Oleh Achmanto Mendatu
Masihkah agama digunakan untuk menilai moral? Tampaknya tidak. Penilaian moral telah bergeser dari rumusan agama kepada rumusan humanisme universal. Sekarang orang tidak memerlukan rumusan-rumusan agama untuk menilai apakah seseorang bermoral atau tidak, apakah suatu tindakan dinilai bermoral atau amoral. Orang cukup menyandarkan pegangan pada apakah seseorang itu merugikan orang lain atau tidak. Suatu tindakan dikatakan tidak bermoral hanya jika tindakan itu merugikan orang lain. Maka wajar saja Inul dibela dimana-mana, sebab nyata ia tidak merugikan siapa-siapa.
Resistensi terhadap agama
Atas nama moral dan agama, Rhoma Irama bersama rekan-rekannya ‘mencekal’ Inul. Dikatakannya goyangan inul mesum, merusak moral, dan berakibat buruk terhadap citra dangdut. Bentuk konkret awal, Inul dilarang menyanyikan lagu-lagu karya anggota PAMMI yang diketuai Rhoma (kompas, 30 April). Lekas saja reaksi berdatangan dari mana-mana. Berbagai pihak meyesalkan sikap Rhoma yang menuntut pertobatan Inul (berita TV menyatakan pertobatan Inul dirayakan dengan syukuran). Jika kita dengar pembicaraan di warung-warung kopi, di pasar, di tempat parkir, hampir bulat mereka membela Inul. Tidak lain ini adalah bentuk resistensi masyarakat terhadap agama yang selalu dipakai untuk menekan.
“Agama melarang!’ demikian mungkin alasan yang digunakan. Tapi lekas jawaban itu akan diabaikan, atau bahkan ditertawakan. Bahasa agama tidak lagi digunakan (setidaknya tidak seperti dulu) dalam membahas persoalan-persoalan masyarakat. Pengatasnamaan agama untuk urusan publik biasanya lekas dicurigai membawa misi-misi tertentu yang bakal mengancam kebebasan, sesuatu yang telah diperjuangkan susah payah.
Agama telah ditafsirkan sebagai belenggu manusia. Penafsiran itu tentu bukan tanpa alasan. Kekerasan atas nama agama adalah kisah klasik. Dalam berbagai bentuknya seperti penganiayaan, pembunuhan, penghancuran, pemaksaan, kekerasan atas nama agama menjadi tragedi kemanusiaan terbesar. Pada zamannya, orang takut menulis hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan agama karena menghadapi ancaman pembunuhan. Orang khawatir untuk mengungkap keburukan hal-hal yang telah menjadi tradisi dalam agama karena bakal di cap sebagai kafir. Hal- hal demikian sangat bertolak belakang dengan semangat humanisme yang dibawa agama.
Sekarang ini ditengah kita, kekerasan atas nama agama terus berlangsung. Ambil contoh kasus Inul. Dipandang dari sisi agama (Islam), goyang Inul jelas dikategorikan sebagai terlarang. Maka menjadi merasa absahlah orang yang merasa wakil Tuhan untuk menegakkan agama dengan mencekal Inul. Pencekalan dalam arti apapun berarti pengekangan, halmana masuk dalam kategori kekerasan. Penghancuran tempat-tempat tertentu atas nama agama yang masih kerap terjadi, tidak bisa tidak mesti dikategorikan sebagai kekerasan. Yang tidak terlupakan adalah berbunuhan atas nama agama seperti kasus ambon beberapa waktu lalu. Hal-hal demikian hanya memperpuruk citra agama. Baik yang mengalami langsung ataupun tidak, mereka menjadi bertanya-tanya apa arti agama bagi kemanusiaan. Orang akhirnya menjadi resisten terhadap agama. Maka semakin terusirlah agama dari ruang publik ke dalam ruang-ruang yang sangat pribadi, atau bahkan menjadi anti agama meski tidak anti Tuhan. Orang beralih dari bahasa agama kepada humanisme, yakni penghormatan orang lain dalam identitasnya, dengan keyakinan-keyakinannya, dengan kepercayaan-kepercayaannya, cita-citanya, ketakutan-ketakutan dan kebutuhan-kebutuhannya.
Bahwa agama tidak dapat dilepaskan dari konteks sosialnya telah dimengerti semua orang. Lalu bagaimana nasib agama, ketika agama tidak lagi dibutuhkan dalam merumuskan persoalan kemanusiaan? Inilah tantangan buat agama-agama.
Masa depan moralitas agama
Sampai sekarang kita masih sering mendengar pengkotak-kotakan moralitas berdasarkan agama. Ada moralitas Islam, moralitas kristen, moralitas Hindu, dan seterusnya. Seakan-akan setiap agama memiliki moralitasnya sendiri yang berbeda dengan agama lain. Yang satu ekslusif terhadap yang lain.
Akibat dari eklusivitas moralitas, perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan atas nama agama dicurigai membawa kepentingan-kepentingan tertentu yang mengancam eksistensi agama lain. Jarang terjadi kegiatan kemanusiaan yang membawa bendera agama akan diterima tanpa kecurigaan, bila sasaran kegiatan kemanusiaan itu beragama lain. Pun bahkan bila sasarannya berbendera agama yang sama, lebih sering kegiatan semacam itu dinilai sebagai misi agama untuk memperkuat pengaruh. Dalam praktek, kegiatan kemanusiaan semacam itu sering diikuti dengan kegiatan-kegiatan keagamaan, entah ceramah, nyanyi bersama dan lainnya.
Orang lantas menjadi jengah karenanya dan lari dari bingkai-bingkai agama dalam tindakan kemanusiaan. Bukti konkret, bantuan-bantuan kemanusiaan yang berbendera non-agama jauh lebih besar daripada yang berbendera agama. Di lapangan, mereka juga lebih mudah diterima.
Hanya dengan suatu standar yang tetap kita bisa menilai suatu hal telah berubah menjadi semakin baik atau semakin buruk. Dalam hal moral kita senantiasa di doktrin bahwa moral kita semakin rusak dari zaman ke zaman. Standarnya jelas, yakni standar agama. Akan tetapi ketika humanisme menjadi pegangan saat ini, moralitas menjadi relatif. Sebab moralitas tidak lagi dimonopoli oleh institusi tertentu atau agama tertentu dalam menafsirkannya. Setiap orang berhak menentukan moralitasnya sendiri. Namun karena moral tidak dapat terlepas dari konteks sosialnya, maka moralitas seseorang juga dibatasi dengan hak orang lain untuk tidak dirugikan. Seorang Rhoma boleh saja menilai Inul tidak bermoral, tapi dia tidak berhak untuk melakukan tindakan apapun terhadapnya.
Mengambil contoh kasus Inul, menjadi jelas kiranya bahwa penegakan moral atas nama agama ternyata mulai tidak diterima, karena penegakan itu sering bersifat represif, halmana sangat bertentangan dengan semangat humanisme.Sepakat dengan Frans Magnis; jika agama ingin tetap diterima maka agama harus menjadi humanis. Seperti juga B. Kieser yang menyatakan bahwa agama hanya akan punya masa depan, hanya kalau menjadi agama bagi manusia. Artinya hanya relevan bila dapat mengontrol kecenderungannya untuk menindas, bila ikut membendung arus kekerasan dan berhenti memicunya. Hanya dalam posisi humanis, moralitas agama akan diterima.
Masihkah agama digunakan untuk menilai moral? Tampaknya tidak. Penilaian moral telah bergeser dari rumusan agama kepada rumusan humanisme universal. Sekarang orang tidak memerlukan rumusan-rumusan agama untuk menilai apakah seseorang bermoral atau tidak, apakah suatu tindakan dinilai bermoral atau amoral. Orang cukup menyandarkan pegangan pada apakah seseorang itu merugikan orang lain atau tidak. Suatu tindakan dikatakan tidak bermoral hanya jika tindakan itu merugikan orang lain. Maka wajar saja Inul dibela dimana-mana, sebab nyata ia tidak merugikan siapa-siapa.
Resistensi terhadap agama
Atas nama moral dan agama, Rhoma Irama bersama rekan-rekannya ‘mencekal’ Inul. Dikatakannya goyangan inul mesum, merusak moral, dan berakibat buruk terhadap citra dangdut. Bentuk konkret awal, Inul dilarang menyanyikan lagu-lagu karya anggota PAMMI yang diketuai Rhoma (kompas, 30 April). Lekas saja reaksi berdatangan dari mana-mana. Berbagai pihak meyesalkan sikap Rhoma yang menuntut pertobatan Inul (berita TV menyatakan pertobatan Inul dirayakan dengan syukuran). Jika kita dengar pembicaraan di warung-warung kopi, di pasar, di tempat parkir, hampir bulat mereka membela Inul. Tidak lain ini adalah bentuk resistensi masyarakat terhadap agama yang selalu dipakai untuk menekan.
“Agama melarang!’ demikian mungkin alasan yang digunakan. Tapi lekas jawaban itu akan diabaikan, atau bahkan ditertawakan. Bahasa agama tidak lagi digunakan (setidaknya tidak seperti dulu) dalam membahas persoalan-persoalan masyarakat. Pengatasnamaan agama untuk urusan publik biasanya lekas dicurigai membawa misi-misi tertentu yang bakal mengancam kebebasan, sesuatu yang telah diperjuangkan susah payah.
Agama telah ditafsirkan sebagai belenggu manusia. Penafsiran itu tentu bukan tanpa alasan. Kekerasan atas nama agama adalah kisah klasik. Dalam berbagai bentuknya seperti penganiayaan, pembunuhan, penghancuran, pemaksaan, kekerasan atas nama agama menjadi tragedi kemanusiaan terbesar. Pada zamannya, orang takut menulis hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan agama karena menghadapi ancaman pembunuhan. Orang khawatir untuk mengungkap keburukan hal-hal yang telah menjadi tradisi dalam agama karena bakal di cap sebagai kafir. Hal- hal demikian sangat bertolak belakang dengan semangat humanisme yang dibawa agama.
Sekarang ini ditengah kita, kekerasan atas nama agama terus berlangsung. Ambil contoh kasus Inul. Dipandang dari sisi agama (Islam), goyang Inul jelas dikategorikan sebagai terlarang. Maka menjadi merasa absahlah orang yang merasa wakil Tuhan untuk menegakkan agama dengan mencekal Inul. Pencekalan dalam arti apapun berarti pengekangan, halmana masuk dalam kategori kekerasan. Penghancuran tempat-tempat tertentu atas nama agama yang masih kerap terjadi, tidak bisa tidak mesti dikategorikan sebagai kekerasan. Yang tidak terlupakan adalah berbunuhan atas nama agama seperti kasus ambon beberapa waktu lalu. Hal-hal demikian hanya memperpuruk citra agama. Baik yang mengalami langsung ataupun tidak, mereka menjadi bertanya-tanya apa arti agama bagi kemanusiaan. Orang akhirnya menjadi resisten terhadap agama. Maka semakin terusirlah agama dari ruang publik ke dalam ruang-ruang yang sangat pribadi, atau bahkan menjadi anti agama meski tidak anti Tuhan. Orang beralih dari bahasa agama kepada humanisme, yakni penghormatan orang lain dalam identitasnya, dengan keyakinan-keyakinannya, dengan kepercayaan-kepercayaannya, cita-citanya, ketakutan-ketakutan dan kebutuhan-kebutuhannya.
Bahwa agama tidak dapat dilepaskan dari konteks sosialnya telah dimengerti semua orang. Lalu bagaimana nasib agama, ketika agama tidak lagi dibutuhkan dalam merumuskan persoalan kemanusiaan? Inilah tantangan buat agama-agama.
Masa depan moralitas agama
Sampai sekarang kita masih sering mendengar pengkotak-kotakan moralitas berdasarkan agama. Ada moralitas Islam, moralitas kristen, moralitas Hindu, dan seterusnya. Seakan-akan setiap agama memiliki moralitasnya sendiri yang berbeda dengan agama lain. Yang satu ekslusif terhadap yang lain.
Akibat dari eklusivitas moralitas, perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan atas nama agama dicurigai membawa kepentingan-kepentingan tertentu yang mengancam eksistensi agama lain. Jarang terjadi kegiatan kemanusiaan yang membawa bendera agama akan diterima tanpa kecurigaan, bila sasaran kegiatan kemanusiaan itu beragama lain. Pun bahkan bila sasarannya berbendera agama yang sama, lebih sering kegiatan semacam itu dinilai sebagai misi agama untuk memperkuat pengaruh. Dalam praktek, kegiatan kemanusiaan semacam itu sering diikuti dengan kegiatan-kegiatan keagamaan, entah ceramah, nyanyi bersama dan lainnya.
Orang lantas menjadi jengah karenanya dan lari dari bingkai-bingkai agama dalam tindakan kemanusiaan. Bukti konkret, bantuan-bantuan kemanusiaan yang berbendera non-agama jauh lebih besar daripada yang berbendera agama. Di lapangan, mereka juga lebih mudah diterima.
Hanya dengan suatu standar yang tetap kita bisa menilai suatu hal telah berubah menjadi semakin baik atau semakin buruk. Dalam hal moral kita senantiasa di doktrin bahwa moral kita semakin rusak dari zaman ke zaman. Standarnya jelas, yakni standar agama. Akan tetapi ketika humanisme menjadi pegangan saat ini, moralitas menjadi relatif. Sebab moralitas tidak lagi dimonopoli oleh institusi tertentu atau agama tertentu dalam menafsirkannya. Setiap orang berhak menentukan moralitasnya sendiri. Namun karena moral tidak dapat terlepas dari konteks sosialnya, maka moralitas seseorang juga dibatasi dengan hak orang lain untuk tidak dirugikan. Seorang Rhoma boleh saja menilai Inul tidak bermoral, tapi dia tidak berhak untuk melakukan tindakan apapun terhadapnya.
Mengambil contoh kasus Inul, menjadi jelas kiranya bahwa penegakan moral atas nama agama ternyata mulai tidak diterima, karena penegakan itu sering bersifat represif, halmana sangat bertentangan dengan semangat humanisme.Sepakat dengan Frans Magnis; jika agama ingin tetap diterima maka agama harus menjadi humanis. Seperti juga B. Kieser yang menyatakan bahwa agama hanya akan punya masa depan, hanya kalau menjadi agama bagi manusia. Artinya hanya relevan bila dapat mengontrol kecenderungannya untuk menindas, bila ikut membendung arus kekerasan dan berhenti memicunya. Hanya dalam posisi humanis, moralitas agama akan diterima.