Lebih jauh tentang penulis

Achmanto Mendatu, menyelesaikan pendidikan dasar sampai menengah di Mukomuko, Bengkulu (sebuah kabupaten yang berbatasan langsung dengan Propinsi Sumatera Barat), kemudian masuk fakultas psikologi di UGM Jogja. Menulis artikel dan buku psikologi sejak masih kuliah, saat ini terus menulis, dan tetap ingin terus menulis. Tulisan-tulisannya dalam blog ini diakuinya sebagai produk -tulisan- yang tidak sempurna, yang ketimbang mengendap di harddisk atawa kepingan cd, lebih mending dipublish di internet dengan harapan siapa tahu akan ada yang memanfaatkannya lebih baik.
.

Terus tinggal berpindah-pindah, mulai dari Jateng, Bengkulu, Jember, sampai Jogja (pun hampir berpindah setiap tahunnya di Jogja). Sempat juga beberapa bulan tinggal di pedalaman Jambi (untuk bertemu dengan Orang Rimba) dan beberapa waktu di Mentawai (untuk bertemu orang Mentawai tentunya). Harapannya selalu melakukan perjalanan ke tempat-tempat baru nan eksotik di seantero Indonesia.

.
Edu
SDN 40 Mukomuko Utara, Bengkulu 1988-1994
SLTPN 7 Mukomuko Utara, Bengkulu 1994-1997
SMUN 2 Mukomuko Utara, Bengkulu 1997-2000
Fisip-Adm. Negara, Univ. Jember, 2000-2001 (tidak berlanjut)
Psikologi, UGM, 01-06

Publikasi
Beberapa buku yang diterbitkan beberapa penerbit.

Email

Keadilan Perspektif Psikologi

Judul : Keadilan Perspektif Psikologi
Penerbit : Unit Penerbitan Fakultas Psikologi UGM dan Pustaka Pelajar
Penulis : Faturrochman
Cetakan : 1, Oktober 2002
Tebal : (xiii + 158) halaman


Belakangan UGM sering menuai protes karena persoal an keadilan. Kebijakan menaikkan biayapendidikan dinilai sesuatu yang tidak memenuhi kaidah keadilan oleh banyak pihak terutama mahasiswa. Baik karena disamaratakannya bi aya antara yang mampu dan yang kurang mampu, juga yang terpenting kebijakan itu mempersempit atau bahkan menutup peluang bagi yang kurang mampu untuk memperoleh pendidikan yang baik. Ujian masuk UGM yang dikupas dalam edisi eksemplar kali inipun tidak terlepas dari persoalan keadilan. Apakah mekanismenya berkeadilan, apakah kolusi dan diskriminasi mungkin terjadi, dan apakah peserta dimungkinkan untuk menggugat bila merasa diperlakukan tidak adil, adalah pertanyaan-pertanyaan seputar masalah keadilan didalamnya.

Buku ini tidak membahas persoalan ketidakadilan di tubuh UGM, tidak juga membahas kemungkinan terjadinya ketidakadilan dalam ujian masuk. Namun buku ini membahas persoalan keadilan yang bisa digunakan untuk menganalisis ketidakadilan di UGM, bahkan untuk segala aspek kehidupan.

Apa-apa sajakah situasi berkeadilan, apa-apa saja yang membuat seseorang menilai sesuatu itu adil, bagaimana proses penilaian itu dan bagaimana mekanisme penciptaan dan kontrol terhadap keadilan adalah topik utama yang dibahas dalam buku ini.

Keadilan digambarkan sebagai situasi sosial ketika norma-norma tentang hak dan kelayakan dipenuhi. Situasi sosial berkeadilan ini bisa tercapai jika empat jenis keadilan yang ada berlaku, yaitu keadilan distributif, keadilan prosedur, keadilan interaksional, dan keadilan sistem. Dalam buku ini keadilan sistem tidak dikupas panjang lebar karena tidak termasuk dalam bidang kajian psikologi.

Keadilan prosedur terdiri dari tiga model. Pertama, model kepentingan pribadi, dimana prosedur yang adil memungkinkan pencapaian bagian yang adil pada akhirnya. Kedua, model nilai-nilai kelompok dimana keadilan pros edural dijabarkan sebagai kes esuaian antara nilai-nilai kelompok dengan prosedur kelompok dalam menentukan sesuatu. Ketiga, model orientasi sumber daya, yang menyatakan bahwa prosedur yang adil memungkinkan seseorang mendapatkan nilai guna atas modal yang dikeluarkan untuk memperoleh sumberdaya berdasar asas-asas nilai kelompok. Keadilan distributif meliputi segala bentuk distribusi antara anggota kelompok dan pertukaran antar pasangan, baik berupa ‘keadaan’ ataupun barangyang mempengaruhi kesejaht eraan seseorang. Sementara itu keadilan interaksional adalah keadaan dimana hubungan-hubungan sosial baik secara vertikal maupun horizontal berjalan dalam kedaan yang setimbang.

Setiap aksi protes, setiap demonstrasi, setiap tuntutan, dibaliknya ada pendorong yang sama: perasaan akan terjadinya ketidakadilan. Perasaan ketidakadilan muncul ketika orang menyadari bahwa persepsinya tentang keadilan tidak terwujud dalam kenyataan. Persepsi tentang keadilan ini bisa berbeda pada setiap orang. Apa yang menurut seseorang adil, mungkin tidak adil bagi yang lain. Ada yang menilai hasil yang adil paling penting. Ada juga yang menganggap prosedur yang adillah yang terpenting. Sementara yang lain meyakini bahwa hubungan yang adil yang paling utama.

Ada sekurangnya empat teori yang menjelaskan bagaimana penilaian keadilan terjadi. Pertama, teori perbandingan sosial, dimana orang membandingkan apa yang diperoleh atau dialami dengan apa yang diperoleh dan dialami orang lain. Kedua, teori atribusi, dimana seseorang menilai sebab-sebab dari keadaan
tertentu. Ketiga, teori referensi kognisi, yaitu penilaian keadilan didasarkan pada proses kognitif imaginatif atau membayangkan peristiwa atau keadaan yang mungkin dicapai. Keempat, teori heuristik penilaian keadilan, yakni orang menilai keadilan jika ada masalah dengan ketergantungan sosial.

Penilaian keadilan yang berbeda membawa impilikasi sikap dan tindakan berbeda dalam menanggapi fenomena ketidakadilan. Kenyataan ini tidak menguntungkan bagi gerakan-gerakan dalam menentang ketidakadilan. Tampaknya penyamaan persepsi tentang keadilan-ketidakadilan adalah langkah pertama yang penting sebelum memulai gerakan perl awanan.

Ditulis dalam bahasa akademis yang kuat, buku ini kurang akrab bagi pembaca awam. Tapi bagaimanapun, buku ini terasa manfaatnya karena langkanya buku-buku berbahasa Indonesia yang membahas persoalan keadilan. Ironis memang, mengingat justru persoalan-persoalan keadilanketidakadilan begitu besar di Indonesia.

Sesuai judulnya, buku ini hanya membahas keadilan dari perspektif psikologi. Jelas terasa kurang komprehensif untuk memahami keadilan. Tapi jika mengingat bahwa persoalan keadilan adalah persoalan manusia yang dalam segala perilakunya sangat dipengaruhi faktor psikologis, maka buku ini jelas terasa sangat penting. Bukankah Monas baru dikenali dengan baik jika bisa dilihat dari berbagai sisi? Buku ini menawarkan satu sisi terpenting dalam melihat fenomena keadilan.

Mengartikan seksualitas

Apakah arti seksualitas?

Manusia adalah mahluk seksual. Itu fakta tidak terbantah. Seksualitas manusia bertanggung jawab atas pertumbuhan umat manusia yang sangat fantastis, dari hanya sekitar 300 juta orang di seluruh dunia pada tahun 1000, menjadi hampir 7 miliar orang saat ini. Setiap tahun lahir manusia baru tidak kurang dari 100 juta orang. Jumlah yang luar biasa besar.

Apa yang Anda pikirkan saat mendengar kata seksualitas? Anda mungkin berpikir tentang hubungan seks. Pikiran Anda tidaklah keliru. Namun seksualitas bukan hanya tentang hubungan seks. Seksualitas adalah tentang bagaimana seseorang mengalami, menghayati dan mengekspresikan diri sebagai mahluk seksual, dengan kata lain tentang bagaimana seseorang berpikir, merasa dan bertindak berdasarkan posisinya sebagai mahluk seksual. Hubungan seks hanyalah salah satu aspek. Seksualitas mencakup banyak hal diluar itu. Segala sesuatu yang ada kaitannya dengan seks (ada kaitan dengan kelamin) tercakup di dalamnya.

Sepanjang sejarah umat manusia, seks telah mendapat perhatian besar. Tidak kurang sejak ribuan tahun lalu telah ada diskusi yang mendalam tentang seks. Para filosof dan ilmuwan dari Yunani kuno, seperti Hipokrates, Plato, Aristoteles, Soranus, dan Galen telah melakukan studi dan berupaya mendiskusikan persoalan reproduksi, kontrasepsi, perilaku seksual, gangguan seksual dan terapinya, pendidikan seksual, etika seksual, sampai politik seksualitas. Artinya beragam dimensi seksualitas telah dipelajari khusus pada saat itu.

Banyak juga terdapat buku-buku mengenai seksualitas yang ditulis pada jaman dulu dan masih bisa diperoleh sekarang. Satu yang paling terkenal adalah ‘Kamasutra’ dari India kuno, yang ditulis oleh Mallanga Vatsayana. Dari Romawi kuno, ada kitab ‘Ars Amatoria’, yang mengisahkan tentang seni dalam berhubungan seks. Dari pulau Jawa ada ‘Serat Centhini’, yang juga mengisahkan perkara seksualitas. Dari negeri arab pun ada ‘perfumed garden’, yang menceritakan seluk beluk urusan seks.

Apa sajakah yang termasuk seksualitas?

Inti pembicaraan mengenai seksualitas mencakup pembicaraan tentang kelamin, gender, identitas gender dan identitas seksual, orientasi seksual, erotisme, reproduksi, sampai kelekatan emosional. Berikut adalah sinopsis tema-tema tersebut. Dari sinopsisnya Anda akan lebih memahami apa saja yang tercakup dalam seksualitas.

Organ kelamin (sex). Kajian seksualitas diawali dengan kajian mengenai organ seksual dan seluk beluknya. Ada perempuan, ada laki-laki. Keduanya berbeda dalam organ seks yang dimiliki. Perempuan memiliki vagina, rahim, dan organ pendukung lainnya. Laki-laki memiliki penis dan organ pendukungnya. Seseorang dianggap perempuan atau laki-laki biasanya cukup ditilik dari organ seks yang dimiliki.

Reproduksi. Kajian reproduksi adalah kajian tentang hubungan seks, persoalan reproduksi dan kesehatan seksual. Meski tentu saja tidak semua hubungan seks dimaksudkan untuk tujuan reproduksi. Kajian mengenai hubungan seks mencakup banyak hal, terentang dari teknik-teknik dalam hubungan seks, upaya meningkatkan gairah seks, studi tentang daerah erotik G-spot, ejakulasi, dan sebagainya. Kajian mengenai reproduksi mencakup perkara kontrasepsi atau pencegahan kehamilan akibat hubungan seks, aborsi, masa pubertas, usia subur dan kesuburan, strategi-strategi untuk memperoleh anak, dan semacamnya. Sedangkan kajian mengenai kesehatan seksual mencakup hubungan seks yang aman dan tidak menyakitkan, penyakit-penyakit akibat hubungan seksual, disfungsi seksual.

Gender. Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, bukan karena perbedaan biologis. Peran yang diharapkan pada seorang laki-laki, selain membuahi perempuan, adalah termasuk perkara gender. Misalnya menjadi pemimpin rumah tangga, mencari nafkah, bersifat pelindung, berani, dan lainnya. Pun demikian juga, peran perempuan selain dibuahi, mengandung, dan menyusui adalah perkara gender. Pendek kata, segala sesuatu yang membedakan perempuan dan laki-laki namun bukan karena perbedaan biologis adalah persoalan gender. Termasuk dalam kajian gender adalah kekerasan seksual, yakni semua kekerasan yang berawal karena adanya perbedaan seks dan gender. Kekerasan seksual mencakup pemaksaan hubungan seks atau perkosaan, pelecehan seksual, komersialisasi seks, pornografi dan semacamnya.

Identitas seksual dan gender. Kajian tentang identitas mencakup bagaimana seseorang menghayati jenis kelaminnya. Jika Anda laki-laki, maka bagaimana menghayati dan merasa diri sebagai laki-laki. Jika perempuan, maka bagaimana menghayati dan merasa diri sebagai perempuan. Termasuk jika merasa diri perempuan tapi terjebak dalam tubuh laki-laki dan sebaliknya merasa laki-laki tapi terjebak dalam tubuh perempuan atau diistilahkan sebagai identitas seksual menyimpang.

Orientasi seksual. Kajian tentang orientasi seksual mencakup bagaimana seseorang memiliki ketertarikan seksual pada seseorang. Jika Anda laki-laki, bisa jadi Anda hanya tertarik pada perempuan saja (heteroseksual), boleh jadi tertarik hanya pada laki-laki saja (homoseksual), atau boleh jadi tertarik pada laki-laki maupun perempuan (ambi-seksual).

Erotisme. Apa yang menyebabkan hasrat seksual Anda naik? Inilah kajian utama erotisme, yakni tentang kemampuan manusia untuk mengalami dan menyadari hasrat dan dorongan seksual, orgasme dan hal-hal lain yang menyenangkan dari seks. Misalnya tentang bagaimana perempuan ‘berdada’ besar dan berbokong besar mengundang hasrat laki-laki dan tentang bagaimana dada bidang dan berotot mengundang hasrat perempuan.

Kelekatan emosional. Kajian tentang cinta berarti kajian tentang kelekatan emosional, yakni kapasitas manusia untuk mengikat diri dengan orang lain yang dibangun dan dijaga dengan emosi. Salah satu jenis emosi yang paling kuat dalam membangun dan menjaga hubungan adalah emosi cinta. Orang menikah, pacaran, atau kumpul kebo, sering didorong oleh adanya emosi cinta. (Achmanto Mendatu)

Kumpul kebo itu..

by Achmanto Mendatu

Kumpul kebo dalam arti hidup bersama dan melakukan hubungan seksual tanpa menikah, merupakan fenomena yang sangat biasa dan dimaklumi secara kultural di negara-negara barat. Contoh paling gamblang adalah kisah banyak pemain sepakbola di liga-liga utama di Eropa yang hampir selalu hidup serumah dengan pacar-pacarnya kendatipun mereka belum menikah. Tidak jarang mereka baru menikah setelah memiliki satu atau dua orang anak. Sebut saja misalnya Wayne Rooney dari MU, Frank Lampard dari Chelsea, Patrick Kluivert dari Valencia dan John Carew dari PSG. Mereka adalah pesepakbola tersohor di dunia. Oleh karenanya kehidupan kumpul kebonya juga menjadi berita di media. Namun meskipun demikian, kehidupan mereka tidak menimbulkan gaduh sosial karena kultur di negeri barat melazimkan kehidupan kumpul kebo.

Bagaimana dengan kumpul kebo di Indonesia? Rupa-rupanya kultur Indonesia tetap memandang kumpul kebo sebagai tabu. Norma-norma Indonesia tidak menyediakan ruang bagi kumpul kebo. Oleh karena itu berita seseorang menjalani kehidupan kumpul kebo akan menjadi gaduh sosial. Misalnya pernah terbetik berita adanya pengusiran pasangan kumpul kebo oleh warga kampung. Namun demikian norma yang menabukan kumpul kebo dan sanksi sosial yang mengancam pelakunya ternyata tidak cukup kuat untuk sekedar mengerem laju percepatan pasangan kumpul kebo. Dari hari ke hari semakin banyak pasangan melakukan kumpul kebo.

Sebenarnya dari mana kumpul kebo berakar? Jejaknya bisa kita telusuri dalam kulur masyarakat modern. Di satu sisi budaya modern mengajak individu untuk mempercayai cinta sebagai dasar tindakan. Di sisi lain mereka ketakutan untuk sungguh-sungguh melakukannya karena adanya nilai-nilai yang menekankan independensi individu. Akibatnya individu dalam masyarakat modern adalah individu yang terbelah. Sebagai manusia mereka perlu seks dan cinta, dan itu harfiah, tapi mereka enggan dengan legalisasinya. Sebuah legalisasi seks dan juga cinta dalam bentuk pernikahan bermakna gangguan terhadap independensi dan kebebasan individu. Maka, tak usah heran apabila kumpul kebo tumbuh subur sebab itulah jalan tengah bagi perasaan terbelah. Melalui kumpul kebo mereka mendapat cinta sekaligus seks tanpa mengorbankan kebebasan dan independesinya.

Sebenarnya kumpul kebo itu baik atau buruk? Demikian pertanyaan sentral yang muncul ketika membahas fenomena itu. Dari jawabannya lantas bisa ditentukan apakah kumpul kebo bisa menjadi pilihan untuk dijalani atau dihindari. Selama ini kebanyakan pembicaraan mengenai kumpul kebo berjalan di aras norma dan moral. Tidaklah mengherankan apabila jawabannya tunggal, yakni bahwa kumpul kebo adalah sesuatu yang buruk dan harus dihindari. Moralitas agama paling ekstrem memburukkannya dengan melabelinya sebagai dosa.

Sekarang saatnya untuk melihat kumpul kebo dari sisi berbeda. Jangan terjebak hanya berbicara mengenai perilaku kumpul kebonya dari perspektif moralitas umumnya masyarakat. Lebih penting adalah bagaimana pengaruhnya terhadap para pelaku kumpul kebo itu sendiri. Kiranya itu lebih objektif untuk menilai apakah kumpul kebo baik atau buruk. Jika memang pelaku kumpul kebo memperoleh manfaat positif dari perilakunya mengapa mereka harus dikecam lalu diberantas? Sebaliknya jika memang memperoleh manfaat negatif yang lebih banyak maka selayaknya kumpul kebo dikampanyekan untuk dihindari.

Sebuah penelitian mengenai pengaruh status pernikahan dengan tingkat depresi yang dilakukan oleh Robin dan Feigers di Amerika Serikat membuktikan bahwa mereka yang menikah adalah mereka yang memiliki tingkat depresi paling rendah. Mereka yang kumpul kebo memiliki tingkat depresi 5 kali lipat dibandingkan dengan mereka yang menikah. Jadi, jika kita gampangkan, mereka yang menikah memiliki tingkat kebahagiaan 5 kali lipat daripada mereka yang kumpul kebo.

Hasil penelitian diatas dilakukan di Amrik yang kulturnya notabene sangat permisif dengan kumpul kebo. Tidak ada kecaman atau sanksi sosial bagi pelaku kumpul kebo disana. Namun toh ternyata tetap saja pelaku kumpul kebo jauh lebih menderita daripada yang menikah. Dimungkinkan hal itu disebabkan karena mereka yang kumpul kebo kurang menikmati dukungan dari pasangan dan kurang merasa terikat. Padahal dukungan dari pasangan merupakan determinan penting bagi kebahagiaan seseorang. Demikian juga perasaan memiliki dan dimiliki atau perasaan terikat. Sebuah penelitian membuktikan bahwa perasaan terikat dengan pasangan menyebabkan orang menikah lebih berbahagia daripada yang tidak. Lalu bagaimana dengan para pelaku kumpul kebo di Indonesia?

Belum ada penelitian yang membandingkan antara mereka yang menikah dan mereka yang kumpul kebo di Indonesia. Tapi dapatlah kita membuat beberapa asumsi. Individu-individu dalam budaya kolektivistik seperti Indonesia secara alamiah skema kognitifnya cenderung untuk menyesuaikan dengan masyarakat. Perbedaan menimbulkan ketidaknyamanan. Oleh sebab itu jika tanpa adanya sanksi sosial dan pertentangan moral para pelaku kumpul kebo sudah memiliki tingkat depresi 5 kali lipat lebih tinggi daripada yang menikah, maka bisa diduga bahwa yang mengalami pertentangan moral serta ancaman sanksi sosial seperti di Indonesia tentunya memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi lagi. Pelaku kumpul kebo mengalami kecemasan karena perilakunya yang menyimpang dari norma masyarakat. Dibalik apologinya bahwa kumpul kebo merupakan sikap hidup yang dipilih, mereka tetap khawatir akan diketahui oleh kalangan keluarga dan masyarakat luas.

Penelitian lainnya oleh Kurdek dan Schmitt menunjukkan dengan gamblang bahwasanya para pelaku kumpul kebo memiliki derajat kepuasan hubungan lebih rendah dibandingkan dengan pasangan menikah. Pun bahkan dibandingkan dengan pasangan lesbian ataupun gay, pelaku kumpul kebo tetap memiliki derajat kepuasan lebih rendah. Artinya kumpul kebo sesungguhnya tidak memberikan kepuasan terhadap pelakunya. Paling tidak, kepuasan yang diperoleh pelaku kumpul kebo tidak setinggi dibanding bila menikah. Apabila kepuasan hubungan dikaitkan dengan kualitas hubungan, maka dapatlah kita berkesimpulan bahwasanya kumpul kebo tidak memiliki kualitas sebaik pernikahan.

Seperti kita lihat, sangat jelas bahwasanya kumpul kebo tidak lebih baik daripada menikah. Pelaku kumpul kebo mengalami depresi yang jauh lebih tinggi dan mengalami kepuasan yang lebih rendah dibandingkan mereka yang menikah. Kualitas hubungannya juga lebih rendah. Oleh karena itu cukuplah kiranya itu sebagai alasan untuk menghindari kumpul kebo. Bagaimanapun fakta membuktikan bahwa kumpul kebo lebih memberikan efek negatif. Pernikahan, meski banyak dicibir oleh yang mengaku modern, tetap jauh lebih baik.

Bayangkan saja, di Amrik kumpul kebo diakui tidak lebih baik daripada menikah padahal disana kumpul kebo dilazimkan. Apalagi di Indonesia yang jelas-jelas memandang kumpul kebo sebagai tabu. Tentunya kumpul kebo di Indonesia akan berefek lebih buruk bagi pelakunya daripada di Amrik. Jadi, apakah kumpul kebo tetap akan menjadi pilihan? Saya jelas tidak akan memilihnya. Bukan karena alasan moral, tapi efeknya

Kehamilan tak diinginkan

Oleh Achmanto Mendatu

Pasangan suami istri tak luput dari masalah jika kehamilan sang istri tidak dikehendaki. Misalnya masalah ketidaksiapan, halmana bisa menimbulkan depresi ringan sampai berat pada ibu, yang bisa sangat berpengaruh pada janin, bahkan berakibat keguguran atau terlahir cacat. Apalagi jika Kehamilan tak diinginkan terjadi pada pasangan yang belum menikah, akibat yang terjadi bisa jauh lebih besar. Tidak saja karena akan mengalami konflik internal, semisal ketidaksiapan, tapi juga mesti menghadapi tekanan dari lingkungan sosial, semisal celaan.

Norma-norma ketimuran masih tetap menganggap kehamilan diluar nikah sebagai aib bagi keluarga ataupun masyarakat, apapun sebab dari kehamilan itu. Orang yang hamil diluar nikah dinilai sebagai keburukan, yang kalaupun terjadi harus di sembunyikan. Masyarakat patriarkal sekarang ini, cenderung mempersalahkan wanita dalam kehamilan diluar nikah. Padahal wanita yang hamil bisa saja merupakan korban perkosaan atau korban keadaan (dipaksa lewat bujukan untuk melakukan hubungan seksual oleh pacarnya, atau temannya, atau keluarganya).

Kehamilan usia dini, selain berakibat kurang baik bagi tubuh, juga berakibat hilangnya kesempatan untuk mendapat pendidikan formal. Padahal, pendidikan formal yang baik merupakan salah satu syarat (meskipun tidak harus) agar dapat bersaing di masa depan. Menurut saya, alangkah baiknya jika sekolah-sekolah tetap mau menerima siswa yang hamil, atau minimalnya memberikan cuti, bukannya mengeluarkan. Alangkah malangnya siswa yang hamil/menghamili, yang telah mengalami berbagai masalah yang berat, harus diperberat masalahnya dengan 'ditutup' masa depannya melalui pengeluaran siswa oleh pihak sekolah.

Begitu besarnya kasus kehamilan di luar nikah dikalangan remaja, yang tidak saja merugikan remaja itu sendiri tapi juga masyarakat karena kehilangan remaja-remja potensialnya, tidak bisa tidak akan membawa kepada pertanyaan: bagaimana mencegahnya?

Upaya pencegahan tentulah didasarkan atas sebab-sebab yang melatarbelakangi. Sebab kehamilan diluar nikah pada remaja dikategorikan dalam dua dimensi, yakni dimensi pasif (wanita hamil sebagai korban perkosaan dan pemaksaan sejenis), dan dimensi aktif (wanita memang berkeinginan melakukan hubungan seksual).

Kedua dimensi dimuka, dipicu oleh sebab-sebab yang luas. Beberapa diantaranya adalah maraknya pornografi di tengah masyarakat, kemudahan memperoleh akses ke sumber-sumber pemuasan seksual, kebebasan dalam pergaulan, dan pergeseran nilai-nilai moral. Sebab-sebab itu tidak akan melahirkan hubungan seksual pranikah bila remaja memiliki kendali internal (Internal Locus of Control) yang kuat. Lemahnya kendali internal disebabkan kegagalan pendidikan seks baik dalam keluarga, sekolah atau masyarakat. Akibat dari lemahnya kendali internal, remaja mudah terpengaruh oleh hal-hal yang berasal dari luar dirinya seperti provokasi media, dan pengaruh teman-teman peernya. Fokus pada penguatan kendali internal remaja, adalah pencegahan yang paling mungkin berhasil, apalagi jika yang dilakukan dalam skala kecil. Misalnya dengan pemberian informasi yang benar, sebab salah satu indikator kuatnya kendali internal adalah adanya informasi benar yang diyakini. Akan tetapi upaya pencegahan dengan penguatan kendali internal pada remaja kurang bisa berjalan efektif bila lingkungan sekitar tidak mendukung. Karenanya, mestinya pencegahan dilakukan secara bersama-sama antara keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah

5 mitos kesehatan seksual

Oleh Achmanto Mendatu

1. Penis bisa diperbesar dan diperpanjang

Barangkali inilah mitos seks yang paling luas dipercayai masyarakat, yakni bahwa ukuran penis bisa dimodifikasi menjadi lebih besar dan lebih panjang. Akibatnya bermunculan berbagai macam praktek pengobatan alternatif yang menawarkan pembesaran penis. Salah satu praktek pembesaran penis yang paling terkenal adalah praktek Mak Erot, di Jawa Barat. Praktek tersebut menjadi sangat terkenal di tingkat nasional. Bahkan konon kabarnya banyak orang asing yang datang ke tempatnya. Tidak salah jika nama Mak Erot kemudian menjadi ikon. Jika Anda menyebutkan nama Mak Erot, orang akan langsung mengasosiasikannya dengan praktek pembesaran penis.

Selain praktek Mak Erot, sangat banyak iklan di media massa yang menawarkan pembesaran penis. Sampai-sampai ada yang menjamin bahwa pembesarannya permanen. Jika tidak permanen, maka uang kembali. Ini menandakan bahwa pemasang iklan cukup percaya diri dengan efektivitas prakteknya. Banyak diantara mereka memasang atau menginjeksikan silikon ke dalam penis. Sesaat memang bisa terjadi pembesaran. Tapi dalam jangka panjang, sudah pasti silikon itu akan merusak pembuluh darah di penis dan mengakibatkan disfungsi ereksi.

Sebenarnya tidak ada mekanisme ilmiah yang diketahui yang bisa membesarkan dan memanjangkan penis. Buktinya tidak ada praktek medik yang membuka layanan tersebut. Artinya, pembesaran penis itu sebenarnya hanya mitos. Lagipula kepuasan seksual tidak ditentukan oleh besar kecilnya penis. Toh, posisi klitoris perempuan letaknya tidak jauh didalam vagina sehingga bisa dicapai oleh penis yang kecil. Jadi lebih penting adalah kemampuan ereksi, bukan besar kecilnya penis.

2. Gairah seksual menurun karena turunnya hormon

Diketahui bahwasanya hormon testoteron adalah hormon yang bertanggung jawab terhadap gairah seksual. Semakin tinggi hormon testoteron yang dimiliki maka semakin tinggi pula gairah seksualnya. Sebaliknya semakin rendah hormon testoteronnya maka semakin rendah pula gairah seksualya. Namun, penurunan hormon seksual tidak bisa selalu dituding sebagai penyebab turunnya gairah. Lebih sering, penurunan gairah disebabkan karena faktor psikologis maupun gangguan fisik.

Stress karena berbagai tekanan hidup, tertekan karena banyaknya persaingan yang dihadapi, gaya hidup yang tidak sehat, bisa menurunkan gairah seksual. Demikian juga kelelahan, penuaan usia, kegemukan, akibat kecanduan merokok dan alkoholisme dan narkoba, semuanya bisa mengakibatkan penurunan gairah. Jadi, ada banyak sebab yang bisa menurunkan gairah.

3. Kondom bisa 100% mencegah PMS

Jangan terlalu percaya kepada kondom. Kondom memang efektif untuk mencegah kehamilan. Namun tidak 100% efektif mencegah penularan penyakit. Dengan pemakaian yang hati-hati dan tepat, diketahui kondom memang bisa mencegah penularan penyakit gonore, klamidia, dan bahkan HIV-Aids. Namun sedikit saja dipasang kurang tepat, kemungkinan tertular cukup tinggi.

Beberapa jenis penyakit menular yang lain, seperti sipilis dan herpes bahkan sulit dicegah dengan kondom karena penularannya melalui persentuhan kulit. Meskipun penis telah tertutup kondom, persentuhan kulit pangkal paha tetap saja bisa terjadi. Bagaimanapun kondom diketahui bisa menekan sampai 50% resiko penularan. Oleh sebab itu tidak ada alasan untuk tidak memakai kondom.

4. Menyiram penis dengan bir atau soda bisa mematikan kuman atau virus

Ini merupakan salah kaprah umum. Tidak mungkin kuman atau virus yang ditularkan lewat hubungan seksual akan mati dengan disiram bir atau soda. Kuman tidak akan bisa mati dengan cara-cara seperti itu. Hanya dengan pengobatan antibiotik kuman bisa dimatikan. Ironisnya, kepercayaan bir atau soda bisa mematikan kuman sangat kuat diyakini, terutama oleh pengguna layanan jasa pelacur.

Para pemakai jasa pelacur menjadi sangat percaya diri berhubungan seksual dengan para pelacur tanpa memakai kondom karena yakin kalaupun tertular maka kumannya bisa dimatikan. Ini tentu sangat merugikan. Tanpa kondom, seseorang yang berhubungan seksual memiliki resiko 100% tertular.

5. Seks oral tidak bisa menularkan penyakit

Ada saja yang beranggapan bahwa dengan oral seks tidak akan tertular penyakit menular seksual. Mereka mengira penularan penyakit seksual hanya bisa terjadi dengan cara hubungan seksual vaginal. Sudah tentu itu pandangan yang sangat keliru dan menyesatkan. Ada dua cara penularan penyakit seksual menular, yakni melalui pertukaran cairan dan persentuhan kulit. Selama hubungan seksual yang dilakukan melibatkan keduanya, resiko tertular tetap tinggi. Jenis penyakit herpes, klamidia, gonore dan sipilis tetap bisa ditularkan melalui oral seks. Jadi, oral s

Ragam penyakit seksual

Oleh Achmanto Mendatu

Memang benar sehat secara seksual berarti Anda harus tidak memiliki satupun penyakit seksual. Namun, sehat seksual bukan hanya tanpa penyakit. Anda juga harus terbebas dari disfungsi seksual (ejakulasi dini, disfungsi ereksi atau vaginismus) dan tidak mengalami kekurangan kemampuan seksual (misalnya sulit orgasme dan sangat sulit terangsang). Jadi, tanpa penyakit, belum tentu seksualitas Anda sudah sehat.

Lagipula, ragam jenis penyakit seksual sangat beragam jenisnya. Mana tahu Anda menderita salah satunya. Penyakit seksual adalah penyakit-penyakit yang timbul akibat dari kegiatan seksual, menyerang organ-organ seksual serta ditularkan melalui hubungan seksual. Jadi, penyakit seksual bisa menular dan bisa juga tidak. Umumnya penyakit seksual yang paling dikenal adalah penyakit seksual menular, seperti AIDS, sipilis atau gonore.

Penyakit yang menyerang organ seksual. Jenis penyakit yang tergolong ke dalam kelompok ini diantaranya kanker dan tumor payudara, kanker ovarium, kanker mulut rahim, keputihan, dan semacamnya. Salah satu penyakit yang umum dijumpai (sekitar 60% perempuan pernah mengalami) adalah penyakit payudara fibrokista yakni suatu keadaan yang terdiri dari nyeri, kista dan benjolan jinak pada payudara. Pendek kata, segala jenis penyakit yang menyerang organ seks yang tidak menular ada dalam kategori ini.

Penyakit yang ditimbulkan akibat dari kegiatan seksual. Misalnya penggunaan alat bantu seks yang dimasukkan ke dalam vagina atau anus bisa menimbulkan peradangan dan luka. Bahkan kegiatan oral seks disinyalir menyebabkan terjadinya kanker mulut.

Penyakit Menular Seksual (PMS). Umumnya orang menganggap bahwa penyakit seksual idem dito dengan jenis penyakit seksual menular. Namun tidak seperti anggapan orang bahwa PMS adalah kasus langka, PMS merupakan kasus umum. Diperkirakan 1 dari 3 orang di seluruh dunia pernah mengidap PMS. Separuhnya terjadi di Asia. Sekitar 1 juta orang meninggal setiap tahun karenanya. Itu diluar meninggal karena AIDS. Pada tahun 2002, WHO melaporkan bahwa terdapat lebih dari 11 juta kasus baru PMS khusus untuk jenis sipilis, klamidia dan gonore saja. Dari jumlah itu, 3 juta lebih terjadi di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

PMS disebabkan oleh virus, bakteri sampai arthropoda. Beberapa PMS yang disebabkan oleh virus adalah AIDS, herpes, dan genital warts. Penanganan terhadap PMS yang disebabkan oleh virus masih belum ditemukan standar baku. Namun gejala yang menyertai penyakit itu bisa ditangani. Adapun gonore, kalimidia, dan sifilis adalah contoh PMS yang disebabkan oleh bakteri. Oleh karena itu penanganannya bisa menggunakan antibiotik.

Manusia diketahui tidak dapat membangun antibodi terhadap beberapa PMS sehingga tidak ada peluang bagi pelaku hubungan seksual untuk tidak terjangkit PMS apabila berhubungan seksual dengan pasangan yang telah terjangkit PMS. Suatu hal yang umum adalah tidak munculnya gejala PMS pada tahap awal atau bahkan tidak muncul gejala sama sekali. Tahu-tahu sudah parah dan merusak jaringan tubuh. Itu sebabnya harus sering cek kesehatan jika Anda memiliki resiko tertular PMS.

Terdapat sekitar 40 jenis penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Sebagai contoh adalah AIDS, herpes, klamidia, gonore, sifilis, genital warts, hepatitis B, kutu kemaluan, infeksi saluran kencing, granuloma, limpogranuloma, molluscum, trikomoniosis, radang pelvik, dan vaginitis. Berikut adalah ragam jenis penyakit menular seksual yang umum ditemui dalam masyarakat, sehingga telah sangat dikenal.

1. Herpes
Herpes disebabkan oleh virus yang diberi nama herpes simplex virus. Gejalanya berupa kemunculan gelembung merah pada kulit yang hilang-timbul. Biasanya penderita mengeluh karena menjadi demam, sakit ketika kencing, rasa terbakar dan nyeri pada organ genital atau gejala lainnya. Gejala tersebut muncul setelah 2 sampai 20 hari tertular. Penularannya melalui hubungan seksual, pergesekan kulit dan pertukaran cairan tubuh.

2. Klamidia
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri chlamydia trachomatis. Diperkirakan terjadi pada 200 orang diantara 100 ribu orang, atau sekitar 0,2 % dari seluruh populasi. Pada perempuan, gejalanya berupa rasa nyeri saat berhubungan seks dan kencing, demam dan lainnya. Pada laki-laki gejalanya bisa berupa iritasi sekitar penis, peradangan testis, nyeri dan terbakar saat kencing, dan lainnya. Klamidia bisa menyebabkan kemandulan dan kehamilan di luar rahim atau hamil anggur.

3. Genital Warts (kutil kelamin) atau HPV
Penyakit ini disebabkan oleh human papillomaviruses (HPVs). Para peneliti mempercayai bahwa 90-95% terjadinya kanker mulut rahim disebabkan karena genital warts. Selain kanker mulut rahim, penyakit ini juga dituding sebagai penyebab bagi tumor vulva, vagina dan penis. Gejalanya adalah gatal atau rasa terbakar pada organ seks dan tumbuhnya kutil.

4. Gonore atau kencing nanah
Gonore diderita oleh 0,2% seluruh populasi penduduk. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri neisseria gonorrhoea. Bakteri ini menyerang vagina, mulut rahim dan rahim, penis, kerongkongan, anus, dan alat genital lainnya. Pada laki-laki muncul nanah berwarna putih atau kuning kehijauan dari penis. Pada perempuan bisa muncul perdarahan, demam, iritasi anus, sakit saat berhubungan seksual dan pada saat menstruasi terjadi perdarahan berlebihan. Saat kencing terasa panas, nyeri dan gatal. Sejumlah 10% kemandulan disebabkan oleh penyakit ini.

5. Sifilis atau raja singa
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri treponema pallidum. WHO melaporkan sekitar 4.200.000 orang menderita sifilis di seluruh dunia pada tahun 2002. Itu artinya sejumlah 0,2 % dari seluruh populasi. Adapun yang meninggal pada tahun itu berkisar 150.000 orang. Sifilis bisa menyerang semua organ tubuh., termasuk jantung dan syaraf. Pada tahap parah, sifilis bisa menyebabkan kebutaan, gangguan mental, gangguan syaraf, abnormalitas jantung dan bahkan kematian. Penularannya melalui hubungan seksual vaginal, anus, maupun oral. Jika ibu menderita sifilis, maka 60-80% bayinya sangat mungkin tertular. Hampir 50% bayi yang terinfeksi dalam kandungan akan meninggal sesaat sebelum atau sesudah dilahirkan.

6. Hepatitis B
Penyakit ini menyerang hati dan disebabkan oleh virus hepatitis B. Pada stadium lanjut, bisa menimbulkan sirosis (pengerutan hati) dan kanker hati. Belum ada obat yang diketahui bisa mengobati penyakit ini. Namun vaksinasi diketahui cukup ampuh mencegah timbulnya hepatitis B. WHO melaporkan pada tahun 2002 saja terjadi infeksi hepatitis B pada sekitar 2,170,000 orang di seluruh dunia. Khusus di Asia tenggara hampir 600 ribu orang terjangkit oleh penyakit ini.

7. Trikomoniosis
Penyakit ini disebabkan protozoa bersel satu yang disebut trichomonas vaginalis. Pada perempuan gejalanya bisa berupa gatal, nyeri dan rasa terbakar pada vagina, kencing berlebihan, menghasilkan cairan berbusa yang berwarna putih, hijau keabuan atau kekuningan dengan bau yang tidak sedap, gatal sangat hebat atau lainnya. Pada laki-laki gejalanya berupa rasa sakit dan sulit kencing, rasa menggelitik di dalam penis, dan lainnya. Berbeda dengan PMS lainnya yang mati begitu diluar tubuh, bakteri atau protozoa penyebab trikomoniosis bisa hidup diluar tubuh selama beberapa jam. Bisa berada di toilet, di handuk basah, cairan tubuh dan lainnya.

Apa sih Masturbasi?

Oleh Achmanto Mendatu
-
Sejak jaman dulu, masturbasi (stimulasi erotik pada tubuh sendiri, biasanya organ genital, yang umumnya menghasilkan orgasme) dianggap sebagai salah satu bentuk kelainan seksual. Oleh sebab itu pelaku masturbasi dikecam habis-habisan. Tidak jarang yang tertangkap basah melakukan masturbasi akan diusir. Tapi apakah benar masturbasi merupakan kelainan seksual?

Ada setidaknya dua kriteria untuk menggolongkan sebuah perilaku seksual digolongkan sebagai kelainan seksual. Pertama, perilaku itu dilakukan oleh golongan kecil orang. Tidak banyak yang melakukannya. Kedua, perilaku itu merugikan pelaku maupun pasangannya. Nah, faktanya masturbasi tidak tercakup keduanya.

Masturbasi dilakukan mayoritas orang. Kegiatan masturbasi ini dilakukan kira-kira oleh 95% laki-laki dan 89% perempuan. Mereka yang memiliki pasangan seksual juga tetap melakukannya. Sebuah penelitian pada tahun 1994 di Amerika Serikat menunjukkan bahwa dalam setahun terakhir sebanyak 85% laki-laki dan 45% perempuan melakukan masturbasi meskipun memiliki pasangan seks.

Bagaimana dengan remaja? Apakah Anda pernah bermasturbasi saat remaja? Remaja biasa melakukan hal tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 48,22% remaja melakukan masturbasi. Sebagian besar, yakni 46,62% melakukan masturbasi antara 1 sampai 2 kali sebulan. Sejumlah 10,98% melakukannya sebanyak 1 sampai 2 kali seminggu, atau kira-kira 4 sampai 8 kali sebulan. Bahkan sebanyak kira-kira 1,35% melakukan masturbasi setiap hari.
Biasanya, baik laki-laki maupun perempuan menggunakan tangan dalam masturbasi. Namun saat ini tersedia banyak alat bantu seks. Alat bantu masturbasi untuk laki-laki misalnya adalah vagina palsu dan gel pelicin. Sedangkan alat bantu masturbasi misalnya penis palsu yang sering disebut dildo.

Berlawanan dengan pendapat umum yang mengatakan bahwa masturbasi itu buruk buat kesehatan. Penelitian menunjukkan bahwa masturbasi aman. Satu-satunya masalah adalah bila orang merasa berdosa melakukannya, sehingga setelah melakukannya akan timbul perasaan bersalah. Secara medis tidak ada kerugian dari melakukan masturbasi. Namun tentu saja akan membahayakan tubuh jika menggunakan alat-alat, misalnya memasukkan penis buatan ke dalam vagina bisa menimbulkan iritasi vagina. Terlalu berlebihan melakukan masturbasi dengan tangan juga bisa membuat kulit penis lecet dan luka.

Aprodisiak vs anaprodisiak

Oleh Achmanto Mendatu
-
Aprodisiak adalah sesuatu yang bisa meningkatkan hasrat dan kemampuan seksual, serta meningkatkan kualitas kehidupan seksual seseorang secara umum. Lawan katanya adalah an-aprodisiak, yakni sesuatu yang menurunkan gairah seksual dan fungsi-fungsi seksual. Aprodisiak terdiri dari dua macam hal. Pertama, aprodisiak sebagai sesuatu yang dianggap memiliki hubungan langsung dengan kimiawi tubuh. Termasuk dalam golongan ini adalah materi yang dicerna tubuh (makanan, obat-obatan tertentu, cairan tertentu, dan lainnya), dimasukkan atau dihirup ke dalam tubuh (narkoba, parfum, obat, dan lainnya) dan yang dioleskan pada tubuh (minyak tertentu, lotion, dan lainnya).

Daging kambing misalnya dipercaya meningkatkan gairah seksual. Demikian juga buah pelir sapi banteng, kuda dan unta yang dikenal dengan istilah torpedo. Lalu ada obat kuat untuk meningkatkan gairah seksual, mencegah ejakulasi dini, memperlama ereksi dan sebagainya. Salah satu yang paling terkenal adalah viagra. Ada juga jamu strong-pas, jamu kuku bima, dan jamu kuat lainnya. Demikian juga ada harum-haruman tertentu yang dipercaya bisa meningkatkan gairah seksual atau aroma terapi. Pendek kata, segala ramuan, makanan, minyak, parfum, dan obat-obatan yang dipercaya bisa meningkatkan hasrat dan kemampuan seksual termasuk dalam golongan aprodisiak.

Sebenarnya, materi-materi aprodisiak tidak selalu memiliki efek nyata dalam meningkatkan kehidupan seksual. Banyak materi aprodisiak tidak berhubungan sama sekali dengan hasrat atau kemampuan seksual. Namun jika orang tetap percaya bahwa materi itu bisa mempengaruhi, maka secara psikologis, orang akan merasakan peningkatan hasrat dan kemampuan seksual ketika mengkonsumsi materi tersebut. Inilah yang disebut efek plasebo.

Kedua, aprodisiak sebagai sesuatu yang dianggap memiliki hubungan langsung dengan efek psikologis. Termasuk dalam golongan ini adalah materi yang didengar atau dilihat (seni erotis, musik tertentu, tarian erotis, gambar erotis), atau stimulus yang dialami lainnya (praktek magis, pelet, fantasi erotis, dan lainnya). Anda mungkin pernah mendengar bahwa banyak orang percaya, pengaturan kamar tidur yang nyaman, enak dan sesuai feng-shui akan meningkatkan gairah seksual. Nah, pengaturan kamar tidur termasuk aprodisiak. Demikian juga ketika hasrat seksual naik dengan melakukan tindakan beresiko tinggi semacam ngebut di jalan, maka ngebut di jalan adalah aprodisiak.

Bagaimana dengan an-aprodisiak? Secara garis besar, jenisnya sama dengan aprodisiak. Ada makanan, obat-obatan, minuman, sampai kegiatan tertentu yang dipercaya menurunkan gairah dan kemampuan seksual. Bahkan ada juga yang mistis. Ada yang percaya bahwa besi kuning tidak boleh disimpan disekitar rumah karena akan menyebabkan kemandulan perempuan.

Salah satu makanan yang terkenal sebagai an-aprodisiak adalah terong. Memakan terong dianggap bisa menyebabkan sulit ereksi dan ejakulasi dini sebagaimana terong yang mudah lemas. Tentu saja hal tersebut kurang berdasar. Tidak ada hubungan antara terong dengan kemampuan seksual. Beberapa obat-obatan memang diketahui menurunkan kemampuan seksual. Misalnya obat-obat anti-depresan, obat-obatan sedatif, dan obat-obatan yang terkait dengan gangguan darah. Alkohol juga diketahui menurunkan kemampuan seksual dalam jangka panjang. Demikian juga merokok bisa mengakibatkan impotensi. Pemerintah bahkan mewajibkan produsen rokok untuk mencantumkan peringatan bahaya merokok pada kemasan rokok.

Tantangan terhadap agama

Oleh Achmanto Mendatu

Masihkah agama digunakan untuk menilai moral? Tampaknya tidak. Penilaian moral telah bergeser dari rumusan agama kepada rumusan humanisme universal. Sekarang orang tidak memerlukan rumusan-rumusan agama untuk menilai apakah seseorang bermoral atau tidak, apakah suatu tindakan dinilai bermoral atau amoral. Orang cukup menyandarkan pegangan pada apakah seseorang itu merugikan orang lain atau tidak. Suatu tindakan dikatakan tidak bermoral hanya jika tindakan itu merugikan orang lain. Maka wajar saja Inul dibela dimana-mana, sebab nyata ia tidak merugikan siapa-siapa.

Resistensi terhadap agama

Atas nama moral dan agama, Rhoma Irama bersama rekan-rekannya ‘mencekal’ Inul. Dikatakannya goyangan inul mesum, merusak moral, dan berakibat buruk terhadap citra dangdut. Bentuk konkret awal, Inul dilarang menyanyikan lagu-lagu karya anggota PAMMI yang diketuai Rhoma (kompas, 30 April). Lekas saja reaksi berdatangan dari mana-mana. Berbagai pihak meyesalkan sikap Rhoma yang menuntut pertobatan Inul (berita TV menyatakan pertobatan Inul dirayakan dengan syukuran). Jika kita dengar pembicaraan di warung-warung kopi, di pasar, di tempat parkir, hampir bulat mereka membela Inul. Tidak lain ini adalah bentuk resistensi masyarakat terhadap agama yang selalu dipakai untuk menekan.

“Agama melarang!’ demikian mungkin alasan yang digunakan. Tapi lekas jawaban itu akan diabaikan, atau bahkan ditertawakan. Bahasa agama tidak lagi digunakan (setidaknya tidak seperti dulu) dalam membahas persoalan-persoalan masyarakat. Pengatasnamaan agama untuk urusan publik biasanya lekas dicurigai membawa misi-misi tertentu yang bakal mengancam kebebasan, sesuatu yang telah diperjuangkan susah payah.

Agama telah ditafsirkan sebagai belenggu manusia. Penafsiran itu tentu bukan tanpa alasan. Kekerasan atas nama agama adalah kisah klasik. Dalam berbagai bentuknya seperti penganiayaan, pembunuhan, penghancuran, pemaksaan, kekerasan atas nama agama menjadi tragedi kemanusiaan terbesar. Pada zamannya, orang takut menulis hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan agama karena menghadapi ancaman pembunuhan. Orang khawatir untuk mengungkap keburukan hal-hal yang telah menjadi tradisi dalam agama karena bakal di cap sebagai kafir. Hal- hal demikian sangat bertolak belakang dengan semangat humanisme yang dibawa agama.

Sekarang ini ditengah kita, kekerasan atas nama agama terus berlangsung. Ambil contoh kasus Inul. Dipandang dari sisi agama (Islam), goyang Inul jelas dikategorikan sebagai terlarang. Maka menjadi merasa absahlah orang yang merasa wakil Tuhan untuk menegakkan agama dengan mencekal Inul. Pencekalan dalam arti apapun berarti pengekangan, halmana masuk dalam kategori kekerasan. Penghancuran tempat-tempat tertentu atas nama agama yang masih kerap terjadi, tidak bisa tidak mesti dikategorikan sebagai kekerasan. Yang tidak terlupakan adalah berbunuhan atas nama agama seperti kasus ambon beberapa waktu lalu. Hal-hal demikian hanya memperpuruk citra agama. Baik yang mengalami langsung ataupun tidak, mereka menjadi bertanya-tanya apa arti agama bagi kemanusiaan. Orang akhirnya menjadi resisten terhadap agama. Maka semakin terusirlah agama dari ruang publik ke dalam ruang-ruang yang sangat pribadi, atau bahkan menjadi anti agama meski tidak anti Tuhan. Orang beralih dari bahasa agama kepada humanisme, yakni penghormatan orang lain dalam identitasnya, dengan keyakinan-keyakinannya, dengan kepercayaan-kepercayaannya, cita-citanya, ketakutan-ketakutan dan kebutuhan-kebutuhannya.

Bahwa agama tidak dapat dilepaskan dari konteks sosialnya telah dimengerti semua orang. Lalu bagaimana nasib agama, ketika agama tidak lagi dibutuhkan dalam merumuskan persoalan kemanusiaan? Inilah tantangan buat agama-agama.

Masa depan moralitas agama

Sampai sekarang kita masih sering mendengar pengkotak-kotakan moralitas berdasarkan agama. Ada moralitas Islam, moralitas kristen, moralitas Hindu, dan seterusnya. Seakan-akan setiap agama memiliki moralitasnya sendiri yang berbeda dengan agama lain. Yang satu ekslusif terhadap yang lain.

Akibat dari eklusivitas moralitas, perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan atas nama agama dicurigai membawa kepentingan-kepentingan tertentu yang mengancam eksistensi agama lain. Jarang terjadi kegiatan kemanusiaan yang membawa bendera agama akan diterima tanpa kecurigaan, bila sasaran kegiatan kemanusiaan itu beragama lain. Pun bahkan bila sasarannya berbendera agama yang sama, lebih sering kegiatan semacam itu dinilai sebagai misi agama untuk memperkuat pengaruh. Dalam praktek, kegiatan kemanusiaan semacam itu sering diikuti dengan kegiatan-kegiatan keagamaan, entah ceramah, nyanyi bersama dan lainnya.

Orang lantas menjadi jengah karenanya dan lari dari bingkai-bingkai agama dalam tindakan kemanusiaan. Bukti konkret, bantuan-bantuan kemanusiaan yang berbendera non-agama jauh lebih besar daripada yang berbendera agama. Di lapangan, mereka juga lebih mudah diterima.

Hanya dengan suatu standar yang tetap kita bisa menilai suatu hal telah berubah menjadi semakin baik atau semakin buruk. Dalam hal moral kita senantiasa di doktrin bahwa moral kita semakin rusak dari zaman ke zaman. Standarnya jelas, yakni standar agama. Akan tetapi ketika humanisme menjadi pegangan saat ini, moralitas menjadi relatif. Sebab moralitas tidak lagi dimonopoli oleh institusi tertentu atau agama tertentu dalam menafsirkannya. Setiap orang berhak menentukan moralitasnya sendiri. Namun karena moral tidak dapat terlepas dari konteks sosialnya, maka moralitas seseorang juga dibatasi dengan hak orang lain untuk tidak dirugikan. Seorang Rhoma boleh saja menilai Inul tidak bermoral, tapi dia tidak berhak untuk melakukan tindakan apapun terhadapnya.

Mengambil contoh kasus Inul, menjadi jelas kiranya bahwa penegakan moral atas nama agama ternyata mulai tidak diterima, karena penegakan itu sering bersifat represif, halmana sangat bertentangan dengan semangat humanisme.Sepakat dengan Frans Magnis; jika agama ingin tetap diterima maka agama harus menjadi humanis. Seperti juga B. Kieser yang menyatakan bahwa agama hanya akan punya masa depan, hanya kalau menjadi agama bagi manusia. Artinya hanya relevan bila dapat mengontrol kecenderungannya untuk menindas, bila ikut membendung arus kekerasan dan berhenti memicunya. Hanya dalam posisi humanis, moralitas agama akan diterima.

Mudik lebaran

Oleh Achmanto Mendatu

Lebaran selalu berarti mudik, pulang kampung. Entah itu kampungnya ada dipelosok yang benar-benar kampung atau di tengah hiruk pikuk kota metropolitan. Meskipun tidak semua orang melakukannya, tapi setiap orang di negeri ini pasti paham, lebaran sama artinya dengan pulang. Bagi si perantau, pulang kembali ke kampung halaman keluarga asal untuk berkumpul lagi, meski sejenak. Entah hanya untuk melepaskan kangen, menunjukkan keberhasilan di rantau, atau pernyataan kekalahan di rantau.

Banyak orang pulang untuk menunjukkan keberhasilan di rantau, sebagai show kesuksesan, yang diwujudkan dalam benda-benda materi semacam mobil, aksesoris, perhiasan sampai oleh-oleh dan bagi-bagi uang pada kerabat. Ingin ditunjukkannya pada keluarga dan kerabat bahwa dirinya telah berhasil. Dan sudah selayaknya karena keberhasilan itu, untuk dihormati kaum kerabatnya. Seperti tetangga saya, bukan main dia. Baru saja 7 tahun merantau, dan selama itu belum pernah pulang, tahun lalu pulang bermobil BMW, berarloji rolex, dan logatnya sudah jakartaan. Tentu saja dia jadi bintang diantara kerabatnya. Dulu dia tidak di’anggep’ tapi kini orang-orang kampung ungguh-ungguh padanya. Hebat dia. Kepulangannya menaikkan status. Ia berhasil dalam perantauannya. Namun ini juga menyiratkan sesuatu yang merisaukan. Ada pergeseran makna pulang. Sekarang ini orang jadi malu untuk pulang mudik jika tidak cukup punya uang yang bisa dipamerkan dan dibagikan pada sanak kerabat. Ironisnya lagi, orang-orang yang dipulangi juga sangat mengharapkan cangkingan. Ujung-ujungnya jika membawa terlalu sedikit daripada tetangga, maka akan dibanding-bandingkan, akan diomongin yang membuat tidak enak hati. Jadi, benar juga prinsip ‘kalau tidak punya uang ya, tidak usah pulang.’

Tetangga saya yang lain, pulang tanpa membawa apapun yang bisa dipamerkan. Hanya membawa seransel pakaian untuk dirinya sendiri saja, untuk kemudian dibawanya kembali. Ia pulang hanya karena kangen semata-mata. Hanya demi berkumpul kembali bersama keluarga, atau mungkin menuntaskan kerinduan pada tanah kelahiran. Sesudahnya ia akan pergi lagi. Untuk cari sesuatu yang akan dibawanya pulang suatu saat nanti. Kebanyakan mahasiswa pulang atas alasan ini.

Nah, ada pula yang pulang untuk benar-benar pulang, tidak pergi-pergi lagi. Pulangnya sebagai pernyataan menyerah, bahwa tanah rantau bukan tanah yang cocok untuknya. Tempatnya terbaik di kampung jugalah. Tempat yang benar-benar dikenalnya sampai ke sudut-sudut yang tersembunyi. Momen lebaran adalah yang terbaik untuk ‘penyerahan’ itu. Saat dimana semua orang dekat berkumpul, dan saat memaafkan paling diutamakan (setidaknya menurut orang Indonesia). Maka permintaan maaf atas ‘kekalahan’ jadi benar-benar terasa afdol, lagi pula tak harus diverbalkan, toh semua orang juga mahfum.

Dalam dunia yang semakin individualis, kerekatan keluarga telah bergeser. Dulu, keluarga-keluarga inti adalah keluarga besar yang terdiri dari beberapa keluarga batih. Tapi kini, keluarga besar hanya terdiri dari ayah-ibu-anak. Tempat tinggalnya pun semakin jauh dari keluarga asal. Belum lagi hubungan-hubungan yang terbangun semakin lama semakin impersonal, hanya berdasarkan kefungsiannya dalam kerja.

Meminjam istilah JUNG, manusia modern adalah manusia-manusia yang teralienasi. Manusia yang terasing dari lingkungan sosial yang akrab, dari hubungan-hubungan yang erat. Manusia modern telah semakin kehilangan hubungan kekeluargaan yang akrab yang bisa memberi penerimaan tanpa syarat akan kondisi apapun anggota keluarga. Berbeda dengan hubungan-hubungan fungsional yang tumbuh pesat di zaman modern ini, yang menolak orang-orang yang tidak fungsional. Jadi, orang dituntut untuk terus menerus bersaing demi tetap fungsional. Dan itu melelahkan. Maka pulang menyediakan ruang-ruang untuk istirahat, ruang untuk menemukan kembali kedamaiannya dalam hubungan-hubungan akrab tanpa pamrih. Lewat pulang, ikatan-ikatan dengan keluarga besar yang longgar direkatkan kembali. Melalui pulang pula ruang-ruang kosong akibat keterasingan diisi kembali. Dan kerinduan akan hubungan-hubungan erat dengan keluarga sebagai hubungan yang tulus bisa dituntaskan.

Menarik melihat kenyataan begitu besarnya jumlah orang Indonesia yang bermudik lebaran. Pertanyaan yang begitu mengusik adalah apakah ada budaya orang Indonesia yang telah mendorong terciptanya budaya mudik? Bahwa mudik dilakukan oleh hampir semua etnik, mengisyaratkan adanya kesamaan diantara berbagai budaya di Indonesia yang mendorong mudik, apakah itu? Ataukah mudik hanya berakar pada satu budaya etnik, atau beberapa budaya etnik tertentu yang kemudian diadopsi oleh seluruh bangsa indonesia? Jika demikian, budaya etnik itu haruslah cukup berpengaruh.

Saya kira, budaya yang mendorong mudik memang ada pada setiap etnik di negeri ini. Pertama, budaya untuk meletakkan penghormatan yang tinggi pada orangtua dan orang-orang yang dituakan. Memang enak di Indonesia, semakin tua itu semakin terhormat sepanjang masih belum pikun. Penghormatan inilah yang jadi dasar jawaban setiap orang saat ditanya mengapa pulang, yakni ingin bertemu dengan orangtua, ingin ‘sungkem’ kata orang jawa.

Kedua, pola asuh dalam keluarga pada hampir semua etnik menekankan kelekatan pada keluarga. Sedari kecil, anak-anak Indonesia dididik untuk menghormati dan menjunjung tinggi kelurga, serta meleburkan diri pada keluarga dan budaya setempat. Anak-anak tidak pernah dibiarkan untuk bereksplorasi mencari permainannya sendiri, tetapi selalu diemong dan selalu ada yang memperhatikan, entah oleh orangtua maupun oleh saudara-saudaranya. Kurang ada kemandirian dan semangat berkompetisi karena semuanya telah dipenuhi. Maka muncullah perilaku lekat yang kuat pada keluarga. Pengorbanan diri demi kehormatan keluarga adalah falsafah yang ada pada hampir seluruh etnik yang ada di Indonesia. Bahwa kemudian mereka harus pergi dari keluarga inti untuk membentuk keluarga inti ditempat lain, tidak mengurangi kelekatan itu, hanya mengurangi ketergantungan. Dan pulang mudik lebaran, adalah refleksi kelekatan yang nyata.

Disisi lain, dimungkinkan mudik sebenarnya hanya didorong oleh satu budaya tertentu saja, tapi kemudian menyebar luas. Sejak zaman lampau beberapa etnik perantau seperti Minang, Batak, Bugis, atau Madura, sudah pasti mengenal mudik sebagai bagian dari kehidupan budayanya. Tapi ternyata, mudik lebaran menjadi populer pada waktu lebih belakangan, ketika orang jawa mulai menyebar ke seantero nusantara dalam jumlah yang relatif besar.

Falsafah ‘mangan ora mangan kumpul’nya Umar Kayam sebagai falsafah pada orang jawa merupakan hakekat dari kelekatan orang jawa pada keluarga. Agaknya inilah yang mendorong perilaku mudik orang jawa. Memang, sikap telah semakin berubah, kini yang berlaku adalah ‘kumpul ora kumpul sing penting mangan’. Akan tetapi hal itu didorong karena keterpaksaan. Merantaunya orang-orang jawa lebih karena didorong ‘daripada tidak mangan ditanah sendiri’ ketimbang dorongan ingin menjadi lebih sukses. Maka pulanglah orang-orang jawa pada saat lebaran guna meneruskan tradisi sungkem. Dan karena demikian besarnya jumlah orang jawa, serta apalagi pulau Jawa sebagai pusat-pusat nadi Indonesia, maka mudik itu mempengaruhi seluruh Indonesia. Lalu berbagai aturan makin menguatkan eksistensi mudik lebaran, seperti kebijakan libur dan tunjangan hari raya. Jadilah semakin lama mudik semakin mengakar, sampai taraf sekarang ini.

Mudik lebaran benar-benar telah membudaya. Pulang jadi bukan pulang kalau bukan saat lebaran. Meskipun dalam setahun sudah beberapa kali pulang, pertanyaan apakah akan pulang saat lebaran pasti mampir juga. Dan mudik lebaran tidak akan bisa hilang begitu saja dimasa depan, sepanjang orang-orang masih butuh ruang-ruang untuk istirahat dari persaingan zaman.

Pendidikan MUltikultural

Strategi Meningkatkan Kompetensi Guru dalam Melaksanakan Pendidikan Multikultural

Oleh Achmanto Mendatu
-
Latar Belakang

Indonesia merupakan bangsa multietnik dan multikultur. Sampai saat ini tercatat ada lebih dari 500 etnik yang menggunakan lebih dari 250 bahasa (Suryadinata, 1999). Masing-masing etnik itu tidak berdiri sebagai entitas yang tertutup dan independen tetapi saling berinteraksi satu sama lain dan saling bergantung (Abdillah, 2001), serta saling mempengaruhi satu sama lain (Siahaan, 2003). Interaksi sosial yang terbentuk dengan keberagaman ini memerlukan suatu pemahaman lintas budaya (Matsumoto, 1996), dan rasa percaya pada setiap pihak yang terlibat dalam interaksi itu, yang merupakan modal sosial (Ancok, 2003) bagi terbentuknya suatu hubungan antar etnik-antar budaya yang sehat, sejahtera dan maju. Bilamana tidak, maka mustahil suatu Indonesia yang damai dan sejahtera bisa diwujudkan.

Menumbuhkan pemahaman lintas budaya mutlak diperlukan dalam masyarakat Indonesia yang multietnik dan multikultur. Adapun cara yang dilakukan bisa melalui pendidikan dalam keluarga, sosialisasi nilai-nilai dalam masyarakat baik melalui pergaulan sosial maupun media, dan melalui pendidikan multikultur, yaitu pendidikan yang dapat menfasilitasi siswa dalam memahami materi pembelajaran tanpa adanya kendala perbedaan latar belakang kultural (Bryant, 1996) dan pemahaman akan keberagaman dan penghargaan akan perbedaan, serta bagaimana bersikap dan bertindak dalam situasi multietnik-multikultur (Matsumoto, 1996). Dimensi yang terkandung dalam pendidikan multikultur ada lima, yaitu integrasi isi, konstruksi pengetahuan, pengurangan prasangka, keadilan pedagogik, dan empowering kultur sekolah (Banks, 1994). Salah satu bentuknya adalah pembelajaran agar siswa terikat dengan lingkungan budayanya dengan pengajaran ethnoscience, yakni topik pembelajaran yang membahas keterkaitan antara Ilmu Pengetahuan Alam dengan etnik atau budaya manusia (Lara-Alecio, 2001). Bentuk yang lain adalah manajemen kelas yang baik yang memungkinkan terciptanya kerjasama antara siswa dengan berbagai latar belakang kultural (Brown, 1995) dan meningkatkan hubungan antar siswa yang berbeda kultur dengan berbasis kurikulum (Santrock, 1999). Pendidikan multikultur terintegrasi kedalam berbagai mata pelajaran dan sistem yang diberlakukan dalam suatu institusi pendidikan.

Guru merupakan ujung tombak dari pendidikan multikultur. Peran guru sangat menentukan dalam keberhasilan mendorong pemahaman lintas budaya pada peserta didik. Apa yang disampaikan guru, cara guru mengajar, dan kepribadian guru sangat mempengaruhi keberhasilan pembelajaran (Syah, 2002), demikian juga latar belakang kultural guru akan turut membentuk persepsi murid terhadap kulturnya (Cabello & Burstein, 1995). Guru yang tidak memahami latar belakang budayanya sendiri dan tidak sensitif budaya atau tidak memiliki pemahaman lintas budaya tidak bisa diharapkan sukses dalam menerapkan pendidikan multikultur (Banks, 1994). Oleh karena itu sangatlah penting untuk menyiapkan guru memiliki pemahaman lintas budaya sehingga mampu menyelenggarakan suatu pendidikan multikultur.

Pendidikan tingggi yang bertugas menyiapkan calon guru, seperti misalnya IKIP maupun Fakultas Keguruan lainnya, sudah seharusnya memiliki strategi yang memadai dalam upaya meningkatkan kompetensi calon guru dalam menyelenggarakan pendidikan multikultur. Strategi dimaksud bisa secara nyata terdapat dalam kurikulum maupun melalui beragam cara lainnya yang diselenggarakan dalam proses pengajaran. Keberhasilan dari suatu pendidikan tinggi bahkan bisa dilihat dari kemampuannya menyiapkan kompetensi itu.

Makalah ini membahas beberapa strategi dalam meningkatkan kompetensi calon guru dalam melaksanakan pendidikan multikultural.

Analisis
Ada empat strategi yang bisa digunakan dalam meningkatkan kompetensi mahasiswa calon guru dalam menyelenggarakan pendidikan multikultur yang akan dibahas dalam makalah ini. Empat strategi dimaksud diambil dari Journal of Teacher Education, yaitu Issues Exchange Activity (Marshall, 1998)., ABC’s Model (Xu, 2000), The Cultural Immersion Project (Wiest, 1998), dan Service Learning (Barton, 1999). Semua strategi itu telah dilaksanakan sebagai bagian dari tugas kuliah mahasiswa calon guru dan telah diteliti efek-efeknya terhadap peningkatan pemahaman lintas budaya mahasiswa.

1. Issues Exchange Activity
Judul : Toward Developmental Multicultural Education : Case Study of the Issues Exchange Activity.Penulis : Patricia L. MarshallSumber: Journal of Teacher Education, 1998, 49 (1) : 57-65

Issues Exchange Activity adalah serangkaian dialog akan sebuah topik yang berhubungan dengan diversitas budaya di dalam sekolah dan masyarakat yang lebih luas. Kegiatan ini dilaksanakan selama 16 kali pertemuan atau 1 semester, oleh mahasiswa peserta mata kuliah pendidikan multikultural yang diampu oleh Prof. Patricia L. Marshall di North Carolina State University. Strategi dalam Issues Exchange Activity adalah menempatkan dua orang dalam posisi berlawanan untuk berdiskusi terhadap suatu permasalahan yang terkait dengan permasalahan diversitas kultural, yang satu pro dan yang lain anti. Kemudian mereka saling bertukar tempat, yang pro menjadi anti dan yang anti menjadi pihak yang pro. Mahasiswa dipersilahkan untuk mengungkapkan cultural aversion-nya dalam diskusi itu. Tugas dosen (Marshall), adalah menentukan tema yang provokatif dan menyediakan bahan-bahan referensi baik untuk yang pro maupun yang anti, yang harus dibaca oleh mahasiswa sebelum diskusi. Salah satu contoh dari tema diskusi, yaitu “apakah beberapa kelompok kultur subordinat menggunakan ketidakadilan terhadap mereka dimasa lalu sebagai alasan atas kekurangsuksesan mereka saat ini?”

Marshall kemudian melakukan survei melalui surat untuk melihat efek dari kegiatan itu pada peserta yang mengikuti kegiatan itu satu tahun (7 orang) dan dua tahun (8 orang) sebelumnya. Melalui laporan dari para peserta, Ia menemukan bahwa :

1. Hampir semua mahasiswa melaporkan bahwa sebelum mengikuti kegiatan itu mereka memiliki sikap yang kemudian mendapatkan tantangan setelah mengikuti kegiatan. Mereka mengakui memiliki personal bias (prasangka, berpikiran sempit, dll) yang dikonfrontir dalam kegiatan itu.. Mereka melaporkan menjadi lebih reseptif terhadap cara pandang orang lain.
2. Kegiatan itu membuat mereka lebih kritis terhadap perbedaan kultural diantara pelajar di dalam sekolah dan lebih mampu untuk memahami cara berpikir (perspectives-taking) orang-orang dalam kultur yang berbeda.
3. Mereka lebih terbuka terhadap isu-isu rasial/etnisitas dan membuat pikiran mereka lebih terbuka
4. Mereka melaporkan bahwa efek dari kegiatan itu ditransfer ke dalam kehidupan profesional mereka (termasuk didalamnya sebagai pengajar di sekolah).

2. ABC’s Model
Judul : Preservice Teachers Integrate Understandings of Diversity Into Literacy Intruction : An Adaptation of the ABC’s ModelPenulis : Hong XuSumber: Journal of Teacher Education, 2000, 51 (2) : 135-148.

Model ABC ini melandaskan premis bahwa seseorang harus memahami latar belakang kulturnya sendiri dan nilai-nilai didalamnya sebelum memahami latar belakang kultural orang lain. Belajar mengenai pengalaman hidup orang lain akan membawa seseorang ke budaya orang tersebut, dan analisis lintas budaya mengenai budaya sendiri dan budaya orang lain, pada gilirannya akan meningkatkan kesadaran akan kesamaan dan perbedaan diantara berbagai budaya.

Kegiatan peningkatan kompetensi multikultural model ABC ini merupakan proyek penelitian yang melibatkan 20 mahasiswa calon guru di Texas Tech University. Model ABC ini terdiri dari lima komponen, yaitu :

1. Otobiografi. Calon guru menulis otobiografi dengan memasukkan nilai-nilai budaya dan pengalaman hidup. Mereka juga menggambarkan tentang pengalaman belajar tulis menulis di rumah dan di sekolah.
2. Biografi. Calon guru membuat studi kasus dengan melakukan interview terhadap seorang murid mengenai latar belakang keluarga dan kulturnya, serta pengalaman belajar tulis menulis di rumah dan disekolah. Kemudian hasilnya ditulis dalam biografi.
3. Analisis lintas budaya. Calon guru mengidentifikasi persamaan dan perbedaan antara kisah tentang diri mereka dan studi kasus yang dilakukannya terhadap seorang murid tadi dengan menggunakan chart.
4. Analisis perbedaan budaya. Dikelas didiskusikan hasil dari analisis lintas budaya yang dan studi kasus yang dilakukan, serta ketidaknyamanan mereka terhadap perbedaan budaya.
5. Praktik di kelas. Calon guru berpraktik mengajar didepan kelas. Pertama ia harus mengetahui kemampuan menulis dan membaca murid-muridnya melalui mengeja dan membaca secara informal. Kemudian ia menerapkan pengetahuan mengenai strategi intruksional dan literatur anak-anak, terhadap murid-muridnya berdasarkan kebutuhan murid-murid tersebut. Mereka mendokumentasikan aplikasi setiap strategi dalam sebuah lembaran strategi dan mencatat literatur anak-anak di lembaran literatur. Di akhir tugas lapangan ini, mereka membuat laporan studi kasus dengan dilengkapi dengan pengalaman mengajar dan insight mereka dalam mengajar pelajar yang berbeda-beda.

Xu melakukan penelitian terhadap otobiografi, biografi, chart analisis lintas budaya, lembaran strategi dan literatur, serta melalui observasi langsung. Ia menemukan bahwa :
- Otobiografi membuat mereka lebih memahami latar belakang budaya sendiri.
- Mereka lebih memahami kultur dan keluarga murid dan kesulitan-kesulitan mereka dalam belajar tulis-menulis.
- Mereka menyadari adanya perbedaa-perbedaan antara diri mereka dengan murid-murid dan berpikir lebih positif mengenai perbedaan itu.
- Mereka mengeksplorasi dan mengintegrasikan perbedaan ke dalam intruksi pengajaran. Mereka melakukan dua pendekatan; 1) integrasi isi dari literatur multikultural, 2) mengaplikasikan strategi instruksional dalam membaca dan menulis yang sesuai dengan latar belakang murid.

3. The Cultural Immersion Project
Judul : Using Immersion Experiences to Shake Up Preservice Tachers’ Views About Cultural Diffrerences,Penulis : Lynda R. WiestSumber: Journal of Teacher Education, 1998, 49 (5) : 358-365.

"The cultural immersion Project” merupakan tugas wajib bagi mahasiswa calon guru di University of Nevada, yang tergabung dalam mata kuliah Aspek sosiokultural dalam pendidikan, yang juga sekaligus sebagai. penelitian yang dilakukan oleh Lynda R. Wiest. Proyek ini melibatkan tiga kelas, dengan total 86 subjek. Proyek ini bertujuan membantu mahasiswa mendapatkan pemahaman mengenai budaya lain dan mengerti bagaimana merasakan menjadi anggota kelompok minoritas, sebagai status yang subordinat di masyarakat. Proyek itu membuat mahasiswa calon guru berpartisipasi langsung ke dalam kultur yang tidak begitu dikenalnya selama minimum satu jam dan kemudian mempertimbangkan kemungkinan bagaimana penerapan pengajaran didepan kelas mengenai apa yang telah dipelajari.

1. Mereka harus memilih sebuah pengalaman dalam budaya yang berbeda dengan budayanya sendiri, dan itu harus minimal selama 1 jam.
2. Mereka tidak boleh hanya mengobservasi tetapi harus turut berpartisipasi dan berinteraksi dengan anggota kelompok budaya lainnya, jikalau mungkin.
3. Interaksi dengan anggota kelompok budaya lain tidak boleh hierarkis, interaksi itu harus terdapat adanya power yang seimbang.
4. Jika mungkin mereka memilih sebuah pengalaman budaya lain dalam situasi berbeda-beda.
5. Melakukannya sendiri, dan harus terpisah dengan rekan lain apabila mengambil suatu topik yang sama.
6. Mahasiswa harus menulis paper 4-5 halaman, sebagai laporan kegiatan itu. Laporan terdiri atas 3 bagian, yaitu : 1) Latar belakang, 2) Respon personal yang berisi, dan 3) Implikasi untuk pendidikan.,

Berdasarkan hasil penelitian melalui teknik komparatif dari 86 hasil paper yang dikumpulkan oleh mahasiswa, Wiest mengidentifikasi beberapa keuntungan dari program tersebut:
1. Informasi baru mengenai budaya khusus yang berbeda. Mahasiswa memperoleh informasi baru mengenai tradisi, adat, dan sikap yang berbeda dengan yang dimiliki.
2. Tantangan terhadap keyakinan dan pengertian yang dimiliki. Beberapa mahasiswa mengakui mendapatkan pengetahuan kultural yang melenyapkan stereotip, miskonsepsi, dan ketakutan-ketakutan terhadap kelompok yang dikunjungi.
3. Meningkatkan skil personal dan profesional. Mahasiswa mengalami peningkatan kemampuan untuk melihat sebuah situasi melalui perspektif budaya yang berbeda dan meningkatkan empati pada perasaan orang saat berada di dalam budaya yang dominan atau familiar.
4. Mendapatkan insight bagaimana mengajar pelajar yang berbeda-beda kulturnya. Beberapa mahasiswa mengatakan bahwa pelajar dari kelas bawah harus diperkuat kebutuhannya, yakni dalam kebutuhan fisik (pakaian, sepatu, dll), keamanan (stabilitas di sekolah), dan harga diri. Beberapa menyatakan bahwa pelajar dari kaum minoritas harus dibuat nyaman didalam kelas.

4. Service Learning
Judul : Crafting a Multicultural Science Teacher Education : A Case StudyPenulis : Angela Calabrese BartonSumber: Journal of Teacher Education, 1999, 50 (4) : 303-314.

Belajar melayani komunitas diartikan sebagai aktivitas belajar yang mengkombinasikan belajar di ruang kelas dengan aksi sosial dan pelayanan. Angela Barton mengaitkan antara service learning itu dengan kesiapan calon guru dalam menyelenggarakan pendidikan sains multikultural, yakni pengajaran sains yang tidak memiliki kendala latar belakang kultural. Dalam proyek yang diteliti Barton, service learning dilakukan dalam tiga tahapan :

1. Mahasiswa calon guru berpartisipasi dalam seminar yang mengeksplorasi berbagai teori dan praktik yang terkait dengan pendidikan sains, pendidikan multikultural, dan pendidikan kaum urban.
2. Mahasiswa calon guru berpartisipasi dalam merencanakan pelajaran dan persiapan seminar.
3. Mereka mengajar di Homeless-Children Shelter selama 2 kali seminggu. Mereka didorong untuk mengkontruksi cara-cara agar sains bisa dipahami berdasarkan nilai-nilai, keyakinan, pengalaman, dan kultur murid. Mereka juga didorong untuk mengajar secara privat.
Hasil dari kegiatan itu sebagai berikut :
1. Merubah ide mengenai pendidikan sains multikultural. Para calon guru memiliki ide-ide baru bagaimana mengajarkan sains yang berperspektif multikultural, dengan mengaitkan antara pendidikan sains multikultural dengan keadaan sekolah, dan permasalahan sosial-politik.
2. Merubah cara pandang mengenai pendidikan sains multikultural. Para calon guru awalnya melihat hal itu sama seperti pendidikan sains regular yang ditemui, tapi mereka akhirnya memperoleh pemahaman bahwa pendidikan sains di kultur yang berbeda juga berbeda. Mereka melihat pendidikan sains multikultural lebih kompleks
3. Para calon guru menjadi sadar bagaimana keyakinan mereka mengenai sains, persekolahan dan masyarakat mempengaruhi hubungan mereka dengan murid-murid.
-
Secara umum, keempat strategi mendasarkan pada asumsi bahwa dalam memahami segala sesuatu yang berbeda, masing-masing orang dari budaya yang berbeda memiliki prototip pikirannya sendiri yang berbeda satu sama lain dalam memahami realitas (Matsumoto, 1996). Memahami adanya perbedaan boleh jadi bisa meningkatkan pemahaman multikultur akan tetapi jauh lebih baik lagi apabila individu bisa langsung merasakan terlibat dalam budaya yang berbeda (Triandis, 1994). Dalam hal ini, strategi ‘The Cultural Immersion Project’ mensyaratkan mahasiswa untuk langsung terlibat dalam budaya yang berbeda sehingga langsung menyentuh ranah afektif. Demikian juga dengan strategi ‘Service Learning’ menghendaki adanya keterlibatan dengan orang-orang yang secara kultur berbeda, meskipun dengan intensitas yang lebih rendah. Adapun strategi ‘Issues Exchange Activity’ dan ‘ABC’s Models’ cenderung menggunakan ranah kognitif, yakni memahami adanya perbedaan budaya melalui beragam informasi yang berhasil dikumpulkan dari orang-orang yang berbeda budaya.

Empat strategi diatas menggunakan adanya otoritas yakni dosen pengampu mata kuliah sebagai legalisasi pelaksanaan kegiatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Brown (1996) dimana menurutnya strategi peningkatan pemahaman lintas budaya dan. pengurangan prasangka memerlukan adanya tekanan pihak otoritas sehingga kegiatan yang dilaksanakan bisa berjalan baik. Terlihat juga bahwa keempat strategi menggunakan kelas sebagai sarana pembelajaran. Shpancer (2004) menyebutkan bahwa agar strategi kelas berhasil baik dalam pengajaran, maka diperlukan strategi yang bisa membuat mahasiswa mencapai ‘insight’ hingga bisa tercetus ide “aha, saya mengerti”. Dari keempat strategi di atas tampak sekali bahwasanya semuanya berupaya untuk memberikan ‘insight’ kepada mahasiswa calon guru, baik melalui pengalaman maupun dari pengetahuan yang diperoleh sendiri, daripada sekedar memberikan pengetahuan adanya suatu kultur yang berbeda.

Diskusi

Pertanyaan yang biasa muncul ketika menggunakan studi literatur dari jurnal yang terbit di luar negeri adalah ‘apakah cara itu akan efektif diterapkan di Indonesia, mengingat budaya yang berbeda?’ Pertanyaan tersebut mungkin relevan ditanyakan berkait dengan tema makalah ini. Saya berasumsi bahwa strategi itu bisa diterapkan dengan mudah di Indonesia. Setidaknya ada dua alasan mengapa demikian, pertama, strategi itu melandaskan premis yang berlaku universal yaitu paradigma ingroup-outgroup yang menghasilkan prototip pikiran yang berbeda antar budaya yang berbeda. Oleh karena itu, sepanjang terdapat adanya perbedaan budaya di dalam masyarakat maka strategi itu bisa diterapkan. Kedua, strategi diatas bukan merupakan strategi yang terikat pada basis budaya individualistik maupun kolektivistik karena masing-masing dari tugas justru akan menyadarkan individu untuk memahami budayanya sendiri lebih baik serta memahami budaya yang berbeda dengan lebih baik pula. Artinya, strategi-strategi itu bisa berlaku disegala macam budaya yang berada dalam tataran modern, dengan sedikit penyesuaian tentunya. Pertanyaan yang lebih relevan adalah apakah strategi itu bisa diterapkan di Indonesia mengingat mahasiswa Indonesia pada umumnya kurang disipilin dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dosen, sebab strategi diatas memerlukan kesungguhan dalam mengerjakannnya.

Persoalan lain dari strategi diatas terkait dengan penelitian yang digunakan untuk mengetahui efektivitas kegiatan yang didasarkan pada laporan mahasiswa yang bisa sangat bias karena mahasiswa melaporkan hal-hal yang normatif. Oleh karena itu mungkin lebih baik apabila juga digunakan indikator atau alat ukur lain untuk menguji kebenaran pernyataan peserta.

Empat strategi diatas masing-masing dilakukan dengan melibatkan diri ke dalam kultur dan situasi yang berbeda dengan diri peserta. Semuanya memerlukan tindakan atau aksi langsung halmana membuat para peserta memiliki pengalaman berada dan ikut merasa dalam kultur yang berbeda. Akan tetapi sebenarnya masih ada lagi strategi yang lebih berorientasi kognitif yakni refleksi atas pengalaman kultural yang diperoleh melalui bacaan, film, cerita-cerita, dan sebagainya.

KesimpulanStrategi meningkatkan kompetensi calon guru agar bisa menjadi guru yang kompeten dalam pendidikan multikultural, setidaknya bisa dilakukan melalui empat cara, yakni strategi “Issues Exchange Activity”, “Service Learning”, “Model ABC” dan “Cultural Immersion”. Masing-masing strategi terbukti memiliki efek yang positif terhadap mahasiswa calon guru dalam memahami perbedaan kultural diantara murid-murid maupun antara dirinya dengan murid dan berbagai konsekuensinya dalam pendidikan. Lebih jauh pemahaman itu juga terbukti berefek positif terhadap meningkatnya pemahaman tentang bagaimana seharusnya pendidikan multikultural diselenggarakan.

Strategi diatas, dengan sedikit adaptasi, bisa diselenggarakan oleh institusi pendidikan di Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan bagi calon guru. Hal ini akan membantu para calon guru di Indonesia memiliki kompetensi dalam menyelenggarakan pendidikan multikultur. Sebuah ironi, bila ternyata ditengah suasana multikultur para guru tidak memiliki kompetensi untuk menyelenggarakan pendidikan multikultur.
-
Daftar Pustaka
-
Abdillah, U. (2001). Politik Identitas Etnis. Magelang : IndonesiaTera
Ancok, D.(2003). Modal Sosial dan Kualitas Masyarakat. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Psikologi UGM, tidak diterbitkan.
Banks, J.A. (1994). An Introduction to Multicultural Education. Boston : Allyn & Bacon.
Barton, A.C. (1999). Crafting a Multicultural Science Teacher Education : A Case Study. Journal of Teacher Education, 50 (4) : 303-314
Brown, R. (1995). Prejudice: It’s Social Psychology. Oxford: Blackwell Publishers Ltd.
Bryant, N.A. (1996). Make The Curriculum Multicultural. The Science Teacher, 63 (2), 28-31.
Cabello, B., & Burstein, N.D. (1995). Examining Teachers’ Beliefs about teaching in Culturally Diverse Classroom. Journal of Teacher Education, 46 : 285-294.
Lara-Alecio, R (2001). Science of the Maya: Ethnoscience in the Classroom. The Science Teacher, 68 (3), 48-51
Marshall, P.L. (1998). Toward Developmental Multicultural Education: A case Study of the Issues Exchange Activity. Journal of Teacher Education, 49 (1) :57-65
Matsumoto, D. (1996). Culture and Psychology. California : Brooks/Cole Publishing Co.
Santrock, J.W. (1999). Life Span Development, 7th ed. USA : Mc Graw Hill.
Siahaan, H. (2002). Sinophobia dan Ekslusivisme: antara Mitos dan Realitas, dalam Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta: Persembahan Kepada Teuku Ibrahim Alfian, Jakarta : Yayasan Masyarakat Sejarawan dan Sinergi Press, 479-490.
Shpancer, N (2004). What Makes Classroom Learning a Worthwhile Experience. Thought & Action, The NEA Higher Education Journal, 23-35.
Suryadinata, L. (1999). Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta : LP3ES.
Syah, M. (2002). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung : Rosda Karya.
Wiest, L.R. (1998). Using Immersion Experiences to Shake Up Preservice Tachers’ Views About Cultural Diffrerences. Journal of Teacher Education, 49 (5) : 358-365.
Xu, H. (2000). Preservice Teachers Integrate Understandings of Diversity Into Literacy Intruction : An Adaptation of the ABC’s Model. Journal of Teacher Education, 51 (2) : 135-148.

Korupsi, apa sih?

Oleh Achmanto Mendatu

Korupsi adalah sebuah tindakan aksi atau perilaku. Sebagaimana perilaku lainnya, ia dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor sosial maupun faktor individual. Faktor sosial penyebab perilaku korup bermacam-macam, karenanya pendekatan yang digunakan untuk melihat fenomena korupsi juga beraneka ragam, misalnya pendekatan sosial budaya, pendekatan agama, pendekatan hukum, dan pendekatan politik. Namun agaknya pendekatan individual terhadap korupsi kurang mendapat perhatian. Padahal sebagai sebuah perilaku manusia, korupsi lahir pula dari faktor psikologis manusianya. Tulisan ini mencoba melihat korupsi dari sisi psikologis dan upaya menguranginya melalui pendekatan psikologi.

Perilaku Korup

Sebagai perilaku, korupsi memiliki aspek-aspek yang serupa dengan perilaku lainnya. Pertama adalah sikap yang dimiliki. Bila seseorang memiliki sikap yang positif terhadap korupsi maka kecenderungan seseorang untuk melakukan korupsi cenderung besar. Namun hal ini tidak berarti bila sikap seseorang negatif terhadap korupsi akan membuat seseorang tidak berkorupsi. Contoh dari fenomena ini banyak sekali. Pejabat-pejabat dari berbagai tingkatan sering mengecam dan mengutuk korupsi. Namun toh, mereka melakukan korupsi juga. Bila pelaku korupsi ditanya sikapnya tentang korupsi, hampir bisa dipastikan akan menilai korupsi sebagai keburukan. Antara sikap dan perilaku kadangkala tidak sejalan, dan untuk korupsi ‘seringkali’ tidak sejalan. Jadi, sikap positif atau negatif terhadap korupsi belum bisa dijadikan prediksi yang kuat atas timbulnya perilaku korup.

Kedua adalah intensi atau niat untuk melakukan korupsi. Baik sikap positif maupun negatif terhadap korupsi bisa melahirkan niat untuk berkorupsi. Seseorang yang bersikap positif mungkin berniat melakukan korupsi mungkin juga tidak. Sebaliknya seseorang yang memiliki sikap negatif mungkin tidak berniat mungkin juga berniat. Hanya saja bila seseorang bersikap positif terhadap korupsi maka niat melakukan korupsi cenderung lebih besar daripada yang memiliki sikap negatif. Niat ini dipengaruhi oleh keadaan dan situasi. Misalnya saja adanya tuntutan akan taraf hidup yang lebih baik, tuntutan untuk melepaskan diri dari kesulitan dan lainnya. Daripada sikap, niat lebih dekat terhadap perilaku. Jadi, niat terhadap korupsi lebih bisa dijadikan prediksi terhadap kemungkinan timbulnya perilaku korup.

Ketiga adalah norma sosial masyarakat terhadap korupsi. Bila norma sosial tegas melarang korupsi dan bahkan menyediakan berbagai mekanisme sanksi sosial terhadap perilaku korup, maka kemungkinan timbulnya korupsi kecil. Seperti yang kita tahu, norma sosial cukup berpengaruh terhadap perilaku, apalagi di Indonesia yang memiliki budaya kolektif. Dalam kasus Indonesia, sesungguhnya norma sosial yang ada mengecam keberadaan korupsi. Akan tetapi semakin tampak belakangan ini masyarakat semakin permisif terhadap korupsi. Seolah-olah perilaku korup dimaklumi bersama sebagai bagian dari kehidupan sosial. Justru akan dinilai aneh bila seseorang tidak korupsi. Agaknya (belum diketahui ada penelitian mengenai hal ini) norma sosial di Indonesia saat ini ikut mendorong tumbuhnya korupsi.

Gejala semakin permisifnya masyarakat terhadap korupsi berawal dari luasnya korupsi di masyarakat itu sendiri. Ketidakberdayaan pemerintah menangani korupsi (memang sulit menyembuhkan diri sendiri) membuat masyarakat mau tidak mau harus menjadikan korupsi sebagai bagian dari kenyataan sosial. Akibatnya norma sosial yang merupakan konvensi bersama masyarakat turut pula berubah lebih akomodatif terhadap korupsi.

Keempat adalah norma subjektif yang diyakini individu. Norma subjektif ini dipengaruhi diantaranya oleh tingkat religiusitas. Bila seseorang memiliki tingkat keberagamaan yang lebih matang daripada umumnya masyarakat maka kecenderungan orang itu untuk melakukan korupsi juga kecil, karena adanya ancaman lebih tegas dalam agama mengenai korupsi. Norma subjektif yang mengutamakan aspirasi materi juga akan memprediksi kemungkinan seseorang melakukan tindakan korup.

Kelima adalah kesempatan yang tersedia untuk melakukan korupsi. Faktor kesempatan ini merupakan faktor yang paling dekat dengan perilaku korupsi. Jadi, faktor ini yang paling baik untuk memprediksi perilaku korupsi. Instansi yang memiliki pengawasan lemah akan memiliki kemungkinan lebih besar memunculkan perilaku korup. Adanya istilah ‘tempat basah’ dan ‘tempat kering’menunjukkan adanya tempat yang memiliki peluang lebih besar untuk korupsi daripada tempat yang lain.

Upaya Pemberantasan Korupsi

Sebagai sebuah tindakan merugikan sudah selayaknya korupsi diberantas. Berbagai pendekatan digunakan dalam upaya tersebut. Salah satu yang paling populer adalah pendekatan hukum. Dipercaya bahwa hukum yang kuat dan tegas akan efektif dalam menekan angka korupsi. Pendekatan hukum ini berkaitan pula dengan pendekatan politik karena adanya hukum yang kuat dan tegas dalam pemberantasan korupsi merupakan produk dari adanya political will dari pemerintah yang berkuasa. Anak dari pendekatan politik adalah pendekatan ekonomi yang didasari asumsi bahwa penghasilan rendah para pejabat negara yang telah menyebabkan terjadinya praktek korupsi. Karenanya upaya penanganan yang efektif adalah dengan meningkatkan gaji para pejabat negara. Tiga pendekatan inilah yang paling sering dimunculkan terutama pada era kepresidenan Abdurahman Wahid.

Pendekatan psikologi dalam pemberantasan korupsi, yang tentunya dintegrasikan dalam berbagai pendekatan lain, menekankan pada perubahan sikap, pereduksian niat dan kesempatan serta manipulasi norma sosial dan norma subjektif. Upaya melakukan hal-hal tersebut merupakan upaya integral yang satu sama lain tidak dapat dipisahpisahkan. Semuanya saling terkait secara erat.

Berbagai langkah yang bisa ditempuh diantaranya, pertama, adalah mengubah sikap agar seseorang memiliki sikap negatif terhadap korupsi. Proses perubahan sikap ini bisa dilakukan diantaranya dengan menginformasikan dampak dari korupsi secara luas yang berdasarkan data akurat. Diharapkan pengetahuan yang memadai akan dampak korupsi yang sangat buruk bisa menimbulkan disonansi atau kesenjangan kognitif, dimana pikiran individu tentang enaknya hasil korupsi akan bertentangan dengan pikiran akan dampak korupsi yang dilakukannya terhadap orang banyak. Darinya diharapkan terjadi perubahan sikap menjadi lebih negatif terhadap korupsi.

Kedua mereduksi niat untuk melakukan korupsi. Seperti yang telah kita lihat diatas, niat untuk berkorupsi bisa dimunculkan karena adanya tuntutan kebutuhan tertentu. Bila kebutuhan itu terpenuhi diharapkan niat korupsi juga berkurang. Kebijakan kenaikan gaji yang populer beberapa waktu lalu mendasarkan pada kerangka berpikir demikian.

Sementara itu upaya memanipulasi norma sosial bisa ditunjukkan dengan kesungguhan pemerintah melakukan penegakan hukum terhadap para pelaku korupsi, memberikan keteladanan, dan memperkuat sanksi sosial dimana individu akan merasa kurang mendapat dukungan sosial atas perilaku korupnya. Mewajibkan kerja sosial seperti menyapu jalan bagi para pejabat pelaku korupsi merupakan bentuk hukuman sosial yang efektif. Sedangkan manipulasi norma subjektif bisa dilakukan melalui pendidikan anti korupsi baik melalui pendekatan keagamaan maupun melalui pendekatan budaya.

Terakhir adalah mengurangi kesempatan seseorang untuk melakukan korupsi. Upaya mengurangi kesempatan korupsi ini bisa dilakukan dengan beragam cara seperti pengawasan yang ketat terhadap lembaga-lembaga publik oleh masyarakat umum dan terutama oleh masyarakat akademis, transparansi pengelolaan keuangan pemerintah, laporan kekayaan pejabat secara berkala kepada publik, dan lainnya.

Agaknya dimasa depan diperlukan suatu tes psikologi untuk screening calon pejabat negara, karena tipe kepribadian, sikap, niat, dan norma subjektif tertentu yang dimiliki individu menyumbang terhadap kecenderungan melakukan korupsi. Misalnya kepribadian yang manipulatif lebih berkecenderungan melakukan korupsi. Pada akhirnya pendekatan psikologi adalah pendekatan yang diaplikasikan pada pendekatan lain bukan suatu pendekatan yang bisa dilakukan sendiri.

Perubahan sikap

Oleh Achmanto Mendatu

Apakah sikap yang anda miliki bisa berubah? Ya. Sikap bisa berubah. Anda bisa merubah sikap anda. Jika mula-mula anda bersikap negatif terhadap waria, anda bisa berubah untuk memiliki sikap positif terhadap waria. Jika mula-mula anda bersikap positif terhadap seseorang, anda bisa berubah bersikap negatif. Pertanyaannya, mengapa dan bagaimana perubahan sikap terjadi?

Setidaknya ada dua penjelasan untuk menerangkan perubahan sikap yang anda alami. Pertama oleh karena adanya konsistensi kognitif dalam diri anda. Kedua, karena adanya persuasi untuk merubah sikap anda.

1. Konsistensi kognitif

Semua orang berupaya mencari konsistensi di dalam pikiran mereka, baik dalam hal keyakinan, nilai-nilai maupun persepsi. Jika tidak konsisten mereka akan berusaha menjadikannya konsisten. Tidak mungkin pada saat yang sama anda akan mengakui bahwa pemerkosaan itu jahat sekaligus baik. Anda pasti memilih salah satunya saja.

Bayangkan anda tidak menyukai makanan capjay di sebuah restoran. Namun suatu saat anda mendengar bahwa seoarng koki terkenal memuji bahwa capjay di restoran itu sangat enak. Nah, informasi baru itu tidak konsisten dengan sikap anda. Anda tidak tidak menyukai capjay disana tapi koki terkenal menyukai. Kondisi tersebut dinamakan disonansi. Jadi, disonansi muncul ketika anda memiliki dua informasi atau dua pikiran yang saling bertentangan. Anda disebut mengalami disonansi jika melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan sikap anda.

Kondisi disonansi menjadikan seseorang berusaha agar kembali konsisten. Makin besar disonansinya maka makin besar pula motivasinya. Bagaimana caranya untuk mengurangi disonansi? Ada beberapa cara yang bisa dilakukan; melalui perubahan perilaku atau perasaan, merubah sikap, atau mengabaikan informasi.

Sebagai contoh, kita ambil sikap terhadap bakso. Anda menyukai makan bakso dan sering mencoba bakso di berbagai tempat. Suatu saat anda mendengar bahwa banyak bakso yang menggunakan formalin dan daging tikus. Karena informasi tersebut anda mengalami disonansi. Nah, apa yang anda lakukan untuk mengurangi disonansi anda? Mungkin anda berhenti mengkonsumsi bakso, tidak lagi menyukai bakso (menjadi bersikap negatif), atau mengabaikan informasinya (cuek saja).

2. Komunikasi persuasif

Lihatlah di majalah-majalah, koran, televisi, dan media massa lainnya. Anda akan menemukan banyak sekali informasi yang ditujukan untuk mengubah sikap anda. Mulai dari berita, opini, iklan, dan sebagainya. Misalnya iklan dibuat agar anda berubah sikap hingga mau membeli barang yang diiklankan.

Bagaimana sebuah persuasi bisa berhasil merubah sikap? Ada beberapa syarat agar persuasi bisa merubah sikap. Baik penyampai persuasi atau komunikator, isi pesan, maupun audiens (pihak yang dipersuasi) harus sama-sama menunjang. Berikut beberapa fakta yang berhubungan dengan perubahan sikap dan persuasi.
  1. Orang yang ahli lebih persuasif ketimbang yang tidak ahli.
  2. Pesan yang tidak ditujukan untuk merubah sikap kadangkala lebih berhasil merubah sikap daripada pesan yang sengaja ditujukan untuk merubah sikap.
  3. Komunikator yang populer dan menarik lebih bisa merubah sikap daripada yang tidak populer dan tidak menarik
  4. Orang yang memiliki percaya diri tinggi lebih sulit diubah sikapnya
  5. Orang yang memiliki harga diri tinggi lebih sulit diubah sikapnya
Persuasi dapat ditingkatkan dengan jalan memunculkan emosi yang kuat pada suatu hal. Misalnya saja agar seseorang berhenti minum minuman keras maka dibuat agar orang itu takut dengan minuman keras (memberikan informasi bahwa minuman keras dapat membunuh dengan menunjukkan gambar-gambar dan contoh-contoh).

Orang yang berbicara cepat lebih lebih persuasif daripada yang berbicara lambat. Misalnya saja sales lebih persuasif ketimbang orang yang bicara terbata-bata.Semakin banyak informasi yang diperoleh dari sumber yang berbeda-beda, maka semakin mungkin untuk merubah sikap.
Menolak perubahan sikap

Bisa saja anda menolak untuk merubah sikap anda meskipun telah memperoleh informasi yang tidak konsisten dengan sikap anda atau telah mendapat persuasi. Pertanyaannya, mengapa anda menolak merubah sikap anda?

Terdapat beberapa penyebab sehingga anda mau merubah sikap anda. Pertama, anda berupaya melindungi kebebasan anda. Diri anda tidak ingin memiliki sikap tertentu karena hasil persuasi atau bujukan orang lain. Sikap yang dihasilkan dari persuasi orang lain berarti menandakan ketidakbebasan anda dalam menentukan sikap anda sendiri. Ini makanya gembar gembor agar anda memilih partai tertentu tidak mempengaruhi anda sama sekali. Begitupun usaha para sales yang sedemikian gencar menawarkan produk pada anda malah membuat anda terganggu. Anda merasa memiliki kebebasan untuk apapun. Persuasi-persuasi tadi dianggap mengganggu kebebasan anda. Oleh sebab itu anda menolak berubah.

Kedua, anda menolak persuasi karena tahu bahwa pesan yang anda terima memang dibuat untuk persuasi. Seringkali ada informasi yang memang sengaja digunakan untuk merubah sikap orang. Nah, jika anda tahu bahwa informasi tertentu ditujukan untuk mengubah sikap anda, maka anda cenderung menolaknya. Misalnya dalam sebuah acara televisi mengenai bahaya merokok, narsumber mengatakan bahwa merokok merugikan keuangan. Nah anda malah mengatakan “ah, itu kan kata dia saja!”

Ketiga, menghindar dari informasi yang tidak konsisten dengan sikap anda. Biasanya secara otomatis seseorang akan lebih memperhatikan informasi yang konsisten dengan sikapnya dan mengabaikan yang tidak konsisten. Misalnya saja anda penggemar klub sepak bola AC Milan. Maka anda akan lebih memperhatikan fakta bahwa tahun 2006 dan 2007 klub itu dinobatkan FIFA menjadi klub terbaik di dunia. Selama 5 tahun terakhir, hanya klub itu yang selalu berhasil masuk perempat final Liga Champion Eropa. Bahkan sekali juara, sekali runner-up, dua kali semifinal, dan hanya sekali perempat final. Tidak ada klub lain yang bisa mencapai prestasi itu. Sebaliknya informasi bahwa klub itu terlibat skandal penyuapan wasit, terseok-seok di liga Italia Seri A atau strikernya mandul kurang anda perhatikan.

Misalnya anda memiliki sikap positif terhadap minuman keras. Anda biasa meminumnya. Nah, secara otomatis anda akan lebih memperhatikan informasi yang sesuai dengan sikap positif anda terhadap minuman keras, misalnya sebagian besar orang di dunia ini meminum minuman keras. Informasi tentang minuman keras bisa menyebabkan liver kurang anda perhatikan. Oleh sebab itu anda tidak akan berubah, karena informasi yang mungkin bisa merubah sikap Anda tidak anda perhatikan.

Apakah sikap itu?

Oleh Achmanto Mendatu

Anda pasti sering mendengar kata sikap, atau bahkan telah kerap menggunakannya dalam percakapan keseharian. Mungkin Anda sudah biasa ditanya sikap Anda terhadap sesuatu. Misalnya bagaimana sikap anda dengan kekerasan di IPDN? Apa sikap Anda dengan pelacuran? Apa sikap Anda dengan korupsi pejabat pemda? Bagaimana sikap Anda tentang masalah perceraian? Anda mungkin akan menjawabnya dengan pendapat berbeda untuk masing-masing kasus.

Saat ini Anda mungkin menjadi pendukung calon presiden tertentu, simpatisan partai tertentu, fans tokoh tertentu, anggota klub penggemar tanaman hias, pecinta kucing, pecinta anjing, pecinta lingkungan, pecinta demokrasi, atau yang lain. Anda bisa menjadi hal-hal tersebut karena adanya sikap yang Anda miliki.

Apa sebenarnya sikap? Sikap bisa kita artikan sebagai kecenderungan reaksi penilaian terhadap segala sesuatu di dunia ini. Bisa saja sesuatu itu orang lain, peristiwa atau masalah, ide-ide maupun suatu keadaan fisik. Di dalam sikap terkandung aspek afeksi (emosi atau perasaan), aspek kognisi (keyakinan), dan aspek perilaku (perilaku dalam bentuk nyata ataupun kecenderungan berperilaku).

Sebagai ilustrasi, ambil contoh sikap tentang minuman keras. Mula-mula Anda harus memiliki keyakinan tertentu tentang minuman keras, misalnya minuman keras itu enak, merusak tubuh, mahal, teman saat stress, kadar alkohol tinggi bisa memabukkan, diharamkan agama, atau lainnya (aspek kognisi). Lalu anda bisa memiliki perasaan positif atau negatif terhadap minuman keras. Anda bisa menyukai minuman keras atau tidak suka (aspek afektif). Kemudian, Anda juga memiliki kecenderungan perilaku tertentu terhadap minuman keras. Jika Anda menyukainya maka anda meminumnya, mengatakan bahwa minum minuman keras itu baik, bersedia mengeluarkan uang untuk membelinya, atau yang lain. Jika anda tidak menyukainya maka anda tidak meminumnya, ikut operasi minuman keras, melarang teman Anda meminumnya, mengeluarkan artikel tentang bahaya minuman keras, tidak mau mengeluarkan uang untuk membelinya dan sebagainya (aspek perilaku).

Jadi, belum sikap namanya jika Anda hanya memiliki pendapat terhadap sesuatu (misalnya miras itu haram). Namun jika Anda memiliki perasaan tertentu terhadap miras (misalnya tidak suka), dan bertindak tertentu terhadap miras (misalnya tidak mau meminumnya), barulah pendapat itu merupakan sikap.

Bagaimana sikap anda terbentuk?

Bagaimana Anda bisa memiliki sikap tertentu terhadap suatu hal? Bagaimana anda menjadi pendukung partai, fans klub sepakbola Persebaya, fans klub AC Milan, fans artis, pecinta binatang, penggemar tanaman hias, atau semacamnya? Anda memperolehnya karena anda belajar untuk memilikinya.

Ada banyak jalur yang membuat Anda bisa memiliki sikap tertentu. Bisa karena pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, pengaruh media massa, pengaruh lembaga pendidikan/ lembaga agama, dan pengaruh emosional. Adapun proses pembentukan sikap adalah melalui pembelajaran. Anda belajar untuk memiliki sikap tertentu. Bagaimana caranya? Secara garis besar, orang belajar melalui pengkondisian klasik, pengkondisian instrumental, pemodelan dan pengalaman langsung.

Pengkondisian klasik (classical conditioning). Inilah belajar berdasarkan asosiasi. Jika sesuatu (stimulus) muncul maka anda berharap adanya sesuatu yang lain (stimulus kedua) mengikutinya. Artinya, sesuatu diasosiasikan dengan yang lain. Misalnya Anda mula-mula bersikap netral terhadap anjing. Anda tidak menyukainya, juga tidak membencinya. Namun kemudian Anda tahu bahwa penggemar anjing dikenal sebagai orang-orang yang memiliki kelas sosial tinggi. Maka kemudian anda jadi bersikap positif karena Anda juga memandang positif kelas sosial tinggi.

Sikap bisa muncul sejak kecil. Seorang anak pada awalnya bersikap netral terhadap semua orang. Mereka memiliki sikap negatif atau positif karena mempelajari sikap orang lain. Misalkan orangtuanya selalu menggerutu jika bertemu dengan rombongan suporter sepakbola. Ia sering mengatai-ngatai negatif suporter sepakbola. Nah, sang anak akan belajar untuk bersikap negatif juga terhadap suporter sepakbola, karena suporter sepakbola diasosiasikan dengan hal-hal negatif. Pendek kata, mengasosiasikan sesuatu dengan hal-hal negatif akan membentuk sikap negatif dan mengasosiasikan sesuatu dengan ha-hal positif akan membentuk sikap positif.

Pengkondisian instrumental (instrumental conditioning). Ini adalah prinsip dimana sikap tertentu muncul karena adanya imbalan atas perilaku yang diharapkan, dan adanya hukuman jika berperilaku tidak seperti yang diharapkan. Misalnya di dalam rumah, anda diharapkan untuk bertindak tanpa kekerasan dalam kondisi apapun. Maka, ketika anda melakukan kekerasan, anda akan dimarahi. Jika anda tidak melakukan kekerasan anda akan dipuji bahkan diberi hadiah. Nah, karenanya anda akan membentuk sikap positif terhadap nir kekerasan. Sebaliknya kekerasan akan disikapi negatif.

Pemodelan (modeling). Inilah belajar melalui peniruan atau observasi. Anda memiliki sikap tertentu karena mengamati dan meniru orang lain. Jika orang lain bersikap positif terhadap minuman keras (meminumnya sering-sering), anda juga bersikap positif (meminumnya juga). Boleh jadi Anda meniru dari yang anda ketahui secara langsung, maupun secara tidak langsung melalui media massa atau orang lain. Lagipula umumnya orang lebih banyak menerima pendapat, gagasan, dan sikap orang lain daripada menghindarinya.

Pengalaman. Anda menyukai bakso atau tidak dengan cara bagaimana? Sudah tentu dengan cara mencicipi bakso. Anda menyukai kuliah yang diberikan dosen tertentu dengan cara apa? Sudah pasti dengan cara mengikuti kuliahnya. Banyak sikap muncul dari pengalaman yang dialami secara langsung. Namun demikian, kadang orang hanya berasumsi belaka. Misalnya anda berasumsi bahwa jika anda pergi ke diskotik pasti akan tidak menyenangkan bagi anda. Oleh sebab itu Anda bersikap negatif terhadap diskotik. Padahal, jelas anda belum sekalipun masuk diskotik.

Apakah sikap selalu sejalan dengan perilaku?

Jika sikap Anda negatif apakab perilaku anda akan negatif juga? Misalnya jika anda menilai rokok membahayakan kesehatan, apakah anda akan berhenti merokok? Banyak orang memiliki sikap negatif terhadap rokok tapi tetap saja merokok. Artinya, sikap tidak selalu konsisten dengan perilaku.

Mengapa sikap tidak selalu konsisten dengan perilaku? Antara sikap dan perilaku ada faktor penghubung yakni niat. Jadi, meskipun memiliki sikap negatif terhadap rokok, tapi jika tidak berniat berhenti merokok, maka tetap saja seseorang akan terus merokok.

Niat sendiri dipengaruhi banyak hal, baik dari dalam diri sendiri ataupun karena faktor luar, misalnya tekanan sosial. Contohnya saja Anda bersikap positif terhadap kaum waria. Namun Anda diam saja tidak ikut mendukung kaum waria karena khawatir di cap pendosa oleh masyarakat.