Oleh Achmanto Mendatu
Lebaran selalu berarti mudik, pulang kampung. Entah itu kampungnya ada dipelosok yang benar-benar kampung atau di tengah hiruk pikuk kota metropolitan. Meskipun tidak semua orang melakukannya, tapi setiap orang di negeri ini pasti paham, lebaran sama artinya dengan pulang. Bagi si perantau, pulang kembali ke kampung halaman keluarga asal untuk berkumpul lagi, meski sejenak. Entah hanya untuk melepaskan kangen, menunjukkan keberhasilan di rantau, atau pernyataan kekalahan di rantau.
Banyak orang pulang untuk menunjukkan keberhasilan di rantau, sebagai show kesuksesan, yang diwujudkan dalam benda-benda materi semacam mobil, aksesoris, perhiasan sampai oleh-oleh dan bagi-bagi uang pada kerabat. Ingin ditunjukkannya pada keluarga dan kerabat bahwa dirinya telah berhasil. Dan sudah selayaknya karena keberhasilan itu, untuk dihormati kaum kerabatnya. Seperti tetangga saya, bukan main dia. Baru saja 7 tahun merantau, dan selama itu belum pernah pulang, tahun lalu pulang bermobil BMW, berarloji rolex, dan logatnya sudah jakartaan. Tentu saja dia jadi bintang diantara kerabatnya. Dulu dia tidak di’anggep’ tapi kini orang-orang kampung ungguh-ungguh padanya. Hebat dia. Kepulangannya menaikkan status. Ia berhasil dalam perantauannya. Namun ini juga menyiratkan sesuatu yang merisaukan. Ada pergeseran makna pulang. Sekarang ini orang jadi malu untuk pulang mudik jika tidak cukup punya uang yang bisa dipamerkan dan dibagikan pada sanak kerabat. Ironisnya lagi, orang-orang yang dipulangi juga sangat mengharapkan cangkingan. Ujung-ujungnya jika membawa terlalu sedikit daripada tetangga, maka akan dibanding-bandingkan, akan diomongin yang membuat tidak enak hati. Jadi, benar juga prinsip ‘kalau tidak punya uang ya, tidak usah pulang.’
Tetangga saya yang lain, pulang tanpa membawa apapun yang bisa dipamerkan. Hanya membawa seransel pakaian untuk dirinya sendiri saja, untuk kemudian dibawanya kembali. Ia pulang hanya karena kangen semata-mata. Hanya demi berkumpul kembali bersama keluarga, atau mungkin menuntaskan kerinduan pada tanah kelahiran. Sesudahnya ia akan pergi lagi. Untuk cari sesuatu yang akan dibawanya pulang suatu saat nanti. Kebanyakan mahasiswa pulang atas alasan ini.
Nah, ada pula yang pulang untuk benar-benar pulang, tidak pergi-pergi lagi. Pulangnya sebagai pernyataan menyerah, bahwa tanah rantau bukan tanah yang cocok untuknya. Tempatnya terbaik di kampung jugalah. Tempat yang benar-benar dikenalnya sampai ke sudut-sudut yang tersembunyi. Momen lebaran adalah yang terbaik untuk ‘penyerahan’ itu. Saat dimana semua orang dekat berkumpul, dan saat memaafkan paling diutamakan (setidaknya menurut orang Indonesia). Maka permintaan maaf atas ‘kekalahan’ jadi benar-benar terasa afdol, lagi pula tak harus diverbalkan, toh semua orang juga mahfum.
Dalam dunia yang semakin individualis, kerekatan keluarga telah bergeser. Dulu, keluarga-keluarga inti adalah keluarga besar yang terdiri dari beberapa keluarga batih. Tapi kini, keluarga besar hanya terdiri dari ayah-ibu-anak. Tempat tinggalnya pun semakin jauh dari keluarga asal. Belum lagi hubungan-hubungan yang terbangun semakin lama semakin impersonal, hanya berdasarkan kefungsiannya dalam kerja.
Meminjam istilah JUNG, manusia modern adalah manusia-manusia yang teralienasi. Manusia yang terasing dari lingkungan sosial yang akrab, dari hubungan-hubungan yang erat. Manusia modern telah semakin kehilangan hubungan kekeluargaan yang akrab yang bisa memberi penerimaan tanpa syarat akan kondisi apapun anggota keluarga. Berbeda dengan hubungan-hubungan fungsional yang tumbuh pesat di zaman modern ini, yang menolak orang-orang yang tidak fungsional. Jadi, orang dituntut untuk terus menerus bersaing demi tetap fungsional. Dan itu melelahkan. Maka pulang menyediakan ruang-ruang untuk istirahat, ruang untuk menemukan kembali kedamaiannya dalam hubungan-hubungan akrab tanpa pamrih. Lewat pulang, ikatan-ikatan dengan keluarga besar yang longgar direkatkan kembali. Melalui pulang pula ruang-ruang kosong akibat keterasingan diisi kembali. Dan kerinduan akan hubungan-hubungan erat dengan keluarga sebagai hubungan yang tulus bisa dituntaskan.
Menarik melihat kenyataan begitu besarnya jumlah orang Indonesia yang bermudik lebaran. Pertanyaan yang begitu mengusik adalah apakah ada budaya orang Indonesia yang telah mendorong terciptanya budaya mudik? Bahwa mudik dilakukan oleh hampir semua etnik, mengisyaratkan adanya kesamaan diantara berbagai budaya di Indonesia yang mendorong mudik, apakah itu? Ataukah mudik hanya berakar pada satu budaya etnik, atau beberapa budaya etnik tertentu yang kemudian diadopsi oleh seluruh bangsa indonesia? Jika demikian, budaya etnik itu haruslah cukup berpengaruh.
Saya kira, budaya yang mendorong mudik memang ada pada setiap etnik di negeri ini. Pertama, budaya untuk meletakkan penghormatan yang tinggi pada orangtua dan orang-orang yang dituakan. Memang enak di Indonesia, semakin tua itu semakin terhormat sepanjang masih belum pikun. Penghormatan inilah yang jadi dasar jawaban setiap orang saat ditanya mengapa pulang, yakni ingin bertemu dengan orangtua, ingin ‘sungkem’ kata orang jawa.
Kedua, pola asuh dalam keluarga pada hampir semua etnik menekankan kelekatan pada keluarga. Sedari kecil, anak-anak Indonesia dididik untuk menghormati dan menjunjung tinggi kelurga, serta meleburkan diri pada keluarga dan budaya setempat. Anak-anak tidak pernah dibiarkan untuk bereksplorasi mencari permainannya sendiri, tetapi selalu diemong dan selalu ada yang memperhatikan, entah oleh orangtua maupun oleh saudara-saudaranya. Kurang ada kemandirian dan semangat berkompetisi karena semuanya telah dipenuhi. Maka muncullah perilaku lekat yang kuat pada keluarga. Pengorbanan diri demi kehormatan keluarga adalah falsafah yang ada pada hampir seluruh etnik yang ada di Indonesia. Bahwa kemudian mereka harus pergi dari keluarga inti untuk membentuk keluarga inti ditempat lain, tidak mengurangi kelekatan itu, hanya mengurangi ketergantungan. Dan pulang mudik lebaran, adalah refleksi kelekatan yang nyata.
Disisi lain, dimungkinkan mudik sebenarnya hanya didorong oleh satu budaya tertentu saja, tapi kemudian menyebar luas. Sejak zaman lampau beberapa etnik perantau seperti Minang, Batak, Bugis, atau Madura, sudah pasti mengenal mudik sebagai bagian dari kehidupan budayanya. Tapi ternyata, mudik lebaran menjadi populer pada waktu lebih belakangan, ketika orang jawa mulai menyebar ke seantero nusantara dalam jumlah yang relatif besar.
Falsafah ‘mangan ora mangan kumpul’nya Umar Kayam sebagai falsafah pada orang jawa merupakan hakekat dari kelekatan orang jawa pada keluarga. Agaknya inilah yang mendorong perilaku mudik orang jawa. Memang, sikap telah semakin berubah, kini yang berlaku adalah ‘kumpul ora kumpul sing penting mangan’. Akan tetapi hal itu didorong karena keterpaksaan. Merantaunya orang-orang jawa lebih karena didorong ‘daripada tidak mangan ditanah sendiri’ ketimbang dorongan ingin menjadi lebih sukses. Maka pulanglah orang-orang jawa pada saat lebaran guna meneruskan tradisi sungkem. Dan karena demikian besarnya jumlah orang jawa, serta apalagi pulau Jawa sebagai pusat-pusat nadi Indonesia, maka mudik itu mempengaruhi seluruh Indonesia. Lalu berbagai aturan makin menguatkan eksistensi mudik lebaran, seperti kebijakan libur dan tunjangan hari raya. Jadilah semakin lama mudik semakin mengakar, sampai taraf sekarang ini.
Mudik lebaran benar-benar telah membudaya. Pulang jadi bukan pulang kalau bukan saat lebaran. Meskipun dalam setahun sudah beberapa kali pulang, pertanyaan apakah akan pulang saat lebaran pasti mampir juga. Dan mudik lebaran tidak akan bisa hilang begitu saja dimasa depan, sepanjang orang-orang masih butuh ruang-ruang untuk istirahat dari persaingan zaman.
Lebaran selalu berarti mudik, pulang kampung. Entah itu kampungnya ada dipelosok yang benar-benar kampung atau di tengah hiruk pikuk kota metropolitan. Meskipun tidak semua orang melakukannya, tapi setiap orang di negeri ini pasti paham, lebaran sama artinya dengan pulang. Bagi si perantau, pulang kembali ke kampung halaman keluarga asal untuk berkumpul lagi, meski sejenak. Entah hanya untuk melepaskan kangen, menunjukkan keberhasilan di rantau, atau pernyataan kekalahan di rantau.
Banyak orang pulang untuk menunjukkan keberhasilan di rantau, sebagai show kesuksesan, yang diwujudkan dalam benda-benda materi semacam mobil, aksesoris, perhiasan sampai oleh-oleh dan bagi-bagi uang pada kerabat. Ingin ditunjukkannya pada keluarga dan kerabat bahwa dirinya telah berhasil. Dan sudah selayaknya karena keberhasilan itu, untuk dihormati kaum kerabatnya. Seperti tetangga saya, bukan main dia. Baru saja 7 tahun merantau, dan selama itu belum pernah pulang, tahun lalu pulang bermobil BMW, berarloji rolex, dan logatnya sudah jakartaan. Tentu saja dia jadi bintang diantara kerabatnya. Dulu dia tidak di’anggep’ tapi kini orang-orang kampung ungguh-ungguh padanya. Hebat dia. Kepulangannya menaikkan status. Ia berhasil dalam perantauannya. Namun ini juga menyiratkan sesuatu yang merisaukan. Ada pergeseran makna pulang. Sekarang ini orang jadi malu untuk pulang mudik jika tidak cukup punya uang yang bisa dipamerkan dan dibagikan pada sanak kerabat. Ironisnya lagi, orang-orang yang dipulangi juga sangat mengharapkan cangkingan. Ujung-ujungnya jika membawa terlalu sedikit daripada tetangga, maka akan dibanding-bandingkan, akan diomongin yang membuat tidak enak hati. Jadi, benar juga prinsip ‘kalau tidak punya uang ya, tidak usah pulang.’
Tetangga saya yang lain, pulang tanpa membawa apapun yang bisa dipamerkan. Hanya membawa seransel pakaian untuk dirinya sendiri saja, untuk kemudian dibawanya kembali. Ia pulang hanya karena kangen semata-mata. Hanya demi berkumpul kembali bersama keluarga, atau mungkin menuntaskan kerinduan pada tanah kelahiran. Sesudahnya ia akan pergi lagi. Untuk cari sesuatu yang akan dibawanya pulang suatu saat nanti. Kebanyakan mahasiswa pulang atas alasan ini.
Nah, ada pula yang pulang untuk benar-benar pulang, tidak pergi-pergi lagi. Pulangnya sebagai pernyataan menyerah, bahwa tanah rantau bukan tanah yang cocok untuknya. Tempatnya terbaik di kampung jugalah. Tempat yang benar-benar dikenalnya sampai ke sudut-sudut yang tersembunyi. Momen lebaran adalah yang terbaik untuk ‘penyerahan’ itu. Saat dimana semua orang dekat berkumpul, dan saat memaafkan paling diutamakan (setidaknya menurut orang Indonesia). Maka permintaan maaf atas ‘kekalahan’ jadi benar-benar terasa afdol, lagi pula tak harus diverbalkan, toh semua orang juga mahfum.
Dalam dunia yang semakin individualis, kerekatan keluarga telah bergeser. Dulu, keluarga-keluarga inti adalah keluarga besar yang terdiri dari beberapa keluarga batih. Tapi kini, keluarga besar hanya terdiri dari ayah-ibu-anak. Tempat tinggalnya pun semakin jauh dari keluarga asal. Belum lagi hubungan-hubungan yang terbangun semakin lama semakin impersonal, hanya berdasarkan kefungsiannya dalam kerja.
Meminjam istilah JUNG, manusia modern adalah manusia-manusia yang teralienasi. Manusia yang terasing dari lingkungan sosial yang akrab, dari hubungan-hubungan yang erat. Manusia modern telah semakin kehilangan hubungan kekeluargaan yang akrab yang bisa memberi penerimaan tanpa syarat akan kondisi apapun anggota keluarga. Berbeda dengan hubungan-hubungan fungsional yang tumbuh pesat di zaman modern ini, yang menolak orang-orang yang tidak fungsional. Jadi, orang dituntut untuk terus menerus bersaing demi tetap fungsional. Dan itu melelahkan. Maka pulang menyediakan ruang-ruang untuk istirahat, ruang untuk menemukan kembali kedamaiannya dalam hubungan-hubungan akrab tanpa pamrih. Lewat pulang, ikatan-ikatan dengan keluarga besar yang longgar direkatkan kembali. Melalui pulang pula ruang-ruang kosong akibat keterasingan diisi kembali. Dan kerinduan akan hubungan-hubungan erat dengan keluarga sebagai hubungan yang tulus bisa dituntaskan.
Menarik melihat kenyataan begitu besarnya jumlah orang Indonesia yang bermudik lebaran. Pertanyaan yang begitu mengusik adalah apakah ada budaya orang Indonesia yang telah mendorong terciptanya budaya mudik? Bahwa mudik dilakukan oleh hampir semua etnik, mengisyaratkan adanya kesamaan diantara berbagai budaya di Indonesia yang mendorong mudik, apakah itu? Ataukah mudik hanya berakar pada satu budaya etnik, atau beberapa budaya etnik tertentu yang kemudian diadopsi oleh seluruh bangsa indonesia? Jika demikian, budaya etnik itu haruslah cukup berpengaruh.
Saya kira, budaya yang mendorong mudik memang ada pada setiap etnik di negeri ini. Pertama, budaya untuk meletakkan penghormatan yang tinggi pada orangtua dan orang-orang yang dituakan. Memang enak di Indonesia, semakin tua itu semakin terhormat sepanjang masih belum pikun. Penghormatan inilah yang jadi dasar jawaban setiap orang saat ditanya mengapa pulang, yakni ingin bertemu dengan orangtua, ingin ‘sungkem’ kata orang jawa.
Kedua, pola asuh dalam keluarga pada hampir semua etnik menekankan kelekatan pada keluarga. Sedari kecil, anak-anak Indonesia dididik untuk menghormati dan menjunjung tinggi kelurga, serta meleburkan diri pada keluarga dan budaya setempat. Anak-anak tidak pernah dibiarkan untuk bereksplorasi mencari permainannya sendiri, tetapi selalu diemong dan selalu ada yang memperhatikan, entah oleh orangtua maupun oleh saudara-saudaranya. Kurang ada kemandirian dan semangat berkompetisi karena semuanya telah dipenuhi. Maka muncullah perilaku lekat yang kuat pada keluarga. Pengorbanan diri demi kehormatan keluarga adalah falsafah yang ada pada hampir seluruh etnik yang ada di Indonesia. Bahwa kemudian mereka harus pergi dari keluarga inti untuk membentuk keluarga inti ditempat lain, tidak mengurangi kelekatan itu, hanya mengurangi ketergantungan. Dan pulang mudik lebaran, adalah refleksi kelekatan yang nyata.
Disisi lain, dimungkinkan mudik sebenarnya hanya didorong oleh satu budaya tertentu saja, tapi kemudian menyebar luas. Sejak zaman lampau beberapa etnik perantau seperti Minang, Batak, Bugis, atau Madura, sudah pasti mengenal mudik sebagai bagian dari kehidupan budayanya. Tapi ternyata, mudik lebaran menjadi populer pada waktu lebih belakangan, ketika orang jawa mulai menyebar ke seantero nusantara dalam jumlah yang relatif besar.
Falsafah ‘mangan ora mangan kumpul’nya Umar Kayam sebagai falsafah pada orang jawa merupakan hakekat dari kelekatan orang jawa pada keluarga. Agaknya inilah yang mendorong perilaku mudik orang jawa. Memang, sikap telah semakin berubah, kini yang berlaku adalah ‘kumpul ora kumpul sing penting mangan’. Akan tetapi hal itu didorong karena keterpaksaan. Merantaunya orang-orang jawa lebih karena didorong ‘daripada tidak mangan ditanah sendiri’ ketimbang dorongan ingin menjadi lebih sukses. Maka pulanglah orang-orang jawa pada saat lebaran guna meneruskan tradisi sungkem. Dan karena demikian besarnya jumlah orang jawa, serta apalagi pulau Jawa sebagai pusat-pusat nadi Indonesia, maka mudik itu mempengaruhi seluruh Indonesia. Lalu berbagai aturan makin menguatkan eksistensi mudik lebaran, seperti kebijakan libur dan tunjangan hari raya. Jadilah semakin lama mudik semakin mengakar, sampai taraf sekarang ini.
Mudik lebaran benar-benar telah membudaya. Pulang jadi bukan pulang kalau bukan saat lebaran. Meskipun dalam setahun sudah beberapa kali pulang, pertanyaan apakah akan pulang saat lebaran pasti mampir juga. Dan mudik lebaran tidak akan bisa hilang begitu saja dimasa depan, sepanjang orang-orang masih butuh ruang-ruang untuk istirahat dari persaingan zaman.