbeda-beda kulturnya. Beberapa mahasiswa mengatakan bahwa pelajar dari kelas bawah harus diperkuat kebutuhannya, yakni dalam kebutuhan fisik (pakaian, sepatu, dll), keamanan (stabilitas di sekolah), dan harga diri. Beberapa menyatakan bahwa pelajar dari kaum minoritas harus dibuat nyaman didalam kelas.
4. Service Learning
Judul : Crafting a Multicultural Science Teacher Education : A Case StudyPenulis : Angela Calabrese BartonSumber: Journal of Teacher Education, 1999, 50 (4) : 303-314.
Belajar melayani komunitas diartikan sebagai aktivitas belajar yang mengkombinasikan belajar di ruang kelas dengan aksi sosial dan pelayanan. Angela Barton mengaitkan antara service learning itu dengan kesiapan calon guru dalam menyelenggarakan pendidikan sains multikultural, yakni pengajaran sains yang tidak memiliki kendala latar belakang kultural. Dalam proyek yang diteliti Barton, service learning dilakukan dalam tiga tahapan :
1. Mahasiswa calon guru berpartisipasi dalam seminar yang mengeksplorasi berbagai teori dan praktik yang terkait dengan pendidikan sains, pendidikan multikultural, dan pendidikan kaum urban.
2. Mahasiswa calon guru berpartisipasi dalam merencanakan pelajaran dan persiapan seminar.
3. Mereka mengajar di Homeless-Children Shelter selama 2 kali seminggu. Mereka didorong untuk mengkontruksi cara-cara agar sains bisa dipahami berdasarkan nilai-nilai, keyakinan, pengalaman, dan kultur murid. Mereka juga didorong untuk mengajar secara privat.
Hasil dari kegiatan itu sebagai berikut :
1. Merubah ide mengenai pendidikan sains multikultural. Para calon guru memiliki ide-ide baru bagaimana mengajarkan sains yang berperspektif multikultural, dengan mengaitkan antara pendidikan sains multikultural dengan keadaan sekolah, dan permasalahan sosial-politik.
2. Merubah cara pandang mengenai pendidikan sains multikultural. Para calon guru awalnya melihat hal itu sama seperti pendidikan sains regular yang ditemui, tapi mereka akhirnya memperoleh pemahaman bahwa pendidikan sains di kultur yang berbeda juga berbeda. Mereka melihat pendidikan sains multikultural lebih kompleks
3. Para calon guru menjadi sadar bagaimana keyakinan mereka mengenai sains, persekolahan dan masyarakat mempengaruhi hubungan mereka dengan murid-murid.
-
Secara umum, keempat strategi mendasarkan pada asumsi bahwa dalam memahami segala sesuatu yang berbeda, masing-masing orang dari budaya yang berbeda memiliki prototip pikirannya sendiri yang berbeda satu sama lain dalam memahami realitas (Matsumoto, 1996). Memahami adanya perbedaan boleh jadi bisa meningkatkan pemahaman multikultur akan tetapi jauh lebih baik lagi apabila individu bisa langsung merasakan terlibat dalam budaya yang berbeda (Triandis, 1994). Dalam hal ini, strategi ‘The Cultural Immersion Project’ mensyaratkan mahasiswa untuk langsung terlibat dalam budaya yang berbeda sehingga langsung menyentuh ranah afektif. Demikian juga dengan strategi ‘Service Learning’ menghendaki adanya keterlibatan dengan orang-orang yang secara kultur berbeda, meskipun dengan intensitas yang lebih rendah. Adapun strategi ‘Issues Exchange Activity’ dan ‘ABC’s Models’ cenderung menggunakan ranah kognitif, yakni memahami adanya perbedaan budaya melalui beragam informasi yang berhasil dikumpulkan dari orang-orang yang berbeda budaya.
Empat strategi diatas menggunakan adanya otoritas yakni dosen pengampu mata kuliah sebagai legalisasi pelaksanaan kegiatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Brown (1996) dimana menurutnya strategi peningkatan pemahaman lintas budaya dan. pengurangan prasangka memerlukan adanya tekanan pihak otoritas sehingga kegiatan yang dilaksanakan bisa berjalan baik. Terlihat juga bahwa keempat strategi menggunakan kelas sebagai sarana pembelajaran. Shpancer (2004) menyebutkan bahwa agar strategi kelas berhasil baik dalam pengajaran, maka diperlukan strategi yang bisa membuat mahasiswa mencapai ‘insight’ hingga bisa tercetus ide “aha, saya mengerti”. Dari keempat strategi di atas tampak sekali bahwasanya semuanya berupaya untuk memberikan ‘insight’ kepada mahasiswa calon guru, baik melalui pengalaman maupun dari pengetahuan yang diperoleh sendiri, daripada sekedar memberikan pengetahuan adanya suatu kultur yang berbeda.
Diskusi
Pertanyaan yang biasa muncul ketika menggunakan studi literatur dari jurnal yang terbit di luar negeri adalah ‘apakah cara itu akan efektif diterapkan di Indonesia, mengingat budaya yang berbeda?’ Pertanyaan tersebut mungkin relevan ditanyakan berkait dengan tema makalah ini. Saya berasumsi bahwa strategi itu bisa diterapkan dengan mudah di Indonesia. Setidaknya ada dua alasan mengapa demikian, pertama, strategi itu melandaskan premis yang berlaku universal yaitu paradigma ingroup-outgroup yang menghasilkan prototip pikiran yang berbeda antar budaya yang berbeda. Oleh karena itu, sepanjang terdapat adanya perbedaan budaya di dalam masyarakat maka strategi itu bisa diterapkan. Kedua, strategi diatas bukan merupakan strategi yang terikat pada basis budaya individualistik maupun kolektivistik karena masing-masing dari tugas justru akan menyadarkan individu untuk memahami budayanya sendiri lebih baik serta memahami budaya yang berbeda dengan lebih baik pula. Artinya, strategi-strategi itu bisa berlaku disegala macam budaya yang berada dalam tataran modern, dengan sedikit penyesuaian tentunya. Pertanyaan yang lebih relevan adalah apakah strategi itu bisa diterapkan di Indonesia mengingat mahasiswa Indonesia pada umumnya kurang disipilin dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dosen, sebab strategi diatas memerlukan kesungguhan dalam mengerjakannnya.
Persoalan lain dari strategi diatas terkait dengan penelitian yang digunakan untuk mengetahui efektivitas kegiatan yang didasarkan pada laporan mahasiswa yang bisa sangat bias karena mahasiswa melaporkan hal-hal yang normatif. Oleh karena itu mungkin lebih baik apabila juga digunakan indikator atau alat ukur lain untuk menguji kebenaran pernyataan peserta.
Empat strategi diatas masing-masing dilakukan dengan melibatkan diri ke dalam kultur dan situasi yang berbeda dengan diri peserta. Semuanya memerlukan tindakan atau aksi langsung halmana membuat para peserta memiliki pengalaman berada dan ikut merasa dalam kultur yang berbeda. Akan tetapi sebenarnya masih ada lagi strategi yang lebih berorientasi kognitif yakni refleksi atas pengalaman kultural yang diperoleh melalui bacaan, film, cerita-cerita, dan sebagainya.
KesimpulanStrategi meningkatkan kompetensi calon guru agar bisa menjadi guru yang kompeten dalam pendidikan multikultural, setidaknya bisa dilakukan melalui empat cara, yakni strategi “Issues Exchange Activity”, “Service Learning”, “Model ABC” dan “Cultural Immersion”. Masing-masing strategi terbukti memiliki efek yang positif terhadap mahasiswa calon guru dalam memahami perbedaan kultural diantara murid-murid maupun antara dirinya dengan murid dan berbagai konsekuensinya dalam pendidikan. Lebih jauh pemahaman itu juga terbukti berefek positif terhadap meningkatnya pemahaman tentang bagaimana seharusnya pendidikan multikultural diselenggarakan.
Strategi diatas, dengan sedikit adaptasi, bisa diselenggarakan oleh institusi pendidikan di Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan bagi calon guru. Hal ini akan membantu para calon guru di Indonesia memiliki kompetensi dalam menyelenggarakan pendidikan multikultur. Sebuah ironi, bila ternyata ditengah suasana multikultur para guru tidak memiliki kompetensi untuk menyelenggarakan pendidikan multikultur.
-
Daftar Pustaka
-
Abdillah, U. (2001). Politik Identitas Etnis. Magelang : IndonesiaTera
Ancok, D.(2003). Modal Sosial dan Kualitas Masyarakat. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Psikologi UGM, tidak diterbitkan.
Banks, J.A. (1994). An Introduction to Multicultural Education. Boston : Allyn & Bacon.
Barton, A.C. (1999). Crafting a Multicultural Science Teacher Education : A Case Study. Journal of Teacher Education, 50 (4) : 303-314
Brown, R. (1995). Prejudice: It’s Social Psychology. Oxford: Blackwell Publishers Ltd.
Bryant, N.A. (1996). Make The Curriculum Multicultural. The Science Teacher, 63 (2), 28-31.
Cabello, B., & Burstein, N.D. (1995). Examining Teachers’ Beliefs about teaching in Culturally Diverse Classroom. Journal of Teacher Education, 46 : 285-294.
Lara-Alecio, R (2001). Science of the Maya: Ethnoscience in the Classroom. The Science Teacher, 68 (3), 48-51
Marshall, P.L. (1998). Toward Developmental Multicultural Education: A case Study of the Issues Exchange Activity. Journal of Teacher Education, 49 (1) :57-65
Matsumoto, D. (1996). Culture and Psychology. California : Brooks/Cole Publishing Co.
Santrock, J.W. (1999). Life Span Development, 7th ed. USA : Mc Graw Hill.
Siahaan, H. (2002). Sinophobia dan Ekslusivisme: antara Mitos dan Realitas, dalam Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta: Persembahan Kepada Teuku Ibrahim Alfian, Jakarta : Yayasan Masyarakat Sejarawan dan Sinergi Press, 479-490.
Shpancer, N (2004). What Makes Classroom Learning a Worthwhile Experience. Thought & Action, The NEA Higher Education Journal, 23-35.
Suryadinata, L. (1999). Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta : LP3ES.
Syah, M. (2002). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung : Rosda Karya.
Wiest, L.R. (1998). Using Immersion Experiences to Shake Up Preservice Tachers’ Views About Cultural Diffrerences. Journal of Teacher Education, 49 (5) : 358-365.
Xu, H. (2000). Preservice Teachers Integrate Understandings of Diversity Into Literacy Intruction : An Adaptation of the ABC’s Model. Journal of Teacher Education, 51 (2) : 135-148.
Oleh Achmanto Mendatu
-
Latar Belakang
Indonesia merupakan bangsa multietnik dan multikultur. Sampai saat ini tercatat ada lebih dari 500 etnik yang menggunakan lebih dari 250 bahasa (Suryadinata, 1999). Masing-masing etnik itu tidak berdiri sebagai entitas yang tertutup dan independen tetapi saling berinteraksi satu sama lain dan saling bergantung (Abdillah, 2001), serta saling mempengaruhi satu sama lain (Siahaan, 2003). Interaksi sosial yang terbentuk dengan keberagaman ini memerlukan suatu pemahaman lintas budaya (Matsumoto, 1996), dan rasa percaya pada setiap pihak yang terlibat dalam interaksi itu, yang merupakan modal sosial (Ancok, 2003) bagi terbentuknya suatu hubungan antar etnik-antar budaya yang sehat, sejahtera dan maju. Bilamana tidak, maka mustahil suatu Indonesia yang damai dan sejahtera bisa diwujudkan.
Menumbuhkan pemahaman lintas budaya mutlak diperlukan dalam masyarakat Indonesia yang multietnik dan multikultur. Adapun cara yang dilakukan bisa melalui pendidikan dalam keluarga, sosialisasi nilai-nilai dalam masyarakat baik melalui pergaulan sosial maupun media, dan melalui pendidikan multikultur, yaitu pendidikan yang dapat menfasilitasi siswa dalam memahami materi pembelajaran tanpa adanya kendala perbedaan latar belakang kultural (Bryant, 1996) dan pemahaman akan keberagaman dan penghargaan akan perbedaan, serta bagaimana bersikap dan bertindak dalam situasi multietnik-multikultur (Matsumoto, 1996). Dimensi yang terkandung dalam pendidikan multikultur ada lima, yaitu integrasi isi, konstruksi pengetahuan, pengurangan prasangka, keadilan pedagogik, dan empowering kultur sekolah (Banks, 1994). Salah satu bentuknya adalah pembelajaran agar siswa terikat dengan lingkungan budayanya dengan pengajaran ethnoscience, yakni topik pembelajaran yang membahas keterkaitan antara Ilmu Pengetahuan Alam dengan etnik atau budaya manusia (Lara-Alecio, 2001). Bentuk yang lain adalah manajemen kelas yang baik yang memungkinkan terciptanya kerjasama antara siswa dengan berbagai latar belakang kultural (Brown, 1995) dan meningkatkan hubungan antar siswa yang berbeda kultur dengan berbasis kurikulum (Santrock, 1999). Pendidikan multikultur terintegrasi kedalam berbagai mata pelajaran dan sistem yang diberlakukan dalam suatu institusi pendidikan.
Guru merupakan ujung tombak dari pendidikan multikultur. Peran guru sangat menentukan dalam keberhasilan mendorong pemahaman lintas budaya pada peserta didik. Apa yang disampaikan guru, cara guru mengajar, dan kepribadian guru sangat mempengaruhi keberhasilan pembelajaran (Syah, 2002), demikian juga latar belakang kultural guru akan turut membentuk persepsi murid terhadap kulturnya (Cabello & Burstein, 1995). Guru yang tidak memahami latar belakang budayanya sendiri dan tidak sensitif budaya atau tidak memiliki pemahaman lintas budaya tidak bisa diharapkan sukses dalam menerapkan pendidikan multikultur (Banks, 1994). Oleh karena itu sangatlah penting untuk menyiapkan guru memiliki pemahaman lintas budaya sehingga mampu menyelenggarakan suatu pendidikan multikultur.
Pendidikan tingggi yang bertugas menyiapkan calon guru, seperti misalnya IKIP maupun Fakultas Keguruan lainnya, sudah seharusnya memiliki strategi yang memadai dalam upaya meningkatkan kompetensi calon guru dalam menyelenggarakan pendidikan multikultur. Strategi dimaksud bisa secara nyata terdapat dalam kurikulum maupun melalui beragam cara lainnya yang diselenggarakan dalam proses pengajaran. Keberhasilan dari suatu pendidikan tinggi bahkan bisa dilihat dari kemampuannya menyiapkan kompetensi itu.
Makalah ini membahas beberapa strategi dalam meningkatkan kompetensi calon guru dalam melaksanakan pendidikan multikultural.
Analisis
Ada empat strategi yang bisa digunakan dalam meningkatkan kompetensi mahasiswa calon guru dalam menyelenggarakan pendidikan multikultur yang akan dibahas dalam makalah ini. Empat strategi dimaksud diambil dari Journal of Teacher Education, yaitu Issues Exchange Activity (Marshall, 1998)., ABC’s Model (Xu, 2000), The Cultural Immersion Project (Wiest, 1998), dan Service Learning (Barton, 1999). Semua strategi itu telah dilaksanakan sebagai bagian dari tugas kuliah mahasiswa calon guru dan telah diteliti efek-efeknya terhadap peningkatan pemahaman lintas budaya mahasiswa.
1. Issues Exchange Activity
Judul : Toward Developmental Multicultural Education : Case Study of the Issues Exchange Activity.Penulis : Patricia L. MarshallSumber: Journal of Teacher Education, 1998, 49 (1) : 57-65
Issues Exchange Activity adalah serangkaian dialog akan sebuah topik yang berhubungan dengan diversitas budaya di dalam sekolah dan masyarakat yang lebih luas. Kegiatan ini dilaksanakan selama 16 kali pertemuan atau 1 semester, oleh mahasiswa peserta mata kuliah pendidikan multikultural yang diampu oleh Prof. Patricia L. Marshall di North Carolina State University. Strategi dalam Issues Exchange Activity adalah menempatkan dua orang dalam posisi berlawanan untuk berdiskusi terhadap suatu permasalahan yang terkait dengan permasalahan diversitas kultural, yang satu pro dan yang lain anti. Kemudian mereka saling bertukar tempat, yang pro menjadi anti dan yang anti menjadi pihak yang pro. Mahasiswa dipersilahkan untuk mengungkapkan cultural aversion-nya dalam diskusi itu. Tugas dosen (Marshall), adalah menentukan tema yang provokatif dan menyediakan bahan-bahan referensi baik untuk yang pro maupun yang anti, yang harus dibaca oleh mahasiswa sebelum diskusi. Salah satu contoh dari tema diskusi, yaitu “apakah beberapa kelompok kultur subordinat menggunakan ketidakadilan terhadap mereka dimasa lalu sebagai alasan atas kekurangsuksesan mereka saat ini?”
Marshall kemudian melakukan survei melalui surat untuk melihat efek dari kegiatan itu pada peserta yang mengikuti kegiatan itu satu tahun (7 orang) dan dua tahun (8 orang) sebelumnya. Melalui laporan dari para peserta, Ia menemukan bahwa :
1. Hampir semua mahasiswa melaporkan bahwa sebelum mengikuti kegiatan itu mereka memiliki sikap yang kemudian mendapatkan tantangan setelah mengikuti kegiatan. Mereka mengakui memiliki personal bias (prasangka, berpikiran sempit, dll) yang dikonfrontir dalam kegiatan itu.. Mereka melaporkan menjadi lebih reseptif terhadap cara pandang orang lain.
2. Kegiatan itu membuat mereka lebih kritis terhadap perbedaan kultural diantara pelajar di dalam sekolah dan lebih mampu untuk memahami cara berpikir (perspectives-taking) orang-orang dalam kultur yang berbeda.
3. Mereka lebih terbuka terhadap isu-isu rasial/etnisitas dan membuat pikiran mereka lebih terbuka
4. Mereka melaporkan bahwa efek dari kegiatan itu ditransfer ke dalam kehidupan profesional mereka (termasuk didalamnya sebagai pengajar di sekolah).
2. ABC’s Model
Judul : Preservice Teachers Integrate Understandings of Diversity Into Literacy Intruction : An Adaptation of the ABC’s ModelPenulis : Hong XuSumber: Journal of Teacher Education, 2000, 51 (2) : 135-148.
Model ABC ini melandaskan premis bahwa seseorang harus memahami latar belakang kulturnya sendiri dan nilai-nilai didalamnya sebelum memahami latar belakang kultural orang lain. Belajar mengenai pengalaman hidup orang lain akan membawa seseorang ke budaya orang tersebut, dan analisis lintas budaya mengenai budaya sendiri dan budaya orang lain, pada gilirannya akan meningkatkan kesadaran akan kesamaan dan perbedaan diantara berbagai budaya.
Kegiatan peningkatan kompetensi multikultural model ABC ini merupakan proyek penelitian yang melibatkan 20 mahasiswa calon guru di Texas Tech University. Model ABC ini terdiri dari lima komponen, yaitu :
1. Otobiografi. Calon guru menulis otobiografi dengan memasukkan nilai-nilai budaya dan pengalaman hidup. Mereka juga menggambarkan tentang pengalaman belajar tulis menulis di rumah dan di sekolah.
2. Biografi. Calon guru membuat studi kasus dengan melakukan interview terhadap seorang murid mengenai latar belakang keluarga dan kulturnya, serta pengalaman belajar tulis menulis di rumah dan disekolah. Kemudian hasilnya ditulis dalam biografi.
3. Analisis lintas budaya. Calon guru mengidentifikasi persamaan dan perbedaan antara kisah tentang diri mereka dan studi kasus yang dilakukannya terhadap seorang murid tadi dengan menggunakan chart.
4. Analisis perbedaan budaya. Dikelas didiskusikan hasil dari analisis lintas budaya yang dan studi kasus yang dilakukan, serta ketidaknyamanan mereka terhadap perbedaan budaya.
5. Praktik di kelas. Calon guru berpraktik mengajar didepan kelas. Pertama ia harus mengetahui kemampuan menulis dan membaca murid-muridnya melalui mengeja dan membaca secara informal. Kemudian ia menerapkan pengetahuan mengenai strategi intruksional dan literatur anak-anak, terhadap murid-muridnya berdasarkan kebutuhan murid-murid tersebut. Mereka mendokumentasikan aplikasi setiap strategi dalam sebuah lembaran strategi dan mencatat literatur anak-anak di lembaran literatur. Di akhir tugas lapangan ini, mereka membuat laporan studi kasus dengan dilengkapi dengan pengalaman mengajar dan insight mereka dalam mengajar pelajar yang berbeda-beda.
Xu melakukan penelitian terhadap otobiografi, biografi, chart analisis lintas budaya, lembaran strategi dan literatur, serta melalui observasi langsung. Ia menemukan bahwa :
- Otobiografi membuat mereka lebih memahami latar belakang budaya sendiri.
- Mereka lebih memahami kultur dan keluarga murid dan kesulitan-kesulitan mereka dalam belajar tulis-menulis.
- Mereka menyadari adanya perbedaa-perbedaan antara diri mereka dengan murid-murid dan berpikir lebih positif mengenai perbedaan itu.
- Mereka mengeksplorasi dan mengintegrasikan perbedaan ke dalam intruksi pengajaran. Mereka melakukan dua pendekatan; 1) integrasi isi dari literatur multikultural, 2) mengaplikasikan strategi instruksional dalam membaca dan menulis yang sesuai dengan latar belakang murid.
3. The Cultural Immersion Project
Judul : Using Immersion Experiences to Shake Up Preservice Tachers’ Views About Cultural Diffrerences,Penulis : Lynda R. WiestSumber: Journal of Teacher Education, 1998, 49 (5) : 358-365.
"The cultural immersion Project” merupakan tugas wajib bagi mahasiswa calon guru di University of Nevada, yang tergabung dalam mata kuliah Aspek sosiokultural dalam pendidikan, yang juga sekaligus sebagai. penelitian yang dilakukan oleh Lynda R. Wiest. Proyek ini melibatkan tiga kelas, dengan total 86 subjek. Proyek ini bertujuan membantu mahasiswa mendapatkan pemahaman mengenai budaya lain dan mengerti bagaimana merasakan menjadi anggota kelompok minoritas, sebagai status yang subordinat di masyarakat. Proyek itu membuat mahasiswa calon guru berpartisipasi langsung ke dalam kultur yang tidak begitu dikenalnya selama minimum satu jam dan kemudian mempertimbangkan kemungkinan bagaimana penerapan pengajaran didepan kelas mengenai apa yang telah dipelajari.
1. Mereka harus memilih sebuah pengalaman dalam budaya yang berbeda dengan budayanya sendiri, dan itu harus minimal selama 1 jam.
2. Mereka tidak boleh hanya mengobservasi tetapi harus turut berpartisipasi dan berinteraksi dengan anggota kelompok budaya lainnya, jikalau mungkin.
3. Interaksi dengan anggota kelompok budaya lain tidak boleh hierarkis, interaksi itu harus terdapat adanya power yang seimbang.
4. Jika mungkin mereka memilih sebuah pengalaman budaya lain dalam situasi berbeda-beda.
5. Melakukannya sendiri, dan harus terpisah dengan rekan lain apabila mengambil suatu topik yang sama.
6. Mahasiswa harus menulis paper 4-5 halaman, sebagai laporan kegiatan itu. Laporan terdiri atas 3 bagian, yaitu : 1) Latar belakang, 2) Respon personal yang berisi, dan 3) Implikasi untuk pendidikan.,
Berdasarkan hasil penelitian melalui teknik komparatif dari 86 hasil paper yang dikumpulkan oleh mahasiswa, Wiest mengidentifikasi beberapa keuntungan dari program tersebut:
1. Informasi baru mengenai budaya khusus yang berbeda. Mahasiswa memperoleh informasi baru mengenai tradisi, adat, dan sikap yang berbeda dengan yang dimiliki.
2. Tantangan terhadap keyakinan dan pengertian yang dimiliki. Beberapa mahasiswa mengakui mendapatkan pengetahuan kultural yang melenyapkan stereotip, miskonsepsi, dan ketakutan-ketakutan terhadap kelompok yang dikunjungi.
3. Meningkatkan skil personal dan profesional. Mahasiswa mengalami peningkatan kemampuan untuk melihat sebuah situasi melalui perspektif budaya yang berbeda dan meningkatkan empati pada perasaan orang saat berada di dalam budaya yang dominan atau familiar.
4. Mendapatkan insight bagaimana mengajar pelajar yang berbeda-beda kulturnya. Beberapa mahasiswa mengatakan bahwa pelajar dari kelas bawah harus diperkuat kebutuhannya, yakni dalam kebutuhan fisik (pakaian, sepatu, dll), keamanan (stabilitas di sekolah), dan harga diri. Beberapa menyatakan bahwa pelajar dari kaum minoritas harus dibuat nyaman didalam kelas.
4. Service Learning
Judul : Crafting a Multicultural Science Teacher Education : A Case StudyPenulis : Angela Calabrese BartonSumber: Journal of Teacher Education, 1999, 50 (4) : 303-314.
Belajar melayani komunitas diartikan sebagai aktivitas belajar yang mengkombinasikan belajar di ruang kelas dengan aksi sosial dan pelayanan. Angela Barton mengaitkan antara service learning itu dengan kesiapan calon guru dalam menyelenggarakan pendidikan sains multikultural, yakni pengajaran sains yang tidak memiliki kendala latar belakang kultural. Dalam proyek yang diteliti Barton, service learning dilakukan dalam tiga tahapan :
1. Mahasiswa calon guru berpartisipasi dalam seminar yang mengeksplorasi berbagai teori dan praktik yang terkait dengan pendidikan sains, pendidikan multikultural, dan pendidikan kaum urban.
2. Mahasiswa calon guru berpartisipasi dalam merencanakan pelajaran dan persiapan seminar.
3. Mereka mengajar di Homeless-Children Shelter selama 2 kali seminggu. Mereka didorong untuk mengkontruksi cara-cara agar sains bisa dipahami berdasarkan nilai-nilai, keyakinan, pengalaman, dan kultur murid. Mereka juga didorong untuk mengajar secara privat.
Hasil dari kegiatan itu sebagai berikut :
1. Merubah ide mengenai pendidikan sains multikultural. Para calon guru memiliki ide-ide baru bagaimana mengajarkan sains yang berperspektif multikultural, dengan mengaitkan antara pendidikan sains multikultural dengan keadaan sekolah, dan permasalahan sosial-politik.
2. Merubah cara pandang mengenai pendidikan sains multikultural. Para calon guru awalnya melihat hal itu sama seperti pendidikan sains regular yang ditemui, tapi mereka akhirnya memperoleh pemahaman bahwa pendidikan sains di kultur yang berbeda juga berbeda. Mereka melihat pendidikan sains multikultural lebih kompleks
3. Para calon guru menjadi sadar bagaimana keyakinan mereka mengenai sains, persekolahan dan masyarakat mempengaruhi hubungan mereka dengan murid-murid.
-
Secara umum, keempat strategi mendasarkan pada asumsi bahwa dalam memahami segala sesuatu yang berbeda, masing-masing orang dari budaya yang berbeda memiliki prototip pikirannya sendiri yang berbeda satu sama lain dalam memahami realitas (Matsumoto, 1996). Memahami adanya perbedaan boleh jadi bisa meningkatkan pemahaman multikultur akan tetapi jauh lebih baik lagi apabila individu bisa langsung merasakan terlibat dalam budaya yang berbeda (Triandis, 1994). Dalam hal ini, strategi ‘The Cultural Immersion Project’ mensyaratkan mahasiswa untuk langsung terlibat dalam budaya yang berbeda sehingga langsung menyentuh ranah afektif. Demikian juga dengan strategi ‘Service Learning’ menghendaki adanya keterlibatan dengan orang-orang yang secara kultur berbeda, meskipun dengan intensitas yang lebih rendah. Adapun strategi ‘Issues Exchange Activity’ dan ‘ABC’s Models’ cenderung menggunakan ranah kognitif, yakni memahami adanya perbedaan budaya melalui beragam informasi yang berhasil dikumpulkan dari orang-orang yang berbeda budaya.
Empat strategi diatas menggunakan adanya otoritas yakni dosen pengampu mata kuliah sebagai legalisasi pelaksanaan kegiatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Brown (1996) dimana menurutnya strategi peningkatan pemahaman lintas budaya dan. pengurangan prasangka memerlukan adanya tekanan pihak otoritas sehingga kegiatan yang dilaksanakan bisa berjalan baik. Terlihat juga bahwa keempat strategi menggunakan kelas sebagai sarana pembelajaran. Shpancer (2004) menyebutkan bahwa agar strategi kelas berhasil baik dalam pengajaran, maka diperlukan strategi yang bisa membuat mahasiswa mencapai ‘insight’ hingga bisa tercetus ide “aha, saya mengerti”. Dari keempat strategi di atas tampak sekali bahwasanya semuanya berupaya untuk memberikan ‘insight’ kepada mahasiswa calon guru, baik melalui pengalaman maupun dari pengetahuan yang diperoleh sendiri, daripada sekedar memberikan pengetahuan adanya suatu kultur yang berbeda.
Diskusi
Pertanyaan yang biasa muncul ketika menggunakan studi literatur dari jurnal yang terbit di luar negeri adalah ‘apakah cara itu akan efektif diterapkan di Indonesia, mengingat budaya yang berbeda?’ Pertanyaan tersebut mungkin relevan ditanyakan berkait dengan tema makalah ini. Saya berasumsi bahwa strategi itu bisa diterapkan dengan mudah di Indonesia. Setidaknya ada dua alasan mengapa demikian, pertama, strategi itu melandaskan premis yang berlaku universal yaitu paradigma ingroup-outgroup yang menghasilkan prototip pikiran yang berbeda antar budaya yang berbeda. Oleh karena itu, sepanjang terdapat adanya perbedaan budaya di dalam masyarakat maka strategi itu bisa diterapkan. Kedua, strategi diatas bukan merupakan strategi yang terikat pada basis budaya individualistik maupun kolektivistik karena masing-masing dari tugas justru akan menyadarkan individu untuk memahami budayanya sendiri lebih baik serta memahami budaya yang berbeda dengan lebih baik pula. Artinya, strategi-strategi itu bisa berlaku disegala macam budaya yang berada dalam tataran modern, dengan sedikit penyesuaian tentunya. Pertanyaan yang lebih relevan adalah apakah strategi itu bisa diterapkan di Indonesia mengingat mahasiswa Indonesia pada umumnya kurang disipilin dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dosen, sebab strategi diatas memerlukan kesungguhan dalam mengerjakannnya.
Persoalan lain dari strategi diatas terkait dengan penelitian yang digunakan untuk mengetahui efektivitas kegiatan yang didasarkan pada laporan mahasiswa yang bisa sangat bias karena mahasiswa melaporkan hal-hal yang normatif. Oleh karena itu mungkin lebih baik apabila juga digunakan indikator atau alat ukur lain untuk menguji kebenaran pernyataan peserta.
Empat strategi diatas masing-masing dilakukan dengan melibatkan diri ke dalam kultur dan situasi yang berbeda dengan diri peserta. Semuanya memerlukan tindakan atau aksi langsung halmana membuat para peserta memiliki pengalaman berada dan ikut merasa dalam kultur yang berbeda. Akan tetapi sebenarnya masih ada lagi strategi yang lebih berorientasi kognitif yakni refleksi atas pengalaman kultural yang diperoleh melalui bacaan, film, cerita-cerita, dan sebagainya.
KesimpulanStrategi meningkatkan kompetensi calon guru agar bisa menjadi guru yang kompeten dalam pendidikan multikultural, setidaknya bisa dilakukan melalui empat cara, yakni strategi “Issues Exchange Activity”, “Service Learning”, “Model ABC” dan “Cultural Immersion”. Masing-masing strategi terbukti memiliki efek yang positif terhadap mahasiswa calon guru dalam memahami perbedaan kultural diantara murid-murid maupun antara dirinya dengan murid dan berbagai konsekuensinya dalam pendidikan. Lebih jauh pemahaman itu juga terbukti berefek positif terhadap meningkatnya pemahaman tentang bagaimana seharusnya pendidikan multikultural diselenggarakan.
Strategi diatas, dengan sedikit adaptasi, bisa diselenggarakan oleh institusi pendidikan di Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan bagi calon guru. Hal ini akan membantu para calon guru di Indonesia memiliki kompetensi dalam menyelenggarakan pendidikan multikultur. Sebuah ironi, bila ternyata ditengah suasana multikultur para guru tidak memiliki kompetensi untuk menyelenggarakan pendidikan multikultur.
-
Daftar Pustaka
-
Abdillah, U. (2001). Politik Identitas Etnis. Magelang : IndonesiaTera
Ancok, D.(2003). Modal Sosial dan Kualitas Masyarakat. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Psikologi UGM, tidak diterbitkan.
Banks, J.A. (1994). An Introduction to Multicultural Education. Boston : Allyn & Bacon.
Barton, A.C. (1999). Crafting a Multicultural Science Teacher Education : A Case Study. Journal of Teacher Education, 50 (4) : 303-314
Brown, R. (1995). Prejudice: It’s Social Psychology. Oxford: Blackwell Publishers Ltd.
Bryant, N.A. (1996). Make The Curriculum Multicultural. The Science Teacher, 63 (2), 28-31.
Cabello, B., & Burstein, N.D. (1995). Examining Teachers’ Beliefs about teaching in Culturally Diverse Classroom. Journal of Teacher Education, 46 : 285-294.
Lara-Alecio, R (2001). Science of the Maya: Ethnoscience in the Classroom. The Science Teacher, 68 (3), 48-51
Marshall, P.L. (1998). Toward Developmental Multicultural Education: A case Study of the Issues Exchange Activity. Journal of Teacher Education, 49 (1) :57-65
Matsumoto, D. (1996). Culture and Psychology. California : Brooks/Cole Publishing Co.
Santrock, J.W. (1999). Life Span Development, 7th ed. USA : Mc Graw Hill.
Siahaan, H. (2002). Sinophobia dan Ekslusivisme: antara Mitos dan Realitas, dalam Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta: Persembahan Kepada Teuku Ibrahim Alfian, Jakarta : Yayasan Masyarakat Sejarawan dan Sinergi Press, 479-490.
Shpancer, N (2004). What Makes Classroom Learning a Worthwhile Experience. Thought & Action, The NEA Higher Education Journal, 23-35.
Suryadinata, L. (1999). Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta : LP3ES.
Syah, M. (2002). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung : Rosda Karya.
Wiest, L.R. (1998). Using Immersion Experiences to Shake Up Preservice Tachers’ Views About Cultural Diffrerences. Journal of Teacher Education, 49 (5) : 358-365.
Xu, H. (2000). Preservice Teachers Integrate Understandings of Diversity Into Literacy Intruction : An Adaptation of the ABC’s Model. Journal of Teacher Education, 51 (2) : 135-148.