by Achmanto Mendatu
Kumpul kebo dalam arti hidup bersama dan melakukan hubungan seksual tanpa menikah, merupakan fenomena yang sangat biasa dan dimaklumi secara kultural di negara-negara barat. Contoh paling gamblang adalah kisah banyak pemain sepakbola di liga-liga utama di Eropa yang hampir selalu hidup serumah dengan pacar-pacarnya kendatipun mereka belum menikah. Tidak jarang mereka baru menikah setelah memiliki satu atau dua orang anak. Sebut saja misalnya Wayne Rooney dari MU, Frank Lampard dari Chelsea, Patrick Kluivert dari Valencia dan John Carew dari PSG. Mereka adalah pesepakbola tersohor di dunia. Oleh karenanya kehidupan kumpul kebonya juga menjadi berita di media. Namun meskipun demikian, kehidupan mereka tidak menimbulkan gaduh sosial karena kultur di negeri barat melazimkan kehidupan kumpul kebo.
Bagaimana dengan kumpul kebo di Indonesia? Rupa-rupanya kultur Indonesia tetap memandang kumpul kebo sebagai tabu. Norma-norma Indonesia tidak menyediakan ruang bagi kumpul kebo. Oleh karena itu berita seseorang menjalani kehidupan kumpul kebo akan menjadi gaduh sosial. Misalnya pernah terbetik berita adanya pengusiran pasangan kumpul kebo oleh warga kampung. Namun demikian norma yang menabukan kumpul kebo dan sanksi sosial yang mengancam pelakunya ternyata tidak cukup kuat untuk sekedar mengerem laju percepatan pasangan kumpul kebo. Dari hari ke hari semakin banyak pasangan melakukan kumpul kebo.
Sebenarnya dari mana kumpul kebo berakar? Jejaknya bisa kita telusuri dalam kulur masyarakat modern. Di satu sisi budaya modern mengajak individu untuk mempercayai cinta sebagai dasar tindakan. Di sisi lain mereka ketakutan untuk sungguh-sungguh melakukannya karena adanya nilai-nilai yang menekankan independensi individu. Akibatnya individu dalam masyarakat modern adalah individu yang terbelah. Sebagai manusia mereka perlu seks dan cinta, dan itu harfiah, tapi mereka enggan dengan legalisasinya. Sebuah legalisasi seks dan juga cinta dalam bentuk pernikahan bermakna gangguan terhadap independensi dan kebebasan individu. Maka, tak usah heran apabila kumpul kebo tumbuh subur sebab itulah jalan tengah bagi perasaan terbelah. Melalui kumpul kebo mereka mendapat cinta sekaligus seks tanpa mengorbankan kebebasan dan independesinya.
Sebenarnya kumpul kebo itu baik atau buruk? Demikian pertanyaan sentral yang muncul ketika membahas fenomena itu. Dari jawabannya lantas bisa ditentukan apakah kumpul kebo bisa menjadi pilihan untuk dijalani atau dihindari. Selama ini kebanyakan pembicaraan mengenai kumpul kebo berjalan di aras norma dan moral. Tidaklah mengherankan apabila jawabannya tunggal, yakni bahwa kumpul kebo adalah sesuatu yang buruk dan harus dihindari. Moralitas agama paling ekstrem memburukkannya dengan melabelinya sebagai dosa.
Sekarang saatnya untuk melihat kumpul kebo dari sisi berbeda. Jangan terjebak hanya berbicara mengenai perilaku kumpul kebonya dari perspektif moralitas umumnya masyarakat. Lebih penting adalah bagaimana pengaruhnya terhadap para pelaku kumpul kebo itu sendiri. Kiranya itu lebih objektif untuk menilai apakah kumpul kebo baik atau buruk. Jika memang pelaku kumpul kebo memperoleh manfaat positif dari perilakunya mengapa mereka harus dikecam lalu diberantas? Sebaliknya jika memang memperoleh manfaat negatif yang lebih banyak maka selayaknya kumpul kebo dikampanyekan untuk dihindari.
Sebuah penelitian mengenai pengaruh status pernikahan dengan tingkat depresi yang dilakukan oleh Robin dan Feigers di Amerika Serikat membuktikan bahwa mereka yang menikah adalah mereka yang memiliki tingkat depresi paling rendah. Mereka yang kumpul kebo memiliki tingkat depresi 5 kali lipat dibandingkan dengan mereka yang menikah. Jadi, jika kita gampangkan, mereka yang menikah memiliki tingkat kebahagiaan 5 kali lipat daripada mereka yang kumpul kebo.
Hasil penelitian diatas dilakukan di Amrik yang kulturnya notabene sangat permisif dengan kumpul kebo. Tidak ada kecaman atau sanksi sosial bagi pelaku kumpul kebo disana. Namun toh ternyata tetap saja pelaku kumpul kebo jauh lebih menderita daripada yang menikah. Dimungkinkan hal itu disebabkan karena mereka yang kumpul kebo kurang menikmati dukungan dari pasangan dan kurang merasa terikat. Padahal dukungan dari pasangan merupakan determinan penting bagi kebahagiaan seseorang. Demikian juga perasaan memiliki dan dimiliki atau perasaan terikat. Sebuah penelitian membuktikan bahwa perasaan terikat dengan pasangan menyebabkan orang menikah lebih berbahagia daripada yang tidak. Lalu bagaimana dengan para pelaku kumpul kebo di Indonesia?
Belum ada penelitian yang membandingkan antara mereka yang menikah dan mereka yang kumpul kebo di Indonesia. Tapi dapatlah kita membuat beberapa asumsi. Individu-individu dalam budaya kolektivistik seperti Indonesia secara alamiah skema kognitifnya cenderung untuk menyesuaikan dengan masyarakat. Perbedaan menimbulkan ketidaknyamanan. Oleh sebab itu jika tanpa adanya sanksi sosial dan pertentangan moral para pelaku kumpul kebo sudah memiliki tingkat depresi 5 kali lipat lebih tinggi daripada yang menikah, maka bisa diduga bahwa yang mengalami pertentangan moral serta ancaman sanksi sosial seperti di Indonesia tentunya memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi lagi. Pelaku kumpul kebo mengalami kecemasan karena perilakunya yang menyimpang dari norma masyarakat. Dibalik apologinya bahwa kumpul kebo merupakan sikap hidup yang dipilih, mereka tetap khawatir akan diketahui oleh kalangan keluarga dan masyarakat luas.
Penelitian lainnya oleh Kurdek dan Schmitt menunjukkan dengan gamblang bahwasanya para pelaku kumpul kebo memiliki derajat kepuasan hubungan lebih rendah dibandingkan dengan pasangan menikah. Pun bahkan dibandingkan dengan pasangan lesbian ataupun gay, pelaku kumpul kebo tetap memiliki derajat kepuasan lebih rendah. Artinya kumpul kebo sesungguhnya tidak memberikan kepuasan terhadap pelakunya. Paling tidak, kepuasan yang diperoleh pelaku kumpul kebo tidak setinggi dibanding bila menikah. Apabila kepuasan hubungan dikaitkan dengan kualitas hubungan, maka dapatlah kita berkesimpulan bahwasanya kumpul kebo tidak memiliki kualitas sebaik pernikahan.
Seperti kita lihat, sangat jelas bahwasanya kumpul kebo tidak lebih baik daripada menikah. Pelaku kumpul kebo mengalami depresi yang jauh lebih tinggi dan mengalami kepuasan yang lebih rendah dibandingkan mereka yang menikah. Kualitas hubungannya juga lebih rendah. Oleh karena itu cukuplah kiranya itu sebagai alasan untuk menghindari kumpul kebo. Bagaimanapun fakta membuktikan bahwa kumpul kebo lebih memberikan efek negatif. Pernikahan, meski banyak dicibir oleh yang mengaku modern, tetap jauh lebih baik.
Bayangkan saja, di Amrik kumpul kebo diakui tidak lebih baik daripada menikah padahal disana kumpul kebo dilazimkan. Apalagi di Indonesia yang jelas-jelas memandang kumpul kebo sebagai tabu. Tentunya kumpul kebo di Indonesia akan berefek lebih buruk bagi pelakunya daripada di Amrik. Jadi, apakah kumpul kebo tetap akan menjadi pilihan? Saya jelas tidak akan memilihnya. Bukan karena alasan moral, tapi efeknya
Kumpul kebo dalam arti hidup bersama dan melakukan hubungan seksual tanpa menikah, merupakan fenomena yang sangat biasa dan dimaklumi secara kultural di negara-negara barat. Contoh paling gamblang adalah kisah banyak pemain sepakbola di liga-liga utama di Eropa yang hampir selalu hidup serumah dengan pacar-pacarnya kendatipun mereka belum menikah. Tidak jarang mereka baru menikah setelah memiliki satu atau dua orang anak. Sebut saja misalnya Wayne Rooney dari MU, Frank Lampard dari Chelsea, Patrick Kluivert dari Valencia dan John Carew dari PSG. Mereka adalah pesepakbola tersohor di dunia. Oleh karenanya kehidupan kumpul kebonya juga menjadi berita di media. Namun meskipun demikian, kehidupan mereka tidak menimbulkan gaduh sosial karena kultur di negeri barat melazimkan kehidupan kumpul kebo.
Bagaimana dengan kumpul kebo di Indonesia? Rupa-rupanya kultur Indonesia tetap memandang kumpul kebo sebagai tabu. Norma-norma Indonesia tidak menyediakan ruang bagi kumpul kebo. Oleh karena itu berita seseorang menjalani kehidupan kumpul kebo akan menjadi gaduh sosial. Misalnya pernah terbetik berita adanya pengusiran pasangan kumpul kebo oleh warga kampung. Namun demikian norma yang menabukan kumpul kebo dan sanksi sosial yang mengancam pelakunya ternyata tidak cukup kuat untuk sekedar mengerem laju percepatan pasangan kumpul kebo. Dari hari ke hari semakin banyak pasangan melakukan kumpul kebo.
Sebenarnya dari mana kumpul kebo berakar? Jejaknya bisa kita telusuri dalam kulur masyarakat modern. Di satu sisi budaya modern mengajak individu untuk mempercayai cinta sebagai dasar tindakan. Di sisi lain mereka ketakutan untuk sungguh-sungguh melakukannya karena adanya nilai-nilai yang menekankan independensi individu. Akibatnya individu dalam masyarakat modern adalah individu yang terbelah. Sebagai manusia mereka perlu seks dan cinta, dan itu harfiah, tapi mereka enggan dengan legalisasinya. Sebuah legalisasi seks dan juga cinta dalam bentuk pernikahan bermakna gangguan terhadap independensi dan kebebasan individu. Maka, tak usah heran apabila kumpul kebo tumbuh subur sebab itulah jalan tengah bagi perasaan terbelah. Melalui kumpul kebo mereka mendapat cinta sekaligus seks tanpa mengorbankan kebebasan dan independesinya.
Sebenarnya kumpul kebo itu baik atau buruk? Demikian pertanyaan sentral yang muncul ketika membahas fenomena itu. Dari jawabannya lantas bisa ditentukan apakah kumpul kebo bisa menjadi pilihan untuk dijalani atau dihindari. Selama ini kebanyakan pembicaraan mengenai kumpul kebo berjalan di aras norma dan moral. Tidaklah mengherankan apabila jawabannya tunggal, yakni bahwa kumpul kebo adalah sesuatu yang buruk dan harus dihindari. Moralitas agama paling ekstrem memburukkannya dengan melabelinya sebagai dosa.
Sekarang saatnya untuk melihat kumpul kebo dari sisi berbeda. Jangan terjebak hanya berbicara mengenai perilaku kumpul kebonya dari perspektif moralitas umumnya masyarakat. Lebih penting adalah bagaimana pengaruhnya terhadap para pelaku kumpul kebo itu sendiri. Kiranya itu lebih objektif untuk menilai apakah kumpul kebo baik atau buruk. Jika memang pelaku kumpul kebo memperoleh manfaat positif dari perilakunya mengapa mereka harus dikecam lalu diberantas? Sebaliknya jika memang memperoleh manfaat negatif yang lebih banyak maka selayaknya kumpul kebo dikampanyekan untuk dihindari.
Sebuah penelitian mengenai pengaruh status pernikahan dengan tingkat depresi yang dilakukan oleh Robin dan Feigers di Amerika Serikat membuktikan bahwa mereka yang menikah adalah mereka yang memiliki tingkat depresi paling rendah. Mereka yang kumpul kebo memiliki tingkat depresi 5 kali lipat dibandingkan dengan mereka yang menikah. Jadi, jika kita gampangkan, mereka yang menikah memiliki tingkat kebahagiaan 5 kali lipat daripada mereka yang kumpul kebo.
Hasil penelitian diatas dilakukan di Amrik yang kulturnya notabene sangat permisif dengan kumpul kebo. Tidak ada kecaman atau sanksi sosial bagi pelaku kumpul kebo disana. Namun toh ternyata tetap saja pelaku kumpul kebo jauh lebih menderita daripada yang menikah. Dimungkinkan hal itu disebabkan karena mereka yang kumpul kebo kurang menikmati dukungan dari pasangan dan kurang merasa terikat. Padahal dukungan dari pasangan merupakan determinan penting bagi kebahagiaan seseorang. Demikian juga perasaan memiliki dan dimiliki atau perasaan terikat. Sebuah penelitian membuktikan bahwa perasaan terikat dengan pasangan menyebabkan orang menikah lebih berbahagia daripada yang tidak. Lalu bagaimana dengan para pelaku kumpul kebo di Indonesia?
Belum ada penelitian yang membandingkan antara mereka yang menikah dan mereka yang kumpul kebo di Indonesia. Tapi dapatlah kita membuat beberapa asumsi. Individu-individu dalam budaya kolektivistik seperti Indonesia secara alamiah skema kognitifnya cenderung untuk menyesuaikan dengan masyarakat. Perbedaan menimbulkan ketidaknyamanan. Oleh sebab itu jika tanpa adanya sanksi sosial dan pertentangan moral para pelaku kumpul kebo sudah memiliki tingkat depresi 5 kali lipat lebih tinggi daripada yang menikah, maka bisa diduga bahwa yang mengalami pertentangan moral serta ancaman sanksi sosial seperti di Indonesia tentunya memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi lagi. Pelaku kumpul kebo mengalami kecemasan karena perilakunya yang menyimpang dari norma masyarakat. Dibalik apologinya bahwa kumpul kebo merupakan sikap hidup yang dipilih, mereka tetap khawatir akan diketahui oleh kalangan keluarga dan masyarakat luas.
Penelitian lainnya oleh Kurdek dan Schmitt menunjukkan dengan gamblang bahwasanya para pelaku kumpul kebo memiliki derajat kepuasan hubungan lebih rendah dibandingkan dengan pasangan menikah. Pun bahkan dibandingkan dengan pasangan lesbian ataupun gay, pelaku kumpul kebo tetap memiliki derajat kepuasan lebih rendah. Artinya kumpul kebo sesungguhnya tidak memberikan kepuasan terhadap pelakunya. Paling tidak, kepuasan yang diperoleh pelaku kumpul kebo tidak setinggi dibanding bila menikah. Apabila kepuasan hubungan dikaitkan dengan kualitas hubungan, maka dapatlah kita berkesimpulan bahwasanya kumpul kebo tidak memiliki kualitas sebaik pernikahan.
Seperti kita lihat, sangat jelas bahwasanya kumpul kebo tidak lebih baik daripada menikah. Pelaku kumpul kebo mengalami depresi yang jauh lebih tinggi dan mengalami kepuasan yang lebih rendah dibandingkan mereka yang menikah. Kualitas hubungannya juga lebih rendah. Oleh karena itu cukuplah kiranya itu sebagai alasan untuk menghindari kumpul kebo. Bagaimanapun fakta membuktikan bahwa kumpul kebo lebih memberikan efek negatif. Pernikahan, meski banyak dicibir oleh yang mengaku modern, tetap jauh lebih baik.
Bayangkan saja, di Amrik kumpul kebo diakui tidak lebih baik daripada menikah padahal disana kumpul kebo dilazimkan. Apalagi di Indonesia yang jelas-jelas memandang kumpul kebo sebagai tabu. Tentunya kumpul kebo di Indonesia akan berefek lebih buruk bagi pelakunya daripada di Amrik. Jadi, apakah kumpul kebo tetap akan menjadi pilihan? Saya jelas tidak akan memilihnya. Bukan karena alasan moral, tapi efeknya